Wednesday, October 7, 2020

Bagai Rembulan 21

BAGAI REMBULAN 21
By: Tien Kumalasari

“Pak, sebentar pak...” kata Tikno..

Tapi Kakek tua itu malah menstarter sepeda motor bututnya.

“Bukankah....”

Dan motor butut itu melaju meninggalkan Tikno dan Adit yang bengong seperti sapi ompong.

Tikno menghela nafas.

“Bapak kenal dia?” tanya Adit.

“Kenal? Tidak... tidak kenal...”

“Tadi Bapak mau bicara apa?”

“Bukan apa-apa.. hanya... ingin ngomong apalah gitu... tapi kok dia kabur ya?”

“Dia orang aneh. Tak pernah banyak bicara. Ketika kita mau bicara banyak dia pasti kebur. Tapi kalau melihat dia, Adit pasti membeli korannya. Tapi ya itu Pak, bayarnya selalu harus dipaksa, awalnya menolak keras.”

“Ya sudah... ayo... semoga dilain kesempatan bisa berbincang.”

Adit mengambil motornya dan melanjutkan perjalanan.

Namun Tikno tak habis pikir, bayangan laki-laki yang baru saja dilihatnya, membuatnya merasa bahwa dia seperti terus mengikuti keluarganya. Mungkin setelah dipenjara dia kemudian memilih tinggal disini, beralas bumi beratap langit, seperti pernah diceritakan anaknya. Dan itu hanyalah karena Adit. Tikno masih ingat, ketika laki-laki itu buron, dia berusaha menggendong Adit yang masih bayi, hanya ingin menggendongnya, dan itu membawanya kembali ke penjara, dengan luka tembak di kakinya, serta membuatnya tak bisa berjalan tegak kecuali dengan tongkat penopang. Tiba-tiba ada rasa iba dihati Tikno. Laki-laki itu benar, dulu dikenalnya dengan nama Sardiman, penjahat dan pemerkosa, tapi setelah mengetahui hasil perkosaan itu menjadi benih,  janin yang dirindukannya karena selamanya tak bisa memiliki anak, maka timbul keinginan untuk memilikinya. Kalau tidak ya menyentuhnya, menggendongnya, dan itupun tak berhasil. Ia berkelana dan terus mengawasi Adit bayi sampai dewasa, tumbuh gagah dan pintar, tampan dan mempesona, hati Sardiman bagai teriris.

“Orang itu aneh, hanya ingin menyentuh tangan Adit, lalu mengelusnya perlahan, meremasnya seperti ingin merengkuhnya,” kata Adit ketika itu.

Dan itulah... hanya itu yang bisa dilakukan Sardiman, tak mungkin memilikinya, walau benar dia itu tumbuh karena tetesan benihnya. Walau benar, darahnya mengalir ditubuh laki-laki ganteng nan menawan itu. Kebanggan itu ditelan Sardiman, dibenamkannya dalam angan dan mimpinya yang paling dalam. Puas hanya memandanginya, menatapnya penuh cinta, menatapnya dengan rasa pilu karena ada dosa yang menyelimuti tumbuhnya anak itu.

Tikno masih tetap duduk di boncengan ketika Adit sudah menghentikan motornya di parkiran.

“Bapak, kita sudah sampai,” tegur Adit.

“Oh... eh... apa? Oh... sudah sampai ya?” katanya sambil melompat turun.

“Bapak memikirkan apa? Masih memikirkan Bapak tua itu tadi?”

 Tikno tersenyum..

“Tidak... ada-ada saja.”

***

Susan masih tergolek di ranjang. Sudah dua hari dia dirawat, dan memang benar bahwa tak satupun keluarganya menjenguknya. Mamanya, Kakaknya... tidak. Susan benar-benar merasa sendirian. Hanya keluarga Indra dan sahabat-sahabatnya yang menengoknya, seperti pagi ini, Tikno datang bersama Adit.

“Nak Susan, saya Tikno, Bapaknya Adit dan Dayu...” kata Tikno lembut.

“Ya Tuhan... ya Tuhan... ini keluarga yang Mama bilang bekas pembantu, begitu santun, begitu baik mau menjenguknya walau nggak pernah mengenal sebelumnya. Laki-laki gagah yang punya ucapan lembut dan menenangkan, orang yang selalu direndahkan Mama. Ampuni aku ya Tuhan, aku pernah terhanyut oleh kata-kata Mama, merendahkan martabat seseorang karena derajatnya yang aku anggap rendah, dan sekarang begitu baik, begitu mulia,” rintih Susan dalam hati.

 Susan merasa telah memasuki sebuah dunia yang lain, dunia penuh kasih sayang diantara sesama, dunia yang begitu penuh damai dan menenangkan. Susan merasa bahwa dia telah melewati jalan gelap dan sesat. Sekarang semuanya menjadi benderang. Maka titiklah air matanya. Air mata sesal, air mata syukur, air mata bahagia yang tak ternilai.

“Nak Susan, ada apa?” tanya Tikno lagi.

“Maafkanlah saya... maaf ya Pak..”

“Lho... kok tiba-tiba minta maaf... tidak ada yang salah, kami ini ikut prihatin atas kejadian yang menimpa Nak Susan dan Mas Naya.”

“Saya merasa banyak salah... merasa rendah diantara orang-orang baik,” katanya sambl mengusap air matanya.

“Jangan berpikir yang bukan-bukan. Kita semua sahabat. Sakit dan bahagia akan kita rasakan bersama.” Kata Adit.

“Maafkan saya ya Pak, maaf Adit..”

“Tidak ada yang perlu dimaafkan, sudahlah, lupakan semua yang Nak Susan anggap sebagai hal yang kurang baik. Sekarang Nak Susan berada diantara keluarga yang saling menyayangi.”

“Terimakasih banyak...” hanya itu yang diucapkan, karena tenggelam dalam tangisan yang tak mampu dibendungnya.

“Lho, Mbak Susan ada apa?” tiba-tiba Yayi muncul dan memeluknya, dan itu membuat tangis Susan semakin keras.

“Ada apa ini?”

“Tidak apa-apa Yayi, aku terharu... kalian begitu baik sama aku... Mamaku jahat sama kalian...”

“Heiiiii... sudah, jangan dipikirkan... kamu istirahat saja supaya segera sembuh.” Kata Yayi.

“Ya sudah, saya ke Naya dulu ya,” kata Adit sambil mengajak Bapaknya.

“Iya Mas... terimakasih Pak Tikno.” Kata Yayi.

Begitu mengharu biru, ketika seseorang menyadari kesalahannya, ketika seseorang bisa melihat kebaikan diantara kejahatan.

“Aku ingin melihat Naya,” akhirnya Susan merasa lebih tenang.

“Kamu belum boleh bangun, Mas Naya baik-baik saja.”

***

“Mas Naya....” panggilan itu membuat mata Naya terbuka. Seorang gadis cantik berdiri tersenyum disampingnya. Naya mengerjapkan matanya. Ia pernah sangat menyukai gadis ini,  bahkan merindukannya. Tapi Naya biarpun pendiam, dia  tidak cengeng. Kanyataan bahwa gadis ini mencintai laki-laki lain, membuatnya perlahan membalut kekecewaannya. Sekarang gadis itu tersenyum disampingnya. Senyum yang selalu membuat dadanya bergetar, senyum yang membuatnya miris karena dia ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi tidak. Hari-hari yang menggilasnya telah menyurutkan air bah yang hampir membenamkannya dalam khayal tak berujung.

“Mas Naya...” Dayu memanggilnya lagi karena Naya tanpa menjawab hanya menatapnya tak berkedip.

“Dayu.. kamu sama siapa?”

“Sendiri, tapi nanti Liando akan kemari saat makan siang.”

“Sudah kuduga,” desis Naya lirih, tapi kemudian terkejut dengan desisnya sendiri.

“Apa?”

“Pasti Liando akan menjemput kamu kan?”

“Ya, ia harus selalu datang untuk melihat keadaan Mas Naya dan juga Mbak Susan.”

“Bagaimana keadaan Susan?”

“Sudah baik,”

“Dia lebih parah dari aku.”

“Benar, tapi sudah lebih baik.”

“Nanti aku mau melihatnya.”

“Tapi kan mas Naya masih diinfus?”

“Besok aku sudah boleh pulang.”

“Kalau begitu, nanti saja kalau infusnya sudah dilepas.”

Naya mengangguk.

“Aku membawa makanan dari Ibu. Mas Naya mau ya?”

“Apa tuh ?”

“Ini bubur mutiara dan ketan hitam. Dicoba ya?”

“Tampaknya enak.”

“Biar aku suapin ya? Sudah aku siapkan semuanya, tunggu ya...” kata Dayu yang kemudian menyibukkan diri menyendokkan bubur kedalam mangkuk yang sudah disiapkan, lalu kembali mendekati Naya, dan siap menyuapkannya.

“Biar aku sendiri...”

“Jangan, biar aku suapin, nanti kalau makan sendiri bisa berlepotan kemana-mana,” kata Dayu sambil nekat menyuapkan bubur ke mulut Naya.

Naya mengenyam bubur itu, dan mencium aroma wangi rambut Dayu ketika agak menunduk karena menyuapinya.

Naya menghela nafas.

“Apa aku sudah gila? Bukankah aku ingin rasa itu terkubur bersama hari yang kulewati?” batin Naya sambil mengumpat dirinya sendiri.

Dayu yang tak mengerti apa-apa menyuapinya dengan telaten, sampai bubur dimangkuk bersih ludes.

***

“Hallow.. Susan..”

Susan membuka matanya. Terkejut melihat pria ganteng berdiri disampingnya, menatapnya lembut dan tersenyum begitu menawan. Pria sombong dan sok ganteng sedunia, yang ternyata memiliki hati mulia.

Susan membalas senyuman itu.

“Terimakasih banyak,” ucapnya pelan.

“Kamu sudah mengatakannya berkali-kali..” kata Liando.

“Oh... benarkah?”

“Bagaimana keadaanmu?”

“Baik, aku ingin pulang...”

“Aku sudah bicara dengan dokter, dan kamu belum boleh pulang. Bukankah kamu masih merasa pusing dan mual?”

“Sedikit...”

“Yang sedikit itu terkadang masih mengkhawatirkan. Sebaiknya jangan bandel dan ikuti nasehat dokter.”

“Rupanya dia juga seperti bapak-bapak yang memberi nasehat kepada anaknya,” batin Susan.

“Tapi Naya besok mungkin boleh pulang.”

“Ah, syukurlah...kasihan dia...”

“Mengapa kasihan sementara kamu sendiri juga sakit?”

“Dia mana punya musuh? Tiba-tiba diserang orang.. aduuh... pasti sakit sekali... aku bisa membayangkannya karena aku juga merasakan sakit.”

“Kamu nekat, diantara orang sedang menyerang Naya, kamu menubruknya..”

“Ya Tuhan, kalau sampai itu terjadi...  entah bagaimana.”

“Kamu sangat menyayangi dia?”

“Sangat,” kata Susan berterus terang..

Liando mengangguk-angguk.

“Semoga kalian berbahagia.”

“Terimakasih...”

“Apa kamu masih membenci aku?” Liando tersenyum lucu..

Susan juga tersenyum..

“Dulu aku mengata-ngatai kamu.. sombong... sok ganteng sedunia...” lalu Susan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya, untuk menahan tawanya.

“Aku dengar kamu bilang begitu.. di rumah makan itu ketika bersama Umi.”

“Ternyata kamu baik... maaf ya...”

“Aku suka kamu dengan enteng berterus terang...  aku ingin memanggil kamu waktu itu juga, tapi kamu menolak.”

“Oh.. itu.. ogah ah, aku lagi benci-bencinya sama kamu. Kalau sekarang sih...  aku juga ogah... takut jatuh cinta sama kamu.”

Dan Liando terbahak. Benar-benar Susan sangat menyenangkan. Begitu ceplas-ceplos, mengatakan apa yang ada didalam hatinya, tanpa tedeng aling-aling.

Seharusnya dia tak membenci Susan, dia anak baik. Lusi yang jahat.

Tawa itu hilang ketika tiba-tiba Dayu muncul disitu.

“Hm...  asyiknya... aku mengganggu ya?”

“Tidak, ya ampun Dayu, apa kamu cemburu? Dia bukan type aku...”

Dayu tertawa, Liando merangkul pundaknya, takut Dayu marah. Tapi Dayu tidak marah, tersenyum manis sambil mendekati Susan.

“Apa kabar? Sudah lebih baikan?”

“Sudah... ini... pacar kamu lucu... perutku sampai sakit.”

“Oh, sayang... kalau begitu, makan bubur yuk, ini Ibu aku yang membuat. Satu rantang tadi buat Mas Naya, aku sudah menyuapinya sampai habis semangkok. Sekarang giliran kamu.”

“Bubur apa tuh?”

“Ini Ibu aku yang buat, bubur mutiara dan ketan hitam.”

“Wau... enak, aku mau...”

“Aku suapin ya...”

“Nggak, aku makan sendiri saja...”

“Jangan, biar aku saja. Eh, Liando, kamu ditungguin Mas Naya lho, sudah sana, jangan-jangan pengin disuapin juga kamu.”

“Iya aku pengin, tapi di rumah. Ogah kalau disini, malu dilihatin Susan.”

“Sudah... sanaa!,” Dayu berteriak. Liando pergi dengan tertawa.

“Dayu, kamu tahu nggak, dulu aku benci sekali sama dia.”

“Iya, aku sudah tahu, dia sombong, sok ganteng sedunia kan?”

Susan tertawa lagi.

“Tapi ternyata dia baik, semoga kalian bahagia ya.”

“Terimakasih Susan.. ya sudah, ayo buburnya dimakan. Tadi Mas Naya semangkok sebesar ini habis, jadi kamu juga harus habis.”

***

Indra mengurus kepulangan Naya, dan membayar semua biaya, termasuk biaya untuk Susan. Ia agak kesal terhadap orangtuanya karena sama sekali tak peduli anaknya dirawat di rumah sakit. Padahal sakitnya lebih parah daripada Naya.

“Ada ya, orangtua yang tak peduli pada anaknya.”

“Mungkin tidak tahu kalau Susan sakit Mas.” Jawab Seruni.

“Tidak pulang sudah tiga hari, dan dia tidak berusaha menanyakannya? Ke kantor misalnya. Kan dia tahu Susan bekarja dimana.” Sahut Indra kesal.

“Iya juga sih. Masa sih marah karena gagalnya perjodohan antara Susan dan Liando lalu membuat Lusi juga kesal sama anaknya?”

“Hanya ada satu. Dia manusia yang luar biasa, mahluk Tuhan yang berbeda dengan mahluk lainnya.”

“Ya sudah Mas, jangan dilanjutkan kebencian itu. Katanya Mas sudah menganggap Susan sebagai keluarga kita, ya sudah, dia keluarga kita, bukan keluarganya Lusi.”

“Kamu benar sayang, kok aku dari tadi marah-marah terus sih.”

“Makanya, sudah semakin tua harus lebih sabar.”

“Iya, aku tahu.”

“Sebentar lagi anak-anak wisuda lho Mas, syukurlah Naya tak apa-apa.”

“Iya benar, Naya dan Adit. Anak Mas Tikno itu juga hebat.”

“Keduanya hebat Mas, aku kagum dengan cara Mas Tikno dan Surti mendidiknya. Orang lain merendahkan dia, tapi nyatanya mereka bisa membuat anak mereka berhasil.”

“Memang benar. Orang terpandang juga belum tentu bisa membuat anaknya sukses. Oh iya Seruni, aku sedang berpikir, Naya dan Adit kan sudah lulus, nanti setelah wisuda bagaimana kalau kita suruh belajar memegang perusahaan kita?”

“Naya dan Adit?”

“Ya, mereka kan anak-anak luar biasa. Bapak sudah tua, pengin istirahat nih.”

“Terserah Mas saja, tapi kan Mas juga masih harus menuntunnya?”

“Iya, lagian aku juga belum bertanya kepada mereka, akan mau atau tidak.”

“Nanti saja kalau sudah wisuda kita bicarakan.”

***

Diantara keluarga Tikno dan Indra yang sedang bahagia karena anak-anak mereka hampir diwisuda, ada keluarga lain yang tak pernah merasa tenang dalam hidupnya. Hari-hari yang dilalui hanyalah rasa ingin membalas dendam dan ingin mencelakakan orang yang dianggap menyakitinya.

Siang itu Lusi berada di rumah, memanggil Tomy dan kawan-kawannya yang sudah dikeluarkannya dari tahanan.

Tapi Lusi mencak-mencak tidak karuan karena mereka telah salah sasaran.

“Kalian itu ya, tahu nggak kalau aku merasa percuma telah membayar mahal, mengeluarkan duit banyak, untuk pekerjaan kalian yang mengecewakan?”

“Lain kali kalau mengecewakan, suruh mereka mengembalikan separuh uang yang sudah mereka terima,” sambung Anjas sambil bertolak pinggang berdiri diantara teman-temannya.

“Apa sebaiknya begitu ya?” kata Lusi.

“Maaf Bu, itu bukan sepenuhnya kesalahan kami. Kami sudah berhasil membuat laki-laki itu roboh bukan?”

“Benar, tapi kalian juga menghantam anak gadisku sampai pingsan.”

“Itu salahnya Susan Bu, tiba-tiba saja dia menubruk laki-laki itu, ketika saya sedang mau menghajarnya kembali.”

“O.. jadi semua ini adalah perbuatan Mama?” tiba-tiba sebuah suara melengking masuk ke dalam rumah. Susan mendengar semua percakapan itu.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER