Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 8
Berlalu dari Istana Maimoon kami menuju Kedai Ayah untuk makan siang. Resto ini berada di Medan Sunggal, lumayan jauh dari Istana Maimoon.
Aku sengaja membawa Beliau ke sana karena selain menunya yang istimewa, juga karena lokasinya yang unik. Resto ini berada di atas aliran Sungai Sunggal. Sungai dengan bibir tepinya yang landai, dan masih terdapat lahan hijau di sepanjang tepiannya merupakan panorama andalan resto ini.
Sementara menu yang disajikan di sini adalah menu rumahan dengan pengolahan yang profesional. Gulai kepala ikan dan kari bebek merupakan menu andalan yang sangat disukai pengunjung.
Selesai makan siang yang menjelang sore, aku meminta Pak Supir untuk langsung menuju ke Kualanamu.
Perjalanan menuju bandara via tol cukup lancar. Kami tiba di Kualanamu saat waktu masih menunjukkan pukul 17.00 tepat. Tiga jam setengah lebih awal dari jadwal penerbangan Beliau, pukul 20.35. Bahkan counter check in untuk jadwal tersebut pun belum dibuka.
Sebelum masuk, Pak Dokter menyelesaikan transaksi dengan Pak Supir, Beliau sekalian pamit dan berucap terima kasih. Aku mengantar Beliau hingga ke dalam. Namun Maghrib memilih tinggal di mobil bersama Pak Supir. Pak Dokter mendekapnya erat sebagai tanda perpisahan.
Sepertinya Maghrib sengaja memberi kami kesempatan untuk berdua. Si bungsu itu memang sangat pengertian.
Setelah berada di dalam, Pak Dokter dan aku mencari kursi kosong, kemudian mendudukkan diri berdampingan. Kami masih punya waktu lumayan panjang. Tadi Beliau bilang nanti sekitar dua jam sebelum boarding Beliau berniat ke lounge untuk mandi dan berisitrahat sejenak. Seharian kami berkeliling kota Medan yang panas ini. Kegerahan karena basah keringat pasti membuat tubuh beliau lengket. Tentunya kurang nyaman kalau bepergian jauh dengan kondisi badan tidak segar.
“Hmmm....capek ya,” ujar Beliau sambil menghela napas.
“Njenengan bahagia setelah seharian menghabiskan waktu dengan saya?” Tanya Beliau dengan nada lembut sambil memandangku mesra.
“Ya, Dok. Banget,” jawabku tanpa basa-basi sambil membalas tatapannya. Sepertinya aku mulai ketularan Beliau, bicara lugas apa adanya.
“Ternyata berpisah dan putus komunikasi untuk sementara waktu justru membuat hati kita semakin bertaut.” Beliau mengeluarkan saputangan dari saku celananya, kemudian mengelap keringat yang membasahi leher.
“Njenengan kapan pulang? Jangan lama-lama. Saya gak mungkin mengunjungi Njenengan setiap Minggu ke Medan.” Pintanya serius.
“Insyaa Allah hari Jum’at, Dok. Senin depan Maghrib mulai sekolah.”
“Alhamdulillah,” ujar Beliau sambil menghela napas lega.
“Wacana tinggal di Medan sudah terhapus dari agenda, kan?” Beliau tersenyum menggodaku.
Aku menjawab tanyanya dengan anggukan disertai senyuman.
“Sudah beli tiket ? Order sekarang yuk. Kita cari penerbangan siang biar nyampe Semarang malam, saya bisa jeput Njenengan.” Kelihatan banget kalau Beliau antusias menyambut kepulanganku.
“Nanti saja Dok, saya order dari rumah.”
“Tapi jangan berubah pikiran lagi, ya.”
“Insyaa Allah gak, Dok. Kecuali kepepet.” Aku mencoba menggodanya.
“Njenengan kasih alasan apa ke Mbak Widya untuk terbang ke sini.” Tiba-tiba aku teringat akan sebuah tanya yang belum terjawab.
“Saya bilang mengunjungi teman.”
“Begitu saja?” tanyaku tak yakin.
“Iya.” Beliau menjawab singkat dengan ekspresi datar.
“Mbak Widya gak tanya panjang lebar? Mengunjungi teman untuk keperluan apa, teman yang mana, dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Secara seorang istrikan biasanya instingnya kuat.”
“Mbak Widya gak secerewet dan sekritis Njenengan,” ujar Beliau tersenyum sambil menjawil ujung hidungku.
Aku kaget dengan tindakan spontannya menjawil hidungku.
“iissshh....Njenengan kok sekarang genit sih, pake jawil-jawil segala. Saya gak suka lho.” ujarku ketus dan serius.
Beliau tertawa melihat reaksiku.
“Maaf...” responnya singkat dengan tawa masih tersungging di bibir.
“Tapi saya gak yakin Mbak Widya gak punya prasangka terhadap kepergian Njenengan. Njenengan bohongin Mbak Widya, ya?” lanjutku.
“Gak ada istilah berbohong dalam kamus saya, Nyonya.” Ujarannya terdengar serius.
“Maaf, Dok. Saya gak bermaksud menuduh, cuma heran aja dengan sikap Beliau.”
Beliau tidak merespon ucapanku. Kami terdiam beberapa saat. Aku belum puas dengan jawaban Beliau tentang alasan pamitnya ke Mbak Widya. Tapi ada keyakinan di hatiku kalau Beliau memang tidak berbohong.
“Dok...” sapaku pelan.
“Ya....” jawab Beliau lirih.
“Saya belum mendapat jawaban serius kenapa Njenengan menyusul saya.”
“Saya menyusul Njenengan karena saya tau keputusan Njenengan ingin menetap di Medan itu cuma pelarian. Saya gak bisa membiarkan Njenengan mengambil satu keputusan, kemudian Njenengan menjalani keputusan tersebut dengan terpaksa dan tersiksa. Dulu ketika masih ada Bapaknya Maghrib, saya legowo berpisah dari Njenengan, karena ada yang lebih berhak terhadap Njenengan. Tapi kalau sekarang tidak. Saya gak ingin berpisah lagi dengan Njenengan, karena saya tau, separuh jiwa saya ada di diri Njenengan, dan separuh napas Njenengan ada di diri saya.” Beliau menjawab tanyaku dengan kesungguhan yang jelas tergambar dalam setiap untaian kalimatnya.
Aku merinding mendengar kalimat-kalimat Beliau. Lelaki ini tak pernah usai memikatku dengan pesonanya. Pesona yang terpancar murni dari ketulusan hatinya.
“Nyonya...” Beliau memanggilku lirih.
“Ya, Dok...”
“Niat saya bulat ingin menghalalkan Njenengan. Menikahlah dengan saya. Saya tidak akan pernah berhenti mengucapkan kalimat ini selama Njenengan belum meng-iya-kan ajakan saya.” Beliau berbicara sambil menatapku dengan raut wajah serius.
“Tapi prinsip saya belum berubah, Dok. Saya masih menunggu untuk menjadi ratu satu-satunya dalam hati Njenengan.” Aku berbicara jujur apa adanya.
“Berarti kita belum bisa bersatu?” tanya Beliau pasrah.
“Belum, Dok. Tapi setidaknya kita tidak akan pernah berpisah lagi. Saya gak akan menjauhi Njenengan lagi. Biarkan saja semua mengalir. Kita lakoni seperti apa adanya sekarang, saling berkomunikasi, saling bersilaturahmi. Kalo memang jodoh, pasti kita bisa bersatu. Tapi kalau ternyata gak jodoh, saya pengen kita bisa seperti Oshin dan Kota.”
“Siapa mereka?” tanya Beliau heran.
Aku tertawa melihat keheranan di wajah Beliau.
“Njenengan gak gaul, Dok. Njenengan gak pernah nonton film Oshin? Drama Jepang yang berkisah tentang kehidupan di awal 1900. Film itu dulu pernah diputar di TVRI, sekarang juga sepertinya ditayangkan ulang lagi . Oshin dan Kota jatuh cinta sejak masih gadis dan jaka. Tapi cinta mereka gak pernah bisa bersatu. Namun cinta mereka tulus dan tanpa pamrih. Cinta yang tak pernah bertaut itu membawa mereka menjadi sahabat sejati hingga usia senja. Mereka saling membantu, saling support, tetap menjaga komunikasi dan silaturahmi. Saya pengen kalau kita memang gak berjodoh, kita bisa seperti mereka, Dok.”
“Oshin dan Kota hanya ada di film, sementara kita ada di dunia nyata.” Balas Beliau.
“Tapi pesan moralnya kan bagus, Dok,” ujarku mempertahankan argumentasi.
“Tapi saya tetap ingin menjadi Dokter dan Nyonya saja, yang bisa bersatu dalam ikatan pernikahan suci.”
“Aamiin...” balasku serius.
“Kapan?” tanya beliau lugas.
“Apanya, Dok?” Aku balik bertanya dengan heran, karena memang aku tidak menangkap maksud pertanyaan Beliau.
“Bersatu dalam ikatan suci pernikahan?” jawab Beliau serius sambil menatapku lekat.
“Tidak sekarang, Dok.” Aku tidak ingin membalas tatapannya.
Beliau membuka travel bag kecilnya, kemudian membuka restleting kantong dalam tas tersebut, mencoba meraih sesuatu dari dalamnya. Sebuah wadah berbentuk love berbahan beledru berwarna merah. Beliau membuka wadah tersebut. Sebentuk cincin berbahan mas putih dengan mata tunggal batu mulia yang kilaunya berpendar indah sekali bertengger manis di dalam wadah tersebut.
Melihat Beliau menunjukkan benda melingkar tersebut di hadapanku, hatiku luluh lantak. Seandainya peristiwa ini terjadi saat kami masih sama-sama single, mungkin aku sudah langsung menghampur ke pelukannya karena rasa bahagia yang begitu membuncah.
Namun yang kurasakan kini jauh berbanding terbalik. Netraku memanas. Rasa sedih dan haru berpadu menjadi satu. Sedih, membayangkan Beliau akan kecewa lagi karena aku menolaknya. Haru, karena lelaki gagah yang baik hati ini begitu tulus dan gigih memperjuangkan cintanya. Aku sangat ingin menerima lamarannya, tapi tidak saat ini. Diam-diam sebersit rasa kasihan menyelinap di jiwa melihat Beliau begitu antusias menunjukkan cincin tersebut padaku.
“Kemarin itu niat saya sudah bulat menghadap Ibu untuk melamar Njenengan. ” ujar Beliau sambil menatap lekat ke bola mataku.
Aku hanya mampu membalas tatapannya sejenak, dan bahkan tak mampu membalas ucapannya. Kini perasaanku semakin tak menentu, tiada kata yang dapat menggambarkan apa yang sedang aku rasakan saat ini.
“Saya berharap dengan langsung melamar di hadapan Ibu, akan mampu meluluhkan prinsip Njenengan. Saya sudah mempersiapkan diri untuk berterus terang kepada Ibu tentang status saya. Saya gak akan menutupi kenyataan yang ada,” lanjutnya.
“Dok...” Hanya panggilan singkat itu yang bisa keluar dari bibirku. Dan aku sendiri tak paham apa makna panggilanku itu.
“Terima, ya.” Beliau memohon dengan tulus sambil masih memegang wadah berbentuk love tersebut.
Jiwaku bergetar mendengar ketulusan di nada bicaranya.
“Jangan sekarang, Dok.” Nada suaraku juga bergetar, debar jantungku menjadi tak beraturan, telapak tangan dan kaki terasa dingin. Sementara rasa panas di sudut mata semakin menjadi, namun kutahan sebisa mungkin agar tak ada bening bulir yang mengalir di pipi.
Aku bukan hanya tidak siap menerima lamaran Beliau, namun aku juga tidak siap melihat berjuta kecewa kembali menghiasi mata cerdas Beliau.
“Kenapa ? Saya menyayangi Njenengan sepenuh hati. Saya akan menjaga Njenengan, melindungi Njenengan, membahagiakan Njenengan.” Nada suara Beliau mengiris-iris hatiku. Periihhh...
“Saya percaya semua itu, Dok. Saya sangat yakin kalau Njenengan akan menjadi imam dan pelindung yang bertanggung jawab untuk saya.”
“Lantas ?” Beliau seolah menuntut alasan utamaku menolaknya walaupun aku yakin Beliau sudah tahu jawabnya.
“Ada Mbak Widya,” jawabku singkat dan jelas.
Beliau menghela napas berat. Aku tidak suka dengan adegan kekecewaan yang terus berulang seperti ini. Jujur, aku pun ingin cerita panjang di antara kami berakhir bahagia, karena aku juga sangat mendamba kehadiran Pak Dokter di sisiku, tapi tidak dengan cara menyakiti Mbak Widya.
Untuk beberapa jenak, keheningan menyelusup di antara kami.
“Njenengan gak bisa berdamai dengan prinsip Njenengan?” Beliau memecah kebisuan sambil meletakkan wadah cincin di antara Beliau dan diriku, masih dalam kondisi terbuka.
“Berat, Dok.” Aku memberikan jawaban yang sangat tidak jelas.
“Nyonya....saya gak mungkin melepas Mbak Widya tanpa alasan.” Beliau berkata jujur apa adanya.
“Dan saya juga gak mau Njenengan menceraikan Mbak Widya hanya karena ingin menikahi saya.”
“Berbagilah dengan Mbak Widya, Nyonya.” Dalam kekalutannya, Beliau terlihat berusaha untuk tegar.
Aku menghela napas berat. Tak kuasa membalas kalimat Beliau, karena jawabanku masih sama seperti yang lalu-lalu, tidak ingin menjadi yang kedua.
Gawaiku bergetar,
[Ma, aku capek.] Seuntai pesan dari Maghrib menghiasi layar.
Sedikit banyak aku bersyukur dengan masuknya chat Maghrib, karena memberiku kesempatan menghindar dari desakan Pak Dokter.
“Dok...” Kusapa beliau yang juga sedang menatap gawainya, mungkin ada pesan masuk.
“Ya,” jawabnya sambil mengalihkan pandang dari gawai ke diriku.
“Lihat nih,” ujarku sambil menunjukkan pesan Maghrib. Beliau membacanya.
“Ya sudah. Kasihan Maghrib.”
“Njenengan saya tinggal ya.” Terbersit rasa iba melihat Beliau.
“Ya, gak pa-pa. Setelah ini saya ke counter check in, terus ke lounge untuk mandi.”
“Saya pasti pulang, Dok. Saya gak akan menghindari Njenengan lagi. Kita tetap bersilaturahmi,” lanjutku memompa semangat Beliau.
Alih-alih membalas ujaranku, beliau menatapku lekat. Tatapannya menyiratkan makna tak ingin lagi jauh dariku.
Tanpa diduga-duga, Beliau mengambil cincin yang tadi diletakkan di antara diriku dan dirinya, kemudian meraih tangan kananku, dan menyematkan cincin tersebut di jari manisku sembari berucap,
“Saya tunggu Njenengan di Ahmad Yani.”
Note : Udah dulu ya, Emak luluh lantak nih....
Bersambung....
No comments:
Post a Comment