Tuesday, October 6, 2020

Bagai Renbulan 20

BAGAI  REMBULAN  20
By: Tien Kumalasari

Lusi mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Matanya menyala marah menatap kedalam restoran itu.

Ia tidak bersama Anjas, tapi ia mengenal beberapa orang yang bisa membantunya.

“Susan berani menentang aku karena laki-laki itu, siapa dia sebenarnya? Harus aku beri pelajaran sampai kapok,” umpatnya pelan.

Sementara itu Susan dan Naya asyik mencecap es krim yang dipesannya, dan mencecap rasa yang baru saja disadarinya. Apakah itu cinta?”

“Naya, kamu tampak aneh malam ini,” bisik Susan.

“Aku memang sedang merasakan sesuatu yang aneh. Maaf... mungkin tidak pantas... tapi...”

“Apa yang tidak pantas? Bahwa rasa itu datang tiba-tiba, janganlah dinamai tidak pantas selama itu bukan suatu kejahatan. Aku suka melihatmu tampak bingung dan gugup malam ini.  Kamu tampak lucu.”

“Susan...”

“Naya, kamu sangat pemalu, tapi aku akan berterus terang, bahwa aku suka sama kamu,” kata Susan dengan berani sambil menatap lembut wajah Naya yang kemerahan.

“Apakah aku haus minta maaf karena mengatakan ini Naya?” lanjutnya.

“Oh.. ti..tidak.. tidak.. tak ada yang salah.. selama itu bukan kejahatan..” Naya mengucapkan kata balasan, seperti tadi Susan mengatakannya, sambil menata batinnya. Bagaimana sih kalau seorang gadis menyatakan suka terlebih dulu? Apakah itu salah?

“Karena aku tahu bahwa kamu itu pemalu, aku tak sabar menunggu,” kata Susan berterus terang.

Bukan karena Susan lebih berpengalaman, tapi Susan sudah lebih dewasa dan suka mengatakan apa adanya.

Dan tiba-tiba Naya tersenyum. Senyum itu sangat menawan menurut Susan, sehingga susah sekali berpaling dari wajah kemerahan yang tampak santun dan menggetarkan hatinya itu.

“Susan..”

“Aku juga suka sama kamu,” lanjutnya sedikit malu.

“Kamu sudah tahu orangtuaku bukan? Terutama Mamaku? Orangtua kamu tak akan suka kalau mengingat Mamaku. Aku sedih, ingin mengubahnya tapi tak bisa. Aku belajar banyak kebaikan justru dari keluarga Pak Indra, orangtua kamu yang juga atasanku,” lalu Susan menundukkan kepalanya. Bagaimanapun ketika teringat Mamanya, kemudian membuatnya jadi minder.

“Susan, angkat kepalamu, mengapa tiba-tiba menunduk?” Naya mulai berani berkata sedikit lancar..

“Tiba-tiba aku merasa minder.”

“Mengapa?”

“Mengingat Mama...”

“Ayolah, ini adalah kamu, bukan Mama kamu.”

“Naya, kamu sungguh baik, seperti Pak Indra... aku bahagia menemukan keluarga ini. Aku merasa tak punya keluarga,” kata Susan sedih.

Naya merangkum tangan Susan yang ada diatas meja, meremasnya lembut.

“Jadilah keluarga aku.”

Beberapa saat keduanya tenggelam dalam rasa yang tak terungkapkan.

“Sudah malam, ayo aku antar pulang,” kata Naya sambil berdiri, meraih tangan Susan dan mengajaknya keluar.

Tapi sebelum sampai di mobil, sebuah hantaman mengenahi bahu Naya, membuatnya tersungkur. Kepalanya terantuk pinggiran trotoar. Susan menjerit.

“Heiii.. apa-apaan ini?”

Ada orang lain yang ingin menghantam lagi tubuh Naya yang sedang berusaha berdiri, tapi Susan juga sedang menghampiri tubuh Naya, sehingga pukulan itu mengenai tubuh Susan.

“Susan menjerit dan jatuh disamping Naya, begitu kerasnya pukulan itu, membuat Susan tak bergerak. Ada darah meleleh dipelipisnya, dan darah dari kepala Naya membasahi wajah Susan.

Orang lain yang salah memukul, melayangkan kembali pukulannya kearah Naya yang sedang berusaha bangkit, tapi tiba-tiba sebuah tendangan membuatnya terpental.

Ada dua orang lain yang kemudian maju ketika mengetahui ada orang yang melindungi Naya, tapi dengan gerakan memutar, laki-laki gagah itu bisa membuat kedua penyerangnya roboh berguling-guling sambil berteriak ngeri. Ada tiga orang penyerang, satu diantaranya masih tegak berdiri, melotot menatap musuhnya dan berteriak sambil menerkam, tapi dengan sebuah hantaman laki-laki penyerang itupun roboh.

Suasana menjadi gaduh, polisi sudah datang. Naya bangkit dan berusaha menolong Susan.

“Biar aku bawa ke mobil, kita harus segera ke rumah sakit,” kata laki-laki gagah itu yang ternyata adalah Aliando. Ia datang bersama Dayu. Dan ketika Aliando mengangkat tubuh Susan, Dayu mendekati Naya dan membantunya bangun.

“Mas Naya... kamu tak apa-apa?”

“Dayu... kamu?”

“Ayo ke mobil, Liando sedang membawanya ke mobil.”

“Dia.. Susan..”

“Oh, baiklah, ayo mas..” kata Dayu sambil menggandeng lengan Naya.

Aliando membuka mobil, sebelum Susan diletakkan diatas jok belakang, Susan membuka matanya, merintih perlahan.

“Tenanglah, kami akan membawa kamu ke rumah sakit.”

Susan menatap laki-laki yang menggendongnya, lalu dipejamkannya matanya.

“Dia, laki-laki yang aku benci, laki-laki sombong yang sok ganteng sedunia, tapi ia memiliki tangan hangat yang sangat mulia, ya Tuhan, sangat banyak orang-orang baik didunia ini, bagaimana dengan Mamaku?” bisik batin Susan.

“Kamu tiduran saja...”

“Mana.. Naya?”

“Ini aku..” kata Naya yang sudah ada disitu.”

Liando melarikan mobilnya ke rumah sakit.

***

“Bodoh !! Bodoh ! Bodoh !!” teriak Lusi setelah sampai di rumah.

“Ada apa sih Ma?”

“Ada apa.. ada apa.. mengapa kamu tidak membantu Mama?”

“Aku kan tidak tahu apa-apa Ma..”

“Aku melihat Susan bersama seorang laki-laki sedang makan disebuah rumah makan, geram aku, ternyata laki-laki itu yang membuat Susan berani menentang Mama. Aku panggil Tomy dan teman-temannya, aku suruh menghajarnya. Nggak tahu bagaimana... polisi sudah datang dan ketiganya ditangkap. Lalu aku kabur.”

“Bagaimana kalau mereka bilang Mama yang menyuruh mereka?”

“Tidak, aku sudah membayarnya. Pokoknya mereka tidak akan menyebut nama Mama dihadapan polisi.”

“Mama bagaimana sih..”

“Aku juga melihat Tomy salah sasaran. Adik kamu dihajarnya sampai pingsan.”

“Orang gila.”

“Mama belum berani ke rumah sakit untuk menengok Susan, jangan-jangan masih ada polisi berkeliaran disana untuk mencari keterangan.”

“Ya sudah, Mama di rumah saja dan pura-pura tidak tahu.”

***

Naya hanya mendapat perawatan ringan, pelipisnya dan pundak sebelah kiri luka karena hantaman keras. Kecuali itu kepalanya terantuk pinggiran trotoar. Tapi dokter menyarankan untuk dirawat satu atau dua hari.

Sedangkan Susan dahinya luka karena kepalanya juga terantuk pinggiran trotoar. Ia juga harus dirawat.

“Susan, kamu tak apa-apa?”

Susan menatap laki-laki sok ganteng yang semula dibencinya, berdiri dengan senyum ramah, disamping Dayu yang cantik dan lembut.

“Terimakasih banyak..” bisiknya pelan, lalu memejamkan matanya.

“Kata dokter kamu gegar otak ringan.”

“Naya..?”

“Naya juga dirawat, mungkin sama, kalian belum boleh bangun.”

“Apa aku harus mengabari Mama kamu?” tanya Liando.

Susan kembali menatap Liando, laki-laki yang memang ganteng itu, dan sekarang membuatnya kagum akan perhatiannya terhadap dirinya.

“Tidak usah.”

“Nanti Mama kamu mencari kamu.”

“Tidak akan, Mama tak akan peduli.”

“Bagaimana rasanya Mbak? Masih pusing?”

“Sedikit Dayu, terimakasih. Untunglah ada kalian.”

“Beristirahatlah dulu disini, dokter akan merawatmu. Kami akan ke Mas Naya dulu.”

“Baiklah, katakan bahwa aku tak apa-apa.”

Dayu mengangguk, lalu menggandeng Liando meninggalkan ruang inap Susan.

“Ternyata.. eh ternyata...” gumam Dayu dalam perjalanan ke kamar Naya.

“Ternyata apa?”

“Mas Naya dan Susan... pasti ada apa-apa nih..”

“Syukurlah...“

“Nggak cemburu nih, sama mas Naya?”

“Eiitt.. iya lah, aku cemburu.. cemburu berattt...” Liando tertawa kemudian menjerit kesakitan karena Dayu mencubitnya keras sekali.

“Iih.. ngomong sendiri.. kok jadi marah sih.”

“Penginnya kamu menolak, nggak tahunya kesenangan..” kata Dayu cemberut, lalu berjalan cepat meninggalkan Liando. Liando mengejarnya sambil tertawa.

Ketika Liando dan Dayu masuk, disitu sudah ada Indra, Seruni, Yayi dan Adit.

“Waah... sudah banyak tamu rupanya, kata Liando.

“Bagaimana Naya?”

“Nggak apa-apa.. sedikit pusing.”

“Ada pesan dari Susan, suruh bilang ke kamu, bahwa dia baik-baik saja,” kata Liando.

Naya tersenyum malu, tak berani menatap wajah kedua orangtuanya.

“Tidak usah malu-malu.. biasa bukan, anak muda jatuh cinta?” kata Indra, yang disambut tawa semua yang hadir.

Hanya Seruni yang hanya tersenyum, memegangi tangan Naya sambil sesekali diciumnya.

“Ibu, Naya tak apa-apa.”

“Lain kali hati-hati, ibu tak percaya kamu punya musuh Nak.”

“Tidak Bu, Naya tak punya musuh.”

“Mengapa Mas, ini bisa terjadi?” tanya Seruni kepada suaminya.

“Sudahlah .. kamu jangan memikirkan apa-apa, anak kita tak punya musuh, jadi barangkali hanya ada anak nakal yang main tawur saja. Polisi sedang menanganinya.”

“Cepat sembuh ya Nak,” kata Seruni pilu.

“Iya Ibu.”

Yayi pamit dan mengajak Adit ke ruangan Susan.

Agak terharu, sementara di ruangan Naya banyak keluarga menjenguk, sedangkan di ruangan Susan tak seorangpun ada disana.

“mBak Susan, sudah mengabari keluarga?” tanya Yayi sambil meremas tangan Susan.

“Aku tidak punya keluarga, Yayi,” kata Susan sedih.

“Jangan begitu, Bu Lusi harus diberi tahu.”

“Tidak usah, Mama tidak akan kehilangan.”

“Tapi namanya orangtua kan harus tahu,” kata Adit.

“Tidak, lihat saja nanti, ketika aku tidak pulang, bahkan sampai besok, Mamaku mencari atau tidak. Pasti tidak. Jadi sudahlah, biarkan saja aku disini.”

“Aku bawakan baju ganti untuk Mbak Susan, ini punyaku, kayaknya besarnya tubuh kita hampir sama deh,” kata Yayi

“Terimakasih banyak Yayi, kamu sangat baik, keluarga kamu juga baik, sahabat-sahabat kamu baik. Aku menemukan orang-orang baik, dan itu membuat aku terharu. Kalianlah keluarga aku, bukan Mama.”

Yayi meremas tangan Susan.

“Sudah, kamu jangan memikirkan apa-apa, kamu harus istirahat.

Dan ketika pagi harinya, dengan heran Susan melihat Yayi menungguinya dengan tidur di kamarnya semalaman. Air mata haru menitik, dan itu membuatnya yakin bahwa ketenangan akan didapat dari hati yang baik dan mulia.

***

“Siapa ya kira-kira pelaku penyerangan itu?” tanya Tikno kepada Adit.

“Belum tahu Pak, polisi sedang mengusutnya.”

“Ada nggak.. siapa tuh.. anaknya Lusi yang berandal itu..mm... siapa namanya, Bapak lupa?”

“Anjas? Sepertinya nggak ada Pak, kalau Anjas, masa menyerang adiknya sendiri?”

“Iya juga sih.”

“Mungkin anak-anak yang sedang mabuk Pak. Kalau orang lagi mabuk kan kelakuannya tidak terkendali?”

“Untunglah Liando segera datang dan menghajar mereka.”

“Dan untung juga Adit tidak ada disana waktu itu. Kalau ada, pasti Adit habisi semuanya.”

“Adit, anak Bapak kan sudah berkali-kali Bapak peringatkan, bahwa mengumbar kemarahan itu tidak baik.”

“Bagaimana kalau kita diserang?”

“Bisa mempertahankan diri itu sudah cukup. Bapak lihat kamu itu suka sekali menghajar orang.”

Adit tertawa.

“Bapak bisa aja, itu kan hanya kata-kata Adit saja. Sebenarnya juga tidak kok.”

“Tapi suaramu itu lho le, Bapak sampai merinding.”

“Habisnya, Bapak itu lemah lembut seperti Ibu.”

“Nggak juga, kalau Bapak lemah lembut ya kamu dan adikmu tidak akan lahir.”

“Kok gitu Pak?”

“Lha yang lemah lembut itu kan perempuan. Kalau laki-laki gemulai, mana bisa suka sama perempuan?”

Adit tertawa keras sekali.

“Adiit!” tegur Tikno sambil tersenyum.

“Habis Bapak lucu sekali,” kata Adit sambil masih tergelak.

“Ada apa ini, para lelaki tertawa terbahak-bahak?” tanya Surti sambil membawa nampan berisi teh hangat.

“Adit itu lho Bu.”

“Bukan Bu, Bapak yang lucu..”

“Lho, sejak kapan Bapak pintar melucu?”

“Itu lho Bu, masa Bapak ini dibilang lemah lembut, terus Bapak bilang, kalau Bapak lemah lembut nggak bakalan ada Adit dan Dayu, ya kan?”

“Adit bilang lemah lembut, Bapak menggantinya dengan gemulai... beda dong,” bela Adit.

“Kalian ini kalau sudah kumpul ramenya nggak karuan. Oh ya, bagaimana keadaan Naya dan Susan?”

“Ya harus dirawat Bu, kata dokter keduanya gegar otak ringan, kepalanya terantuk trotoar. Tapi tidak apa-apa kok. Nanti Adit mau kesana lagi..”

“Jadi Naya itu sekarang dekat sama Susan?”

“Tampaknya begitu Pak, kan Susan bekerja di kantornya Pak Indra? Lalu mereka jadi dekat deh.”

“Tidak apa-apa sih, asalkan Mamanya Susan tidak membuat keributan saja. Dia itu kan orang aneh.”

“Susan melarang kita memberi tahu Mamanya.”

“Kok gitu?”

“Katanya Mamanya tidak akan perduli, gitu.”

“Kasihan anak itu. Bu Indra juga pernah cerita kalau Susan sebenarnya baik. Dia suka makan siang di rumah Bu Indra lho.”

“Semoga semuanya baik-baik saja. Cinta kan tidak pernah mengenal dia itu siapa?”

“Benar. Saya mau ke rumah sakit dulu ya Pak, Bu.”

“Tunggu, Bapak juga mau ikut, aku bonceng kamu saja, bisakah?”

“Bisa Pak, ayolah, Adit tungguin., Ibu enggak?”

“Ibu besok saja, kan Ibu harus belanja untuk masak besok pagi.”

“Ya sudah, Adit sama Bapak saja.”

“Kamu nggak sama Yayi?”

“Yayi semalaman tidur di rumah sakit Bu, kasihan katanya, Susan nggak ada yang menemani.”

“Owalah, syukurlah, anak-anak baik, tidak keberatan saling menolong. Ibu suka itu.”

***

Tikno  berboncengan dengan Adit menuju rumah sakit.

“Jangan ngebut le, pelan saja,” pesan Tikno.

“Iya Bapak, Adit tahu. Eh, tapi di perempatan itu berhenti sebentar ya.”

“Ada apa?”

“Ada Kakek penjual koran, Adit mau beli.”

“Ooh, Kakek yang suka menolong kamu itu? Baiklah.”

Adit menghentikan motornya. Ia turun menghampiri Kakek penjual koran, lalu mengulurkan uang limapuluh ribuan.

“Beli satu kakek, tapi tidak usah kembaliannya,” kata Adit.

Kakek tua itu menggelengkan kepalanya, mengembalikan uang yang diberikan Adit.

“Tolong Kakek, terimalah.”

“Jangan..” lalu Kakek itu meninggalkan Adit.

“Selalu begitu,” gumam Adit.

Tiba-tiba Tikno mendekat.

“Bagaimana? Ada uangnya?” tanya Tikno.

“Kakek itu tak mau menerimanya Pak, ini, uangnya dikembalikan.”

Tikno mengambil uang itu, lalu berjalan mendekati sang kakek yang sudah siap menaiki motornya.

“Pak.. sebentar pak.”

Kakek tua itu menatap Tikno.

“Tolong terimalah, agar anak saya tidak kecewa.”

Tikno memasukkan uang itu ke saku si Kakek. Tapi ketika menatap wajah Kakek itu, Tikno mengingat sesuatu.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER