BAGAI REMBULAN 19
By: Tien Kumalasari
Bu Diana terkejut atas sikap Lusi yang tiba-tiba berubah, berdiri dengan mata melotot ke arahnya, tak ada sopan-sopannya.
“Jadi Mbakyu benar-benar mengingkari apa yang pernah Mbakyu katakan beberapa waktu yang lalu?” Katanya sambil menuding ke arah wajah Bu Diana.
“Lho Jeng, duduklah, kok bicara sambil berdiri begitu?”
“Saya tidak mengira Mbakyu akan mengatakan itu. Saya pikir Mbakyu akan menepati apa yang telah Mbakyu katakan,” katanya masih tetap dengan berdiri.
“Duduklah dan jangan bersikap seperti itu,” kata Bu Diana masih dengan suara halus. Lusi duduk, tapi seperti hanya menempelkan sedikit pantatnya di sofa. Matanya masih menyala, dan sikap itu semakin meyakinkan Bu Diana bahwa dia bukan orang yang pantas dijadikan keluarganya.
“Baiklah, apalagi yang akan Mbakyu katakan?”
Simbok yang semula berada di dapur, sudah sejak mendengar suara agak keras tadi diam-diam menelpon Liando, kemudian Simbok berdiri dibalik pintu, setelah memanggil Karjo agar bersamanya disitu, menjaga kalau terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan atas Bu Diana.
“Jeng Lusi tahu, bahwa perjodohan itu bukan hanya untuk sehari dua hari, sebulan dua bulan, atau setahun dua tahun, tapi diharapkan menjadi jodoh untuk seumur hidup.”
“Ya iyalah, itu saya sudah tahu.”
“Jadi setelah saya pikir, rasanya kok kita kurang bisa hidup berdampingan dalam sebuah keluarga.”
“Oh ya, karena Mbakyu kaya raya, dan karena saya hanya orang biasa? Apa Mbakyu memilih menantu yang anak bekas pembantu itu dan...
“Cukup Bu! Ibu tidak pantas berbicara begitu,” tiba-tiba Karjo muncul bersama Simbok. Karjo berdiri dihadapan Lusi dengan marah, sedangkan Simbok membawa Bu Diana masuk ke kamarnya.
“Hei, apa kamu? Siapa kamu? Beraninya kamu bicara kasar sama aku?”
“Kalau Ibu bisa menghargai dan mnghormati orang lain, maka saya juga akan menghargai dan hormat kepada Ibu. Ibu berkata kasar kepada majikan saya, dan saya tidak rela!” Kata Karjo keras.
“O, rupanya di keluarga ini, diantara sopir, pembantu dan majikan bisa berdiri sejajar ya, tidak punya derajat dan pangkat tapi merasa sama dengan majikan kamu?”
“Ya, benar, Bu Diana tidak membedakan diantara kami, itu sebabnya kami semua mengasihi Bu Diana.”
“Diam kamu sopir kurangajar!” tiba-tiba Anjas yang semula diam, berdiri dan menghampiri Karjo, siap mengayunkan kepalannya ke wajah Karjo. Tapi tiba-tiba seseorang muncul.
*“Hentikan!!”*
Anjas mundur selangkah ketika mendengar hardikan, dan melihat Liando sudah berdiri ditengah pintu.
“Bagaimana bisa ada orang-orang liar memasuki rumah ini?”
Anjas menatap Liando dengan mata menyala. Mata merahnya bertambah merah karena amarah.
“Keluar kalau kamu laki-laki, jangan hanya berani sama laki-laki setengah tua sopir kesayangan kami. Keluar!!”
Lusi yang melihat suasana tidak akan menguntungkan, kemudian menarik tangan Anjas dan menerobos keluar dari samping Liando berdiri.
“Ayo bertarung sebagai sesama laki-laki, jangan kabur kamu Anjas.!!”
Tapi Lusi sudah menariknya masuk ke dalam mobil dan memacu mobilnya keluar dari halaman.
Liando yang tidak melihat Mamanya menjadi sangat khawatir.
“Mana Mama?”
“Ada di kamar bersama Simbok Mas, begitu mendengar Bu Lusi berteriak Simbok langsung membawa Ibu masuk ke kamar,” kata Karjo.
Liando bergegas masuk ke kamar, melihat Mamanya sedang minum jus dengan dilayani Simbok.
“Mama baik-baik saja?” Liando langsung masuk dan bersimpuh dihadapan Mamanya.
“Mama baik-baik saja, jangan khawatir.”
“Syukurlah Mama,” kata Liando sambil mencium tangan Mamanya.
“Mama baru tahu dan semakin yakin, bukan dia calon mertua kamu, Mama malu berkerabat dengan orang seperti itu.”
“Liando senang Mama tidak apa-apa.”
“Begitu dia berteriak, Simbok langsung membawaku ke kamar, dan Karjo memaki-maki Lusi. Ternyata aku disayangi orang seisi rumah.”
“Tentu saja Mama, karena Mama juga baik kepada semua orang.”
“Anakku, carilah jodoh yang kamu sukai, mantapkan pilihan kamu, Ibu akan ikut berbahagia bersama kalian,” kata Bu Diana yang tangannya masih diciumi anaknya. Liando segera memeluk Ibunya erat, menitikkan air mata dipundaknya.
“Ibu....” tiba-tiba Dayu muncul.
Liando melepaskan pelukannya, dan berganti memeluk Dayu. Dayu kaget dan heran, ia meronta karena sungkan ada Bu Diana disitu, dan Simbok yang duduk di atas karpet sambil tersenyum menatapnya.
“Iih, apa sih. Ibu.. maaf Dayu terlambat mengirim makan siang untuk Ibu. Itu Mbok, sudah disana,” kata Dayu.
“Baiklah, biar Simbok tata sekalian,” kata Simbok sambil berlalu.
Dayu berlutut di depan Bu Diana.
“Mengapa Ibu di dalam kamar? Ibu sakit?”
“Tidak Dayu, ayo bawa aku keluar,” kata Bu Diana sambil tersenyum.
Tapi Dayu tidak sendiri. Liando ikut mendorongnya sehingga mereka berhimpitan.
“Apa sih Liando, biar aku saja.”
“Sama aku dong, masa nggak boleh berdua,” katanya sambil sebelah tangannya memeluk pundak Dayu dan sebelahnya lagi memegang pegangan kursi roda.
Dayu diam saja, meskipun agak heran melihat sikap Liando siang itu.
***
“Dayu, mengapa tidak pernah mau ikut makan siang bersama disini?”
“Maaf Ibu, biar saya meladeni Ibu saja, karena sebelum berangkat pasti Dayu sudah makan.”
“Dan meladeni aku kan?” kata Liando sambil melirik Dayu.
“Dayu... aku mau tambah sayurnya, segar sekali sayur asem ini.”
“Iya Bu, biar aku tambahkan.”
“Aku juga lho..” Liando ikutan.
Sesungguhnya Liando sedang sangat berbahagia. Mamanya sudah mengatakan kalau dia boleh memilih siapapun yang dia sukai. Hanya saja Mamanya tidak mengatakan, apakah dia boleh memilih Dayu.
“Mama...”
Bu Diana menatap anaknya.
“Apakah Dayu akan bisa menjadi istri yang baik?”
“Tentu saja, dia gadis baik, santun dan pintar. Dia akan menjadi istri yang baik.”
“Apakah... dia boleh menjadi istri Liando?”
Dayu terkejut bukan alang kepalang mendengar Liando berkata seperti itu. Matanya melotot ke arah Liando, khawatir pertanyaannya akan membuat Mamanya marah.
“Kamu? Mau supaya Dayu menjadi istri kamu?”
“Iya, mm.. kalau Ibu menyetujuinya..” kata Liando hati-hati.
“Ibu tidak bisa menjawabnya..” kata Bu Diana sambil menikmati sayur asem yang baru saja ditambahkan Dayu. Kegembiraan Liando surut.
“Mengapa begitu? Mama tidak suka?”
“Mama sih suka, tapi Dayu kan belum tentu suka, ya kan Dayu?”
Tiba-tiba senyum merekah dibibir Liando. Ternyata Ibunya suka, ternyata cinta mereka akan berlabuh disini, diruang makan ini.
“Jangan senyum-senyum dulu. Memangnya Dayu suka sama kamu?” kata Bu Diana lagi.
“Dayu, benarkah kamu tidak suka sama aku?”
Dayu yang sejak tadi merasa heran atas sikap Liando, juga kata-kata Bu Diana, tak bisa berkata-kata. Degup jantungnya menjadi kencang. Apakah dia bermimpi?
“Mengapa diam Dayu?” tanya Liando.
“Bukankah Susan lebih cocok buat kamu?” kata Dayu tanpa berani menatap Liando yang sejak tadi memandanginya sambil tersenyum lucu.
“Dengar Bu, katanya aku lebih cocok dengan Susan. Apakah Ibu mau melamarkan Susan buat aku?”
Dayu melotot memandangi Liando, yang kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Dayu, jangan dengarkan kata-katanya. Ibu tidak suka berbesan dengan Lusi.”
Dayu menatap Bu Diana, tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
“Nanti setelah makan aku akan ceritakan. Sekarang aku sedang menikmati sayur asem buatan calon besanku. Aku juga suka sambelnya, tidak begitu pedas, rasanya semua pas.”
Calon besan? Dayu semakin berdebar. Tapi ia harus bersabar. Bu Diana akan mengatakan semuanya nanti setelah makan siang walau dia bisa menangkap sedikit kemauan keluarga Bu Diana. Ada sorak dihati Dayu, entah mengapa hari itu menurutnya sangatlah indah.
###
Lusi melemparkan tas tangannya begitu saja di atas meja lalu menghempaskan tubuhnya di sofa. Kepalanya bersandar dan tangannya memijit-mijit dengan keras. Anjas mengikutinya duduk dihadapan Ibunya.
“Mengapa Mama melarang aku menghajar laki-laki sombong itu?”
“Omong kosong!! Kamu kalah besar dan dia jagoan taekwondo.”
“Masa?”
“Jangan bodoh!! Kamu belum pernah berhadapan dengan dia. Kamu beraninya cuma keroyokan. Sudah hentikan. Kepala Mama pusing sekali.”
“Mengapa menjadi seperti ini Ma bagaimana cara Mama mendekati Bu Diana?”
“Mama nggak tahu, Mama kenal Diana saja belum lama, hanya karena dia datang bersama Mamanya ketika melayat Nenek kamu waktu meninggal lalu kami berkenalan dan sering bertemu.”
“Ini semua gara-gara Dayu.”
“Benar. Karena seringnya Dayu datang kesana dan tampaknya Diana menyukainya lalu tiba-tba dia berubah pikiran.
***
“Ibuuuu....” teriak Dayu yang begitu memasuki rumah langsung memasuki kamar Ibunya.
“Aduuh.. kamu nih membuat Ibu terkejut saja..”
Dan dengan erat kemudian Dayu memeluk Surti, menangis dipundaknya.
“Ada apa ini Dayu? Jangan membuat Ibu takut. Dayu... ada apa?” Surti ketakutan melihat Dayu terus menangis.
“Dayu... “ panggilnya sambil menggoyang-goyang tubuh anaknya.
“Ibu... aku menangis bahagia...” Kata Dayu sambil melepaskan pelukannya.
“Ya ampuuun jantung Ibu hampir copot karena ketakutan. Ada apa?”
“Bu Diana akan mengambil aku sebagai menantu Bu.”
“Ah apa itu benar?”
“Benar Bu, tadi itu, Bu Lusi datang kesana Bu Dana membatalkan perjodohan Aliando dan Susan.”
“Lalu kamu berharap menggantikannya begitu?”
“Bukan begitu Bu, Bu Diana setuju Aliando melamar Dayu.”
“Tapi kan kamu masih sekolah Dayu.”
“Benar Bu, Dayu akan menyelesaikannya terlebh dulu. Yang pentng sudah ada lampu hijau dari Mamanya Liando.”
“Janganlah sebuah kesenangan membuat kamu melonjak kegirangan, karena semua yang terjadi bukan atas kehendak kita. Selalulah memohon yang terbaik kepada Yang Maha Kuasa.”
“Iya Bu, Dayu mengerti.”
“Ya sudah ganti bajumu dan istrahatlah.”
“Maaaas..”
“Dayu, jangan mengganggu Kakakmu.. kamu kan tahu bahwa dia sedang tidak mau diganggu?”
“Iya, maaf...”
Dayu sekali lagi memeluk Ibunya kemudian berlari ke kamarnya.
Surti menggeleng-gelengkan kepalanya tapi dalam hati dilantunkannya sebuah do’a.
“Semoga anak-anakku hdup bahaga dunia akhirat. Aamiin.”
###
“Kamu itu sungguh memalukan . Bekerja diperusahaan Indra seorang sombong satu lagi dan selalu menghina Mama?”
“Memang apa salahnya kalau Susan bekerja disana?”
“Kamu tdak tahu bagaimana sombongnya dia?”
“Sikap seseorang itu kan mencerminkan bagaimana watak kita sendlrl? Seseoang menjadi sombong atau kita anggap sombong karena bagamana cara klta bersikap kepadanya. Mungkin kita yang salah siapa tahu.”
“Maksudmu... kamu menyalahkan Mama?”
“Bukan... bukan hanya Mama... bisa setiap orang.”
“Sudah jangan sok menggurui orangtua kamu. Kamu sudah dengar apa keputusan Bu Diana tadi?”
“Belum, apakah berita baik?”
“Baik apanya? Dia memutuskan tali perjodohan itu. Kamu puas?”
“Ya sudah lah Bu, biarin saja dputusin kalau memang bukan jodoh mau bagaimana lagi?”
“O kamu tidak terpengaruh ya? Kamu suka mendengarnya karena kamu memang tidak suka sama dia kan?"
“Mama apakah aku harus menangis meraung-raung?”
“Kamu tidak sakit hati?
“Mengapa harus sakit hati? Memangnya didunia ini hanya Aliando laki-laki yang pantas menjadi jodoh Susan?”
“Bodoh!!”
“Mama. Sudahlah jangan dipikirkan, biarin saja dan biarkan juga Susan bekerja. Supaya hati kita tenang perasaan juga tenang. Ya kan Ma?”
“Sudah, jangan ngomong sama Mama. Mama tidak butuh pendapat kamu.”
“Lebh baik Mama tenang jangan memikirkan kegagalan. Jodoh itu kan ditangan Allah Yang Maha Pengasih.”
“Diam kamu!!”
Dan Susan memang lebih baik diam, lalu menenggelamkan diri didalam kamar.
***
Sejak hari itu Lusi enggan bicara dengan Susan. Susan tak perduli dan bosan dengan umpatan-umpatan Mamanya. Ia tetap berangkat bekerja setiap pagi pulang sore dan tidak jarang makan siang di rumah keluarga Indra.
Umi jarang mengajaknya makan siang bersama karena tahu bahwa Susan lebih suka makan di rumah Bosnya.
Benarkah bahwa cinta bisa tumbuh secara perlahan? Ada Naya yang ganteng dan dengan setia bersedia mengantarnya apabila Susan bermain disana sampai malam. Susan memang lebih suka pulang malam, lalu sesampai di rumah mandi dan tidur agar tidak bertemu Mamanya atau tak ada waktu berbincang dengan alasan capek.
Susan yang sebenarnya ramah ternyata bisa memancing obrolan dengan Naya yang katanya pemalu, dan Naya tampak sangat menikmatinya. Apakah karena Susan cantik dan menarik, atau karena sedikt cerewet hampir sama dengan Yayi adiknya entahlah yang jelas Naya sudah terbiasa dengan sikap Susan yang tidak lagi merasa sungkan bergaul dengan keluarganya.
Hari berjalan dan bulan-bulan berlalu. Adit dan Naya sudah selesai dengan kuliahnya. Adalah luar biasa ketika keduanya mendapatan predikat cumlaude. Keluarga Indra dan Tikno tentu saja sangat berbahagia.
Malam itu ketika mengantarkan Susan, Naya mengajaknya makan direstoran es cream.
“Ini untuk merayakan kelulusan kamu bukan Naya?” Tanya Susan.
“Tidak, seorang yang belajar punya kewajiban untuk bisa menyelesaikan pelajarannya, mengapa harus dirayakan?”
Dan Susan terpesona oleh jawaban priya ganteng yang akhir-akhir ini semakin dikaguminya.
Keduanya duduk berhadapan di bawah sinar lampu temaram yang menerangi rumah makan itu.
Naya belum pernah menatap Susan seperti malam itu. Di bawah lampu redup yang membiaskan wajah cantik, yang menurutnya sangat menawan. Entah mengapa hati Naya berdebar kencang.
Susan tidak memperhatikan karena asyik menyendok es cream yang sudah terhidang.
Ketika menyadari bahwa Naya tidak segera menikmati es creamnya, Susan menegurnya heran.
“Haloooww... es cream kamu sudah mencair..”
“Oh... apa? Ya... hampir mencair...“ jawabnya gugup.
Naya menyendok es creamnya perlahan, menata debar jantungnya yang berdegup tak beraturan.
Lama-lama Susan tahu kalau Naya memperhatikannya.
“Ada apa?”
“Apa?” Naya ganti bertanya.
“Ada yang aneh? Mukaku berlepotan? Ada yang aneh?” tanya Susan sambil memegang wajahnya.
“Tidak... tidak... kamu mengejek aku? Aku kan belum mandi dari pagi? Aduuh... wajahku pasti berminyak kusam, menyebalkan ya.”
“Oh.. no.. no.. kamu cantik kok. Beneer...” aduuh...ingin mengatakan suka tapi susahnya bukan alang kepalang. Wajahnya justru memerah seperti kepiting rebus.
Susan tersenyum. Dia bukan anak kecil yang tidak tahu apa arti tatapan itu. Dan Susanpun tersipu. Ada getar aneh menjalar diseluruh alran darahnya.
***
Apakah Lusi akan menerima kenyataan dengan lapang dada? Tidak, itu bukan Lusi. Dendam yang membakar dadanya terus saja dibiarkan menyala mendidihkan setiap aliran darahnya dan selalu menggelegak sampai keubun-ubunnya.
Malam itu sepasang matanya menangkap pemandangan yang membuatnya marah. Susan dan seorang laki–laki sedang berduaan dan bertatap mesra.
Bersambung
No comments:
Post a Comment