Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 7
Lima senja telah berlalu sejak aku membuka blokir nomer Pak Dokter. Dan Sabtu ini adalah senja ke-enam Beliau tidak membalas pesanku, pesan yang menyatakan bahwa Aku dan Maghrib sedang menyusun rencana untuk menetap di Medan. Bahkan Beliau sama sekali tidak mengirim chat apapun selama enam hari ini.
Ada sebersit lega bercampur sedih dan kehilangan bergelayut di relung hati. Lega karena tindakan Beliau tidak menghubungiku, sedikit membantu menghalau galau. Sedih karena untuk berpisah dengan Beliau, aku harus bersikap seperti kanak-kanak, pergi berlalu tanpa pesan. Kehilangan karena tidak bisa dipungkiri, keberadaan Beliau cukup memberi warna dalam kehidupanku.
Berbagai tanya menghentak-hentak di jiwa. Marahkah Beliau? Atau mungkin Beliau benar-benar berkomitmen tidak akan menghubungiku lagi ?
Ah....kenapa aku jadi memikirkan Beliau terus. Bukankah memang ini yang kuinginkan, menghindar, menjauh, dan melupakan Beliau. Ntahlah....
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.15. Sebenarnya aku bermaksud menunggu sholat Isya sekalian (di Medan baru masuk waktu untuk sholat Isya sekitar jam 19.30), tapi karena perutku sudah keroncongan minta diisi, aku membuka mukena yang belum kulepas sejak selesai sholat Maghrib kemudian melipatnya, dan hendak melangkah ke luar kamar ketika gawaiku bergetar.
BOOMM....riang dan bimbang berpadu jadi satu ketika chat masuk dari Pak Dokter menghiasi gawai. Ah....aku ternyata begitu merindukan Beliau. Walau pesan Beliau belum kubuka, namun rasa senang menjalari seluruh persendianku.
Ingin berbagi berita dengan si bungsu, namun dia sedang berada di rumah adikku di Marelan. Tadi sore om-nya –suami adikku- menjeput Maghrib dari rumah Ibu dan mengajak menginap di rumahnya.
[Pesan balasan dari Njenengan membuat saya berubah pikiran. Alih-alih tidak akan mengganggu Njenengan, justru saya akan menyusul Njenengan.]
[Sekarang saya sedang transit di Soetta menuju Kualanamu, menunggu boarding dalam 30 menit ke depan.]
Aku terpaku menatap layar handphone. Beliau menyusulku? Ada rasa tidak percaya menari-nari di benak. Selama enam hari Beliau tidak membalas pesan terakhirku, kuanggap itu sebagai kode kalau Pak Dokter serius memenuhi permintaan untuk mengakhiri segalanya.
Dan kini tiba-tiba Beliau berkirim kabar tentang kedatangannya ke Medan. Napasku memburu, jantungku berdebar tak menentu, rasa lapar yang tadi mendera kini hilang tak berbekas.
Gawaiku kembali bergetar.
[Saya ikut penerbangan pukul 20.00. Nanti nyampe Kualanamu jam 22.15. Saya sudah booking hotel online, nanti saya nginep di Hermes, jalan Pemuda.]
[Saya gak bisa cuti. Tadi dari rumah sakit langsung ke bandara ikut penerbangan jam 17.45. Dan besok sudah harus kembali ke Jakarta, dengan penerbangan jam 20.35. Sementara ke Semarangnya, Senin pagi jam 05.40, karena harus langsung dinas.]
[Njenengan gak perlu membalas pesan-pesan saya ini. Saya cuma memohon Njenengan bersedia mengirimkan alamat rumah Ibu. Besok saya datang menghadap Ibu.]
[Kita tidak perlu berdebat melalui WA. Besok kita bicarakan semuanya. Saya kangen Njenengan. Gambar hati berwarna merah.]
Pesan Beliau berturut-turut masuk ke gawaiku. Aku cuma bisa merenung membaca semua pesan-pesannya. Sebegitu besarnya kah cinta Beliau kepadaku? Sebegitu berharganyakah diriku bagi dirinya? Sehingga beliau rela menggunakan hari liburnya untuk menemuiku di seberang lautan, meninggalkan anak dan istrinya.
Tetiba aku teringat Mbak Widya. Aku penasaran, gimana cara Pak Dokter pamit kepada Beliau untuk pergi ke Medan. Kira-kira alasan apa yang digunakannya. Apa mungkin Pak Dokter berbohong pada Mbak Widya ? Ada sedikit rasa tak nyaman membayangkan kemungkinan yang terakhir.
Terdengar suara Ibu memanggil namaku. Beliau masuk ke kamarku.
“Makan yuk. Ibu dah lapar.” Beliau mengajakku makan bersama.
@@@@@
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 tepat. Ibu sudah terlelap. Walau hati dan pikiranku sedang resah memikirkan Pak Dokter yang nekad menyusul keberadaanku di tanah Deli ini, namun aku menghapus semua kegalauan tersebut saat sedang berduaan dengan Ibu.
Tadi sehabis Isya aku menemani beliau mengobrol sambil memijat-mijat kakinya. Ibu suka sekali dipijat. Apalagi kalau aktivitas itu dilakukan sambil berkisah dan bertutur. Beliau terlihat bahagia banget. Ah.....ternyata memberi kebahagiaan kepada wanita hebat yang sangat berjasa dalam hidupku ini begitu mudahnya.
Ketika kurasakan Ibu mulai tidak merespon ujaranku, kuperhatikan wajah sepuhnya. Matanya sudah tertutup rapat, hembusan napasnya terdengar lembut dan teratur. Beliau menikmati waktu istirahatnya. Kututupi tubuh tua itu dengan selimut, menciumi pipinya, kemudian berlalu meninggalkan kamar beliau untuk menuju ke kamarku.
Aku mencoba menghubungi Maghrib.
[Maghrib sudah tidur?]
Dua puluh menit berlalu pesanku tak berbalas. Sebongkah kebingungan menyelimuti hati. Pesan-pesan Pak Dokter tadi belum kubalas sama sekali. Aku ingin menjaga komitmen dengan Maghrib, menyampaikan berita kedatangan Pak Dokter dan meminta pendapatnya.
Mungkin dia sedang asyik bercengkrama dengan sepupu-sepupunya (Adikku anaknya ada enam orang), hingga gawainya terabaikan.
Walau sudah hampir tengah malam, namun mataku masih terjaga sempurna. Tidak sedikitpun rasa kantuk menyergap diri. Pikiranku melanglang buana. Mencoba mencari jalan terbaik untuk esok.
Tetiba gawaiku bergetar. Pesan dari tiga lelaki istimewa dalam hidupku masuk dalam waktu hampir bersamaan.
Pesan dari Maghrib kubaca terlebih dahulu.
[Belum, Ma. Lagi ngobrol sama Tante dan adek-adek.]
[Malam ini Pak Dokter terbang ke Medan. Dan sepertinya sudah nyampe, karena barusan chatnya masuk barengan pesan Maghrib dan pesan Mas Dhuha, tapi belum Mama buka.]
[Emotikon surprised. Serius, Ma?] tanya Maghrib seolah tak percaya dengan pesan yang kukirim.
[Iya, Malah besok Pak Dokter mau ke rumah Nenek. Tapi Mama belum balesin chat Pak Dokter sama sekali.]
[Karena Pak Dokter sudah di Medan, Mama balesin aja chatnya. Terserah Mama mau bales apa.]
[Lantas besok?]
[Aku bingung Ma. Mungkin untuk masalah besok, Mama yang lebih ngerti harus gimana.]
[Mama juga bingung. Ya udah, Mama buka chat Mas Dhuha sama chat Pak Dokter dulu ya.]
[Iya, Ma.]
Aku menghela napas berat. Biar bagaimanapun, Maghrib tetaplah kanak-kanak yang pikirannya belum mampu menggapai hal-hal yang saat ini sedang kualami. Namun aku cukup lega, karena setidaknya dia selalu ada untukku.
[Mama masih di Medan?]
[Iya, Ha. Kamu sehat ?]
[Alhamdulillah sehat. Mama kapan pulang?]
[Belum tau. Ha.]
[Ada apa, Ma?]
[Ada apa gimana, Ha?]
[Kok Mama berlama-lama banget di Medan.]
[Nemenin Nenek, mumpung Maghrib libur.]
[Mbak Edel cerita, Pak Dokter sering main ke rumah kita.]
Duh....hatiku mencelos. Aku merasa bersalah terhadap anak-anak. Emak macam apa aku ini. Gara-gara kisah cintaku, ketiga buah hati ikut menanggung resah dan gelisah. Harusnya aku yang mengkhawatirkan mereka, kenapa sekarang justru terbalik, mereka semua yang mengkhawatirkan aku.
[Mama...Dhuha telphone Mama ya?]
Belum sempat aku membalas chatnya, panggilan masuk dari nomer Dhuha membuat gawaiku bergetar.
“Assalamualaikum, Ma.”
“Waalaikumussalam, Dhuha. Kamu kok belum tidur?”
“Malam Minggu, Ma. Gak pa-pa tidur agak malam.”
“Edel cerita apa, Ha?”
“Pak Dokter sering main ke rumah.”
“Itu aja?”
“Mama mau cerita?” Dhuha melempar balik pertanyaanku.
“Gak ada yang perlu diceritakan, Ha.”
“Mama... ”
“Ya, Ha.”
“Kalau Pak Dokter bisa membuat Mama bahagia, ikuti saja kata hati Mama, jangan ragu untuk melangkah.”
“Mama gak mau jadi yang kedua, Ha. Dan Mama juga gak mau berbagi.”
“Iya, Ma. Aku paham dengan prinsip Mama. Semuanya terserah Mama. Aku cuma ingin Mama tau, bahwa aku mendukung apapun keputusan Mama, asalkan Mama bahagia.”
“Mama baik-baik aja kok, Ha.”
“Jalani aja yang terbaik menurut Mama. Aku sayang Mama. Udah malem Ma, tidurlah.”
“Pak Dokter sekarang ada di Medan, Ha, menyusul Mama.” Akhirnya pertahananku jebol. Kuungkap kedatangan Pak Dokter pada Dhuha.
“Sekarang di mana, Ma?” Aku menangkap nada terkejut dalam ujarannya.
“Hotel Hermes jalan Pemuda. Besok Beliau mau ke rumah Nenek, tapi Mama belum ngasih alamat. Mama bingung, Ha.”
“Temui Pak Dokter, Ma. Hargai usaha Beliau untuk menyusul Mama. Mama pernah cerita sama Nenek tentang Pak Dokter?”
“Cuma kalian, anak-anak Mama yang tau tentang Pak Dokter.”
“Ma...” Kalimat Dhuha menggantung.
“Ya, Ha,” balasku penasaran.
“Maaf ya Ma, aku cuma sekedar bertanya. Kira-kira Mama sudah punya rencana, hubungan Mama dengan Pak Dokter mau dibawa ke mana? Kalau Mama sudah yakin ke mana berakhirnya hubungan ini, bolehlah Pak Dokter ke rumah Nenek. Tapi kalau Mama masih belum yakin, bagusnya Pak Dokter gak perlu dulu berkunjung ke rumah nenek. Besok ajak Maghrib kalau Mama mau ketemu dengan Pak Dokter.”
“Makasih ya, Ha. Mama nurut aja apa saran kamu. Mama sayang sama kamu.”
“Aku juga sayang banget sama Mama. Ikuti kata hati Mama ya, yang penting Mama bahagia. Aku sadar, Mama butuh teman berbagi di hari tua. Sementara Aku, Mbak Edel, Maghrib, mungkin belum tentu bisa menemani Mama, karena kami akan memiliki kehidupan sendiri nantinya.
“Ya, Ha.”
“Sekarang Mama istirahat, jangan banyak pikiran nanti Mama sakit. Udah ya, Ma. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam,” jawabku menutup perbincangan dengan Dhuha.
Pikiranku menerawang jauh ke alam antah berantah. Almarhum suamiku meninggalkan warisan yang begitu berharga, anak-anak yang sopan, berbudi, dan sangat menyayangiku. Dengan warisan yang tak ternilai itu, harusnya aku tak perlu lagi menitipkan cinta ke lain hati. Tapi ternyata Allah memberiku takdir untuk terjerat cinta dengan Pak Dokter.
Aku membuka pesan yang dikirim pak Dokter pada jam 23.35, bersamaan dengan pesan Dhuha dan Maghrib.
[Saya sudah check in di Hermes dan sudah bebersih diri. Njenengan sudah tidur? Saya kangen banget.]
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 01.15. Tanpa ragu, kubalas pesan Pak Dokter walau terlalu telat. Chat Maghrib dan telphone Dhuha, memberiku sedikit jalan dalam mengambil keputusan apa yang akan kulakukan besok.
[Belum, Dok. Saya juga kangen Njenengan.] Dan aku pun tak ragu mengungkapkan kerinduanku padanya.
Setelah pesan terkirim, aku bersiap naik ke peraduan, karena yakin pesanku takkan berbalas. Seharian berdinas, kemudian menempuh perjalanan ribuan kilometer, pastilah saat ini Beliau sedang menikmati istirahat malamnya.
[Gambar hati berwarna merah. Kalau kangen kenapa kemarin meninggalkan dan memblokir saya ? Terus sekarang kenapa belum tidur?] Ternyata dugaanku meleset. Beliau masih terjaga, dan langsung membalas chatku.
[Belum ngantuk, Dok. Njenengan kenapa menyusul saya?]
[Karena separuh jiwa saya ada di diri Njenengan, jadi saya harus menyusulnya.]
[Njenengan kalau diberi kesempatan, langsung aja mengobral gombal ya, Dok.]
[Emotikon tertawa ngakak.] Balasan Beliau.
Hatiku kembali berbunga-bunga. Perasaan galau yang selama ini menemani hari-hariku seakan hilang, terbang tak tau kemana rimbanya. Ternyata aku memang tidak siap untuk berpisah dengan Beliau. Kehadiran beliau, pesan-pesan gombalnya, selalu memberi keceriaan tersendiri di hati.
[Send loc alamat Ibu, Nyonya.]
[Tadi Dhuha nelphone saya, menurut dia Njenengan gak perlu ke rumah Ibu.]
[Njenengan cerita ke Dhuha tentang kedatangan saya?]
[Sekarang saya milik anak-anak Dok, jadi dengan merekalah saya berbagi cerita.]
[Ya, saya paham.]
[Menurut Dhuha, lebih bijaksana kalau kita bertemu di tempat lain, karena Ibu dan semua keluarga saya, tidak pernah tau tentang kisah kita, juga supaya lebih leluasa mengobrol. Dan saya patuh dengan saran Dhuha, karena sekarang dia yang bertanggung jawab terhadap saya.]
[Di manapun kita harus bertemu, gak menjadi masalah buat saya, Nyonya. Yang terpenting Njenengan bersedia nemuin saya, karena banyak yang ingin saya bicarakan.]
[Dok, Njenengan kasih alasan apa ke Mbak Widya untuk bisa terbang ke sini?]
[Nanti saya ceritakan. Sekarang Njenengan tidur dulu, sudah hampir jam 02.00.]
[Harusnya Njenengan yang istirahat, Dok. Kemarin seharian dinas, terus menempuh perjalanan jauh. Capek kan, Dok?] Rasa sayang pada Pak Dokter, membuatku refleks mengkhawatirkan keadaannya.
[Semua rasa capek saya hilang karena Njenengan merespon saya dengan hangat.]
[Nyonya....] lanjut beliau.
[Ya, Dok.]
[Jangan pernah meninggalkan saya lagi.]
[Saya gak pernah ninggalin Njenengan, Dok. Njenenganlah yang meninggalkan saya.]
[Itulah kenapa saya menyusul Njenengan ke sini, untuk membuktikan kalau saya pun gak pernah berniat untuk meninggalkan Njenengan.]
@@@@@
Aku hanya sempat memejamkan mata kurang dari tiga jam. Tepat jam lima pagi aku bergegas bangun. Sambil menanti masuknya waktu sholat subuh, kuhubungi nomer Nina, adik bungsuku. Nina seorang wanita karier dengan enam orang anak. Posisinya di satu perusahaan swasta cukup menjanjikan, hingga mengharuskan dia sering bepergian ke luar kota atau luar negeri. Pagi ini aku memintanya untuk mengantar Maghrib ke rumah Ibu, karena akan kuajak pergi.
[Nin, kakak minta tolong. Nanti Maghrib diantar ke Cemara, ya. Soalnya mo kakak ajak pergi.] Kukirim seuntai pesan untuk adik bungsuku.
Tak perlu menunggu lama, masuk pesan balasan darinya.
[Mo diajak kemana kak? Padahal rencananya Nina mo ngajak kakak pergi juga lho, sekalian sama Maghrib sama Ibu. Mumpung Nina libur kita jalan-jalan. Ni anak-anak dah seneng banget karena mo pergi sama Bang Maghrib.]
[ Atau Maghrib gak usah diajak Kak, biar dia ikut jalan-jalan sama kami aja.] Masuk chat susulan dari Nina.
[Si Dhuha pesen, Kakak kalau ke mana-mana harus ngajak Maghrib. Mo ketemu temen. Soalnya Kakak dah janji Nin, lagian nanti sore temen kakak dah terbang ke Jakarta, jadi gak bisa dibatalin.]
[Ketemu temennya di mana, Kak ? Nanti biar Nina drop.]
[Gak usah Nin, nanti kami nge-grab aja. Pokoknya Kakak minta tolong, jam 07.00 Maghrib dah nyampe Cemara ya Nin.]
Aku menyudahi chat dengan Nina begitu azan subuh mulai berkumandang. Sebenarnya Nina masih memaksaku untuk mengantar kami, tapi aku berusaha terus menolaknya. Ada sedikit rasa gak enak di hati ketika aku jadi perusak rencana jalan-jalan mereka.
@@@@@
Aku dan Maghrib meninggalkan rumah ibu sekitar pukul 08.00 dengan menumpang grab. Sesuai kesepakatan, kami akan menyambangi Pak Dokter di hotel, selanjutnya menuju beberapa lokasi, dan terakhir mengantar Pak Dokter ke bandara. Aku sudah bernegosiasi dengan supir grab untuk membookingnya seharian, dan mengikuti kemauan beliau setelah orderan pertama, kami lepas aplikasi.
Begitu kami tiba, Pak Dokter sudah menanti di lobbi. Jantungku berdegup tak beraturan. Walau kami sudah saling kenal begitu lama, namun aku selalu merasakan getar-getar halus dan demam panggung setiap kali bertemu Beliau.
Maghrib menyalami Beliau dan mencium punggung tangannya. Sementara aku...kami hanya saling pandang penuh makna, tak sepatah katapun terucap. Hanya kalbu kami yang saling menyapa. Beliau terlihat begitu ceria dan sumringah.
Sesaat berlalu, Pak Dokter langsung mengajak kami sarapan di hotel. Sepanjang menikmati makan pagi, beliau lebih banyak mengobrol dengan Maghrib dibanding denganku.
Selesai sarapan, aku dan Maghrib menunggu Pak Dokter di lobbi. Sementara Beliau ke kamar untuk mengemasi barang-barangnya yang hanya segelintir dan kemudian mengurus administrasi untuk check out.
Aku menghubungi Pak Supir, menyatakan kalau kami menunggu di depan lobbi.
@@@@@
“Kemana kita, Kak ?” Supir taksi menanyakan arah tujuan kami, setelah mobil berjalan perlahan keluar dari hotel.
“Njenengan mau saya bawa ke mana? Mumpung di Medan biar saya yang jadi guide,” tanyaku santai kepada Pak Dokter yang duduk di sebelahku, dengan nada sedikit bercanda.
Aku tidak berani bersikap terlalu ekspresif karena ada Maghrib di antara kami. Anak bungsuku itu pinter banget mengatur posisi. Begitu mobil menjeput kami, dia langsung memilih duduk di depan bersama Pak Supir, dan membiarkan Emaknya duduk berdampingan dengan Pak Dokter di jok belakang.
Mobil sudah melaju di jalan raya, namun karena kami belum menentukan tujuan, Pak Sopir memacu mobilnya dengan lambat.
“Maghrib mau ke mana?” Beliau malah melempar pilihan kepada Maghrib.
“Manut, Om,” jawab Maghrib dengan spontan sambil menoleh ke arah kami dan tersenyum.
“Sudah, Njenengan aja yang memutuskan.” Akhirnya Beliau memintaku mengambil keputusan sendiri.
“Oke...no complain ya. Pokoknya harus manut sama guide,” ujarku tegas.
“Pak, kita ke Istana Maimoon dulu. Setelah itu nanti ke Kedai Ayah di Sunggal, terus nanti langsung ke Kualanamu ya, Pak.” Aku menyampaikan rute perjalanan kami kepada Pak Supir.
“Ya, Buk,” jawab Beliau singkat.
@@@@
Dalam waktu beberapa menit, kami tiba di Istana Maimoon yang jaraknya memang tidak terlalu jauh dari hotel Hermes.
Kami bertiga berjalan beriringan dari tempat parkir menuju ke Istana.
“Maghrib mau photo pake baju Melayu, gak?” tawarku pada si bungsu.
“Mau, Ma,” ujarnya sambil berjalan mendahului aku dan Pak Dokter.
“Njenengan, mau gak, Dok?” tanyaku sambil memandang ke arahnya.
“Mau apa?” tanya Beliau sambil tersenyum menggoda.
Langkah-langkah Maghrib sudah jauh berlalu meninggalkan kami, sehingga Pak Dokter mulai nakal menggodaku.
“Hmmm...Njenengan ni ya, pantang ada kesempatan, langsung di sambar,” ujarku berpura-pura marah.
Beliau tertawa renyah mendengar ucapanku.
“Saya kangen, Nyonya.” Seolah-olah melepaskan perasaan yang menghimpitnya sejak tadi, Beliau memuntahkan kerinduan yang tertahan selama beberapa minggu belakangan ini.
“Saya juga, Dok,” balasku jujur dengan nada suara bergetar.
“Tapi bicaranya nanti aja, Dok,” lanjutku lagi karena menyadari kami sudah tiba di bangunan utama istana. Maghrib menunggu kami sambil duduk di undak-undakan.
Setelah membeli tiket masuk, karena waktu yang terbatas, kami langsung menuju tempat persewaan baju. Kami sepakat memilih baju berwarna kuning, warna kebesaran kerajaan Melayu. Masing-masing berganti baju, kemudian menunggu antrian untuk berphoto di singgasana.
Maghrib berphoto sendiri, berpakaian teluk belanga, berdiri dengan gagahnya di depan singgasana. Kemudian layaknya keluarga kerajaan, kami perphoto bertiga. Setelah Maghrib menuju ruang ganti, untuk kembali bertukar pakaian, Pak Dokter mengajakku berphoto berdua di singgasana.
“Setidaknya saya sudah pernah bersanding dengan Njenengan sebagai Raja dan Ratu sehari,” ucap Beliau ketika mengungkapkan keinginannya untuk photo berdua.
Aku tertawa mendengar ucapannya yang konyol itu.
Selain pose duduk bersanding di singgasana, satu pose lagi berdiri di depan singgasana. Sang photographer mengarahkan gaya kami.
“Pak, merapat sikitlah ke Ibuk, rangkul pinggang ibuk, Pak,” ujar sang photographer dengan dialek Medan yang kental.
Pak Dokter tersenyum mendengar arahan sang juru photo.
.”Begini saja, Pak,” ujarku spontan sebelum Pak Dokter memenuhi arahan si juru photo.
Setelah berganti pakaian, sambil menanti hasil cetak photo selesai, aku mengajak Beliau menikmati rujak kolam. Disebut rujak kolam, karena para penjual rujak ini membuka lapaknya di Taman Kolam Deli. Dan yang membuat rujak ini menjadi salah satu kuliner ikonik kota Medan karena bumbunya yang legit dengan tambahan pisang batu mentah dan kacang tanah. Lokasinya berada di seberang Mesjid Raya Medan.
Maghrib memilih untuk tinggal di Istana Maimoon. Dia masih asyik mengamati koleksi benda-benda kerajaan yang dipajang di sana. Aku berpesan padanya kalau sudah bosan berkeliling, untuk kembali ke mobil di tempat parkir.
Aku sengaja mengajak Pak Dokter berjalan kaki di bawah teriknya cuaca kota Medan. Aku ingin menuntaskan kerinduan yang selama ini terpendam. Berada dan berjalan di sisinya adalah suatu keniscayaan yang indah. Kami menikmati setiap langkah yang terlewati. Sepanjang perjalanan Beliau menggandeng telapak tanganku. Kali ini kubiarkan Beliau melakoninya, karena aku pun ternyata tak mampu untuk menghalau rindu. Panas matahari bukanlah penghalang bagi dua insan yang sedang kasmaran.
Setelah berjalan beberapa saat, kami tiba di lokasi. Aku memesan dua porsi rujak untuk di makan di tempat, dan dua porsi dibungkus untuk Maghrib dan Pak Supir.
“Njenengan kenapa menyusul saya, Dok?” Aku memanfaatkan momen berdua dengan Beliau untuk memulai pembicaraan serius kami.
“Saya kangen sama Njenengan,” jawab Beliau santai.
“Se-sepele itukah alasannya?” tanyaku heran.
Beliau mengelap keringat yang membasahi leher dan wajahnya dengan saputangan.
“Capek Dok, saya ajak jalan?” tanyaku melihat keringat yang membasahinya.
“Gak...cuma gak tahan panasnya.” Beliau menyesap air mineral yang baru saja diantar pelayan.
“Selama ada Njenengan di samping saya, diajak jalan kemanapun saya sanggup.” Beliau mulai memainkan perannya.
“Lebay,” jawabku lugas.
Beliau tertawa mendengar jawabanku.
Seorang pelayan mengantar rujak pesanan kami.
“Hmmm...kelihatannya menggoda banget.” Beliau mengambil sepotong nenas kemudian menyantap potongan buah tersebut.
“Enak,” komentarnya spontan sambil kembali menyuapkan potongan-potongan buah lainnya.
“Suka, Dok?” tanyaku sambil memandang ke arah Beliau yang terlihat asyik banget menikmati rujaknya.
“Suka banget, terutama dengan yang mengajak saya ke sini.”
Aku tertawa kecil mendengar rayuannya. Beliau menatapku lekat dan mesra.
“Miss you so much, Mam,” ujarnya lirih.
“Panas, Dok. Gerah. Gak usah menggombal terus,” ujarku sambil menikmati kesegaran rujak kolam tersebut.
“Dari kemarin diksinya kangen terus. Gak ada kosa kata lain tho, Dok?”
“Saya kan jujur. Apa yang ada di hati itu yang saya ungkapkan ke Njenengan.”
“Njenengan kok nekad banget Dok, menyusul saya ke sini ?”
“Karena saya gak mau kehilangan Njenengan.”
“Memangnya kalau Njenengan menyusul ke sini, sudah menjamin kalau Njenengan tidak akan kehilangan saya?”
“Setidaknya saya sudah membuktikan ke Njenengan kalau perasaan saya kepada Njenengan itu begitu kuatnya, sampai-sampai saya siap menyeberangi lautan demi Njenengan.”
“Kalau sekiranya kemarin saya gak merespon chat Njenengan gimana? Padahal kan Njenengan sudah transit di Soetta.”
“Ya maju terus, sesuai niat awal. Kalau memang Njenengan gak merespon, sampe Medan ya pulang lagi. Kan gak mungkin saya berkeliling kota Medan untuk mencari Njenengan di setiap sudutnya, sementara saya sama sekali gak punya clue tentang alamat Ibu.”
“Sia-sia tho Dok perjalanananya.”
“Gak ada yang sia-sia untuk cinta sejati, Nyonya,” ujar Beliau sambil menyendok potongan buah terakhir dari piringnya.
Aku tertegun mendengar jawaban-jawaban Beliau yang begitu lugas dan jujur. Panah asmara semakin menancap erat di hatiku. Beliau begitu tulus dan jujur dalam mencintaiku. Seharusnya aku merasa sangat beruntung dicintai oleh lelaki seperti Beliau, tapi aku sulit untuk mencampakkan prinsip yang sudah melekat erat di jiwa. Aku meyakini poligami halal, tapi aku tidak siap melakoninya.
“Kenapa melamun, Nyonya,” Beliau berbisik lirih di telingaku.
Aku tersentak kaget, bukan karena kata-katanya, tapi karena bisikannya, hembusan napasnya yang membelai telinga. Aku merinding.
“Njenengan ngagetin saya.”
Beliau tertawa melihat responku.
“Saya merasa bersalah sama Njenengan, Dok,” ujarku jujur.
“Kenapa? Kan Njenengan gak berbuat apa-apa?”
“Njenengan begitu tulus, tapi saya gak bisa membalas ketulusan Njenengan.”
Tetiba gawaiku bergetar. Chat masuk dari Maghrib.
[Ma, photonya sudah jadi. Sudah kubayar pake uangku dulu.]
“Dok, ayo balik ke istana. Photonya sudah jadi.” Aku mengajak beliau kembali ke istana Maimoon.
Setelah membayar semua pesanan, Aku dan Pak Dokter balik ke istana Maimoon dengan menumpang becak motor.
@@@@@
Bersambung....
No comments:
Post a Comment