Thursday, September 24, 2020

Stetoskop cinta sang dokter 22

Stetoskop Cinta Sang Dokter 22

Setelah menjalani perawatan selama empat hari, panca indra yang berada di wajah Pak Dokter perlahan mulai  terlihat simetris. Tekanan darah Beliau juga kembali ke posisi normal. Pak Dokter benar-benar memaksimalkan masa bedrest-nya untuk isitrahat total.

Dan selama mengurus Pak Dokter di rumah sakit, terpaksa Anggi sedikit terabaikan. Biasanya sekitar jam delapan pagi, kusempatkan diri  pulang untuk mengantar pakaian kotor dan mengambil yang bersih, serta demi menjenguk bayi mungil kami tentunya.  Si bungsu ini sekarang sudah total lepas ASI karena pabriknya sama sekali sudah tidak berproduksi. Setelah lewat waktu zuhur, aku kembali ke rumah sakit. 

Sementara Dhuha tetap setia mendampingi emak bapaknya tanpa pernah pulang. Lintang, Mentari, dan Maghrib selalu rutin berkunjung di jam besuk sore. Dan akhirnya setelah bedrest total selama enam hari di rumah sakit, kekasih hatiku sudah bisa melanjutkan istirahat di rumah.

Sekembalinya dari rumah sakit, Pak Dokter masih melanjutkan istirahatnya di rumah selama tiga hari, berlanjut dengan cuti selama enam hari kerja plus hari libur. Kondisi Beliau sudah jauh lebih baik dibanding saat hari pertama dirawat. Pak Dokter terlihat segar dan lebih cerah. Tak bisa dipungkiri, kondisinya ini juga dipengaruhi support yang diberikan anak-anak. Dhuha masih tetap tinggal di Semarang, sementara Lintang pun sudah tak sekelabu waktu yang lalu.

Suasana sarapan pagi di rumah kembali ramai dengan formasi lengkap. Biasanya setelah sarapan, Dhuha dengan senang hati mengantar Maghrib dan Mentari ke sekolah mereka masing-masing. Sementara Lintang membawa dirinya sendiri melaju di atas roda menuju kampus. 

Sehabis sarapan, Pak Dokter suka menghabiskan waktu dengan duduk di teras belakang, menikmati aneka tabulapot dan bunga yang menghiasi halaman  sambil bercengkrama dengan Anggi yang berada di stroller.

“Njenengan kapan siap dampingi saya jalan-jalan?” tanya Beliau dua hari setelah kepulangan dari rumah sakit. Saat itu aku sedang mengurus bunga-bunga yang terabaikan selama beberapa hari.

“Dok, Njenengan tu masih butuh istirahat dulu. Gak usah tergesa-gesa. Wong baru dua hari pulang. Nanti kecapekan travelling, Njenengan sakit lagi.”

“Saya udah sehat, kok. Udah segar.” Lelakiku masih memaksakan argumennya.

“Sabar tho, Doook,” ujarku kalem, “Dok, kalo kita travelling, anak-anak gimana?” lanjutku mengingatkan Beliau tentang Lintang dan Dhuha.

Pak Dokter tidak menjawab tanyaku, namun Beliau tak sempat merenung karena celoteh Anggi dengan bahasa planetnya mampu membuat Sang Bapak cukup terhibur. Si Bungsu yang kini usianya hampir mencapai sebelas bulan juga menjadi salah satu obat mujarab yang membantu kesembuhan Pak Dokter.

Kusudahi acara merapikan dan merawat tanaman, kemudian menuju keran di pojok halaman untuk mencuci tangan. Sementara Pak Dokter menggoda Anggi dengan bercilukba. Batita itu terkekeh setiap kali sang Bapak membuka tutup wajahnya dengan telapak tangan.

Kuhampiri Pak Dokter di teras, mendudukkan diri di sebelahnya.

“Anak-anak gimana, Dok?” Aku mengulangi pertanyaan yang tadi belum sempat terjawab.

“Gak pa-pa, ditinggal aja.”

“Njenengan yakin?” Aku meminta kepastian atas jawaban Beliau.

“Insyaa Allah yakin. Mereka bisa dipercaya.”

“Waktu kemarin di rumah sakit, Njenengan kok gak yakin dengan mereka?”

“Kemarin situasinya beda. Kalau sekarang suasananya udah mencair. Saya lihat keduanya udah lebih rileks.”

Mendengar jawaban Pak Dokter, rasanya ingin sekali aku menyinggung tentang keinginan Dhuha dan Lintang untuk menikah. Tapi ntah kenapa, keinginan tersebut terhalang oleh keraguan. Akhirnya kuputuskan untuk menunda dulu perbincangan masalah cinta kedua anak muda tersebut.

“Njenengan pengen travelling ke mana tho, Dok?” 

“Phi-phi Island,” jawab Beliau mantap. Sementara aku sedikit kaget dengan jawaban spontan Pak Dokter.

“Kalau saya boleh ngasih saran, pilih lokasi lain gimana, Dok?” Ntah kenapa aku tidak pernah tertarik untuk mengunjungi Negeri Gajah Putih tersebut. Bagiku pribadi, negeri tersebut terlalu banyak mempertontonkan kevulgaran.

“Njenengan pengennya ke mana?” Beliau malah melemparkan pilihan padaku.

“Kalau saya gak pengen jauh-jauh, yang penting refreshing, Njenengan bahagia, itu yang utama.”

“Kita umroh aja, yuk.” Pak Dokter mengajukan tawaran lain. 

Mendengar kalimat Beliau,  spontan aku mengurai tawa. Seolah memahami apa yang ada dalam pikiran istrinya, Pak Dokter ikut tergelak. Bahkan Anggi pun ikut larut terkekeh bersama emak bapaknya. Mungkin bayi kami mengira kalau kedua orang tuanya sedang mengajak dia bercanda. Dan tawa si bungsu membuat kami semakin geli.

“Tuh...Anggi sampe ikutan ngakak lihat emaknya GeeR. Bukan umrohnya Njenengan, ini umroh betulan,” ujar Beliau sambil tetap mengurai tawa.

“Mepet, Dok. Bahkan kalo ambil paket yang sembilan haripun, waktunya gak cukup,” responku di sela-sela tawa yang tersisa, “Jatah izin sakit ditambah cuti dan hari libur njenengan tu cuma sembilan hari, belum persiapan ini itu,” lanjutku.

“Kalau Njenengan pengen umroh, nanti kita jadwalkan lagi dengan mateng.” Aku kembali membujuk Beliau, walau sebenarnya aku sangat tertarik dengan tawaran Beliau ini.

Terbersit di pikiran bahwa dengan menjalankan ibadah di tanah suci, mungkin bisa membuka pintu hati Pak Dokter untuk mengikhlaskan Lintang dan Dhuha. Namun karena waktu yang sangat tidak memungkinkan, aku tidak ingin memaksakan diri.

“Atau ke Sabang aja yuk. Nanti singgah ke rumah Pakdhenya Edel.” Pilihan Beliau dengan tujuan kota di kilometer nol Indonesia itu cukup membuatku tergoda.

“Nah...kalau ini saya setuju pake banget.” Langsung kurespon tawaran terakhir Pak Dokter dengan riang gembira.

@@@@@

Akhirnya travelling yang semula direncanakan hanya untuk kami berdua, terpaksa dikaji ulang karena aku tidak tega untuk kembali meninggalkan Anggi di rumah. Pada saat Pak Dokter dirawat, aku harus menguatkan diri dan mengabaikan perasaan tak tega karena kondisinya kepepet. 

Tapi ketika emak dan bapak ingin bersenang-senang sementara sang bayi dibiarkan di bawah asuhan ART selama beberapa hari, naluri keibuanku berontak. Kubujuk Pak Dokter dengan seksama agar bersedia mengajak si bungsu.

Ternyata perasaan Beliau juga sama, ada rasa berat menggelayuti diri membayangkan bayi mungil kami kembali terabaikan.

Setelah masalah Anggi selesai, muncul kajian baru lagi. Bagaimana aku dan Pak Dokter bisa menikmati liburan dengan santai kalau harus disambi mengasuh bayi berusia sebelas bulan yang sedang aktif bergerak? 

Akhirnya Pak Dokter memutuskan untuk mengajak Mbak Kas agar bisa membantu kami menjaga Anggi. Kemudian, kekasih halalku kembali berubah pikiran. Ternyata Beliau tidak mantap meninggalkan Dhuha dan Lintang tanpa pengawasan. Dan  sudah bisa ditebak, personil rombongan kami bertambah seorang lagi, Dhuha.

Mengetahui kalau Dhuha, Anggi, dan Mbak Kas ikut berlibur ke Sabang, ketiga anak lain mengajukan protes. Mereka menuntut untuk ikut serta dalam rencana travelling ini.

Belahan Jiwaku kembali bingung. Keluarga Pak Dokter memang keluarga besar yang solid dan mengutamakan kebersamaan. Jadi memang tidak adil rasanya kalau pergi berlibur hanya membawa sebagian personil saja, sementara sebagian yang lain ditinggal.

Sebenarnya, bukan masalah besar bagi anak-anak seandainya hanya kami berdua yang pergi. Mereka cukup mengerti kalau perjalanan ini dimaksud sebagai rangkaian dari proses penyembuhan sang bapak. Tapi cerita menjadi lain ketika jumlah peserta bertambah satu persatu namun tetap menyisakan sebagian yang lain.

Inilah resikonya kalau sudah  tua tapi masih punya bayi. Ketika harusnya kami bisa menikmati saat-saat santai atau libur berduaan, namun hal itu tak berlaku karena kami harus mengikut sertakan si bungsu dalam berbagai suasana. Di saat ingin menikmati “our time” selama lima hari, memikirkan dan menata rencananya butuh waktu sepuluh hari.

“Ikut tho, Paaa. Masak kami bertiga ditinggal,” rengek Mentari ketika kami sedang berkumpul di ruang keluarga sehabis makan malam.

Aku tertawa melihat Pak Dokter yang bingung, tak tahu harus menjawab apa. Dengan situasi dan kondisi ini, akhirnya tiket pun belum jadi dibeli, walau Pak Dokter sudah memberi kabar kepada Mas iparku bahwa kami akan mengunjungi mereka. 

 

Sebenarnya  ada rasa sungkan di hati kalau kami harus bermalam di rumahnya karena statusku yang hanya sebagai ipar dan didampingi suami sambung. Tapi mengingat kebaikan mereka yang bersedia menjadi wali dan pendamping Edel ketika menikah, rasanya juga sangat tidak sopan kalau kami jauh-jauh datang hanya sekedar singgah satu atau dua jam saja. Jadi mungkin nanti kami akan menginap satu malam di rumah kakak Pak Wicaksono tersebut, untuk kemudian besoknya menyeberang ke Sabang.

“Kamu kan sekolah. Maghrib sama Lintang juga. Nanti kalau pas liburan kita pergi lagi.” Pak Dokter merespon rengekan anak gadisnya.

“Kalau kami gak ikut, Mas Dhuha sama Anggi juga jangan diajak.” Maghrib tak mau kalah mendukung Mentari memprovokasi Bapaknya.

 Dhuha tertawa mendengar ucapan adik lelakinya.

“Ya udah, kamu gantiin Mas Dhuha momong Anggi selama Mama Papa bersantai.” Anak lajangku itu menggoda adiknya.

“Yang momong Anggi kan Mbak Kas. Paling nanti Mas Dhuha ikut Papa Mama seneng-seneng.” Maghrib kembali melanjutkan ujarannya.

“Kalo Anggi ditinggal, nanti siapa yang jaga dan ngurus?” tanyaku pada Maghrib.

“Ya Mbak Kas sama Mbak Ramlah lah, Ma. Kalo malam boboknya sama aku, sama Mentari.” Lintang menjawab tanyaku mewakili Maghrib.

“Terus kalo Mas Dhuha gak jadi ikut, nanti siapa yang jaga Mas Dhuha?” Pak Dokter kembali mengajukan tanya pada Maghrib.

Mendengar tanya Beliau, Aku dan Mentari spontan tertawa lepas,  Lintang terlihat cemberut, sementara Dhuha senyum dikulum sambil memandang sulung Pak Dokter yang sedang manyun.

“Mas Dhuha ngapain dijaga, wong dah gede, kok.” Ternyata nalar Maghrib belum mampu menggapai guyonan Pak Dokter. Dia masih terlalu polos.

“Guyonan Papa garing,” celetuk Lintang ketus. Sang Bapak menyambut celetukan anak sulungnya dengan tawa renyah. Selanjutnya Beliau memberi titah padaku.

“Nyonya....pesen tiketnya untuk kita berdua aja. Yang lain gak usah diajak, dari pada saya tambah mumet. Bukannya sembuh malah makin puyeng.” Mendengar keputusan Pak Dokter, ketiga anak bersorak gembira, walaupun itu berarti mereka semua mendapat tanggung jawab untuk mengurus Anggi.

@@@@@

Hari Senin sekitar pukul sembilan pagi, Dhuha mengantar emak bapaknya ke bandara. Tadi malam anak baik ini menyampaikan, bahwa selama kami tidak di rumah mungkin dia akan kembali ke Salatiga. Jadi setelah dari bandara nanti, Dhuha akan langsung pulang ke sana. Anak lajangku ini seolah memahami kekhawatiran orang tuanya. Pak Dokter memintanya untuk membawa kendaraan Beliau selama kami bepergian. 

 

Kami bertolak dari Semarang menuju Banda Aceh dengan penerbangan pukul 10.10 pagi. Sungguh sulit mencari jadwal terbang untuk tujuan tersebut dengan waktu transit yang pendek. Penerbangan yang kami pilih waktu transitnya di Soetta sekitar 4jam 45menit. Itu merupakan waktu transit tersingkat dari seluruh penerbangan ke Banda hari ini. Jadwal yang lain bahkan transitnya ada yang lebih dari 20 jam.

Alhamdulillah, perjalanan kami cukup lancar. Penerbangan tepat waktu tanpa delay. Kami mendarat di bandara Sultan Iskandar Muda jam 14.55. 

Akhirnya setelah berpuluh tahun, ini merupakan kunjungan pertamaku ke Bumi Serambi Mekah. Ya, 27 tahun yang lalu aku pernah dua bulan menetap di Aceh dalam rangka melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata. Sementara Pak Dokter sendiri dalam empat tahun belakangan, pernah beberapa kali mengadakan kunjungan dinas ke sini.

Dari bandara kami menumpang taksi untuk menuju rumah Mas Yudha. Sebenarnya tadi malam ketika Pak Dokter menelphone Beliau untuk menyampaikan kepastian keberangkatan kami, Pakdhe Edel tersebut menawarkan diri untuk menjemput ke bandara. Namun mengingat waktu kedatangan kami masih di jam kerja, dengan dalih tidak ingin menganggu kegiatan kantor Beliau, Pak Dokter menolak dengan halus dan lebih memilih naik taksi.

@@@@@

Setelah menginap semalam di rumah Mas Yudha, pada hari Selasa pagi kami bersiap untuk menyeberang ke Pulau Weh. Mas Yudha mengantar kami ke Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Dengan menumpang kapal ferry yang paling pagi, kami menyeberang menuju Kota Sabang yang berada di Pulau Weh, dan tiba di sana sekitar pukul sepuluh tepat.

Pada musim liburan dan akhir pekan, kapal-kapal penyeberangan yang menuju Pulau Weh selalu penuh sesak. Namun karena saat ini bukan musim libur dan bertepatan di tengah pekan, kondisi kapal cukup lengang dan nyaman.

Begitu tiba di Pelabuhan Balohan Sabang, kami mencari mobil rental di gerai penyewaan kendaraan yang banyak terdapat di sekitar pelabuhan. Setelah mendapat  yang sesuai, mobil sejuta umat, kemudian melunasi pembayaran dan meninggalkan KTP untuk jaminan, Pak Dokter mulai memacu kendaraan roda empat tersebut menuju pantai Iboih, yang berjarak 32km dari Balohan.

Pak Dokter memacu kendaraannya dengan kecepatan sedang. Pada saat menemukan spot bagus, Beliau akan memperlambat laju mobil agar aku bisa menikmati panorama indah tersebut. Beliau seolah bertindak sebagai guide untuk istrinya, karena kekasihku ini memang sudah pernah dua kali mengunjungi Sabang sebagai bentuk refreshing dari perjalanan dinas Beliau ke Aceh. Sementara aku yang asli Sumatera, justru baru pertama kali ini menginjakkan kaki di tanah nol kilometer.

Akses menuju Iboih sangat menakjubkan. Jalanan yang mulus, naik turun dan berlika-liku, berpadu dengan panorama alam yang begitu memukau membuat perjalanan dengan masa tempuh 1,5jam ini tak terasa. 

“Nyonya....” Pak Dokter membuyarkan keasyikanku menikmati keindahan alam di sepanjang sisi kiri jalan.

“Ya, Dok,” jawabku sembari mengalihkan pandang ke arah Beliau.

“Lihat itu.” Beliau menunjuk ke pemandangan yang terhampar di sisi kanan jalan sambil memperlambat laju mobil.

“Amangooiiii...cantik kali,” ujarku spontan dengan dialek Medan ketika menyaksikan panorama luar biasa yang ditunjuk Pak Dokter. 

“Nah..., mulai kembali ke selera asal. Hilang lemah lembutnya,” respon Beliau sambil tertawa mendengar caraku bicara.

Kuabaikan ucapan Pak Dokter. Diri ini terpesona dengan lukisan alam karya cipta Sang Maha Kuasa. Saat itu posisi jalan yang kami lewati ada di ketinggian, sehingga terhamparlah pemandangan laut luas membiru dengan garis batas langitnya yang berpadu dengan perbukitan yang sangat menakjubkan. Begitu mempesonanya, hingga aku tak mampu menjabarkannya dalam untaian kata.

Kami tiba di pantai Iboih setelah waktu menunjuk jam 12.00 siang, agak lambat memang karena Pak Dokter lebih sering melaju dengan kecepatan rendah agar aku bisa menikmati pemandangan di sepanjang jalan.

Sebenarnya Pantai Iboih adalah pelabuhan yang digunakan masyarakat untuk menyeberang ke Pulau Rubiah. Namun, walaupun berfungsi sebagai pelabuhan, keindahan lautnya sanggup mengundang decak kagum. Air laut di pantai ini sangat jernih, memiliki gradasi warna hijau kebiruan. Pesisir pantainya dihiasi pasir putih nan bersih, berpadu dengan hijaunya rerimbunan hutan yang tak jauh  dari pantai. Perpaduan laut, pantai pasir putih, dan hutan ini, menjadikan  Pantai Iboih mendapat julukan “ a piece of heaven”.

Selama di sini, kami menginap di Iboih Inn. Penginapan dengan konsep country, yang kamar-kamar cottege-nya berupa rumah panggung dan semuanya menghadap ke laut. Keistimewaan utama penginapan ini yaitu keberadaan kamar-kamarnya yang tersebar di  perbukitan di bawah rerimbunan pepohonan tropis  dan pantai berkarang. 

Penginapan ini memiliki restoran dan dermaga kecil yang persis berada di atas laut, di mana kita bisa duduk menikmati debur ombak, cahaya bulan purnama,  dan Pulau Rubiah yang jaraknya hanya beberapa ratus meter.

Untuk mencapai penginapan ini dari dermaga Pantai Iboih  ada dua cara. Bagi pengunjung yang sudah membooking kamar, bisa minta dijemput petugas penginapan dengan menggunakan kapal. Sementara cara kedua, berjalan kaki melalui jalan setapak dengan mendaki perbukitan.

Kekagumanku atas pesona Serpihan Surga ini semakin memuncak ketika kami berlabuh di dermaga penginapan, hingga rasanya tak sabar untuk segera check in, memasukkan barang-barang ke kamar, kemudian mengeksplore Pantai Iboih sepuasnya.

@@@@@

“Njenengan capek?” tanya Pak Dokter saat kami sedang menikmati udara malam dan debur ombak sambil duduk-duduk santai di dermaga setelah selesai santap malam.

“Capek, tapi puas, Dok,” jawabku sumringah.

Petualangan panjang kami hari ini memang sangat mengagumkan. Tadi setelah check in dengan menggunakan SIM, sholat zuhur, berlanjut makan siang dengan menu sate gurita yang fenomenal, kemudian istirahat sebentar. 

Selanjutnya Pak Dokter mengajakku snorkeling di Pulau Rubiah, menikmati pemandangan bawah laut yang cukup menghipnotis, berinteraksi langsung dengan ikan-ikan cantik yang bersembunyi di balik terumbu karang. Sungguh pengalaman indah ini meninggalkan kesan yang melekat kuat di memori otakku.

“Anggap aja travelling kita kali ini bulan madu yang tertunda,” ujar Beliau. Aku tertawa mendengar ucapan Pak Dokter.

Kalimat Beliau mengingatkanku akan peristiwa di hari pertama pernikahan kami dulu. Saat itu Pak Dokter menawariku ingin berbulan madu ke mana. Aku memberi opsi beberapa lokasi yang memiliki area perkebunan kopi di sekitar Kabupaten Semarang. Akhirnya, pilihan jatuh ke Banaran Resort di daerah Bawen. Kami menginap di sana selama dua malam dengan dikawal oleh lima orang anak. Kegiatan yang seharusnya berjudul bulan madu itu berubah menjadi family gathering.

Setelah family gathering episode pertama, berlanjut dengan episode-episode berikutnya, karena anak-anak sangat senang travelling. Dan kami memang belum pernah punya kesempatan pergi menginap berduaan saja. Apalagi setelah enam bulan menikah, aku positif hamil. Jadi memang cocok kalau Pak Dokter menganggap kebersamaan kami kali ini merupakan bulan madu yang tertunda.

Apalagi kemarin sebelum berangkat Mentari dan Lintang berpesan bahwa kami tidak boleh menelphon mereka. Aku dan Pak Dokter harus benar-benar berlibur tanpa memikirkan Anggi dan anak-anak yang lain. Kalau kami tetap niat untuk menelphone, ketiga anak sepakat tidak akan mau menjawab panggilan emak-bapaknya. Mereka bahkan juga menginstruksikan hal yang sama pada Mbak Kas dan Mbak Ramlah.

“Njenengan sendiri capek gak, Dok?” tanyaku sedikit khawatir mengingat Beliau baru beberapa hari keluar dari rumah sakit.

“Gak. Njenengan gak usah khawatir. Walau tadi saya harus nyetir sendiri, terus kita juga snorkling, tapi semuanya dilakoni dengan santai, gak grusa-grusu. Saya malah enjoy banget dengan kegiatan kita seharian ini,” papar Beliau panjang lebar.

“Perjalanan kita kali ini bukan cuma untuk penyembuhan saya aja. Tapi juga untuk penyegaran buat Njenengan. Setelah kemarin mengalami masa-masa kehamilan dan melahirkan yang melelahkan. Dilanjut dengan mengurus Anggi yang semakin hari semakin aktif, masih lagi ditambahi dengan merawat saya waktu sakit kemarin, pastinya emosi dan energi Njenengan terkuras, butuh recharge,” lanjut Beliau.

“Tapi saya justru gak merasa terporsir kok, Dok. Soalnya saya kan dibantu anak-anak, mbak-mbak, Njenengan juga.”

“Nyonya....” Pak Dokter memanggilku pelan.

“Ya, Dok.”

“Njenengan bahagia hidup dengan saya?” Suara Beliau terdengar begitu kalem.

“Pertanyaan Njenengan itu gak perlu dijawab, Dok.”

Mungkin karena berada di udara terbuka, diterangi cahaya rembulan nan temaram, serta diiringi debur suara ombak,  menyebabkan lelaki kharismatikku terbawa suasana untuk bersikap sentimentil.

“Kalau misalnya salah satu di antara kita harus pergi, Njenengan lebih milih ditinggalkan atau meninggalkan?” tanya Pak Dokter diplomatis.

“Saya gak bisa milih, Dok,” jawabku lugas.

“Kenapa?”

“Saya gak sanggup kalau Njenengan tinggal duluan. Semangat hidup saya ada di Njenengan. Tapi saya juga gak mau ninggalin Njenengan, nanti Njenengan kawin lagi dengan alasan supaya ada yang ngurus Anggi.” Aku memberi jawaban spontan tanpa basa basi kepada Beliau.

Pak Dokter tertawa mendengar penuturanku. Ntah tertawa bahagia karena merasa dicintai atau tertawa karena kutuduh ingin kawin lagi.

“Dulu Njenengan sanggup ditinggal Pak Wicaksono?”

“Karena Njenengan udah meluluh lantakkan hati saya duluan,” ujarku polos. 

Kami terdiam untuk beberapa saat. Sebersit perasaan bersalah menyelinap di dalam hati.

“Saya berdosa ya, Dok,” desahku lirih kemudian.

Tiba-tiba aku teringat betapa dulu pernah menyimpan cinta yang lain di sudut hati berdampingan dengan cintanya Pak Wicaksono.

“Saya pemicunya.”Pak Dokter mengakui dosa masa lalunya sambil mengeratkan rangkulannya di bahuku, “Maafin saya, ya.”

Untuk beberapa saat suasana kembali hening. Aku terhanyut dengan kenangan masa lalu kami, mungkin demikian juga dengan Pak Dokter.

“Njenengan menyesal?” tanya Beliau lirih.

“Saya gak pernah menyesal tergoda dengan cinta Njenengan, tapi jujur saya merasa bersalah dengan almarhum.”

“Segala sesuatu yang terjadi di dunia itu sudah tertulis di Lauhul Mahfudz, bahkan ketika selembar daun jatuh ke bumi. Merasa bersalah itu baik, tapi jangan menyimpannya berlarut-larut.” Pak Dokter mencoba menghiburku, “Mungkin jalan kita untuk berjodoh memang seperti itu,” lanjut Beliau diplomatis.

“Sekarang yang penting kita merawat keluarga kita sebaik mungkin. Menjaga anak-anak. Mengantar mereka sampe mandiri. Dan  selalu mohon ampun untuk kesalahan kita yang lalu.” Lelakiku kembali menuangkan rangkaian kata-kata.

Kebersamaan diriku dan Pak Dokter malam ini, membawa kami untuk intropeksi diri atas segala kesalahan di masa lalu. Suasana malam yang begitu syahdu membawa kami kembali menyelami masing-masing jiwa secara lebih mendalam. Aku dan Pak Dokter saling mengeluarkan isi hati yang selama ini mungkin masih kami simpan dalam bilik jiwa masing-masing. 

Malam ini, semua tertumpahkan. Dan hal ini semakin menguatkan rasa cinta di antara kami. Juga membuat kami tak henti mensyukuri segala nikmat dan kebahagiaan yang Allah curahkan untuk keluarga Pak Dokter, walau keluarga ini tercipta melalui jalan berliku yang keliru.

Sabang dengan segala keindahannya tidak hanya memberi kami kepuasan mata, tapi di sini hati kami kembali terbuka untuk selalu memandang kasih Allah yang begitu luasnya pada setiap hamba.

“Cinta kita terlalu kuat, sulit untuk dipisahkan walau sudah terhalang waktu bertahun-tahun,” ujar Pak Dokter pelan, “Walau tidak sempat tersesat, tapi kita pernah mengambil jalan yang keliru.” Beliau seolah memproklamirkan satu pengakuan.

“Mungkin sekuat itu jugalah cinta Lintang dan Dhuha, Dok. Makanya ketika Njenengan belum merestui niat mereka, keduanya langsung terpuruk sedemikian rupa.” Tanpa disengaja aku berhasil menemukan celah untuk memulai perbincangan tentang kedua anak kami.

Di bawah temaram sinar rembulan, terlihat Pak Dokter memalingkan wajahnya menatap ke arahku. Aku membalas tatapan Beliau penuh harap.

“Cinta mereka belum teruji, beda dengan kita dulu,” urai Pak Dokter tentang hubungan kedua anak kami, “Udah malem, ke kamar yuk. Besok saya mau ngajak njenengan ke banyak lokasi,” lanjut Beliau sambil mengalihkan arah pembicaraan kami.

Aku yang semula berharap bisa mengurai masalah percintaan Dhuha dan Lintang, ternyata harus kembali memendam harapan tersebut. Butuh waktu perlahan-lahan untuk mengajak bicara lelaki kharismatik ini. Walau Beliau termasuk tipikal pria yang baik dan selalu berpikiran positif, namun Beliau tetaplah seorang manusia biasa. Terkadang  pikirannya dipengaruhi sifat egois.

Namun aku juga tak ingin menyerah begitu saja. Kucoba sejenak menahan keinginan Beliau untuk tidur.

“Kenapa mengalihkan pembicaraan, Dok? Kasian anak-anak.” Kucoba membujuk Beliau dengan suara pelan, ”Kita pernah terpisah karena kondisi. Saat itu saya merasa sakit sekali, karena saya sangat mencintai Njenengan,  tapi keadaan membuat kita gak mungkin untuk bersatu.” Aku berusaha membuka memori Beliau ke masa-masa kami harus menahan rasa cinta yang menggebu karena terhalang status.

“Saya bukan mengalihkan pembicaraan. Saya ngajak tidur karena memang perjalanan kita besok masih panjang, jadi malam ini butuh istirahat yang nyaman. Saya janji, besok malam kita bicarakan lagi masalah Lintang sama Dhuha, ya?” ujar Beliau sambil meraih tanganku untuk ikut bangkit dari duduk.

Aku mengikuti perbuatan Beliau. Pak Dokter merangkul bahuku, kemudian pasangan paruh baya ini berjalan sambil berangkulan diiringi suara kecipak air yang menghantam tiang-tiang dermaga.

“Saya juga gak mau jadi orang tua yang egois, Nyonya,” ujar Beliau lirih saat kami mengayun langkah menyusuri dermaga kayu menuju kamar tempat kami mengistirahatkan diri.

@@@@@

Di hari kedua, kami mengunjungi titik nol kilometer. Jarak dari Pantai Iboih ke Tugu 0 Kilometer sekitar 10km dan bisa ditempuh dalam waktu 30 menit. Jalan dari Iboih menuju Tugu 0 Kilometer di kelilingi hutan rimbun. Itulah sebabnya kenapa kami memilih mengunjungi titik paling Barat Indonesia ini di pagi menjelang siang. Sebenarnya berkunjung ke sini di sore hari lebih asyik karena kita bisa menikmati matahari tenggelam ditelan Laut Andaman yang terhampar luas di sisi utara dan barat.

Selain Tugu 0 Kilometer, Pak Dokter juga membawaku mengunjungi Pantai Pasir Putih, Gunung Api Jaboi, Benteng Jepang, dan beberapa tempat menarik lainnya. Lelakiku ini benar-benar memanfaatkan masa kebersamaan kami dengan maksimal.

Kami kembali ke penginapan ketika sore menjelang. Dan ternyata Pak Dokter masih ingin mengulang aktivitas snorkeling. Namun kali ini kegiatan tersebut kami lakukan di sekitar Pantai Iboih saja, tidak menyeberang ke Pulau Rubiah.

Karena padatnya agenda hari ini,  aku dan Pak Dokter tak lagi sanggup menikmati udara malam seperti kemarin. Selesai santap malam, kami langsung menuju kamar untuk mengistirahatkan raga setengah tua ini. Aku bahkan lupa menagih janji Pak Dokter untuk membahas masalah Lintang dan Dhuha.

Kamis pagi, hari terakhir keberadaan kami di Pulau Weh, kami tuntaskan dengan menikmati sunrise dari Pantai Iboih yang fenomenal. Setelah sarapan, kami segera berkemas untuk check out. Selanjutnya kembali menuju Pelabuhan Balohan, mengembalikan mobil rental, dan menyeberang ke Ulee Lheue di Banda Aceh pada pukul 11.00 siang.

Dari Ulee Lheue kami langsung menuju bandara. Pada saat Mas Yudha mengantar kami hari Selasa kemarin, sekalian saat itu juga kami berpamitan karena  sekembali dari Sabang tidak akan singgah lagi ke rumah Beliau.

Dengan menaiki penerbangan pukul 15.40 dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, kami harus transit selama lebih kurang 14 jam di Cengkareng. Ini berarti kami harus bermalam di hotel sekitar bandara, untuk kemudian melanjutkan perjalanan dengan penerbangan pertama di keesokan harinya.

@@@@@

Hari Jum’at pagi jam 06.55, pasangan paruh baya yang baru selesai menikmati bulan madu yang tertunda kembali mendarat di Ahmad Yani.

Dhuha menjemput kami. Sejak menemaniku menjaga Pak Dokter, kondisi anak lajangku itu terlihat lebih fresh. Mungkin hal ini disebabkan karena prinsip hidupnya yang baru. Seperti yang pernah diucapkannya padaku, bahwa dia mencoba untuk ikhlas atas takdirnya yang belum berjodoh dengan Lintang. 

“Gimana liburannya, Ma, Om?” Pertanyaan pertama yang meluncur dari mulut Dhuha saat dia menyambut kami di area greeters sambil menyalami dan cipika cipiki dengan diriku. 

Selanjutnya dia menyalami Pak Dokter, kemudian mengambil alih travel bag yang kuseret.

“Alhamdulillah memuaskan. Nanti pas liburan kita ke sana bareng-bareng. Mbak Edel, Kak Raja, Biru, kita ajak sekalian,” jawab Pak Dokter santai.

Pak Dokter dan Dhuha berjalan berdampingan sambil masing-masing menyeret travel bag. Sementara aku mengikuti di belakang mereka. Setelah tiba di luar, Dhuha menuju tempat parkir,  aku dan Pak Dokter menunggunya di area pick up.

Selama perjalanan dari bandara ke rumah, Pak Dokter yang duduk di depan bersama  Dhuha terlibat percakapan santai. Aku lebih memilih memejamkan mata di jok tengah, walau tidak terlelap. Diri ini mendengar semua perbincangan kedua lelaki tercinta tersebut, namun sedang enggan untuk ikut terlibat di dalamnya.

Tapi keenggananku hilang ketika Pak Dokter menyinggung masalah keinginan Dhuha untuk melanjutkan kuliah. Daun telingaku seakan tegak, memasang alarm siaga.

“Dhuha sudah menemukan kampus yang cocok?”

“Ada beberapa referensi yang menarik minat, Om. Tapi aku belum bisa memutuskan mau pilih yang mana.”

“Memangnya di mana aja?”

“Dua yang paling menarik minatku, yang di Brunei referensi dari Kak Raja, sama di Turki referensi dari adik kelas pas kuliah dulu. Nah terus ini juga ada tawaran posisi kerja dari temen, perusahaan multinasional kebetulan penempatannya di Semarang.” Dhuha memberi jawaban panjang lebar atas pertanyaan Pak Dokter  sambil tetap fokus dengan kemudi.

Hatiku membuncah ketika Dhuha menyebut  nama satu perusahaan multinasional yang berkantor pusat di Rotterdam – Belanda, dan London – Inggris. Perusahaan yang memproduksi makanan, minuman, pembersih, dan juga produk-produk perawatan tubuh. 

Dalam pejaman mata, aku berharap Dhuha memiliki ketertarikan atas pilihan terakhir yang dia sebutkan tadi. Jujur, sebenarnya hatiku teriris kalau sampai Dhuha benar-benar membuang diri ke Brunei atau Turki.

Dan dalam kekhawatiranku terselip satu rasa syukur. Inilah keuntungan anak-anak zaman sekarang, fakultas dan jurusan tidak lagi membatasi mereka untuk berkarir di manapun, asalkan mereka memiliki keahlian dan kemampuan yang mumpuni.

“Pilih yang terakhir aja, tho.” Respon dari Pak Dokter membuatku tak tahan untuk tidak membuka mata dan ikut melibatkan diri dalam perbincangan dua lelaki tersebut.

Dengan posisi dudukku di belakang mereka, aku bisa melihat Dhuha melirik Pak Dokter dengan ekor matanya. 

“Kemarin niat kamu resign kan karena pengen cari kerja di Semarang terus mau segera nikahi Lintang. Nah...ini ada tawaran bagus, ya sudah ambil aja. Setelah urusan pekerjaan beres, lanjut ke rencana berikutnya.” Seolah tanpa beban, Pak Dokter mengucapkan kalimat-kalimat tersebut dengan santainya.

Dhuha kembali melirik bapak tirinya dengan tatapan tak percaya. Dia seolah tak mampu memberi respon atas ucapan Pak Dokter yang sangat di luar dugaan itu. Restu yang walaupun tak tersurat namun tersirat dengan sangat gamblang. Bahkan jangankan Dhuha, akupun terdiam tak tahu harus bicara apa.

Aku tak bisa menebak, keputusan Pak Dokter yang begitu spontan itu tercipta karena Beliau sedang gembira setelah menikmati liburan yang indah,  atau karena ketempelan jin Kilometer Nol dan bidadari Pantai Iboih.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER