BAGAI REMBULAN 22
By: Tien Kumalasari
“Susan? Kemana saja kamu?”
“O... Mama pura-pura tidak tahu? Atau lupa? Bukankah begundal-begundal ini yang telah mencelakai Susan dan teman Susan? Dan Mama masih bertanya aku kemana?”
“Susan, kamu selalu kurangajar kepada Mama kamu ya?”
“Mama selalu melakukan perbuatan yang tidak terpuji. Rasa hormat yang bagaimana yang Mama butuhkan? Bukankah kehormatan itu tercipta dari perilaku kita sendiri?.”
“Omong kosong! Aku tidak butuh kuliahmu!”
“Aku juga sudah bosan hidup dilingkungan kotor seperti ini.” Kata Susan langsung masuk ke dalam kamarnya.
“Dia benar-benar kurangajar Ma. Harus diberi pelajaran.”
“Itu pasti gara-gara bergaul dengan orang rendahan yang tidak sadar akan kedudukannya. Mereka merusak adik kamu.”
“Kalau begitu jangan lagi Susan boleh ke luar rumah.”
“Haa, kamu benar Anjas. Ia harus tetap berada di rumah.”
“Tak lama setelah itu Susan keluar dari kamar dengan menarik sebuah kopor, langsung ke arah depan.
“Hee... mau kemana kamu?”
“Maaf Mama, aku tak tahan lagi, ijinkan aku hidup sendiri.”
“Apa maksudmu hidup sendiri?”
“Aku akan meninggalkan rumah ini, kalau aku kangen Mama, aku akan datang kemari,” kata Susan sambil terus melangkah.
“Halangi dia!!” perintah Lusi kepada Tomy dan kawan-kawannya.
Dan mereka langsung menghalang di depan Susan sehingga langkah Susan berhenti.
“Minggir!! Berandal-berandal tak tahu sopan santun.”
“Maaf Mbak, saya harus menghalangi Mbak. Ini perintah Bu Lusi.”
Susan terus melangkah, tapi dua orang dari mereka menghadang di depan.
“Minggir tidak?” hardik Susan.
Dan tanpa disuruh mereka sudah menarik tubuh Susan untuk dibawa kedalam. Susan berteriak marah.
“Apa ini? Lepaskan! Lepaskaaaan!” Susan berteriak-teriak, tapi apa dayanya menghadapi orang-orang kuat teman-teman Anjas?
“Langsung masuk kan kedalam kamar dan kunci dari luar. Anjas! Cepaatt!” perintah Lusi.
“Lepaaas... lepaskaaaan...” Susan terus berteriak dan meronta, tapi dibantu Anjas mereka bisa melemparkan Susan ke dalam kamar, lalu menguncinya dari luar.
“Tolooong... Mama tega ya sama aku... buka Maaa... tolong biarkan aku pergi Mama... toloooong!”
Anjas menarik Mamanya menjauh dari pintu kamar itu. Raungan Susan sedikit membuatnya tak tega, tapi Anjas membawanya kedepan.
Susan membiarkan tubuhnya terserak dilantai. Agak terasa sakit bahunya yang baru saja sembuh ketika kembali terantuk dilantai itu. Susan merangkak kearah pintu, terus menggedor-gedor pintu dan memanggil-manggil Mamanya.
“Mama... tolong Ma.. tega sekali Mama sama Susan Ma...Mama.. biarkan aku pergi kalau Mama tak sayang sama Susan.. biarkan aku pergi Mama...”
Susan terus berteriak-teriak sampai suaranya serak.. dan tubuhnya terasa lemas. Ia membiarkan tubuhnya meringkuk di lantai, menangisi nasibnya yang buruk.
“Mengapa aku Mama lahirkan kalau akhirnya Mama siksa aku seperti ini Mama? Bukankah aku tak minta? Bukankah seorang ibu harus menyayangi anak kandungnya? Mengapa sayang itu tak pernah aku rasakan Ma? Setiap hari hanya kata kasar dan bentakan yang aku dengar, setiap hari hanya hardikan dan caci maki yang Mama lontarkan, entah kepada siapa. Mana ketenangan itu Ma, mana naungan teduh yang sebenarnya sangat aku dambakan Mama? Aku rindu didekap olehmu Mama, aku rindu mendengar bisikan kasihmu. Mamaa.. aku ingin mengadu kepada Mama ketika hatiku sedih, ketika hatiku resah, tapi justru orang lain yang menopang jiwaku ketika lunglai. Mana Mama yang melahirkan aku.. mana Mamaku... Mamaaa...” rintihan yang semakin lirih itu terdengar sangat memilukan. Tapi siapa yang mendengarnya?
Diluar sangat sepi sejak beberapa jam yang lalu. Mungkin Lusi dan Anjas pergi entah kemana.
Susan merasa sangat letih. Letih lahir dan batinnya. Ia masih meringkuk di lantai ketika matanya terpejam dan tubuhnya tak bergerak. Mungkin ketiduran, mungkin juga pingsan.
***
Pagi itu Indra masuk kedalam ruangannya, tapi tak melihat Susan disana. Apa dia kembali sakit? Belum merasa sehat karenanya belum siap masuk kerja?
“Mungkin saja dia belum merasa sehat benar. Biar Naya saja aku panggil kemari, sekalian belajar sedikit-sedikit.”
“Hallo.. Naya..” jawab Naya dari seberang.
“Ya Bapak..”
“Kamu lagi sibuk ?”
“Sibuk ngapain Bapak, Naya kan pengangguran..” canda Naya.
“Hei.. pengangguran.. coba ke kantor Bapak, butuh bantuan nih..” kata Indra sambil tertawa.
“Baiklah Bapak,” kata Naya bersemangat. Bukankah nanti dikantor bisa ketemu Susan? Pikir Naya yang segera berganti baju dan bepamit pada Ibunya.
“Ibu, Naya pergi dulu ya..”
“Ke kantor...”
“Waah.. gayamu le.. “ canda Seruni.
“Iya Bu, ini mau kekantor Bapak, barusan Bapak memanggil agar Naya kesana.”
“Hm, pantesan bersemangat... mau ketemu sih..”
“Ah, Ibu..”
Seruni tertawa.
“Ya sudah, berangkatlah Nak, hati-hati ya.”
***
Tapi sesampai di kantor, mata Naya yang mencari-cari tak menemukan yang dicarinya. Kemana dia? Meja kerjanya juga bersih.
“Sudahlah, nggak usah mencari-cari Susan.. dia belum masuk hari ini,” kata Indra yang tahu bahwa anaknya sedang mengamati meja kerja Susan.
“Oh, apakah dia masih sakit?”
“Mungkin saja.. ya biarlah nggak apa-apa, kan baru kemarin pulang dari rumah sakit.”
“Bapak sudah menelponnya?”
“Belum, nggak enak rasanya, nanti dikira ingin agar dia cepat masuk. Maksud Bapak biarlah dia beristirahat saja dulu dalam satu dua hari ini.”
“Oh, begitu ya Pak?”
Naya sebenarnya ingin menelpon, tapi mendengar kata Bapaknya, jadi ikutan sungkan, nanti dikira pengin dia segera kerja. Tapi kalau Naya kan nggak mungkin menelpon karena urusan pekerjaan. Lalu Naya mengambil ponselnya, dan berusaha menelpon. Tapi ponsel Susan tidak aktif.
“Tidak aktif Pak..”
“Kamu menelpon Susan?”
Naya mengangguk.
“Ponselnya nggak aktif.”
“Mungkin dia lagi istirahat, sudahlah, jangan diganggu.”
“Baik Bapak. Sekarang apa yang harus Naya kerjakan?”
“Sini, duduk dekat Bapak sini, Bapak ingin kamu meneliti berkas-berkas ini, kalau ada yang salah kasih tahu Bapak.”
“Baiklah Bapak.”
***
Namun sampai sore hari Naya mencoba lagi menelpon, ponsel itu nggak juga aktif.
“Masa sih, istirahat nggak ada bangun-bangunnya? Apakah sakitnya parah?” gumam Naya sambil mengendarai mobilnya pulang.
Perasaan Naya mulai tak enak. Kemudian dengan nekat ia memutar mobilnya, menuju ke rumah Susan, setelah sebelumnya membaritahu Bapaknya tentang kepergiannya.
Lusi membuka pintu kamar Susan dengan membawa nasi bungkus yang sudah ditempatkan di piring, dan juga minuman. Seharian dia pergi dan tak perduli pada anak gadisnya.
Batinnya terkesiap ketika melihat Susan meringkuk dilantai. Bagaimanapun Susan adalah anaknya, perasaan tak enak mulai menggayuti perasaan Lusi.
“Susan.. Susan..” Lusi menggoyang-goyang tubuh Susan, yang dingin seperti es.
“Susan?” Lusi meletakkan jari di hidung Susan..
“Aah, masih bernafas. Anjaaaas!! Anjaaaas...”
Tapi yang dipanggil tak menyahut. Lusi tidak tahu bahwa Anjas pergi beberapa saat sebelum Mamanya pulang.
“Aduuh,... bagaimana ini. Susaaan.. bangun Nak... bangun Susan..” tak urung Lusi panik melihat keadaan Susan. Dengan susah payah dia menarik tubuh Susan, mengangkatnya, dan menyeretnya keluar. Aduuh.. mobilnya diparkir agak jauh. Susan turun setelah meletakkan tubuh Susan begitu saja di lantai. Lalu dia membawa mobilnya agak dekat dengan tangga terasnya. Lalu dengan susah payah pula dia menyeret tubuh Susan, membawanya masuk ke mobil.
“Susan... Susan...” terus dipanggilnya nama Susan sambil memacu mobilnya kerumah sakit.
***
Dokter.. tolonglah, kenapa anak saya dokter?” tanya Lusi setelah dokter keluar dari ruang pemeriksaan.
“Anak ibu kritis.”
“Apa? Mati?”
“Kritis, bukan mati.. keadaannya parah. Tekanan darahnya sangat rendah, dan dia dehidrasi. Entah mengapa bisa seperti ini.”
“Lalu bagaimana dokter? Apakah anak saya bisa tertolong?”
“Kita tunggu saja bagaimana hasilnya. Dia belum sadar. “
“Dokter.. tolonglah...”
“Iya, pasti, itu sudah kewajiban kami, sabar dan berdo’a ya..” kata dokter sambil berlalu.
Lusi merangsek masuk kedalam ruang rawat. Dilihatnya Susan tergolek dengan wajah putih pucat, selang infus menghiasi lengannya.
“Susan, anakku.. maafkan Mama ya... bangunlah Susan... kamu jangan mati... jangan mati ya Susan.. jangan meninggalkan Mama.. Susan...”
“Ibu, silahkan Ibu menunggu diluar saja, agar pasien bisa lebih tenang. Ayolah Bu...“ kata perawat karena Lusi berbicara dan menangis sangat keras, serta mengganggu pasien di ruang ICU itu.
Lusi keluar dengan sesekali menoleh ke arah wajah nan pucat dan tampak tak berdaya.
“Ya Tuhan...” Lusi baru teringat untuk menyebut nama Tuhan, lalu menghempaskan tubuhnya dikursi.
“Anjaas... Anjaaas..” Lusi menelpon Anjas, tapi yang terdengar adalah suara gaduh. Anjas menjawab sambil tertawa-tawa, diiringi tawa kawan-kawannya.
“Ya ampun Anjaaaas... menjauhlah dari suara gaduh itu, dan bicaralah dengan. Mama.”
Tapi Anjas tak menjawab, malah mematikan ponselnya. Lusi menitikkan air mata. Sekarang dia merasa benar-benar sendirian.
“O... anakku... mengapa aku sampai lupa meninggalkan kamu selama dua hari di kamar? Ya Tuhan.. tolonglah Tuhan..” beberapa kali menyapa Tuhan.. bergetar hati Lusi. Dimana sebenarnya Tuhan yang dijeritkan hati Lusi? Ataukah karena merasa papa barulah dia mengingat yang namanya Tuhan?”
Tangisnya tak berhenti.. sepanjang penantiannya di ruang ICU itu.
***
Naya menghentikan mobilnya di depan rumah Susan, tak ada tanda-tanda bahwa rumah itu kosong. Agak berdebar Naya karena selama ini belum pernah masuk ke rumah Susan. Pintu depan tidak terkunci, sedikit terbuka. Naya naik ke teras, mendekati pintu.. mendorongnya perlahan.. sepi..
“Permisi...” sapanya. Tapi tak ada jawaban.
“Susan...”
Naya nekat masuk kedalam, ada sebuah kamar terbuka.. berdebar Naya melongok kedalam.. kosong, tapi ia melihat sebuah tas kecil terserak dilantai. Naya mengenalinya sebagai milik Susan.
“Kok tergeletak dilantai ya, dimana Susan?”
Lalu Naya menemukan sebuah kopor tergeletak didekat pintu depan.
Naya melangkah pelan masuk ke rumah, benar-benar tak ada siapa-siapa. Perasaan tak enak segera merayapi hati Naya. Ia keluar dari rumah Susan dan masuk kedalam mobilnya. Kembali dia menelpon Susan. Tapi ponsel Susan tetap tidak aktif.
“Pasti sesuatu telah terjadi.”
Hati Naya cemas sekali, ia memacu mobilnya pulang dan dengan gagap bercerita kepada Bapaknya bahwa ia menemukan hal aneh di rumah Susan, Tapi Susan tidak ditemukannya.
“Jangan-jangan Susan diculik.”
“Dirumah itu tak ada siapa-siapa, Naya melihat tas tangan Susan tergeletak di lantai kamar, dan sebuah kopor juga teronggok didekat pintu depan.”
“Jadi penasaran, ayo kita kesana.”
***
Anjas pulang ke rumah dengan sempoyongan. Tampaknya dia mabuk berat. Ketika masuk ke rumah dia berteriak-teriak.
“Mama... Mama dimana?”
Tak ada jawaban, Anjas menuju kamar Mamanya, terkunci, tapi kamar Susan terbuka. Anjas melongok kedalam.. Susan tak ada.
“Celaka, Susan melarikan diri?”
“Mamaaa....” Anjas kemudian menelpon Mamanya.
“Anjas?” jawab Mamanya dengan nada marah dari seberang.
“Mama... celaka Mama.. Susan melarikan diri, bagaimana bisa?”
“Dasar gila!”
“Aku tidak tahu Ma, baru saja aku masuk rumah yang tidak terkunci.”
“Sekarang kunci pintunya dan pergi kemari.”
“Kemana Ma?”
“Kamu tidak tahu, Susan ada di rumah sakit.”
“Di rumah sakit? Sakit apa lagi dia?”
“Sudah jangan banyak bertanya, Mama lagi bingung.”
“Anjas yang bingung Ma.”
“Sudah, kunci semua pintu dan pergi ke rumah sakit, Mama ada didepan ruang ICU.”
Anjas, menutup semua pintu, lalu melarikan mobilnya ke rumah sakit, dengan penuh tanda tanya didalam benaknya.
***
Dan tak lama setelah itulah maka Indra datang bersama Naya.
“Kok tertutup?” tanya Indra.
“Tadi Naya menutupnya, tapi sembarang saja, lalu Naya pergi. Takut kalau ada apa-apa lalu dikira Naya melakukan sesuatu.”
Indra turun dari mobil, diikuti Naya. Keduanya berjalan ke arah pintu. Tapi pintu itu terkunci.
“Terkunci tuh.. Kamu tadi benar masuk kemari atau ke rumah orang lain?”
“Ya ampun Bapak, masa sih Naya nggak tahu dimana rumahnya Susan?”
“Ternyata beda dengan yang kamu katakan. Tuh rumahnya terkunci.”
“Tadi tuh Naya sampai masuk kedalam Bapak, benar-benar ada yang aneh. Apa yang terjadi pada Susan ya? Jangan-jangan Susan diculik.”
“Aduh, bagaimana ya.. kalau kita lapor polisi, kok datanya nggak jelas. Ya sudah kita tunggu saja dulu, dan sesekali kamu coba menelponnya, barangkali dia bisa menjawabnya.”
“Pasti ponselnya ada didalam tasnya yang tergeletak dilantai itu.”
“Atau besok Bapak mau menemui Lusi saja. Barangkali Bapak bisa bicara.”
Indra dan Naya pulang, dengan rasa tak puas dihati Naya. Entah mengapa dia merasa bahwa Susan ada dalam bahaya.
***
“Sakit apa sih Ma?”
“Kamu tuh, ditelpon Mama malah ketawa-ketiwi sama teman-teman kamu.”
“Aku kira Mama cuma menyuruh Anjas cepat pulang.”
“Mama minta kamu membantu mengangkat tubuh Susan kedalam mobil. Dia pingsan didalam kamar, Mama lupa memberinya makan dan minum. Pergi seharian dari pagi.”
“Ya ampun... untung dia tidak mati.”
“Hampir mati!”
“Ya ampun ma..”
“Tadi perawat sudah mau memindahkannya ke kamar rawat.”
“Sudah sadar?”
“Sudah, kamu tunggu dulu disini. Aduh, mulut kamu bau minuman keras.”
“Mama... seperti nggak tahu saja.”
“Tunggu disini, Mama mau memastikan kamar yang bagus untuk adik kamu.”
Tapi walau sudah sadar Susan belum mau membuka mulutnya. Badannya masih lemah, tekanan darah masih terus dipantau. Lusi sedikit lega, setidaknya wajah Susan sudah tidak sepucat tadi.
***
Pagi itu Lusi sudah siap di mobil untuk pergi ke rumah sakit. Ia membawakan baju-baju ganti dan keperluan yang mungkin Susan butuhkan. Semalam dia pulang larut, karena tak bisa tidur di rumah sakit kendati harus menunggui anaknya yang sedang sakit.
“Anjas, kamu itu disuruh mengantar Mama ke rumah sakit supaya Mama punya teman, malah tidur terus di mobil.” Omel Lusi karena ternyata ia harus setir mobil sendiri.
“Nanti pulangnya biar Anjas Ma, ini masih ngantuk,” jawab Anjas sambil terus memejamkan matanya.
Sesampai di rumah sakit, Anjas belum mau turun. Lusi bergegas sendiri menuju ke ruangan dimana Susan dirawat. Ia membawa roti, minuman dan juga baju-baju Susan.
Perlahan dia membuka pintu
“Susan, kamu sudah bangun?” sapa Lusi dengan riang, senang karena semalam Susan bisa tidur nyenyak.
Tapi ketika sampai diranjang Susan, tak dilihatnya Susan disana. Selang infus tergantung tanpa tuan. Menetes cairannya membasahi lantai. Ada bercak darah juga disana.
“Susan?” Lusi berteriak.
Bersambung
No comments:
Post a Comment