Wednesday, September 16, 2020

Stetoskop Cinta sang Dokter 06

Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 6

[Ma, Pak Dokter dateng.]

Aku, Maghrib, dan ibu sedang menikmati sarapan yang kesiangan di hari Minggu nan cerah ceria ini ketika gawaiku bergetar, seuntai pesan masuk dari Edel . Sarapan dengan lontong sayur Medan yang tadinya sangat menggugah selera, menjadi sedikit hambar ketika aku membaca pesan Edel tersebut.

[Bilang aja yang sebenarnya kalau Mama lagi di Medan,] kubalas segera pesan anak gadisku.

[Mama gak pamit tho sama Pak Dokter ?]

[Kamu tu ya...kalau Mama merespon Pak Dokter kamu gak suka. Sekarang Mama menghindari Pak Dokter malah kamu suruh pamit.] Aku mengingatkan Edel akan tanggapannya selama ini terhadap Pak Dokter.

[Ya udah, Ma. Aku nemuin Pak Dokter dulu. Ni aku lagi di dapur buatin minum buat Pak Dokter sekalian nge-chat Mama.]

[Ya.]

@@@@@

Sudah hampir dua minggu aku berada di Medan. Maghrib yang sedang libur sekolah ikut bersamaku. Selama aku pergi Mbak Sih menjaga rumah, dan di akhir pekan seperti ini Edel yang menggantikan posisinya.

Aku menikmati keberadaanku di sini, di sisi ibu tercinta. Ibu sudah sepuh, tahun ini usianya mencapai 80 tahun. Beliau hanya tinggal berdua dengan seorang asisten rumah tangga, kami memanggilnya Kak Nur.

Ibu wanita yang mandiri. Beliau tidak pernah meminta salah satu dari sebelas orang anaknya untuk tinggal mendampingi. Beliau sadar memiliki anak yang semuanya perempuan berarti harus rela melepas mereka seutuhnya setelah menikah.

Begitulah keadaan kami, anak-anak ibu. Setelah menikah, kami dibawa suami masing-masing tersebar di berbagai kota di Indonesia, meninggalkan ibu yang setia menjaga tanah kelahiran. 

Hanya adik bungsuku yang tertinggal di Medan, tapi dia pun tidak tinggal serumah dengan Ibu. Ibuku tinggal di kawasan Medan Timur, sementara adikku di kawasan Medan Marelan.
Biasanya kami akan bergantian mengunjungi Ibu di luar momen lebaran. Ibu akan terlihat senang sekali kalau ada anaknya yang sedang berkunjung. Begitu juga dengan kehadiranku saat ini.

Lima bulan yang lalu ketika aku pulang ke Medan untuk menenangkan diri setelah Pak Bojo meninggal, Ibu sedang mengunjungi kakak di Kalimantan. Jadi saat itu aku hanya mengunjungi adik dan melepas rindu dengan tanah kelahiranku serta kulinernya yang sangat memanjakan lidah.

Dan kini aku kembali pulang dalam kondisi yang tidak bisa dibilang baik. Ibarat istilah anak-anak zaman sekarang, aku sedang galau.  Sebenarnya kepulanganku kali ini sekedar mengisi liburannya Maghrib sambil menjenguk Ibu. Dalam perjalanannya, terbersit satu keinginan untuk  menetap di tanah Deli, kembali kepangkuan Ibu. Hidup berbakti dan mendampingi Beliau di hari tuanya. Aku yakin Beliau pasti akan gembira dengan pemikiranku ini.

@@@@@

Selesai sarapan, aku berbenah diri. Hari  ini aku pamit ke Ibu untuk mengunjungi rumah seorang teman SMA  di kawasan Komplek Citra Wisata, Medan Johor. Maghrib ikut bersamaku.

Selesai mandi, berdandan sejenak. Aku yang sedang berada di kamar depan, melihat sebuah  Fortuner hitam berhenti di depan rumah Ibu. Kendaraan itu tidak masuk ke halaman. Seorang wanita seumuranku keluar dari mobil. Posturnya pendek, gak sepadan dengan tunggangannya yang gahar. Melihat situasi ini, aku teringat seseorang nan gagah di seberang lautan sana. Beliau sangat sepadan berkolaborasi dengan tunggangannya, gak seperti emak-emak yang sekarang sedang berjalan memasuki halaman rumah Ibu.

“Assalamualaikum.” Sebuah suara mengucap salam di pintu depan.

“Waalaikumussalam,” jawabku sambil berjalan keluar kamar menuju  kearah pintu ruang tamu.

“Wooiii.....pha kabar? Rindu kali aku sama kau. Udah dua minggu di Medan, kok baru sekarang kau ngabari aku.” Wanita pengendara Fortuner tadi langsung merepet bagai radio rusak  begitu pintu terbuka dan kami berdiri berhadapan.

Sesuai kesepakatan kami melalui chat WA, temenku yang bernama Budiana –yang rumahnya akan kukunjungi itu- menjeputku dulu, terus kami akan jalan ke beberapa lokasi, baru kemudian menuju ke rumahnya. 

“Samalah...aku pun rindu kali jugak sama kau,” balasku dengan dialek Medan.

Beginilah aku, kalau sudah kembali ke habitatnya, hilang semua lemah gemulai dan halusnya tutur kata.

“Masok mak,” ujarku mempersilahkan dia masuk. 

Kami biasa menggunakan sapaan Mak untuk memanggil satu sama lain. Dia menyebutku Mak Maghrib, sementara aku memanggilnya Mak Sutel, karena temenku ini pengusaha katering. Dia pemilik sekaligus pengelola dari “Azizan Catering”. Dan “sutel” merupakan salah satu alat tempur wajibnya saat di dapur, itulah kenapa aku dan teman-teman memanggilnya Mak Sutel.

“Ibuk kau mana?”

“Bentar ku panggil.” Aku mencari ibu di ruang keluarga. Maghrib juga ada di sana. Dia sudah rapi, siap untuk berangkat.

“Bu, ada si Budi. Mo ketemu ibu. Maghrib ayo kenalan sama temen Mama.”

Maghrib dan Ibu mengikutiku ke ruang tamu untuk bertemu dengan Mak Sutel.

“Apa kabar buk ? Sehat buk?” tanya Mak Sutel begitu melihat Ibuku.

“Alhamdulillah sehat,” jawab Ibuku kalem,”Duduk dulu Budi,” lanjut Ibu menyuruh Mak Sutel duduk. 

Ibuku walau lahir dan besar di Medan, tapi beliau kalem.

“Iya, Buk. Sebentar aja kok, Buk.” jawabnya sambil tetap berdiri.

Maghrib menghampiri dan menyalami beliau.

“Ini anak kau, Mak?” 

“Iya...siampudan,” jawabku.

“Besar kali,” ujarnya sambil menatap Maghrib dengan mendongak. Maklum, Mak Sutel tingginya cuma 153cm, sementara Maghrib sudah mencapai 160cm.

“Jadi...langsung cabot ni kita?” tanyanya tanpa basa-basi mengajak kami untuk segera memulai perjalanan.

“Iyalah. Biar gak kesorean pulangnya,” jawabku.

@@@@@

Rute kami yang pertama menuju  Pasar Petisah. Kalau orang Medan menyebutnya Pajak Petisah. Setiap pulang ke Medan, aku selalu menyempatkan diri singgah ke Pajak ini, bukan untuk belanja, melainkan  sekedar menikmati es campur Medan. 

Menurutku es campur Medan di Pajak Petisah ini memang super maknyus. Santannya kental, gula merahnya asli legit, kemudian kacang merah, biji delima, cendol, tape, dan lengkongnya....hhhmmm. Menikmati es campur Petisah di tengah panasnya cuaca kota Medan  mampu menghapus bayang-bayang wajah Pak Dokter dari anganku, walau hanya sejenak.....(Ternyata wajah kharismatik Pak Dokter kalah pamor dengan legitnya es campur Medan.)

Dari Petisah, Mak Sutel meneruskan perjalanan menuju Kantor Pajak. Dari Kantor Pajak, masih ada satu klien lagi yang harus ditemuinya, setelah itu baru meluncur ke rumah beliau. Aku sebagai penumpang mengikut saja ke mana supir berjalan.

“Kita ke kantor pajak dulu ya. Aku mo ngurus orderan.”

“Pokoknya aku manut ke manapun kau bawak,” jawabku lugas.

Sepanjang perjalanan, aku dan Mak Sutel tak putus bercerita. Segala hal tentang  teman-teman, guru-guru, dan semua yang berhubungan dengan nostalgia tak luput menjadi objek pembicaraan kami.

Sambil asyik markombur, tak lepas dari perhatianku kondisi kota Medan yang panasnya minta ampun, galian lubang  di sana-sini, macet di mana-mana, ritme kehidupan yang berjalan cepat, para pengendara yang tidak patuh aturan lalu lintas. Semua itu menjadi ciri khas kota kelahiranku ini. Kalau di kota lain, lampu merah berarti stop, di Medan lampu merah, hijau, kuning, berarti jalan terus, jangan pernah berhenti. Traffic light seolah hanya pajangan semata.

Berbeda jauh dengan kota kecil di kaki Gunung Merbabu tempatku tinggal. Kota berhawa sejuk ini menawarkan ritme kehidupan yang santai, bebas macet, udaranya bersih.

Namun demikian, Medan  tidak bisa membuatku berpaling ke lain hati. Walau separuh jiwaku telah menetap di Jawa, namun kota berhawa panas ini  tetap punya tempat tersendiri di sudut hati.

Setiap berkunjung ke tanah kelahiran, selain menuntaskan rindu untuk Ibu dan berwisata kuliner, biasanya aku menyempatkan diri mengunjungi teman-teman yang masih bermukim di sini. Bertemu teman lama adalah suatu keniscayaan yang mengasyikkan. Obrolan-obrolan tentang masa lalu bisa menghapus segala beban dan nestapa yang sedang menyelimuti hati.

@@@@@

Selepas Isya Aku  dan Maghrib asyik berbincang di teras samping. Sementara Ibuku sudah naik ke peraduan. Biasanya selama aku berada di sini, Beliau betah mengobrol denganku hingga larut malam. Tapi hari ini katanya beliau ingin tidur lebih awal. 

Padahal seharian ini aku hanya menghabiskan sedikit waktu dengan beliau, karena tadi kami baru tiba di rumah Ibu ketika azan Maghrib berkumandang. Sebenarnya malam ini aku ingin mengobrol dan bercengkrama dengan Ibu, tapi mungkin Beliau sedang letih, maklum Ibu sudah sepuh, jadi kubiarkan saja beliau menikmati istirahatnya.

Rumah Ibu berada di hook, jadi ada dua sisinya yang menghadap jalan. Dan kedua jalan tersebut adalah jalan hidup yang lalu lintasnya lumayan ramai. Halaman rumah Ibu cukup luas. Hampir mirip dengan halaman rumahku, Ibu juga membiarkan rumput gajah mini menutupi halaman nan luas ini. Namun berbeda denganku, yang lebih suka bertanam pohon buah-buahan, kalau Ibu lebih senang menanam bunga. Bunga beliau banyak dan terurus dengan baik. Adenium aneka warna, Aglaonema, Asoka aneka warna, dan berbagai jenis bunga lainnya.

Aku dan Maghrib duduk di kursi yang berdampingan. Sambil menikmati deru kendaraan yang wira-wiri, kami berbincang santai.

“Ma, tadi Mama ngomongnya sama tante Budi seperti orang berkelahi.” Tiba-tiba Maghrib mengungkapkan perasaannya tentang pertemuanku dengan teman lama.

Aku tertawa mendengar kalimatnya.

“Kenapa kok seperti orang berkelahi?” tanyaku di sela tawa.

“Iya...aku gak suka lihat Mama bicara logat seperti itu. Seperti orang marah-marah,” ujarnya sambil menatapku.

“Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung, Maghrib,” ujarku mengutip satu pribahasa.

“Sekarang Mama lagi di sini, ketemu teman-teman lama, Mama kembali jadi diri Mama yang dulu,” lanjutku.

“Tapi aku suka Mama ketemu sama Tante Budi, soalnya Mama jadi ceria,” ujarnya penuh arti.

“Eh....Ngomong-ngomong, Maghrib mau gak sekolah di Medan?” Aku menyelipkan tanya di sela-sela obrolan kami.

“Memangnya kita mo pindah ke Medan, Ma?”

“Belum tau juga. Cuma Mama kok pengen balik lagi tinggal di Medan, nemenin Nenek.”

“Terus rumah di Salatiga?”

“Ya itu juga yang masih jadi pemikiran Mama.”

“Kalau aku tinggal di mana aja mau Ma. Tapi Mbak Edel sama Mas Dhuha?”

“Mama belum ngomong sama mereka. Ide pengen tinggal di Medan baru terlintas beberapa hari ini. Kita di Jawa toh cuma berdua.  Eyang kakung sama eyang putri sudah meninggal. Tante Wahyu sama Pakdhe Yudha juga di luar Jawa.” Aku menjabarkan alasan kenapa ingin kembali menetap di tanah kelahiran.

Ya, kedua orang tua suamiku sudah meninggal. Sementara adiknya dibawa suami yang bertugas di Manado. Kakak tertuanya tinggal di Aceh. Praktis kami memang sudah tidak punya keluarga dekat lagi. Hanya aku, Maghrib, dan Edel –yang sekarang pun sudah tinggal beda kota dengan kami-.

Itulah kenapa aku jadi punya keinginan kuat untuk  kembali tinggal dengan Ibu, karena rasa kesepian dan keinginan menjauh dari Pak Dokter. 

“Mama...” Maghrib memanggilku lirih.

“Ya...” jawabku spontan sambil menatapnya.

“Mama pacaran sama Pak Dokter?” Tiba-tiba anak bungsuku yang baru saja naik ke kelas II SMP ini mengajukan pertanyaan yang tidak kuduga-duga. Dan dia berusaha untuk tidak membalas tatapanku ketika mengajukan pertanyaannya. Sikap dan pertanyaannya membuat aku salah tingkah. 

Maghrib memang bertubuh bongsor, tingginya hampir sama denganku, tapi jiwanya masih kanak-kanak.

“Kok kamu tanya gitu?” balasku penasaran.

Dia terdiam, mungkin bingung ingin menjawab apa.

“Maghrib...” Kupanggil dia dengan lembut.

“Ya, Ma.”

“Kenapa tanya seperti itu?” 

Dan dia masih belum bisa menjawab tanyaku, serta tak ingin beradu pandang denganku. Ada sebersit sedih melihat ketidakmampuannya merespon ujaranku. 

Aku tidak bisa menebak apa yang ada di pikirannya sehingga dia mengajukan pertanyaan tersebut. Kucoba untuk menjemput bola, menelusuri apa yang sedang bersemanyam di alam pikirannya.

“Maghrib gak suka  kalau Mama akrab dengan Pak Dokter?” tanyaku pelan dan hati-hati.

“Suka Ma. Pak Dokter baik. Cuma Mbak Mentari kan sudah punya Mama.” Kali ini dia menjawab sambil menatap bola mataku.

I see.....that’s the point. Ternyata bungsuku tidak ingin emaknya menjadi perusak rumah tangga orang. 

Hatiku meleleh. Perasaan sedih dan malu bercampur jadi satu. Sudut mataku serasa terbakar. Edel tidak begitu suka aku merespon Pak Dokter. Dan kini, bungsuku yang masih duduk di SMP pun mengingatkanku bahwa Pak Dokter sudah milik orang lain. 

Anak-anakku, darah dagingku sendiri pun tidak menyetujui apa yang kulakukan selama ini. Konon lagi orang lain, pastilah mereka sudah dengan sadisnya menempel stiker “Sephia” di jidatku.

“Maghrib kenapa menebak seperti itu?” Aku tetap mencoba untuk menggali alasan dia menanyakan hal itu.

“Setiap akhir pekan Pak Dokter ke rumah kita. Terus waktu di Gedong Songo, Pak Dokter sama Mama gandengan tangan, kan? Seperti orang pacaran.” 

Aku teringat tatapan canggung Maghrib ketika melihat Pak Dokter menggandeng tanganku, dan aku refleks melepasnya ketika Mentari dan Maghrib datang.

“Maghrib, mau dengar cerita Mama?” ucapku lembut.

“Mau, Ma.”

“Maghrib memang masih SMP, tapi Maghrib sudah baligh. Dan sekarang cuma Maghrib lah teman Mama, yang selalu menemani Mama ke mana aja. Jadi Mama pikir, gak salah kalau Mama cerita ke Maghrib.” Aku berusaha menata kalimatku sesederhana mungkin.

Aku juga menata hati agar tidak terbawa perasaan ketika bercerita dengan Maghrib.

“Pak Dokter dan Mama saling suka, punya niat ingin menikah, tapi belum jodoh. Dan Akhirnya Pak Dokter berjodoh dengan Mamanya Mbak Mentari yang sekarang. Tapi Pak Dokter masih punya keinginan untuk menikah dengan Mama.” Aku mengambil jeda sejenak.

“Maghrib...walau Mama suka dengan Pak Dokter, tapi Mama gak mau dinikahi Pak Dokter,  karena sekarang sudah ada Mamanya Mbak Mentari .” Aku sengaja mengganti kata “cinta” dengan kata “suka”, agar tidak terlalu vulgar terdengar di telinga Maghrib.

“Itulah kenapa tiba-tiba Mama pengen kembali tinggal di Medan, supaya kita bisa jauh dari Pak Dokter.” Dengan tatapan yang tak lepas dari wajah si bungsu, kuakhiri cerita yang hanya mengungkapkan poin-poin pentingnya saja.

“Ma...” Suara lirih itu kembali menyapaku.

“Ya...”

“Aku sayang sama Mama,” ujarnya lugas, namun tetap tak ingin beradu pandang denganku. Sikapnya ini menunjukkan kalau dia seolah ikut menanggung nestapa hatiku.

“Mama juga sayang banget sama Maghrib,” ujarku sambil mengusap-usap punggungnya.

Netraku memanas. Aku berusaha agar bulir bening tidak menetes di pipi. Aku tidak ingin menjadi Emak cengeng. Sementara di sudut hatiku, sebersit rasa haru berpadu dengan sebongkah lega. Sekarang aku punya teman bicara. Teman bicara yang aku yakin bisa menjaga rapat semua kisahku, yang bisa kupercaya sepenuh hati, walau dia masih terlalu belia.

“Selama kita di Medan, Pak Dokter gak pernah menghubungi Mama ?”

“Nomer Pak Dokter Mama blokir. Tapi tadi pagi Pak Dokter ke rumah kita. Waktu kita sedang sarapan, Mbak Edel WA  ngasih tau Mama.”

“Jangan diblokir Ma.”

“Lho...kenapa?”

“Jangan memutus silaturahmi. Biar saja Pak Dokter ngubungin Mama. Kalau chatnya tidak penting gak usah dibalas. Tapi kalau isi chatnya memang perlu dibalas, ya gak pa-pa dibalas.”

“Nanti kalau Mama tergoda gimana?” Aku mulai merasa nyaman mengungkapkan perasaanku pada si bungsu.

“Mama kuat, Mama gak akan tergoda.”

(“Duh...Nang, supportmu sangat berarti untuk Mama,” bathinku atas ucapan si bungsu.)

“Buka  blokirnya, Ma.”

Aku masuk ke rumah, menuju kamar untuk mengambil gawai yang kuletakkan di atas meja belajarku zaman sekolah dulu.
Selama di Medan aku memang jarang mengurusi gawai. Waktuku lebih banyak digunakan untuk beraktivitas dan berbincang bersama ibu.

Setelah kembali ke teras, kubuka satu nama kemudian menekan titik tiga di sudut kanan atas, memilih opsi “lainnya”, setelah itu muncul display “buka blokir”.

“Sudah,” ujarku sambil menunjukkan gawai ke Maghrib.

Bertepatan dengan itu masuk chat beruntun dari Pak Dokter. Aku dan Maghrib saling berpandangan, kemudian tertawa bersamaan.

[Njenengan kapan pulang?]

[Njenengan serius mau mengakhiri semuanya?]

[Kalau kepergian Njenengan ini memang untuk menghindari saya, pulanglah. Saya gak akan mengganggu Njenengan lagi.]

“Ini perlu dibalas gak?” tanyaku pada Sang Penasehat.

“Dibalas, Ma.”

“Balasnya gimana?”

“Terserah Mama.”

Aku mengetik seuntai kalimat, kemudian menunjukkan hasil ketikannya pada Maghrib. Dia mengangguk sambil tersenyum.

[Saya belum tau kapan pulang, Dok. Saya dan Maghrib sedang menyusun rencana untuk menetap di Medan.]    

Note :  * Siampudan = anak bungsu
           * Markombur  = ngobrol

Bersambung....

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER