Stetoskop Cinta Sang Dokter 21
Dua hari setelah kepulangannya ke Kalimantan, Dhuha menelphoneku. Dia memberi kabar, bahwa walaupun belum mendapat izin untuk menikahi Lintang, keputusan untuk resign tetap bulat. Dan sebulan setelah itu dia kembali ke Semarang dalam kondisi sudah bebas tugas.
Aku tidak bisa menebak rencana masa depan atas pengunduran dirinya. Kalau sebelumnya Dhuha ingin resign karena berniat menikahi Lintang dan berencana mencari pekerjaan baru di Semarang. Kini aku tidak tahu, alasan resign dia karena apa, mengingat Pak Dokter belum memberi lampu hijau atas lamarannya.
Dua bulan sudah berlalu sejak Dhuha kembali ke Jawa. Di awal kepulangannya, dia masih tinggal di Semarang selama seminggu. Setelah itu Dhuha memutuskan untuk menetap di Salatiga. Walau sedih, namun aku memaklumi keputusan Dhuha.
Dalam keberadaannya di rumah, pun Dhuha lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sebenarnya, Dhuha tetap ingin bersikap seperti biasa kepada Lintang, namun sulung Pak Dokter terlihat selalu berusaha menghindar, itulah sebabnya kenapa Dhuha lebih suka mengurung diri, agar Lintang bisa bebas di rumahnya sendiri. Begitu pengakuan lelaki muda tersebut ketika kutanya kenapa menutup diri.
Selama seminggu Dhuha di Semarang, aku sering menyuntikkan semangat bahwa Pak Dokter bukannya menolak, tapi hanya menunda untuk waktu yang tepat. Biasanya setelah semua beranjak memulai aktivitas di luar rumah, aku dan Dhuha menikmati kebersamaan sambil sarapan berdua, ditemani si bungsu Anggi.
Kucoba berbicara dari hati ke hati dengan perjaka kesayanganku ini. Aku sengaja membawa Anggi setiap kami berbincang, karena keberadaan si bungsu cukup mampu membuat abangnya menyunggingkan senyum. Aku suka melihat Dhuha-ku yang dulu, ramah, bersahabat, dewasa. Namun kini dia berubah, lebih pendiam dan terkesan menutup diri. Dan Anggi satu-satunya orang yang masih bisa menularkan kebahagiaan pada lelaki-ku ini.
Tapi sering kali ketika pembicaraan kami mulai menyinggung tentang hubungannya dengan Lintang, Dhuha kelihatan tidak terlalu antusias lagi dengan niatnya untuk menikahi sulung Pak Dokter tersebut. Terus terang ada perasaan tak rela melihat anak lajangku yang biasanya selalu optimis menghadapi hidup dan masa depan, kini terlihat lemah tak berdaya, melempem tanpa semangat juang.
Walau aku tahu pemicu dari semuanya adalah keputusan Pak Dokter yang ‘belum’ merestui niat Dhuha menikahi Lintang, namun aku sangat tidak suka kalau anak lelaki-ku begitu mudah menyerah. Pernah aku berusaha memprovokasi dia, bahwa ternyata nyalinya begitu kecil.
“Ternyata anak Mama lemah. Baru menghadapi penolakan halus begini sudah menyerah, gak mau berjuang, malah mengorbankan masa depan dengan membiarkan diri jadi pengangguran. Gimana kalau misalnya Pak Dokter mengizinkan kalian menikah terus dalam perjalanannya kamu sama Lintang menghadapi cobaan yang sangat besar. Kalau sikap kamu dalam menghadapi masalah seperti ini, apa kalian bisa survive?” Tujuanku mengucapkan kata-kata seperti itu agar dia lebih termotivasi untuk menunjukkan jati dirinya pada Pak Dokter. Bukannya malah menyiksa diri seperti saat ini, karena Dhuha itu laki-laki, jadi harus tegar dan kuat.
Namun bukannya tersulut oleh provokasiku, Dhuha justru berkelit. Dia memberi alasan bahwa dia bukan menyerah, tapi mencoba ikhlas kalau jodoh itu urusan Allah, bukan hanya masalah izin Pak Dokter saja. Dan mengenai keputusannya resign dia berdalih karena ingin melanjutkan sekolah ke luar. Sambil mencari-cari informasi tentang universitas yang diinginkannya, dia memilih menikmati masa bebasnya di Salatiga.
Namun sebagai emak, aku bisa merasakan bahwa keinginan dia melanjutkan kuliah hanya pelarian semata. Pelarian yang diambil sesaat setelah rencana awalnya ingin menikah tidak berjalan dengan mulus.
Apapun itu, aku berusaha menghargai keputusan Dhuha, tapi aku selalu mengingatkan untuk tidak menjadi lelaki lemah yang mudah berputus asa.
Begitu juga dengan Lintang, sejak Sang Bapak tidak memberi restu, gadis itu menjadi lebih pendiam dari biasanya. Jadwal kuliahnya yang padat membuat Lintang sering pulang sore. Biasanya setelah berada di rumah, dia lebih suka berkurung di kamar. Kami bisa saling bertemu hanya pada saat makan malam dan sarapan.
Sekali waktu, aku berusaha mempengaruhi Lintang bahwa Sang Bapak bukannya tidak merestui, tapi hanya meminta penundaan. Semua ini kulakukan karena masih ada sebersit harapan untuk bisa membujuk Pak Dokter.
Namun seperti Dhuha, sulung Pak Dokter-pun sepertinya sudah patah arang. Dia tidak antusias lagi dengan segala kata-kata penghiburanku. Mungkin baginya semua itu hanya usahaku untuk bermanis-manis mulut saja. Ternyata anakku dan anak Pak Dokter bukan pejuang tangguh yang gigih mempertahankan cinta mereka.
Lintang yang sekarang sangat berbeda dengan Lintang yang kukenal sebelumnya. Kalau dulu, walau jutek tapi dia suka bercanda dengan nada ketusnya. Sorot matanya memancarkan bahagia dan sikap optimis walau bertahun-tahun hidup tanpa kasih sayang ibu. Tapi sekarang sorot mata bahagia itu sirna berganti dengan tatapan dingin dan serius. Bagi dia sekarang, dunianya adalah kampus, buku-buku, praktikum, dan belajar.
Suasana rumah tidak sehangat dulu. Mentari dan Maghrib seakan terkontaminasi awan mendung yang menyelimuti abang dan kakak mereka. Keduanya juga lebih suka menghabiskan waktu di kamar.
Apalagi sekarang mereka masing-masing berada di kelas tiga SMP dan SMA. Tahun ajaran baru yang akan datang, kedua bungsu yang gagal menjadi bungsu itu akan memasuki dunia SMA dan Universitas.
Bahkan Pak Dokterpun sekarang lebih suka merenung. Mungkin Beliau benar-benar bingung dengan situasi dan kondisi yang dihadapinya. Apalagi setelah Beliau melihat perubahan sikap anak gadisnya, dan kenekadan Dhuha melepas pekerjaannya, serta kini hidup terpisah dengan kami dalam kondisi menganggur.
Dalam kesepian di tengah suasana rumah yang berpenghuni banyak ini, aku sering menghibur diri dengan menelphone Dhuha atau Edel.
Seperti siang ini, selesai menunaikan sholat Zuhur, saat Anggi tertidur pulas setelah menikmati snacking time-nya, aku bermaksud menelphone Dhuha, menanyakan kabar dan aktivitasnya. Baru saja tangan ini meraih gawai yang terletak di meja kerja, benda tersebut bergetar. Panggilan masuk dari Pak Dokter.
“Assalamualaikum, Dok.”
“Waalaikumussalam. Nyonya, Njenengan nyusul saya ke rumah sakit ya. Saya harus bedrest. Bawa baju ganti untuk saya dan njenengan, juga keperluan lainnya. Ini Mas Rinto sedang perjalanan jemput Njenengan. Nanti Mas Rinto suruh makan siang dulu.” Pak Dokter menjawab salamku sembari memberi titah panjang lebar tentang apa yang harus kulakukan. Namun Beliau tidak menginformasikan dengan jelas kenapa harus bedrest. Aku merasakan -walau tidak terlalu kentara- suara Pak Dokter sepertinya agak sedikit cedal.
“Njenengan kenapa, Dok?” Aku tak mampu menyembunyikan rasa was-was yang menghantui diri.
“Saya lelah. Saya cuma butuh istirahat. Sudah ya, Assalamualaikum.” Beliau berujar dengan nada kalem. Belum sempat aku menjawab salam, Pak Dokter sudah menutup telphonenya.
Tubuhku seketika lemas bagai tak bertulang. Lelaki paruh baya ini termasuk kategori pria dengan pola hidup sehat dan cara pandang positif. Sepanjang kebersamaan kami dalam mengarungi hidup, aku belum pernah mendapati Beliau menderita sakit serius. Beliau selalu menjaga pola makan, gerak tubuh, dan pikirannya. Itulah sebabnya walau sudah tak muda lagi tapi postur tubuh Beliau tetap bagus, atletis dan perutnya tidak gendut seperti kebanyakan pria-pria seusia Beliau.
Tapi kini sang lelaki pujaan ini seolah tak berdaya menghalau kondisi yang membuatnya ambruk. Seketika aku menyadari, perubahan sikap Beliau yang lebih banyak merenung, dan beban pikiran yang berat mungkin merupakan pemicu ketidak stabilan kondisi Pak Dokter.
Walau kekhawatiran begitu menyelimuti diri, kupatuhi perintah Pak Dokter dengan segera. Kucari Mbak Kas atau Mbak Ramlah ke kamar mereka. Kuberi instruksi untuk menyiapkan makan siang, karena ada teman Pak Dokter yang akan singgah.
Selepas memberi perintah aku bermaksud kembali ke kamar untuk packing ketika terdengar suara salam dari pintu depan. Ternyata Mas Rinto sudah sampai.
Sambil menjawab salamnya, kulangkahkan kaki menuju pintu depan untuk menemui lelaki muda tersebut.
“Ayo masuk, Mas. Makan siang dulu yuk.” Kupersilakan lelaki baik hati seumuran Dhuha tersebut untuk duduk di dalam.
“Gak usah, Bu. Di sini aja,” tolaknya dengan halus, “Saya diminta Bapak untuk jemput Ibu.” Anak muda tersebut menjelaskan maksud kedatangannya.
“Iya, tadi Pak Dokter udah nelphone saya. Ayo Mas, Pak Dokter yang nyuruh Mas Rinto untuk makan siang dulu.” Setelah kuinfokan bahwa perintah ini dari Pak Dokter, Mas Rinto bersedia mengikutiku ke ruang makan.
“Jangan sungkan-sungkan ya, Mas. Tapi menunya seadanya,” ujarku berbasa-basi setelah pemuda itu mendudukkan diri di kursi makan,
“Saya tinggal dulu, Mas, mau packing dan siap-siap,” lanjutku.
“Monggo, Bu,” jawab Beliau santun.
Kutinggalkan Mas Rinto di ruang makan untuk menikmati makan siangnya, sementara aku kembali ke kamar untuk mempersiapkan semua barang-barang kebutuhan yang akan kubawa ke rumah sakit.
Setelah selesai mengemas semua barang dibutuhkan, aku mengirim seuntai pesan untuk Dhuha dan Edel, menginformasikan bahwa bapak tiri mereka harus bedrest di rumah sakit.
Bagi keduanya, ini merupakan berita yang sangat tidak baik, karena mereka juga mengetahui bagaimana pola kehidupan Pak Dokter selama ini. Dhuha menjawab pesanku bahwa dia segera meluncur untuk menyusul ke rumah sakit. Sementara Edel belum dapat memastikan, apakah hari ini atau besok baru bisa mengunjungi kami.
Kemudian aku memberi beberapa perintah yang tertulis dalam catatan panjang kepada Mbak Kas. Beliau kupasrahkan mengurus Anggi, karena aku belum tahu malam ini akan bermalam di rumah sakit atau pulang.
Setelah semua terkondisikan, bersama Mas Rinto kami meluncur di atas roda. Sepanjang perjalanan, Mas Rinto berkisah kalau kondisi Pak Dokter ternyata terkena serangan stroke ringan.
Tekanan darah Beliau mencapai 200/120. Aku terhenyak kaget mendengar cerita anak muda ini. Masih menurut Mas Rinto, berdasarkan yang dia dengar ketika tadi Pak Dokter sedang ditangani, yang membuat kondisi Pak Dokter mengkhawatirkan karena Beliau sama sekali tidak merasa pusing dengan tekanan darah yang begitu tinggi. Hanya tadi Beliau merasa pandangannya redup. Namun alhamdulillah Pak Dokter tidak sempat terjatuh.
@@@@@
Ketika kami tiba, Pak Dokter sudah berada di ruang perawatan VVIP Pavilliun di rumah sakit tempat Beliau bertugas. Mas Rinto mengantarku hingga ke depan pintu kamar, kemudian pamit undur diri.
Saat aku memasuki kamar, Pak Dokter sedang tertidur pulas. Kuambil kursi yang berada di sisi meja yang menempel ke dinding, kemudian memposisikannya di sebelah tempat tidur. Kududukkan diri di atas kursi tersebut.
Kupandangi wajah pria terkasih ini. Dalam kepulasan tidurnya, wajah Pak Dokter terlihat sangat lelah. Aku iba melihatnya. Lelaki paruh baya yang seharusnya berada di masa-masa akhir tugasnya terhadap anak-anak, justru saat ini Beliau sedang memikul beban tanggung jawab yang begitu berat.
“Nyonya....” Pak Dokter memanggilku pelan. Beliau telah terjaga dari tidurnya.
“Ya, Dok,” jawabku tak kuasa menahan haru. Mata kiri, juga hidung dan bibir sisi kiri Beliau terlihat dalam posisi yang tidak simetris, agak sedikit turun.
“Tangan Njenengan mana?” Demi mendengar pertanyaan lelaki penyayang ini, kuraih telapak tangan kanan Beliau, kemudian menggenggamnya dengan menggunakan kedua tanganku.
“Ada apa, Dok?” tanyaku lembut.
“Jangan jauh-jauh dari saya.”
Ntah kenapa, mendengar kalimat singkat yang sederhana itu hatiku terasa teriris. Lelaki paruh baya ini mungkin sedang berada di puncak kegalauannya. Bahkan ketika aku berada dalam satu ruangan dengan Beliau-pun, rasa kekhawatirannya begitu besar.
“Saya di sini. Saya gak ke mana-mana.” Kulepas tangan kananku dari genggamannya. Kini dengan tangan kiri menggenggam tangannya, tangan kananku mengelus lembut kening Beliau.
“Nanti malam Njenengan jangan pulang. Temani saya.” Kebingungan yang tadi menyelimuti diri, kini kembali menghampiri. Anggi dan Pak Dokter sama-sama membutuhkanku.
“Anggi, Dok?” tanyaku ragu.
Beliau tidak menjawab tanyaku, namun justru kembali mengulang pernyataannya.
“Njenengan jangan jauh-jauh dari saya.”
“Iya, Dok. Saya gak ke mana-mana.” Kuberi Beliau kecupan lembut di kening, “Saya telphone Lintang dulu ya, ngasih kabar kalau malam ini saya gak pulang,” lanjutku.
Beliau mengangguk perlahan. Selanjutnya kujauhkan diri dari bed menuju jendela kaca besar. Kutelphone sulung Pak Dokter beberapa saat. Sebelum kembali menghampiri Pak Dokter, kukirim seuntai pesan pada Lintang, agar semuanya tetap bersikap ceria saat nanti berada di depan Papanya.
“Anak-anak sedang di perjalanan mau ke sini,” ujarku dengan nada ceria untuk memberi support pada Beliau.
Namun usahaku itu tidak terlalu membuahkan hasil, Pak Dokter mendengarkan kalimatku tanpa respon yang berarti.
“Nyonya....” Suara Beliau terdengar sangat lirih.
“Ya....”
“Seandainya umur saya gak panjang, Njenengan sanggup menyelesaikan tanggung jawab untuk empat anak kita yang masih belum mapan? Terutama Anggi.” Dadaku berdetak lebih kencang mendengar ucapan Beliau.
Aku berharap ini bukan firasat atau tanda-tanda, karena aku belum siap berpisah dengan Beliau. Kekhawatiranku itu bukan karena masalah materi. Untuk urusan yang satu itu Insyaa Allah Pak Dokter sudah menyiapkan semuanya untuk anak-anak, tapi karena aku masih ingin lebih lama lagi mendampingi Beliau. Kebersamaan kami selama ini baru berlangsung selama dua tahun lebih beberapa bulan saja.
“Njenengan bicara apa tho, Dok. Njenengan itu insyaa Allah sehat. Sekarang ini Njenengan cuma butuh istirahat, jangan terlalu banyak mikir.” Kucoba berbicara setenang mungkin walau debar di dadaku serasa bertalu-talu.
“Njenengan kan pernah bilang bahwa kita akan menua bersama,” lanjutku sambil mengingatkan akan ucapan yang pernah Beliau ikrarkan untukku. Kembali kuelus ujung kepala Beliau penuh kasih.
“Kalau kemarin sewaktu saya melahirkan Anggi, Njenengan meminta saya berjuang untuk Njenengan dan anak-anak, sekarang gantian saya yang memohon supaya Njenengan juga berjuang untuk saya dan anak-anak.”
Pak Dokter tak membalas kalimat-kalimatku. Beliau hanya diam dengan tatap memandang lurus ke langit-langit kamar. Kini tak lagi tanganku yang menggenggam tangan Beliau, melainkan sebaliknya.
“Lagian saya gak mau ditinggal duluan sama suami untuk kedua kalinya.” Kalimatku terdengar spontan dan lugas. Beliau menoleh ke arahku, “Njenengan gak takut, kalau saya jadi janda nanti saya didatangi bujang lapuk,” lanjutku menggoda lelaki paruh baya yang sedang galau ini.
“Njenengan bicara apa sih?” tanya Beliau heran, sambil menatap lekat ke arahku, “Diajak bicara serius kok malah guyon,” lanjut Beliau dengan nada yang tak bisa kutafsirkan maknanya.
Aku tertawa mendengar ujaran Pak Dokter, pancinganku berhasil. Walau sebenarnya hatiku terpukul melihat keadaan Pak Dokter, namun aku berusaha bersikap ceria di depan Beliau.
“Kalau saya ngikuti ritme bicara Njenengan yang melow, nanti saya jadi sedih. Kalau saya sedih, saya gak bisa nyemangati Njenengan, nanti Njenengan juga gak sembuh-sembuh. Jadi ya saya godain aja Bapaknya Anggi ini, biar cepet sehat, biar istrinya gak jadi janda dan gak diserobot bujang lapuk.” ujarku sambil mencium pipi Beliau dengan gemas.
Pak Dokter berusaha menghindari ciumanku dengan memiringkan wajahnya, seolah-olah jual mahal. Aku kembali mengurai tawa melihat lelaki dewasa yang kini bertingkah bagai bocah cilik yang sedang merajuk.
“Jangan ngambek honey, gak usah jual mahal. Paling nanti kalau udah sembuh, Njenengan yang nyeruduk-nyeruduk saya.” Aku mengucapkan kalimat –kalimat tersebut dengan kalem dan santai, dan ternyata berhasil memancing sisi humoris Pak Dokter. Beliau tertawa pelan mendengar gurauanku.
Melihat belahan jiwaku sudah bisa mengurai tawa, kulanjutkan bicara untuk memompa semangat Beliau.
“Njenengan kan pernah bilang, separuh jiwa njenengan ada di saya, dan separuh napas saya ada di njenengan. Jadi kita akan menua bersama, untuk membesarkan Anggi. Do’a saya, kalau Allah ingin memanggil kita, saya memohon paling tidak menunggu Anggi menjelang dewasa,” ujarku bagai membujuk Maghrib kala dia sakit dulu, “Semangat ya, Dok. Untuk saya dan anak-anak,” lanjutku lagi.
“Kalau saya sudah sembuh, kita travelling ya. Berdua aja.” Aku bahagia mendengar kalimat Beliau, bukan karena ingin diajak jalan-jalan, melainkan karena Lelaki-ku kembali terlihat optimis.
“Dengan senang hati, Dok. Apapun permintaan Njenengan, saya siap memenuhi, asal jangan minta anak laki-laki, ya.” Lelaki terkasih itu kembali mengurai tawa mendengar kalimatku, “Pokoknya sekarang Njenengan semangat untuk sembuh. Kembali seperti dulu, hidup sehat, positif thinking, jangan terlalu terbebani dengan masalah anak-anak,” lanjutku.
“Kok anak-anak belum nyampe?” Beliau yang tadi tidak menghiraukan kabar dariku bahwa anak-anak sedang menuju ke sini, sekarang justru sedang ternanti-nanti dengan kehadiran mereka, “ Padahal udah jam besuk,” lanjut Beliau sambil menunjuk ke jam dinding.
Jam besuk sedang berlangsung, tapi kamar rawat inap Pak Dokter steril dari pengunjung, karena kami memang meminta kepada perawat untuk memasang pemberitahuan di pintu “Pasien Tidak Bisa Dikunjungi”. Dan ini semua atas permintaan Pak Dokter, Beliau ingin benar-benar beristirahat dengan tenang dan nyaman. Hanya keluarga dan rekan-rekan sejawat yang mengetahui kondisi Beliau saja yang kami izinkan berkunjung.
“Bentar lagi juga nyampe. Snack dan jusnya diminum ya, Dok.” Kubujuk kekasihku untuk mengkonsumsi jatah snacknya.
Beliau mengangguk menyetujui tawaranku sambil bangkit dari posisi berbaringnya. Perlahan kubuka plastik wrapping yang menutupi gelas jus, dengan telaten kubantu memasukkan sedotan ke mulut Beliau, dan memegangi gelas disaat Beliau menyesap jus melon tersebut.
“Dok, tadi di telphone, Lintang bilang Dhuha singgah dulu ke rumah, terus sekarang mereka barengan berempat ke sini. Mudah-mudahan hikmah dari sakitnya Njenengan ini, bisa mencairkan suasana hati anak-anak, terutama Lintang. Saya kangen anak-anak yang dulu, ceria, akrab, saling bercanda,” ujarku sambil menanti Pak Dokter menghabiskan jusnya.
“Sudah, saya sudah kenyang.” Pak Dokter menghentikan minumnya.
“Tinggal dikit lagi, mubazir Dok. Ayo tho habisin, katanya mau travelling,” bujukku lembut.
Bagai bocah cilik mendapat titah dari sang emak, Pak Dokter kembali menyesap sisa jus melonnya hingga habis.
“Snacknya saya gak mau.”
“Iya, gak pa-pa,” ujarku sambil meletakkan gelas kosong bekas jus di atas nakas.
Ketika sedang melakukan aktivitas ini, terdengar suara ketukan di pintu, diikuti daun pintu yang membuka.
Maghrib, Lintang, Mentari, Dhuha, masuk beriringan. Keempatnya langsung menuju ke pembaringan dan menyalami sang Bapak dengan takzim. Beliau sudah kembali ke posisi berbaring.
“Gimana, Om kondisinya?” Dhuha berbasa-basi sambil mendudukkan diri di kursi yang tadi kutempati. Sementara ketiga anak lainnya langsung menuju sofa besar dan duduk berbarengan di sana. Aku menyusul ketiganya dan bergabung duduk di antara mereka.
“Yah...masih belum stabil, Ha,” jawab Beliau pelan, “Mungkin kecapekan,” lanjut Pak Dokter.
Selanjutnya Bapak dan anak tiri tersebut terlibat perbincangan santai. Sementara diriku asyik bercengkerama dengan ketiga anak, bertanya tentang Anggi, suasana rumah, dan kegiatan mereka hari ini.
Dalam situasi ini, tiba-tiba Dhuha menginformasikan tentang Sang Kakak yang sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi Pak Dokter.
“O...ya, Ma, Mbak Edel hari ini ke sini. Ni barusan wa dah hampir keluar tol.”
“Kok cepat banget. Padahal Mama tadi ngasih kabar habis Zuhur lho,” ujarku heran.
“Setelah dapet kabar dari Mama, Mbak Edel langsung izin, pulang terus siap-siap. Tadi sebelum berangkat dia dah telphone aku, pas aku masih di perjalanan juga,” papar Dhuha panjang lebar.
“Saya kok jadi ngerepoti anak-anak, ya.” Pak Dokter berujar dengan lugas.
“Gak kok, Om. Aku malah seneng kita ngumpul bareng rame-rame gini. Dah lama juga kan kita gak ketemu Mbak Edel.” Apa yang dikatakan Dhuha benar, karena terakhir kami bertemu Edel ketika Dhuha baru balik dari Kalimantan dua bulan yang lalu. Setelahnya Edel belum sempat mengunjungi kami lagi.
Pak Dokter tersenyum mendengar kata-kata Dhuha. Terlihat raut wajah Beliau agak lebih segar, dan semangat seolah menyelimuti raganya.
“Kamu tadi pulang gasik, Tang?” Pak Dokter menanyai putri sulungnya.
“Jam setengah tiga nyampe rumah, Pa.”
“Aku nyampe, tadi Lintang dah di rumah, Om.” Dhuha menyambung kalimat calon istri tak jadinya itu.
Wajah Lintang terlihat sedikit kikuk dengan sikap dan kalimat Dhuha yang spontan itu.
“Mama nanti malem gak pulang?” Sulung Pak Dokter tampak berusaha menetralisir kekakuannya dengan menyodorkan seuntai tanya padaku.
“Tanya Papa tho, nanti malem mau dijaga siapa.” Alih-alih menjawab tanya Lintang, kuminta dia untuk mencari kepastian dari Bapaknya.
Bukannya bertanya pada Sang Bapak, Lintang, Mentari, Maghrib, tanpa dikomando berujar serentak dengan volume dan intonasi yang hampir bersamaan.
“Mamaaaaa.”
Pak Dokter dan Dhuha tertawa melihat tingkah ketiga bocah.
“Papa mana mau pisah dari Mama,” celetuk Mentari, “Kasian Anggi lho, Pa, kalo ditinggal Mama semaleman,” lanjutnya lagi.
Sang Bapak tak mampu merespon ucapan gadisnya, Beliau hanya bisa tersenyum. Anak-anak sangat memahami walau emak bapaknya ini pasangan tua, namun tak ubahnya bagai dua sejoli yang sedang pacaran, selalu mesra, romantis, dan sulit untuk berpisah.
Aku dan Pak Dokter memang kadang menunjukkan kemesraan di depan anak-anak, agar mereka belajar, bahwa kebersamaan dan keharmonisan itu harus selalu dijaga dan dipupuk, walaupun sudah berusia lanjut.
“Besok kamu kalau sudah punya suami juga ngerasain, berpisah dari pasangan itu berat.” Bersamaan Pak Dokter selesai merespon ucapan Mentari, kembali terdengar ketukan di pintu, disusul ucapan salam dan kehadiran Edel beserta Biru, anak bungsu Maharaja.
Edel langsung menuju nakas, meletakkan beberapa bungkusan di atasnya. Kemudian sulung Pak Wicaksono itu beserta putra bungsunya menyalami Pak Dokter dan diriku. Setelah itu keduanya ikut duduk dengan kami di sofa besar yang mampu menampung lima orang ini.
Anak bungsu Maharaja ini postur tubuhnya persis sang bapak, gagah atletis dengan tinggi sekitar 180cm, bahkan Dhuha dan Maghrib kalah tinggi dari dia. Namun dari segi wajah, tidak terlihat sama sekali kemiripan dengan Maharaja. Kata Edel, Biru mirip almarhum ibunya, dengan garis pipi yang bagus, mata bulat hitam, dan hidung yang tidak terlalu mancung.
“Raja kapan balik, Edel?” Pak Dokter berbasa-basi dengan Edel menanyakan suaminya yang saat ini sedang mengikuti seminar di Kuala Lumpur.
“Insyaa Allah Minggu depan, Pa.” Sulungku menjawab tanya Sang Bapak, “Nanti kalau Kak Raja udah pulang, kami besuk Papa lagi,” lanjutnya.
“Nanti malem nginep sini tho, Biru?” Kali ini Pak Dokter mengajukan tanya pada putra tiri Edel.
“Pulang, Yang. Soalnya besok sekolah.” Biru menjawab dengan sopan pertanyaan Eyang kakungnya.
“Gak bisa nginep, Pa. Soalnya aku besok gak bisa izin. Makanya aku ngajak Biru, karena bakalan pulang malem, jadi biar ada pengawal.” Edel menambahi jawaban Biru, ”Tang, itu lho Mbak Edel bawa martabak manis, martabak gurih, sama pukis juga. Dibuka aja sekarang mumpung masih anget, biar dimakan bareng-bareng sambil ngumpul rame-rame gini,” lanjut Edel sambil meminta Lintang membuka bungkusan yang tadi dibawanya.
Lintang bangkit dari sofa menuju nakas. Kulihat Dhuha juga ikut bangkit. Kedua pasangan kekasih yang sedang terhalang restu itu terlihat bersama membuka bungkusan yang tadi dibawa Edel. Aku, Edel, dan Mentari saling bertukar senyum melihat pemandangan di depan kami.
Sementara Pak Dokter mengajak Biru mengobrol ringan, sesekali Maghrib ikut nimbrung perbincangan antara kakek dan cucu tiri itu. Suamiku ini tipikal lelaki yang ramah banget. Dalam kondisi sakit seperti inipun, Beliau tetap berusaha agar tamunya nyaman dan tidak mati gaya dengan mengajak berbincang.
Sambil menikmati cemilan yang dibawa Edel, suasana hangat kembali terjalin di keluarga kami. Aku sangat merindukan saat-saat seperti ini setelah beberapa bulan kebekuan dan keheningan menghinggapi keluarga Pak Dokter.
Waktu bergulir, azan maghrib pun berkumandang. Dhuha, Maghrib, dan Biru bergegas turun menuju mesjid yang berada persis di depan gedung pavilliun ini. Edel mengajakku untuk turut serta sholat di mesjid.
Sebenernya aku bermaksud untuk sholat di ruangan saja, karena harus menuntun Pak Dokter ke kamar mandi, dan menjaga Beliau ketika berwudhu dan sholat.
Namun ketika Edel berbisik bahwa ada yang ingin disampaikannya secara pribadi dan penting, aku meminta Lintang menggantikan posisiku mengurus sang Bapak setelah sebelumnya memohon izin Pak Dokter dulu tentunya. Kubisikkan di telinga Beliau bahwa Edel ingin berbicara serius.
Setelah purna menunaikan tiga rakaat Maghrib secara berjamaah di mesjid rumah sakit, Edel memenuhi janjinya. Sambil duduk bertiga di pojok ruangan khusus untuk jamaah wanita, Edel mulai mengajukan beberapa tanya padaku.
“Ma, sebenernya apa yang buat Papa gak merestui Lintang dan Dhuha?”
Aku menghela napas berat. Pertanyaan yang diajukan Edel sebenarnya cukup ringan, tapi mendengar tanya itu membuat memori kembali ke suasana muram yang menyelimuti rumah kami akhir-akhir ini.
“Kepatutan sosial, Edel. Rasanya gimanaaa gitu menikahkan anak yang sama-sama berada dalam satu rumah,” jawabku jujur.
“Ma, kalau aku boleh usul, coba deh Mama buat list manfaat dan mudharat seandainya Lintang menikah dengan Dhuha. Kalau nanti dari list itu ternyata mudharatnya lebih sedikit dari manfaatnya, menurutku restui ajalah Ma mereka, kasian. Dua-duanya menderita. Bahkan, sebenernya Papa juga menderita dengan situasi ini kan, Ma? Sampai tiba-tiba ambruk begini.” Edel mengeluarkan pendapatnya dengan begitu gamblang.
Anak sulungku ini memang selalu bisa diandalkan saat kami sedang terpojok dengan suatu masalah. Pola pikirnya dewasa dan logis. Dia sangat tidak suka dengan hal yang bertele-tele. Ketika aku dan Edel terlibat perbincangan ini, Mentari juga ada bersama kami. Gadis manis ini mendengarkan dengan seksama percakapan antara aku dengan kakak tirinya tanpa berusaha menyela.
“Dengan kondisi kesehatan Papa seperti ini, Mama belum berani ngajak Papa bicara Edel.” Aku merespon ucapan Edel, “Walau dulu Mama-lah yang keukeuh berharap mereka tidak berjodoh, sementara Papa santai aja dengan hubungan anak-anaknya, tapi begitu ngeliat keduanya patah hati, Mama jadi gak tega lho,” lanjutku lagi.
“Kalau Mama gak tega, bujuklah Papa, Ma.” Ternyata keinginan Edel sama dengan keinginan Lintang dan Mentari, memintaku untuk membujuk sang bapak.
“Sekarang ini, justru aku ngeliat maksud Mama sama Papa ingin menghindari mudharat, gak diomongin dan dicibir keluarga besar...eh...malah justru mudharat lain yang kita dapat. Papa sakit, suasana rumah jadi beku, Lintang jadi seperti robot, Dhuha juga malah resign. Ironi banget kan, Ma?” Istri Sang Maharaja ini kembali mengurai argumennya.
“Kamu bantu Mama tho bujuk Papa.”
“Oke, aku siap. Kapan, Ma?”
“Jangan sekarang. Tadi siang Papa bilang, kalau udah sembuh pengen ngajak Mama travelling berdua aja. Mungkin nanti kalau keinginan Papa itu udah terwujud, kesehatannya udah pulih, pikirannya udah tenang, hatinya udah riang. Nanti Mama ngabari kamu, biar kamu pulang ke Semarang, ya?”
“Oke, Ma. Aku siap banget.” Edel menjawab dengan sangat yakin,
“Tapi, Mama gak merasa aku dikte, kan? Soalnya aku ngasih pandangan seperti ini ke Mama karena aku juga pernah merasakan seperti apa yang dirasakan Lintang dan Dhuha, was-was gak dapat restu. Cuma bedanya, aku lebih beruntung, Mama Papa langsung merestui walau aku tau sebenernya dulu itu Mama masih menyimpan ragu, tho?” Edel menodongku untuk sebuah pengakuan, namun kelihatannya dia tidak membutuhkan jawaban karena dirinya kembali mengurai kata meyambung ujarannya yang belum usai.
“Intinya Ma, kalaupun Lintang sama Dhuha berjodoh, mereka gak menyalahi syariat, jadi biarin aja keluarga besar mau ngomong apa. Jangan diambil hati, Ma. Soalnya kalau Mama sama Papa lebih memikirkan pandangan keluarga besar, jadinya malah keluarga kita sendiri yang kena imbasnya. Papa sudah kena stroke ringan, kondisinya harus benar-benar dijaga. Kalau keadaan Lintang dan Dhuha masih seperti ini terus, tetap akan berpengaruh sama kesehatan Papa, karena Papa tiap hari nyawang mereka.” Sulungku kembali menekankan keyakinannya pada si emak.
Aku baru hendak merespon ucapan Edel ketika gawai bergetar, panggilan masuk dari Pak Dokter.
“Eh...Papa nge-bel, ayo naik,” ujarku bangkit dari duduk dengan tergesa sembari menjawab panggilan Pak Dokter.
“Assalamualaikum, Dok.”
“Waalaikumussalam. Kok lama banget tho sholatnya ?”
“Iya, Dok. Ni saya dah otw ke atas. Tadi ngobrol bentar sama Edel.”
“Ngobrol kan bisa di sini.”
“Iya...iya, Dok. Maaf ya, jangan ngambek lho,” ujarku mencoba membujuk sang belahan jiwa dengan nada lembut, “Udah, ya. Ni saya mau naik lift.”
Mentari dan Edel yang mendengar ucapanku tak mampu menahan tawa.
“Papa kalau sakit ternyata manja banget, ya,” celetuk Mentari mengomentari sikap Papanya.
“Kamu jangan ngejek, besok dapet suami lebih parah dari Papa manjanya.” Edel menimpali ucapan sang adik sambil melangkah masuk ke lift.
@@@@@
Saat kami tiba kembali di kamar, Maghrib, Dhuha, dan Biru sedang berbincang santai. Pak Dokter berbaring dengan mata terpejam, sementara Lintang asyik sendiri dengan gawainya.
Aku segera menghampiri Pak Dokter di pembaringan, melantunkan seuntai ucapan maaf untuk menghilangkan kesal yang melanda Beliau.
“Maaf ya, Dok,” ujarku lirih saat sudah berada di sisi tempat tidurnya. Beliau membuka mata, kemudian merespon ucapan permintaan maafku,
“Njenengan jangan jauh-jauh dari saya.”
Karena senja telah berganti malam, sementara perjalanan yang harus ditempuh lumayan jauh, Edel memohon pamit untuk kembali ke Yogya. Sebenarnya aku masih belum puas bercengkrama dengan si sulung, namun karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, pertemuan singkat ini memang harus berakhir.
Anak-anakpun ternyata ingin segera undur diri karena besok masih harus beraktivitas di kampus dan sekolah. Sementara aku, akhirnya tetap menjadi yang terpilih untuk menemani sang belahan jiwa. Kuititip pesan pada Lintang dan Mentari agar tidur di kamar kami untuk menjaga Anggi.
Beberapa waktu setelah semua pergi, tetiba Pak Dokter memintaku untuk menyusul Dhuha.
“Nyonya...,Dhuha biar nemenin njenengan dan saya di sini.” Walau untuk sesaat aku heran dengan permintaan kekasihku itu, namun setelahnya aku menangkap makna dari keinginan Beliau itu. Pak Dokter mengkhawatirkan Dhuha dan Lintang.
Ketika aku melahirkan, walau tanpa pengawasan orang tua, tapi ada Edel dan Raja di rumah. Sementara malam ini, hanya keempat anak ditambah Anggi dan kedua mbak ART. Walau mereka adalah anak-anak yang bisa dipercaya, namun aku setuju dengan Pak Dokter, bahwa kami sebagai orang tua tetap harus berhati-hati. Apalagi saat ini keduanya sedang terhalang restu.
“Saya telphone aja, mungkin mereka sudah di bawah, Dok,” ujarku sambil meraih gawai dari saku, kemudian menghubungi nomor Dhuha, dan memintanya untuk menemaniku menjaga Pak Dokter.
“Benar tho, anak-anak sudah jalan ke tempat parkir. Mereka mau pada kulineran dulu, Dok. Sekalian bareng Edel dan Biru. Nanti selesai kulineran, Dhuha balik lagi ke sini, Edel langsung pulang. Dia gak singgah ke rumah katanya,” ujarku setelah selesai menelphone Dhuha, “Njenengan makan ya, Dok. Saya suapin,” lanjutku membujuk Beliau untuk makan.
Tadi sebelum Maghrib aku sudah menawari Pak Dokter makan, tapi Beliau menolak karena masih menikmati kehangatan berkumpul dengan anak-anak. Kini aku kembali membujuk bapaknya Anggi untuk mau menikmati makan malamnya.
“Njenengan gak makan?” Alih-alih menjawab tanyaku, Beliau malah bertanya balik padaku.
“Saya kenyang tadi makan martabak. Lagian udah malem, nanti saya gendut kalau makan malem-malem begini,” jawabku sambil membantu Pak Dokter untuk merubah posisi tidurnya menjadi duduk.
“Gak pa-pa gendut, saya tetap cinta kok.” Beliau merespon ucapanku sambil menerima suapan pertama yang kusodorkan.
“Njenengan gak usah ngegombal dulu, sekarang fokus untuk sembuh aja. Gombal mukiyonya disimpen untuk besok, ya.” Pak Dokter tertawa mendengar ujaranku.
“Gitu tho..., makan yang banyak, tertawa ceria. Saya kan seneng kalau lihat Njenengan seperti ini. Jangan bicara mati segala,” ucapku sambil kembali menyuapi Beliau.
Tetiba Pak Dokter mencium pipiku ketika aku sedang fokus memotong lauk dengan sendok.
“Tadi siang jual mahal, sekarang nyeruduk-nyeruduk,” godaku kalem, dan Beliau kembali mengurai tawa.
Ah..., Allah itu memang sangat menyayangi hambanya. Dalam kebekuan keluarga kami, dalam sakitnya Pak Dokter, Allah selipkan nikmat kebersamaan di antara anak-anak kami, dan kemesraan yang semakin hangat antara aku dan suami. Allah selalu menyediakan hikmah di balik suatu peristiwa. Maka, nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan?
Bersambung
No comments:
Post a Comment