Stetoskop Cinta Sang Dokter 24
Kulirik jam dinding yang sudah menunjuk ke pukul lima tepat, sementara diri ini baru saja keluar dari kamar mandi setelah selesai mensucikan sekujur raga akibat serangan fajar yang dilakukan oleh kekasih hati. Mungkin beliau tak mampu menghalau rindu setelah melewati masa sakit, dan fase pemulihan dalam bentuk liburan yang lumayan memakan waktu. Walau liburan yang kami jalani bertajuk bulan madu kedua, namun sejatinya tak ada madu di sana, yang ada hanya refreshing bernuansa romantis demi pemulihan fisik Pak Dokter.
Ketika hendak melaksanakan dua rakaat sholat subuh, Pak Dokter memasuki kamar. Beliau sudah pulang dari mesjid.
“Lho...kok belum subuhan? Padahal udah saya gugah dari tadi.” Memang diriku tadi sempat terlelap sesaat, dan sebelum berangkat ke mesjid beliau menggugahku untuk segera mandi. Makanya tak heran, ketika melihat istrinya baru hendak beribadah, lelaki kharismatik itu menegurku. Nada bicaranya kalem namun ada ketegasan tersirat di dalam ujarannya. Aku selalu takluk setiap mendengar beliau bertutur dengan gaya seperti itu.
“Tadi dah di kamar mandi, Anggi bangun, nangis. Ya saya keluar lagi, buatin susu dulu, nge-puk-puk Anggi sebentar, baru mandi.” Aku memberi alasan atas keterlambatan ibadah pagi, ”Saya sholat dulu, Dok.” lanjutku kemudian, membiarkan lelaki terkasih itu menyambangi anak bungsunya yang kembali pulas di dalam box.
“Jangan dibiasakan menunda sholat.” Masih dengan nada kalem beliau berujar sambil menganti baju koko dengan kaos rumahan. Sementara aku sedang melipat mukena setelah purna beribadah. Ternyata beliau masih memikirkan keterlambatan subuhku.
“Ya, Dok,” jawabku patuh, singkat, dan tak ingin memberi alasan lagi. Imamku ini selalu berhasil membuat hati wanita paruh baya-nya tak berkutik.
“Anak-anak hari ini punya rencana ke mana?” tanya beliau sembari kembali merebahkan diri ke peraduan setelah selesai berganti baju.
“Edel katanya mo ketemuan sama temennya. Terus siang nanti dia ngajak makan siang bareng di luar. Setelah makan siang, mau langsung meluncur ke Yogya. Kalo anak-anak yang lain sepertinya gak ada rencana ke mana-mana tuh.” Aku menjawab pertanyaan Pak Dokter tentang planning anak-anak di hari Ahad ini berdasarkan perbincangan dengan Edel tadi malam, “Pengen sarapan apa, Dok?” lanjutku sambil mendudukkan diri di tepi ranjang dan refleks memijat-mijat kedua betis Pak Dokter secara bergantian. Beliau terlihat menikmati pijatan ala kadarku.
“Pengen sarapan njenengan.” Bapaknya Anggi memulai kekonyolannya di pagi hari. Belahan jiwaku ini memang tipikal lelaki yang kompleks. Di satu waktu, beliau mampu membuatku hormat dan patuh. Di lain saat beliau bisa menjelma menjadi suami iseng yang hobi menggoda sang istri.
“Njenengan kalo dah sehat jadi lebay,” ujarku sembari beranjak dan tak lupa memberi cubitan di betisnya.
Kutinggalkan Pak Dokter yang tertawa lepas melihat reaksi istrinya. Aku bergegas keluar kamar, bermaksud menuju dapur untuk memberi titah pada Mbak Ramlah.
Suasana rumah masih lengang. Walau tadi para lelaki sudah beraktivitas ke mesjid, namun kini semuanya kembali ke kamar masing-masing, termasuk Pak Dokter. Libur di hari Ahad membuat anak-anak lebih santai menyambut pagi, semuanya betah mendekam di bilik pribadinya. Apalagi tadi malam mereka menikmati weekend hingga larut.
Ketika melintas di ruang keluarga, terlihat Dhuha sedang duduk sendiri sambil menonton televisi. Menyadari kehadiran sang emak, perjaka itu langsung memintaku duduk menemaninya.
“Ma, aku mo bicara.” Nada ujarannya terdengar memohon.
“Mo ngomong apa, tho?” tanyaku sembari mendudukkan diri persis di sebelahnya, “Mama mo ke dapur nih, mo nyuruh Mbak Ramlah bikin sarapan. Kamu mo sarapan apa, Ha?” lanjutku tanpa menunggu jawaban atas pertanyaan pertama tadi.
“Manut, Ma. Sarapan apa aja boleh.” Jawaban Dhuha terlihat asal karena sepertinya ada hal lebih penting lainnya yang ingin dia sampaikan, “Om tidur lagi ya, Ma?” lanjutnya lugas.
“Gak, paling bentar lagi keluar kamar.”
“Aku mo ngobrol sama Om tentang pembicaraan kita sewaktu dari bandara kemarin.”
“Tadi pulang dari mesjid kok gak ditanya sekalian.”
“Gak enak, Ma. Masih terlalu pagi.”
“Sekarang juga masih pagi.”
“Ya gak sekarang, Ma. Tapi hari ini, soalnya nanti sore aku mo pulang ke Salatiga. Selama proses aplikasi ini, aku di Salatiga aja, biar lebih fokus.”
“Kamu mo tanya apa?”
“Aku cuma mau memastikan, Om serius gak dengan pernyataan yang kemarin.”
“Kalo serius gimana? Apa kamu mau langsung minta dinikahkan?”
“Kalo diizinkan sama Om, dengan senang hati, Ma.” Dhuha menjawab tantanganku dengan senyum sumringah.
“Kamu sama aja seperti Papanya Anggi. Nekad dan lebay,” ujarku sambil bangkit dari duduk dan melangkah menuju dapur.
Dhuha tertawa mendengar kalimat Emaknya. Lelaki muda itu mengikuti langkahku melintasi ruang makan menuju dapur.
“Ma...aku serius,” ujarnya sambil membuntutiku. Mbak Ramlah yang sedang mencuci piring tertawa melihat kelakuan anak keduaku setelah kami tiba di dapur. Mungkin dia heran melihat Dhuha yang biasanya tenang dan dewasa, kini terlihat seperti anak kecil yang sedang membujuk mamanya supaya dibelikan es krim.
“Mama juga serius, kamu tu persis seperti Om,” ujarku sambil membuka pintu kulkas, memandang isinya sekilas, kemudian beralih menatap Dhuha yang berdiri tepat di belakangku, “Nanti Om mau bicara sama kamu dan Lintang.” Akhirnya tak tega juga diriku menggantung perasaan sang perjaka yang sedang kasmaran ini.
@@@@@
Waktu sudah menunjuk ke pukul sembilan lebih beberapa menit. Selesai sarapan, Edel dan Raja berkemas, kemudian segera meluncur ke Banyumanik untuk memenuhi janji bertemu dengan temannya. Sementara Pak Dokter dan anak-anak menikmati Ahad pagi ini sambil bersantai di ruang keluarga.
Mbak Ramlah sibuk dengan urusan cucian dan beres-beres rumah. Hari ini beliau terbebas dari urusan dapur, karena siang nanti kita berencana untuk makan di luar.
Dan diriku menikmati pagi sambil bercengkerama dengan tanam-tanaman di halaman belakang. Anggi ikut bersamaku. Kupasang baby play room di teras belakang, kemudian memasukkan beberapa mainan ke dalamnya, setelah itu membiarkan si bungku asyik bersama mainannya di dalam play room sambil mengoceh dalam bahasa planet.
Ketika sedang asyik membersihkan daun-daun yang mulai menua di setiap pot Aglaonema yang berada di sekitar teras, Pak Dokter datang menghampiri si bungsu. menggendongnya sebentar sambil menciumi pipi gembul bocah lucu tersebut. Selanjutnya Pak Dokter kembali meletakkan buah cinta kami di area bermainnya.
Setelahnya beliau ikut membantuku merapikan beberapa pot tumbuhan dengan daun berwarna-warni eksotis tersebut.
“Dhuha pengen ngobrol sama njenengan, Dok,” ujarku lirih ketika beliau duduk berjongkok menjejeriku sambil mencabut rumput-rumput kecil di dalam pot tanaman hiasnya.
“Iya, tadi sebelum ke sini saya juga udah ngomong ke dia, kalau saya pengen ngajak dia ngobrol,” ungkap Pak Dokter dengan nada santai.
“Pasti seneng banget tu anak. Tadi pagi-pagi udah duduk sendirian di ruang keluarga nungguin kita keluar. Begitu ngeliat saya, langsung nanyain njenengan. Katanya sore nanti dia mau balik ke Salatiga. Selama proses aplikasi mau netap di sana dulu. Jadi sebelum pulang, dia pengen dapet kepastian dari calon mertuanya.” Kuakhiri kalimat panjang tersebut dengan seuntai tawa, berbarengan dengan kemunculan Lintang di pintu. Walau aku dan Pak Dokter berbincang dengan suara yang cukup lirih, namun ternyata kakak Mentari tersebut mampu menangkap pembicaraan emak bapaknya.
“Mama nih...anaknya sendiri digosipin.” Sulung Pak Dokter ini memang unik. Dengan gaya jutek, celetukannya sering terdengar makjleb dan lugas. Pak Dokter tertawa mendengar ujaran anak sulungnya yang tiba-tiba muncul dan merespon ucapan sang istri secara spontan.
“Pacarnya gak terima, Dok, Si Arjuna digosipin.” Sambil berjalan menuju keran di sudut halaman, aku semakin iseng menggoda Lintang. Sang bapak masih mengurai tawa.
Sambil mendudukkan diri di kursi yang berdekatan dengan bekas kandang Ben, gadis manis itu terlihat manyun mendengar gurauanku,
“Pa, mo pinjem mobil. Kuncinya di mana, Pa?” ujarnya masih dengan ekspresi manyun. Aku yang sudah selesai mencuci tangan segera naik ke teras, duduk di sebelah Lintang.
“Mo ke mana, Tang? Kok gak pake Brio?” sela-ku sambil menggoda Anggi yang berada di play room dengan bercilukba.
“Mo ambil buku ke rumah temen. Brio-ku kotor banget, Ma.”
“Tang, pake Brio aja nanti sekalian doorsmeer.” Tiba-tiba Dhuha sudah muncul di ambang pintu, sambil meluncurkan ajakan pada kekasihnya.
“Ini berdua mo ambil buku apa mo pacaran?” Sambil mendudukkan diri di sebelahku, Bapaknya Anggi yang baru selesai mencuci tangan menggoda pasangan kekasih yang sedang kasmaran tersebut. Aku dan Dhuha tertawa mendengar celetukan Pak Dokter, tapi tidak dengan Lintang. Gadis itu tidak suka dengan gurauan sang bapak.
“Ah...Papa garing,” ujarnya sambil bangkit dari duduk, kemudian berlalu begitu saja, “Aku pergi sama Dek Maghrib aja, gak usah dianter Mas Dhuha,” lanjutnya saat sudah berada di dalam ruangan dengan suara sedikit keras.
“Tang....” Sambil tetap mengurai tawa, Sang Bapak memanggil sulungnya, “Sini dulu Papa mau ngomong.”
“Katanya Dhuha mau ngobrol sama Om,” tanya Pak Dokter lugas, “Gak usah formil-formilan, ngobrol santai aja, Ha,” lanjut beliau.
Dhuha mematuhi titah bapak tirinya. Anak lajangku itu mengambil posisi duduk di sebelah Pak Dokter. Lintang kembali muncul di ambang pintu. Sementara aku meraih Anggi dari play room, menggendongnya, kemudian berlalu masuk ke rumah.
“Tang, duduk sini. Jangan berdiri di pintu gitu.” Aku masih sempat mendengar ujaran Pak Dokter walau sudah berada di dalam rumah.
Setelah memasrahkan Anggi kepada Mentari dan Maghrib di ruang keluarga, aku berlalu ke kamar mandi beberapa saat. Setelahnya kembali ke teras belakang untuk bergabung dengan ketiga personil keluarga Pak Dokter.
“Ya, Om. Nanti aku tuntaskan dulu masalah pekerjaan.” Kalimat Dhuha ini masih sempat tertangkap telinga saat aku tiba di teras, dan mendudukkan diri persis di sebelah kakaknya Maghrib ini.
“Dhuha mau ikut Management Trainee lagi.” Pak Dokter menyampaikan informasi yang tadi tak sempat kudengar.
“Lho...piye toh?’ tanyaku spontan, “Kemarin ngotot pengen nikah, sekarang mo ikut Management Trainee lagi.” Diri ini tak mampu menahan lidah untuk tidak meluncurkan pernyataan nyinyir tersebut.
Karena sependek pengetahuanku, mengikuti program Management Trainee di perusahaan multi nasional yang ingin ditembak Dhuha itu bisa memakan waktu yang cukup lama. Untuk proses seleksinya saja bisa berlangsung sekitar enam sampai tujuh bulan. Dan program MT nya sendiri berlangsung selama tiga tahun. Dalam kurun waktu itu, ada masa dia harus di rolling ke negeri seberang.
“Lagian kamu kan bukan fresh graduate,” lanjutku lagi.
“Ikut yang profesional, Ma. Umurku masih memenuhi syarat, pengalaman kerjaku juga.” Dhuha merespon ujaranku dengan kalem, dan hanya tersenyum mendengar kalimatku yang jelas-jelas menunjukkan nada heran. Sementara ekspresi Lintang tak kalah membingungkan. Ada bias kenyamanan terpancar dalam wajahnya.
“Mama bingung lihat kalian berdua. Gak direstui, pada mogok semua. Yang cowok mogok kerja, yang cewek mogok bicara, sampe-sampe Papa ambruk gara-gara mikirin anak sama calon menantunya. Sekarang direstui, malah mundur teratur. Padahal tadi pagi kamu baru ngomong sama Mama toh, Ha. Kalo Om ngasih izin, kamu dinikahkan sekarang juga siap.” Tanpa kusadari, karakteristik seorang emak langsung terpancar dari celotehku yang lebih terkesan sebagai omelan.
“Dah gak usah merepet. Jalani aja seperti apa adanya.” Pak Dokter seolah paham kalau istri paruh bayanya sedang memendam sedikit rasa jengkel.
“Mama....” Panggilan Dhuha begitu lembut dan menenangkan, “Setelah kemarin Om ngasih lampu hijau walaupun aku belum terlalu yakin, aku langsung konfirm temen yang ngasih info tentang loker itu. Tapi ternyata menurut temenku, kalau bisa aku gak usah ambil loker yang itu, jenjang karirnya lambat. Dia malah mengarahkan aku untuk ambil yang MT aja. Tadi aku dah jelasin tentang hal ini ke Om. Menurut Om, baiknya sekarang aku menuntaskan masalah pekerjaan dulu.” Dhuha melanjutkan penjelasannya dengan sabar dan perlahan. Mungkin dia tidak ingin sang emak merepet lebih panjang lagi.
“Aku gak bermaksud mempermainkan Mama sama Om. Jujur, niatku menikahi Lintang sudah begitu bulat. Makanya tadi pagi aku bilang ke Mama, kalau diizinkan Om, sekarangpun aku siap untuk nikah, dengan konsekuensi gak bisa ikut MT, bagiku itu bukan masalah besar. Wong meninggalkan pekerjaan yang sudah mapan saja aku gak ragu, apalagi hanya sekedar tidak ikut MT. Tapi kenapa akhirnya aku lebih memilih menunda nikah dan ikut MT, karena kemarin aku dan Lintang udah ngobrol masalah ini, dan Lintang lebih seneng kalo aku ikut MT.” Seiring Dhuha mengakhiri kalimatnya, kutatap Sulung Pak Dokter yang ternyata pipinya sedang merah merona bagai kepiting rebus. Mungkin gadis itu merasa tersanjung dengan pengakuan kekasih hatinya yang berlapang dada mengikuti sarannya.
“Intinya sekarang aku sama Lintang hanya ingin meminta kepastian dari Mama dan Om, bahwa hubungan kami memang bener-bener direstui. Bahwa Mama dan Om gak hanya sekedar berbasa-basi membiarkan kami pacaran tapi sebenarnya masih ada rasa tidak ikhlas atas hubungan ini.” Anak tengah Pak Wicaksono itu kembali mengurai kalimat-kalimat yang terdengar begitu bijak.
“Salah satu alasanku meminta Mas Dhuha untuk mengikuti Management Trainee, bukan melulu karena faktor jenjang karier aja, Ma, Pa. Tapi juga supaya kami bisa memenuhi harapan Papa yang menginginkan aku menikah setidaknya setelah selesai S.Ked.” Tanpa kuduga Lintang dengan spontan menimpali argumentasi pacarnya, “Tapi restui kami dengan ikhlas, ya Pa, Ma,” lanjutnya dengan nada memohon.
“Jadi kalo aku terkesan begitu penasaran dengan keputusan Om, sebenernya karena aku butuh kepastian aja. Aku gak akan memaksakan diri lagi untuk dibolehin nikah dengan segera. Tapi yang paling penting, Mama sama Om bener-bener ikhlas dan ridho merestui kami,” lanjut Dhuha.
Kedua pasangan muda itu bahu membahu mengurai kalimat-kalimat bijak untuk meluluhkan hati emak dan bapaknya.
Aku ingat ketika Pak Dokter menolak keinginan Dhuha untuk menikahi Lintang beberapa waktu yang lalu, gadis cantik itu menanggapinya dengan sikap yang terlihat sedikit kekanak-kanakan, berlari menuju kamar, kemudian menumpahkan kekecewaannya dengan menangis.
Tapi kini dia telah bermetamorfosa. Kalimatnya begitu dewasa, juga gesturnya, walau sesekali terlihat sikap salah tingkah ketika Dhuha tertangkap mata sedang menatapnya mesra.
Obrolan yang kukira akan didominasi oleh Pak Dokter, ternyata berlaku sebaliknya. Emak dan bapak justru lebih banyak berperan sebagai pendengar.
“Jujur, seperti kamu bilang tadi Ha, kalau kemarin-kemarin Om sama Mama memang masih belum sepenuhnya bisa nerima hubungan kalian. Tapi sekarang gak lagi. Om udah ikhlas, Mama juga. Semuanya sekarang terserah kalian. Dhuha masih mau mengejar karier dengan ikut MT, atau mau segera nikah, monggo. Tapi dengan catatan, kalopun ingin segera nikah, harus punya pegangan untuk nafkahi Lintang, jangan nganggur.” Akhirnya Pak Dokter memberi respon atas argumen panjang lebar Dhuha dan Lintang.
Walau sebenarnya kedua anak sudah bisa menebak akan restu yang bakal mereka kantongi, namun tetap saja pernyataan lisan Pak Dokter tadi langsung memunculkan semburat bahagia di wajah keduanya. Ada rasa lega terpancar di wajah-wajah belia itu.
“Dan satu pesan Mama, biar gimanapun kalian itu saudara. Mama gak mau kalau kalian sedang marahan, satu rumah merasakan dampaknya. Pinter-pinter menjaga hubungan, biar orang-orang di rumah ini gak bingung dengan posisinya masing-masing.” Kuutarakan dengan lugas apa yang menjadi ganjalan di hati selama ini, “Kan gak lucu, kalo kalian yang bertengkar, tapi Mama sama Papa yang diem-dieman,” lanjutku dengan nada bercanda.
Walau candaanku terkesan garing, namun bagi pasangan yang sedang dimabuk asmara, kegaringan itu justru sangat lucu tak terkira. Dhuha dan Lintang tertawa mendengar lelucon yang tak lucu itu.
Setelahnya, Pak Dokter masih mengajak Dhuha dan Lintang mengobrol, tapi kini fokus mereka sudah berganti arah. Sementara aku berusaha memberi kesan sedang mengikuti obrolan ketiganya walau sebenarnya pikiranku melayang-layang ke berbagai penjuru.
Sedikit banyak, ada rasa heran menyelinap dalam diri terhadap prilaku kedua anak kami. Ternyata pesan yang pernah kudengar dalam beberapa seminar parenting, bahwa anak biasanya cenderung ngotot kalau dilarang, dan justru akan luluh ketika diberi izin, memang benar adanya.
Saat Pak Dokter belum memberi izin pada mereka, keduanya seolah menunjukkan sikap membangkang walau tidak frontal. Rasa marah itu mereka tunjukkan dalam perubahan prilaku yang begitu mencolok. Tapi kini, setelah kami –orang tua- memberi celah demi seutas restu, keduanya justru melunak dan bahkan ikhlas menunda keinginannya. Hhmm...ternyata yang namanya anak walau sudah berusia dewasa tetap saja anak-anak.
Kisah Dhuha dan Lintang ini membuatku berkilas balik dengan diriku sendiri. Kalau kuingat-ingat, akupun dulu seperti itu. Misalnya punya keinginan untuk pergi camping dengan teman-teman, ketika orang tua melarang, rasanya jengkel banget. Tapi begitu diberi izin, rasa ragu menyelimuti diri, ikut apa gak, ya.
“Nanti mo keluar makan siang jam berapa?” Pak Dokter mengurai tanya sambil menyentuh tanganku, “Kok malah melamun,” lanjut beliau.
.
“Nunggu Edel pulang tho, Dok,” jawabku mencoba bersikap setenang mungkin setelah kedapatan kalau diri ini sedang merenung, “Tang, telphone Mbak Edel gih, nanti pulang jam berapa biar kita siap-siap,” lanjutku sembari memberi titah pada calon menantu.
Sulung Pak Dokter itu sigap melaksanakan perintah emak dengan berlalu masuk ke rumah untuk mengambil gawainya.
“Mama masih belum ikhlas, ya?” Dhuha mencoba menebak perasaanku setelah kekasih hatinya tak terlihat lagi.
“Mama ikhlas, Ha. Serius.” Kucoba meyakinkan perjaka baik hati ini. Aku memang sudah berkomitmen tidak akan mengecewakan pasangan kekasih ini lagi, “Kamu jadi nganter Lintang, gak? Dah siang lho ini, nanti Mbak Edel keburu pulang.”
“Sepertinya gak keburu, Ma. Nanti aja nganternya, pulang dari makan siang.”
“Ya udah, siap-siap gih sana. Mentari sama Maghrib juga dikasih tau tuh suruh siap-siap. Nanti kalo Mbak Edel pulang kita tinggal berangkat.”
“Njenengan kenapa?” Setelah Dhuha berlalu, gantian Pak Dokter yang mencoba menyelami perasaanku. Terhadap lelaki kharismatik ini, diriku tak pernah mampu menutupi kegelisahan yang menyelimuti hati, karena di antara kami tercipta chemistry yang begitu kuat.
“Saya gak habis pikir ngelihat anak-anak. Kemarin dilarang ngotot, sekarang diizinkan malah mundur.”
“Sudah biarkan aja. Biar Lintang fokus dengan kuliahnya, Dhuha fokus dengan MT-nya. Tapi kalo ternyata nanti Dhuha gugur di MT, terus cari job lain, terus ngotot lagi mau nikah, ya udah izinkan ajalah. Untuk sekarang ini, yang penting mereka tau kalo restu kita itu tulus, ikhlas. Kalau ternyata dalam perjalanannya ada hambatan di antara mereka, setidaknya datangnya bukan dari kita.” Pak Dokter mencoba untuk menenangkan diriku.
“Padahal kalo dia bisa melalui program MT, berarti harus siap ditempatkan di mana aja, kan Dok. Kalo gitu ngapain Dhuha kemarin repot-repot resign. Toh nanti juga belum pasti dia tugas di Semarang. Bingung saya dengan pola pikir keduanya. Sama-sama cerdas, tapi gara-gara kasmaran akut jadi labil.” Pak Dokter tertawa mendengar pemaparanku.
“Udah jangan ghibah, nanti tau-tau Lintang nongol lagi, terus protes Mama Papa ghibahin anak-anaknya.” Di sela tawanya, beliau masih berusaha meredam kebingungan yang membelenggu kekasih halalnya.
“Berarti bener filosofinya Albert Einstein bahwa hukum gravitasi tidak berlaku terhadap orang yang sedang jatuh cinta.” Aku melanjutkan ujaran dengan mengutip quote dari seorang ilmuwan jenius.
“Terus maksud Njenengan Lintang sama Dhuha sekarang sedang melayang-layang? Seperti Njenengan sama saya dulu, ya?” Papa Anggi mulai iseng menggoda istrinya sambil mengurai tawa.
“Atau jangan-jangan njenengan kecewa, karena gak jadi besanan dengan saya sesegera mungkin.” Masih belum puas, beliau kembali melanjutkan ujarannya.
Mendengar celoteh Pak Dokter, aku refleks mencubit perut beliau. Seperti biasa, Bapaknya Lintang mengaduh tapi sambil mengurai tawa.
“Hadeewww...anak-anaknya disuruh siap-siap, ehh...emak bapaknya malah asyik pacaran,” tiba-tiba terdengar celetukan Mentari yang sudah berdiri di samping kursiku, “Mbak Edel sama Kak Raja udah pulang tu lho, Ma.”
Selesai 😊
No comments:
Post a Comment