Friday, September 25, 2020

Stetoskop cinta sang dokter 23

Stetoskop Cinta Sang Dokter 23

Sabtu pagi aku dan Pak Dokter kembali mengisi aktivitas seperti biasa, setelah beristirahat penuh sepanjang hari Jum’at, menghilangkan sisa-sisa letih dari  perjalanan ke ujung Sumatera. Sementara Senin, Pak Dokter sudah mulai bertugas kembali.

Di akhir pekan ini, kami menikmati sarapan hanya ditemani Lintang dan Anggi.  Dhuha dengan kedua adiknya, sejak selesai sholat subuh sudah meninggalkan rumah. Mereka menikmati rutinitas baru. Mentari sedang hangat-hangatnya belajar mengemudi. Sementara Maghrib juga ikut-ikutan dengan kakaknya, walau usianya belum memenuhi syarat untuk mendapatkan surat izin. 

Biasanya sulung Pak Dokter yang berperan sebagai mentor untuk Mentari dan Maghrib. Mereka rutin berlatih setiap Lintang punya waktu luang. Namun kali ini karena kebetulan Dhuha  sedang di rumah Semarang, dengan senang hati dia menggantikan posisi Lintang menjadi guru privat bagi kedua adiknya.

Selesai sarapan, si Sulung segera berkemas dan pamit menuju kampus. Walau weekend, dia tetap ada jadwal kuliah meskipun tidak full. Sementara pasangan paruh baya ini  menghabiskan waktu berdua di teras belakang. Aku dengan rutinitas mengurus tanaman yang kemarin kembali  ditinggal selama lima hari, dan Pak Dokter menemaniku sambil menggendong  Anggi. Namun baru sesaat, si bungsu sudah ribut minta diturunkan. Pak Dokter menurunkan bayi cantik itu ke lantai, dan membiarkannya merangkak di  teras.

Bungsu kami ini semakin hari perkembangannya semakin signifikan. Melihat gelagatnya, kemungkinan Anggi tidak akan melalui fase rambatan, persis seperti Dhuha dulu. Dari pengamatanku selama ini, si bungsu lebih suka merangkak, kemudian pada satu fase jongkok, setelah itu berdiri perlahan-lahan, dan berhenti di tahap ini, karena dia belum berani melangkahkan kakinya.

Dhuha di masa bayinya seperti Anggi ini. Ketika pertama kali Dhuha bisa berjalan aku sempat kaget, ya karena dia tidak melalui tahap rambatan itu. Merangkak, jongkok, berdiri, kemudian duduk lagi. Dan ketika satu waktu setelah berdiri, tiba-tiba dia mengayunkan kakinya dua langkah kemudian duduk lagi, di situ aku baru menyadari kalau anak keduaku sudah bisa berjalan.

Cuma bedanya, kalau Dhuha dulu sudah mulai melangkah di usia sebelas bulan tetapi kemampuan bicaranya lambat hingga mencapai usia 20 bulan. Sementara Anggi, di usianya yang kini sudah sebelas bulan, kelihatan kemampuan bicaranya juga berbanding lurus dengan kemampuan berjalannya.

Aku masih asyik dengan tanam-tanaman di halaman belakang, sementara Pak Dokter sesekali mengikuti Anggi yang merangkak ke dalam, kemudian balik lagi ke teras. Terkadang si bungsu sudah berada di tepi lantai teras, dan Pak Dokter akan menggendongnya, memindahkan bayi kami kembali ke tengah agar dia tidak turun ke rerumputan.

Melihat pemandangan seperti ini perasaanku campur aduk. Bahagia, karena Pak Dokter begitu menikmati perannya sebagai bapak dari seorang bayi mungil. Namun di satu sisi, hati ini miris melihat kekasih halalku yang seharusnya sudah berada dalam fase menikmati hari tua dengan duduk bersantai, tapi ternyata masih harus direpotkan dengan urusan mengasuh bayi.

Tak tega melihat lelaki paruh baya tersebut dibuat kewalahan oleh Anggi, kusudahi urusan merawat tanaman. Setelah mencuci tangan, kuraih Anggi yang mulai merangkak menuju tepian teras. Setelah aku mengambil alih tugasnya, Beliau mendudukkan diri di kursi yang bersebelahan dengan kandang Ben dan Tom. Kandang itu sekarang kosong, penghuninya sudah dijual Lintang sejak dia disibukkan dengan  dunia kampus, hingga tak punya waktu lagi untuk mengurus kedua hewan eksotis itu. Sebenarnya aku bersedia  mengurus Ben, tapi Pak Dokter melarang. 

Kudampingi Pak Dokter dengan duduk di sebelahnya. Sementara Anggi masih tak mau diam walau sudah berada dalam pangkuanku.

“Capek ya, Dok?” 

“Lumayan, olah raga pagi.” Dengan santainya Beliau menjawab tanyaku.

Kupandangi wajah lelaki kharismatik itu. Terlihat keringat membasahi kening Beliau, namun aura wajahnya tampak cerah dan bahagia. Anggi masih tidak mau diam di pangkuanku. Tapi rewelnya kali ini karena dia sudah mulai mengantuk. Sambil tetap duduk, kupanggil Mbak Ramlah. Aku meminta beliau untuk membuatkan susu Anggi serta membawakan handuk, washlap dan sebaskom air hangat.

“Ngeliat Njenengan ngejar-ngejar Anggi gitu, saya kok gak tega, Dok,” ujarku lugas.

Mbak Romlah datang membawakan semua permintaanku. Sebelum memberikan dot, kubersihkan kaki dan tangan bayi kami menggunakan washlap, kemudian mengeringkannya dengan handuk. Sebenarnya Anggi sudah mandi, tapi karena tadi dia merangkak ke sana ke mari, sudah menjadi kebiasaanku untuk membersihkannya dulu sebelum dia tertidur. Setelah selesai, kubiarkan dia menikmati botol susunya sambil duduk tenang di pangkuan.

“Kenapa gak tega, wong saya senang kok,” jawab Beliau sambil menciumi pipi Anggi yang sedang asyik ngedot.

“Harusnya di usia Njenengan ini kan sudah santai-santai, lha ini masih momong bayi. Masih ngejar-ngejar bayi merangkak. Saya kok ngeliatnya miris, Dok.”

“Njenengan  gak usah berpikiran seperti itu. Wong Anggi itu ada, ya gara-gara ulah saya, kok,” jawab Beliau kalem. Kalimat Pak Dokter   membuatku tak mampu menahan tawa.

“Njenengan ni...ada aja jawabannya,” ujarku di sela tawa.

“Dan disponsori oleh Njenengan,” lanjut Beliau.

Mendengar lanjutan kalimatnya, refleks kucubit perut Beliau. Pak Dokter tertawa melihat reaksiku. Selanjutnya kutinggalkan lelaki paruh baya yang masih mengurai tawa tersebut. Aku berlalu menuju kamar untuk meletakkan Anggi yang sudah terlelap ke dalam box-nya, setelah sebelumnya menghampiri Mbak Ramlah di dapur dan meminta Beliau membereskan baskom, washlap, dan handuk yang kutinggal di teras belakang.

Di saat aku melintas di ruang keluarga terdengar suara salam dari pintu depan. Dhuha dan adik-adiknya sudah pulang. Ketiganya terlihat langsung menuju ke ruang makan setelah sebelumnya bergantian mencuci tangan di wastafel yang berada di sebelah pintu kamar mandi umum.

Setelahkan meletakkan Anggi, aku kembali ke ruang makan, menemui ketiga anak yang sedang menuntaskan rasa lapar mereka sambil menikmati kwetiau goreng buatanku.

Pagi ini memang aku yang menyiapkan sarapan, atas permintaan Pak Dokter. Beliau sedang ingin sarapan kwetiau goreng buatanku. Menurut Pak Dokter, makanan yang satu ini bedanya rasanya kalau aku yang mengolah, lebih pas dan nikmat.

Hhmmm...ntah itu cuma gombalan semata atau memang begitu adanya. Karena setiap kali ingin makan kwetiau, Beliau selalu minta aku sendiri yang masak, jangan diwakilkan oleh Mbak Kas atau Mbak Ramlah.

Pak Dokter juga ikut bergabung di meja makan. Sambil menemani anak-anak makan, Beliau  mengajak ketiganya mengobrol tentang kegiatan mereka tadi. Aku mendudukkan diri di sebelah Pak Dokter sambil mengambil sebuah pisang, mengupasnya, dan mulai menikmati buah tropis tersebut.

“Mbak Edel nanti jadi dateng, Ma?” Mentari mengajukan tanya tentang rencana kedatangan kakak sulungnya.

“Jadi. Barusan Mama buka wa, Mbak Edel ngabari udah otw,” responku atas pertanyaan Mentari, “Habis sarapan langsung pada mandi lho. Nanti kalo Mbak Edel nyampe belum pada mandi malu sama Kak Raja,” lanjutku.

@@@@@

Edel dan Raja tiba di rumah kami menjelang azan Zuhur. Anak sulungku ini selalu terlihat bahagia, penampilannya segar dan aura kecantikannya semakin terpancar. Aku yakin semua itu merupakan pancaran dari kebahagiaan bathin yang dia rasakan. Ternyata langkah kami merestui Edel memilih Raja sebagai pendamping hidupnya tidak salah. 

Edel seolah mendapat asupan energi positif dari Raja yang sangat dewasa. Bahkan ketika saat ini usia pernikahan mereka sudah mencapai sebelas bulan, namun belum terlihat adanya tanda-tanda kehamilan, pasangan ini tetap terlihat santai dan legowo.

Pak Dokter, Raja, dan Dhuha, sedang mengobrol di ruang keluarga. Ketiga lelaki ini seolah memiliki chemistry yang kuat. Mereka selalu menikmati acara berbincang tentang segala hal, dan komunikasi di antara ketiganya juga berjalan cukup baik.

Aku membantu Mbak Ramlah menyiapkan makan siang. Sementara Edel, Mentari, dan Maghrib berada di kamarku. Tadi terdengar suara Anggi menangis. Maghrib dan Mentari refleks menuju ke kamar. Kedua anak itu memang sangat cepat tanggap dengan adik bungsu mereka. Edel mengikuti adik-adiknya menuju kamarku . Mungkin sekarang ketiganya sedang asyik bercengkerama dengan Anggi.

Selesai membantu Mbak Ramlah, kususul anak-anak ke kamar. Anggi sudah berpindah dari box ke atas tempat tidurku. Ketiga kakaknya sedang menggoda bayi mungil itu. Mereka tertawa setiap mendengar Anggi bereloteh. Tingkahnya yang menggemaskan, tawanya yang renyah, serta ocehannya yang menggunakan bahasa planet selalu berhasil menghipnotis saudara-saudaranya. 

Di saat kami berempat sedang menikmati pertunjukkan sang primadona –Anggi-, Pak Dokter masuk ke kamar.

“Maghrib..., sudah azan. Ayo sholat.” Beliau memanggil bungsunya Pak Wicaksono untuk melaksanakan zuhur di mesjid.

Ketika para lelaki sedang mengunjungi rumah Allah, aku juga bergegas melaksanakan kewajiban empat rakaat. Sementara Edel dan Mentari asyik bercengkerama dengan si bungsu. Kebetulan yang sangat kebetulan, secara bersamaan kedua wanita itu berada di zona merah.

Selesai bermesraan dengan Sang Maha Pencipta, aku kembali bergabung dengan ketiga anak wedok.

“Dhuha tadi malem telphone aku, Ma. Dia ngobrol banyak. Kami telphonan sampe lewat tengah malem. Kata Dhuha, Papa ngasih lampu hijau ya, Ma?” sambil menggoda Anggi, Edel berkisah tentang adik lelakinya.

Karena selisih usia yang hanya 14 bulan, hubungan Edel dan Dhuha cukup dekat. Mereka saling berbagi kisah saat mengalami kejadian-kejadian luar biasa. Dulu ketika kisahku dengan Pak Dokter masih STJ, di belakangku kedua anak ini ternyata sering membahas tentang hubungan kami. Begitu pengakuan Edel setelah aku dan Pak Dokter menikah.

“Kemarin waktu Dhuha jemput ke bandara, gak tau kok tiba-tiba secara tersirat Papa seolah ngasih restu buat Dhuha,” responku atas ucapan Edel, “Tapi karena Mama Papa capek banget, setelah nyampe rumah, kita gak ada bahas masalah itu lagi,” lanjutku.

“Iya, Dhuha juga bilang gitu. Papa cuma ngobrol pas di perjalanan pulang dari bandara. Tapi setelah di rumah gak ada lagi nyinggung masalah itu, karena Papa sama Mama istirahat.” Edel berujar sambil mencium gemas pipi Anggi. Bayi itu mencoba meranggih  bros yang dikenakan kakaknya di jilbab.

“Dhuha cerita gak, dia sudah ngomong ke Lintang apa belum?” tanyaku sedikit menyelidik kepada si sulung.

“Katanya sih belum, Ma. Soalnya Dhuha sendiri masih gak yakin kalau Papa serius. Dia takut kalau udah keburu ngomong ke Lintang ternyata maksud Papa tidak seperti yang ada dalam pikirannya, nanti Lintang kecewa lagi,” lanjut Edel.

“Sebenarnya Dhuha sama Lintang masih komunikasi gak sih, Del? Soalnya sejak keduanya membeku, Mama gak tega mau tanya ke Lintang.”

“Sejak Papa sakit mereka mulai komunikasi lagi, Ma. Sebelumnya, setelah kejadian Papa menolak keinginan Dhuha,  Lintang yang gak pernah ngerespon kalo Dhuha ngubungin dia,” urai Edel dengan lugas.

Sebelum aku sempat merespon ujaran Edel, sulungku itu kembali mengurai kata.

“Ma....” Panggilan Edel menggantung.

“Kenapa Edel?” Rasa penasaran menyelinap di dada mendengar cara Edel memanggilku.

“Mama jangan tersinggung, ya. Dhuha bilang sama aku, katanya Mama pernah secara gak sengaja mengungkapkan kekhawatiran tentang Anggi, seandainya Mama sama Papa gak berumur panjang.”
Mendengar kalimat Edel, aku tak langsung bisa meresponnya.
 
Memang iya, kadang terselip suatu kekhawatiran, mengingat usia kami sudah mencapai setengah abad. Seandainya Allah memberi pasangan paruh baya ini sisa hidup selama lima belas tahun lagi pun, itu berarti Anggi masih berada di fase remaja. Kadang terpikir olehku siapa yang akan mengawasi dia menjalani masa remajanya jika Allah telah memanggil kami. Walau dia punya banyak kakak, tapi mereka pastinya bakal memiliki kehidupan dengan keluarga masing-masing.

Mungkin karena aku tak jua memberi respon, Edel kembali melanjutkan ujarannya.

“Kata Dhuha, kalau saja Papa ngasih restu, Dhuha dan Lintang kan nantinya bisa jadi pengganti Mama Papa untuk Anggi.” Mendengar ucapannya, aku menatap Edel dengan seksama, mencari kebenaran dari setiap ucapannya.

“Serius, Ma. Dia bilang gitu. Karena menurut Dhuha, walau dia yakin, aku, Mentari, dan Maghrib, pasti juga bersedia ngasuh Anggi, tapi kan belum tentu pasangan kami juga bersedia.  Sementara kalau dia dan Lintang  sudah terjamin bakal tulus merawat Anggi, karena Anggi itu adek mereka bersama. Walau sebenernya, aku yakin Kak Raja pun gak kan keberatan kalo kami merawat Anggi.” Aku menghela napas berat mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir Edel, malu atas sikapku selama ini. 

Di awal kebersamaan Lintang dan Dhuha aku begitu berat untuk bersikap ikhlas. Tapi justru di balik gelora cinta mereka yang menggebu dan terhalang restu, ada niat tulus untuk si adik bungsu. 

“Papa serius apa gak sih, Ma?” Saat aku hendak menjawab tanya Edel, Mentari berseru nyaring memanggil Anggi.

“Anggi!” Si bungsu sudah berada di tepi tempat tidur. Seruan gadis manis itu membuat aku dan Edel kaget. Mentari refleks mengendong adiknya. Anggi menangis dalam gendongannya karena sepertinya bayi itu juga ikut terkejut dengan teriakan sang kakak.

Aku dan Edel terlalu asyik mengobrol, sementara Mentari dalam diamnya ternyata begitu khusyuk mendengarkan perbincangan emak dan kakaknya, sehingga si kecil terabaikan dan nyaris terjun bebas ke lantai.

Dadaku berdesir. Nyaris saja si bungsu kembali bermesraan dengan lantai. Sejak bisa merangkak, Anggi sudah dua kali jatuh dari tempat tidur. Kejadian pertama, ketika Maghrib kuminta menjaga Anggi. Sementara kejadian kedua, Mentari tersangkanya. Kasusnya persis sama, di saat menjaga Anggi, baik Maghrib maupun Mentari terlalu asyik dengan gawainya, hingga tidak menyadari ketika si adik menuju tepi tempat tidur dan terjun bebas.

Bisa di bayangkan reaksi Pak Dokter ketika bungsu kesayangannya jatuh, Maghrib dan Mentari harus rela menerima omelan sang bapak. 

Tangisan Anggi masih berkelanjutan. Tragedi si bungsu memutus obrolan seru antara emak dan si sulung. Ketika kami bertiga sedang fokus dengan si bayi, pintu kamar terbuka. Panjang umur, tokoh yang sedang kami bicarakan ternyata sudah pulang dan  kini ikut bergabung dengan rombongan para wanita.

“Anggi kenapa nangis, Ma?” tanya Lintang sambil menuju ke arah Edel, kemudian  menyalami dan memeluk kakak sulungnya, “Mbak Edel, aku kangen,” lanjutnya dengan nada manja. Edel  merespon ucapan kangen adiknya sambil mengelus lembut punggung Lintang.
 
Selanjutnya pacar Dhuha itu menciumi pipi gembul adik bungsunya yang masih berada dalam gendongan Mentari.

“Hampir jatuh dari tempat tidur. Jangan bilang Papa ya, Mbak.” Mentari mewakiliku menjawab pertanyaan Lintang sambil memohon untuk merahasiakan kejadian ini dari Bapaknya.

Tangisan Anggi sudah reda. Aku dan Edel tertawa melihat ekspresi wajah Mentari yang ketakutan. Kuelus lembut kepala gadis manis itu.

“Yang salah itu kita bertiga, terlalu asyik ngobrol, Anggi dicuekin,” ujarku menenangkan Mentari.

“Papa dah pulang dari mesjid tuh. Ma.” Lintang menyampaikan kepulangan bapaknya.

“Ayo makan siang, dulu,” titahku pada ketiga anak sambil meraih Anggi dari Mentari dan mendekapnya dalam gendongan. Para wanita muda itu mengikuti langkahku menuju ke luar kamar untuk menikmati makan siang dengan formasi lengkap.

@@@@@

Selepas Maghrib, Edel dan Raja menggiring adik-adiknya menikmati suasana malam di akhir pekan. Keluarga Pak Dokter memang sangat gemar pergi bersama, beramai-ramai. Baik itu pelesir, menonton bioskop, atau  hanya sekedar berburu kuliner.

Sebenarnya tadi Edel meminta emak dan bapaknya ikut sekalian, tapi aku enggan, begitu juga Pak Dokter. Edel pengen sekali-kali keluar bareng, mengingat terakhir  kami pergi dengan formasi komplit sewaktu aku masih hamil Anggi. Setelah itu, setiap anak-anak menikmati kebersamaan mereka, emak dan bapak lebih memilih menjadi penunggu rumah. 

Suasana rumah sepi, Pak Dokter belum pulang dari mesjid untuk mengikuti Isya berjamaah,  Anggi sudah tidur. Aku dan Mbak Ramlah duduk berduaan di ruang keluarga setelah masing-masing menunaikan kewajiban empat rakaat. Kami   menikmati acara televisi. Lebih tepatnya Mbak Ramlah yang menikmati sementara aku hanya menemani, karena selera kami bertolak belakang. Mbak ART Pak Dokter itu sangat menyukai sinetron, sementara aku sangat anti dengan acara-acara yang begituan. Aku lebih menikmati dunia hewan, acara kuliner, atau travelling.

Terdengar salam dari pintu depan. Pak Dokter sudah pulang. Beliau langsung menghampiri kami di ruang keluarga. Mbak Ramlah segera bangkit untuk merapikan hidangan makan malam yang sebenarnya sudah tertata di meja makan. 

Di saat aku menemani Pak Dokter makan , Mbak Ramlah kembali menikmati acara  favoritnya. Makan malam kami berlangsung singkat. Sudah menjadi kebiasaan Pak Dokter, porsi makan  Beliau sangat kecil. Sementara diriku sendiri, sejak Anggi sudah tidak minum ASI, kembali memberlakukan batas makan sebelum jam enam sore. Jadi pada saat menemani Pak Dokter begini, aku hanya mengkonsumsi buah saja.

@@@@@

Selesai menikmati makan malam, aku dan Pak Dokter menghabiskan waktu sejenak di ruang keluarga. Sementara Mbak Ramlah begitu usai merapikan meja makan, langsung menuju kamarnya untuk mengistirahatkan diri, walau aku yakin Mbak ART setia ini tetap terjaga di kamarnya karena tugas Beliau membukakan gerbang saat nanti anak-anak pulang.

Waktu sudah menunjuk ke angka sembilan malam, namun anak-anak masih belum pulang. Bisa dipastikan, rombongan keluarga Pak Dokter itu baru akan tiba di rumah mendekati jam sebelas atau jam dua belas malam. Mereka selalu memanfaatkan waktu kebersamaan yang tercipta semaksimal mungkin.

“Ke kamar aja, yuk.” Pak Dokter bangkit dari duduknya, beranjak menuju kamar. Aku mengikuti langkah kaki lelaki terkasih.

Sesampai di kamar, aku langsung menuju kamar mandi untuk bersugi, sementara Pak Dokter mengganti baju kokonya dengan piyama.

Setelah diri ini keluar dari kamar mandi, gantian Pak Dokter yang menuju ke sana. Kubaringkan tubuh tua ini di peraduan. 
Ah...nikmatnya. Walau kegiatanku tidak terlalu berat, namun merupakan kenikmatan tersendiri ketika tubuh bersentuhan dengan kasur nan empuk dalam posisi lurus sempurna.

Pak Dokter menyusulku membaringkan diri di peraduan.

“Senin saya sudah mulai aktivitas. Njenengan kembali sepi, cuma ditemeni Anggi dan mbak-mbak.” Pak Dokter berujar sambil mengubah posisi tidurnya menghadap ke arahku.

“Kan ada Dhuha,” jawabku spontan.

“Eh...Dhuha gimana? Masih tetap pengen lanjut S2 atau nerima tawaran temannya untuk posisi di Semarang?” Tetiba Pak Dokter membahas rencana ke depan anak lajangku.

“Saya belum sempat ngobrol lagi dengan dia, Dok,” jawabku apa adanya, “Dok...Njenengan serius dengan ucapan Njenengan waktu Dhuha jemput kita ke bandara?” lanjutku pelan.

Pak Dokter tidak merespon ucapanku. Aku yang masih dalam posisi tidur telentang, memiringkan kepala menghadap ke wajah Beliau. Ternyata lelaki yang kutatap itu juga sedang menatapku lekat.

“Kenapa diam dan menatap saya seperti itu, Dok?” tanyaku penasaran, “ Njenengan jangan mempermainkan perasaan anak-anak lho, Dok,” lanjutku sembari mengingatkan Beliau.

“Untuk urusan seperti ini, saya gak mungkin mempermainkan perasaan anak-anak, Nyonya.” Pak Dokter berujar dengan kalem.

“Berarti Njenengan serius? Njenengan merestui Dhuha sama Lintang?” Aku semakin penasaran, karena Pak Dokter belum mengungkapkan keputusannya dengan lugas dan tegas.

“Setelah saya menolak halus permohonan Dhuha, sebenernya saya juga tersiksa ngeliat anak-anak jadi menderita dan seolah patah arang. Dalam diam saya, pikiran saya terus berkutat dengan masalah Dhuha dan Lintang. Bahkan saat saya sakit, dan kita liburan pun saya masih belum bisa membebaskan pikiran dari kedua anak itu.” Pak Dokter mengungkapkan perasaannya dengan gamblang.

“Kita ini keluarga besar. Kalau seandainya mereka nikah, bakal jadi trending topik di kalangan keluarga. Mungkin kalau di keluarga saya, bisa saya atasi. Gitu juga di keluarga Njenengan. Tapi keluarganya almarhum Pak Wicaksono dan Mamanya Lintang, gimana? Yang saya khawatirkan, mereka bakal menganggap kita sebagai orang tua yang gak becus ngurus anak. Wong anak tinggal seatap kok dibiarkan menjalin hubungan percintaan.” Bapaknya Anggi mengakhiri ucapannya dengan tarikan napas berat.

Aku masih belum ingin memberi respon atas ucapan Pak Dokter. Kubiarkan lelaki berkharisma ini menuntaskan segala yang mengganjal di pikirannya. Kucium pipi Beliau sekilas sebagai tanda supportku untuknya.

“Kondisi itu yang membuat saya berat ngasih izin. Tapi ngeliat perkembangan kedua anak, dan juga dampaknya buat keluarga kita, juga buat kesehatan saya, saya berusaha untuk menjernihkan pikiran. Yang ada dalam pikiran saya sekarang, kita harus mengutamakan anak-anak, selama yang mereka lakukan tidak melanggar syariat. Biarlah keluarga berpendapat dan berprasangka buruk, yang penting Allah ridho.” Bapaknya Anggi kembali mengurai kata sambil meraihku dalam dekapannya.

Kubiarkan lelaki terkasih itu memelukku erat, dan meneruskan kembali bicaranya.

“Njenengan harus menguatkan mental dan menebalkan telinga, karena nanti akan banyak omongan dan prasangka negatif tentang Lintang dan Dhuha. Njenengan siap menghadapi semuanya?” Masih dengan posisi memelukku erat, Beliau bertanya dengan nada kalem.

Aku melepaskan diri dari dekapan Pak Dokter, merubah posisi tidur menjadi duduk sambil bersandar di kepala tempat tidur. Kutatap suami terkasih itu dengan lekat. Beliau membalas tatapanku dengan seuntai kalimat.

“Lintang masih kuliah, terus buru-buru nikah, dengan kakak tirinya lagi. Kira-kira menurut Njenengan orang akan berpikiran gimana?”

“Lintang hamil,” jawabku spontan.

“Nah...Njenengan harus siap kalo dengar gosip seperti itu.” Ujar Pak Dokter sambil berbaring telentang dan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal.

Aku termangu mendengar penuturan Pak Dokter. Lelaki ini ternyata pikirannya benar-benar bercabang ke mana-mana. Pantas saja kalau akhirnya Beliau sempat ambruk dengan tiba-tiba. 

Sementara keberatanku selama ini hanya bertumpu dengan kepatutan sosial saja, karena aku yakin dan percaya bahwa anak-anak kami mengerti batas-batas pergaulan.

“Tapi Njenengan gak usah khawatir, saya sudah membulatkan tekad. Sekarang ini, bagi saya yang terpenting  kebahagiaan anak-anak dan ketenangan keluarga kita. Biarlah orang mau bicara apa. Kita sudah punya contoh nyata, Edel dan Raja. Dulu kita berat ngasih restu, selain karena perbedaan umur, salah satu alasannya ya karena mikirin omongan orang juga. Nyatanya sekarang, Edel bahagia banget dengan keluarganya. Raja pun bisa membaur di keluarga kita dengan luwes. Kalo dulu kita gak ngasih restu, saya gak bisa bayangin kondisi Edel sekarang seperti apa.”

Obrolan panjang kami malam ini sudah menjelaskan dengan gamblang keseriusan Pak Dokter untuk merestui kedua anak  yang sedang terjerat jaring asmara.

“Kuncinya cuma satu, kita ikhlas. Ikhlas karena harus berbesan, ikhlas mendengarkan komentar miring dan prasangka negatif dari orang-orang.” Bapaknya Lintang menuntaskan ujarannya sambil merubah posisi tidur kembali miring menghadapku.

“Ayo rebahan sini, biar saya peluk.” Lelaki paruh baya itu memberi titah sambil menepuk-nepuk bantalku. 

Kubaringkan diri dengan posisi memunggungi Beliau. Pak Dokter memelukku dari belakang. Tetiba aku teringat cerita Edel tadi siang. Kusampaikan pada Pak Dokter tentang niat Dhuha terhadap Anggi. Mendengar ceritaku, tak terdengar sepatah katapun dari mulut Beliau. Karena posisiku membelakangi Beliau, aku tidak tahu bagaimana respon yang tergambar di wajah Beliau. Kucubit tangan Pak Dokter yang sedang memelukku, sambil berujar,

“Kok diem tho, Dok?”

Beberapa saat belum juga terdengar respon dari Beliau. Lelaki dewasa itu justru semakin erat memelukku.

“Dok...?” Kembali kugugah Beliau dengan panggilan sayangku.

“Saya kok jadi malu ya. Anak-anak begitu tulusnya, sementara kita lebih memikirkan omongan orang dibanding perasaan mereka.” Jawaban Pak Dokter begitu jujur.

“Itu juga yang saya rasakan waktu tadi siang Edel cerita ke saya. Kita gak ikhlas dengan hubungan mereka. Eh...sementara mereka punya niat yang mulia untuk adik bungsunya.”

“Besok Lintang sama Dhuha kita ajak ngobrol. Mumpung ada Edel sama Raja, mungkin mereka juga punya masukan untuk adek-adeknya.” Pak Dokter berucap sambil tangannya meng-usili diriku.

“Njenengan kok usil banget tho, Dok?” ujarku sambil menepis tangan Beliau. Lelaki itu tertawa melihat responku yang merasa terganggu dengan keisengannya.

“Berarti saya udah sembuh beneran. Njenengan bilangkan, saya kalo lagi sehat sukanya nyeruduk-nyeruduk.” Di sela tawanya, Pak Dokter menjawab dengan kalem sembari kembali menjahili istri paruh bayanya.

Aku kembali menyingkirkan jari-jemari Beliau ketika terdengar suara klakson mobil. Kelihatannya anak-anak sudah pulang. Mbak Ramlah pasti sudah tergesa keluar,membukakan gerbang untuk anak-anak.

“Nyeruduknya ditunda dulu, Dok. Ada pesan sponsor mau lewat. Tuh anak-anak dah pulang,” ujarku sembari melepaskan diri dari pelukan Beliau, bangkit dari tidur, dan bersiap hendak keluar kamar menemui anak-anak.

Lelaki paruh baya nan kharismatik itu cuma bisa tersenyum pasrah ketika diri ini dengan tawa terurai melambaikan tangan seraya menuju ke arah pintu. Selanjutnya Beliau turut beranjak dari tempat tidur, menyusulku untuk menutup malam di akhir pekan ini dengan bercengkerama dan menyapa anak-anak walau hanya sejenak.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER