Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 5
Pak Dokter sedang berbicara di telephone dengan Lintang. Beliau berdiri membelakangiku. Menatap postur tubuh gagahnya dari belakang menyadarkanku bahwa aku tidak akan bisa melepaskan diri dari Beliau kalau aku tidak menjauh.
Aku terngiang ungkapan hati Pak Dokter tentang imajinasinya dengan diriku, mengingatkanku akan mimpi erotis dengan beliau beberapa waktu yang lalu. Mimpi itu bisa menjadi begitu detail dan nyata mungkin karena alam bawah sadarku juga sangat mendamba beliau.
Sejujurnya aku sadar, walau kami tidak pernah bersentuhan phisik, tapi imajinasi kami ternyata begitu liar. Aku merinding. Hubungan tak jelas yang mengalir perlahan bagai aliran sungai kecil berair jernih ini, ternyata menyimpan kesalahan nan sangat fatal.
Rasa malu menyelusup ke dalam jiwa. Terbayang wajah anak gadisku –Edelweis-, terbayang wajah Dhuha dan Maghrib. Pasti mereka malu kalau tahu emaknya sedang tertatih-tatih dalam kubangan cinta terlarang.
“Lintang pengen nyusul,” ujar beliau membuyarkan lamunanku, sambil kembali duduk di sebelah.
“Lha.....mo nyampe sini jam berapa?” tanyaku kaget.
“Dia nggak tau kalau tadi saya dan Mentari mau ke rumah Njenengan. Yang dia tau kami cuma nganter Mbak Widya aja ke bandara . Dia bilang kalau tau mau ke rumah Tante Maghrib, dia gak usah ikut acara komunitas, tapi ikut saya.” Pak Dokter tertawa kecil saat menceritakan perbincangannya dengan si Sulung.
“Terus ini Lintang beneran mau nyusul ke sini?” Aku meminta kepastian Pak Dokter.
“Kira-kira menurut Njenengan gimana?” Beliau malah balik bertanya.
“Lha....tadi Njenengan jawab apa? Kok malah balik bertanya sama saya.”
“Saya menyarankan lebih baik gak usah nyusul.” Aku tadi memang mendengar Pak Dokter mengucapkan kalimat tersebut sewaktu berbicara dengan Lintang.
“Tapi dia malah nagih Minggu depan minta dibawa tempat Njenengan,” Lanjut Beliau.
“Serius????” tanyaku menggoda Beliau sambil melempar senyum.
“Lintang yang minta apa Bapaknya yang memang pengen berkunjung lagi?” Aku melanjutkan gurauanku.
Beliau tergelak mendengar godaanku.
“Kalau memang Bapaknya yang pengen, ya gak perlu basa-basi, Nyonya. Begitu kangen dengan Emak si Maghrib, langsung aja meluncur,” ujar Beliau dengan rasa percaya diri yang berlebihan.
“Hhmmmmm....Njenengan tu memang paling bisa.”
“Tapi Njenengan seneng kan kalau saya datang?”
“Gak usah dibahas, Dok.”
“Gak perlu sungkan. Wong kita ya sudah sama-sama tau perasaan kita masing-masing. Cuma keadaan aja yang membuat kita harus menahannya, ya kan?”
Aku tertohok. Mungkin saat itu beliau bisa melihat rona merah membias di pipiku.
“Mentari sama Maghrib kok lama banget, sih.” Ujarku mengalihkan pembicaraan.
“Jangan mengalihkan pembicaraan, Nyonya.” Beliau seolah memahami maksudku.
“Nyonya...saya sungguh-sungguh ingin menikahi Njenengan,” lanjutnya dengan mimik serius.
Alamaaakkk.....Pak Dokter memang bener-bener keterlaluan, menyerangku bertubi-tubi. Rona merah di pipiku mungkin semakin menjadi. Jantungku makin berdegup tak menentu. Beliau memang sangat ahli membuat perasaanku porak-poranda.
“Nyonya...kenapa diam?” Beliau menggugahku sambil memiringkan kepalanya, menatapku lekat.
“Saya gak mau jadi yang kedua, Dok. Dan saya juga gak mau berbagi,” ujarku tegas.
“Lantas...?”
“Jalan kita sudah tertutup, Dok.”
Beliau menghela nafas, terdengar begitu berat. Aku juga kembali merasakan sakit. Suasana ceria akan kebersamaan kami di hari Minggu ini sedikit tercoret.
“Sepertinya kita gak mungkin begini terus menerus, Dok.” Aku menyadari ada getar dalam ujaranku.
“Maksud Njenengan ?”
“Stop komunikasi.”
“Berarti kita harus berpisah lagi seperti dulu?” tanya beliau dengan nada tak yakin.
“Sepertinya iya. Kalau kita putus komunikasi lagi, mungkin secara perlahan cinta Njenengan kepada Mbak Widya bisa tumbuh. Saya merasa, Njenengan begitu sulit untuk belajar mencintai Mbak Widya, karena ada saya....” Aku tak sanggup melanjutkan kalimatku.
“Tapi apa Njenengan juga sudah siap ? Karena saya tau, Njenengan pun sebenarnya gak sanggup berpisah dari saya, kan?” tanya Pak Dokter lugas.
Aku terdiam. Tak tahu harus memberi jawaban apa atas pertanyaan beliau.
“Nyonya...Njenengan jangan menyiksa diri,” lanjut Beliau.
“Saya gak menyiksa diri, Dok. Saya cuma mencoba untuk bersikap realistis. Dulu...kita bisa berpisah baik-baik, tidak saling menyakiti namun tetap saling menyayangi walau tanpa komunikasi.” Aku mengambil jeda sambil membuang pandang jauh ke hamparan pemandangan yang terbentang di depan mata.
“Berpisah dari Njenengan mungkin menyakitkan, Dok. Tapi berada di dekat Njenengan sementara saya tidak bisa meraih Njenengan, itu lebih menyakitkan lagi.” Kalimat yang baru saja terluncur dari bibirku itu sebenarnya sangat mengiris hati.
Tapi aku tidak ingin menangis, tangisku untuk Sang Dokter sudah kutumpahkan semuanya dalam perjalanan Jakarta-Medan ketika aku mengetahui kalau Beliau sudah menikah. Dua jam perjalanan aku menangis dalam diam. Hanya air mata yang terus mengalir, sementara aku berusaha menahan isak agar penumpang yang duduk di sebelahku tidak terganggu.
“Dari pada berpisah, jadilah yang kedua, karena saya tidak punya alasan untuk melepas Mbak Widya. Saya tulus memohon, Nyonya.” Beliau berujar sambil memandangku. Tatapannya penuh harap dan ketulusan.
Hatiku menggelepar ditatap sedemikian rupa. Sukmaku melayang ke nirwana mendengar lamarannya yang spontan tanpa basa-basi. Tapi jiwa idealisku menolak tegas keinginannya.
Aku menghela nafas, berat.
“Maaf, Dok. Saya takut Njenengan gak bisa berbuat adil. Kasihan Mbak Widya. Mungkin sekarang giliran saya yang harus bersabar menunggu Njenengan menjadi duda,” jawabku diplomatis.
Seolah tak percaya dengan ketegasanku menolak Beliau, pandangannya tak mau beralih dariku. Aku membalas tatapan beliau, untuk menunjukkan kalau aku bersungguh-sungguh. Terlihat ada berjuta kekecewaan mengambang di bola mata beliau. Dan ada berpuluh-puluh sembilu yang juga sedang menyayat-nyayat hatiku.
Selanjutnya kami kembali saling berdiam diri. Hening. Angin sejuk berhembus, membelai dua anak manusia yang sedang berperang dengan hati dan perasaan masing-masing. Namun kesejukan itu tak mampu menghapus perih yang bersemayam di hati keduanya.
Aku mencoba memecah kebisuan di antara kami.
“Anak-anak kok belum turun ya, Dok,” ujarku berusaha mengubah haluan pembicaraan.
Beliau masih terdiam, seolah mengabaikan ujaranku barusan. Kukeluarkan gawai, kemudian beranjak dari dudukku. Sambil berdiri agak jauh dari Pak Dokter, kucoba menghubungi nomer Maghrib, terdengar nada sambung, namun tidak diangkat.
“Halo Tante.” Tiba-tiba sebuah suara memanggilku dari arah kiri tempat kami duduk.
Aku menoleh ke arah sumber suara, terlihat Maghrib dan Mentari melambaikan tangan saat melintas di jalur kuda yang berada agak jauh dari lokasi aku dan Pak Dokter duduk.
“Dok, anak-anak udah balik,” spontan kupanggil Beliau sambil membalikkan badan.
Beliau bangkit dari duduknya, tanpa bicara. Beliau masih berdiam diri. Aku jadi gak enak hati, mungkin penolakanku terlalu spontan.
Kami berjalan beriringan menuju istal untuk menjeput anak-anak. Tetiba kurasakan ada yang menyentuh tangan kananku, kemudian menggenggam jari jemariku. Beliau menggandeng tanganku....
Tanpa sepatah kata, tanpa menatap atau menoleh ke arahku. Dengan pasti dan tegas, jari-jemarinya menggenggam erat jari jemariku, sambil tetap mengiringi langkah-langkahku menuju istal.
Dug.....jantungku copot, menggelinding jatuh ke dasar jurang di lereng Gunung Ungaran. Rasa hangat menjalari sekujur tubuh. Kakiku gemetar.
“Dok, lepasin. Gak enak nanti kalau dilihat Mentari sama Maghrib,” ujarku lirih. Aku tetap bersikap santai sembari menjajari langkah-langkahnya untuk menghindari perhatian publik karena memang kami berada di tempat umum.
Benar saja dugaanku, begitu aku selesai bicara, Mentari dan Maghrib muncul. Secara refleks aku melepas genggaman tangan beliau. Mentari tersenyum penuh arti, sementara raut wajah Maghrib terlihat begitu canggung. Dan Pak Dokter, seolah tanpa dosa menyambut kedua anak dengan santainya.
“Asyik gak bertualangnya ?” tanya beliau ceria. Perubahan sikapnya begitu spontan.
“Asyik, Pa.”
“Mbak Lintang tadi nelphone Papa, dia nyesal gak ikut. Minggu depan dia ngajak ke rumah Tante Maghrib.”
“Iya...iya...Aku mau,” jawab Mentari antusias.
“Minggu depan kami dateng lagi ya, Tan?” Gadis muda itu memohon ijin untuk kembali berkunjung.
“Boleh,” jawabku singkat dengan intonasi yang tak jelas.
Aku melirik ke arah Pak Dokter. Beliau tertawa kecil melihatku tak mampu menolak pinta Mentari.
@@@@@
Setelah meninggalkan Gedong Songo, Pak Dokter memacu mobilnya ke arah Blater. Sebenarnya tadi rencana semula kita berniat makan siang di Cimory, resto modern yang terintegrasi dengan peternakan sapi. Tapi rencana berubah, akhirnya semua sepakat ke Blater. Satu kawasan di wilayah Kabupaten Semarang yang terkenal sebagai sentra rumah makan berkonsep pemancingan. Di sini kita bebas memilih hendak singgah ke rumah makan yang mana.
Pak Dokter memilih lokasi pemancingan yang berada persis di pinggir jalan utama, Pemancingan Pak Suharno III.
Setelah memarkir mobil, aku dan Beliau langsung menuju kassa untuk memesan makanan. Sementara Mentari dan Maghrib mencari lokasi duduk.
Di akhir pekan dan hari-hari libur, pemancingan ini dipenuhi pengunjung. Selain perorangan, biasanya tempat ini juga sering di pesan untuk acara family gathering, halal bilhalal, ulang tahun, reuni, dan berbagai acara lain. Biasanya kalau kondisi sedang ramai begitu, kita harus sabar menanti antrian. Terkadang bisa sampai satu jam pesanan belum diantar.
Selesai order, aku menuju tempat yang sudah dipilih Mentari dan Maghrib, sementara Pak Dokter langsung menuju mushola untuk menunaikan sholat zuhur.
“Nanti Maghrib sama Mentari suruh nyusul ke sini, ya,” pinta beliau padaku.
“Ya, Dok.”
Sesampai di booth berkonsep lesehan yang sudah dipilih anak-anak, aku menyampaikan amanah Pak Dokter supaya mereka menyusul Beliau ke mushola. Maghrib segera berlalu, sementara Mentari tetap tinggal karena dia sedang libur, sama seperti diriku.
“Tante sini duduk sebelah aku.” Perkataan gadis muda ini mengingatkanku akan kejadian bertahun-tahun yang lalu, ketika kami bertemu untuk pertama kalinya.
Saat itu dia memilih duduk di sebelahku, menempelkan tubuh mungilnya di tubuhku, hingga membuatku tak kuasa untuk tidak memeluknya.
Aku memenuhi permintaannya, mendudukkan diri tepat di samping gadis manisnya Pak Dokter.
“Tadi ambil photonya di candi berapa, Mentari?”
“Di semua candi Tan. Di sumber air panas juga. Bagus-bagus kog Tan, nanti Tante tinggal pilih mau pake yang mana.”
“Oke...makasih ya, sayang,” ujarku sambil menjawil hidungnya.
“Sama-sama Tante,” jawabnya dengan nada manja sambil tersenyum manis.
“Tan...” ujarannya terputus.
“Ya...” Aku menanti kelanjutan bicaranya.
“Aku inget pas ketemu Tante pertama kali di Salib Putih. Tante meluk-meluk aku. Saat aku ngambek, Tante pangku aku sambil menciumi pipiku. Waktu itu yang ada di pikiranku Tante jadi mamaku, makanya aku ngambek karena Tante gak ikut tidur di resort,” ujarnya lugas.
Aku tersenyum mendengar celotehnya. Ternyata kami memiliki kenangan yang sama dan saat ini sedang memikirkan kembali kenangan yang telah berlalu tersebut.
“Tapi sekarang udah gak mikir gitu lagi, kan?” Aku merespon ujaran Mentari.
“Masih,” jawabnya polos.
“Lho....kan sudah ada Mama Widya?” Kutatap dalam ke bola matanya.
“Mama Widya baik, sayang sama aku dan Mbak Lintang. Tapi aku lebih suka Mama Widya jadi budhe seperti dulu, Tante yang jadi Mama.”
Aku terhenyak mendengar ungkapan hati nan jujur dari gadis belia ini. Tapi aku tidak ingin mendengar lebih jauh lagi tentang keinginannya yang lain. Bermaksud hendak mengalihkan topik pembicaraan, Mentari sudah terlebih dahulu bicara.
“Tan, aku sekarang kan sudah remaja, sudah punya KTP. Aku sudah ngerti kok, Tan.”
“Ngerti apa?” Aku benar-benar tidak bisa menangkap kemana arah pembicaraan Mentari.
“Kalau aku mengingat-ingat, dulu Papa sama Tante kan akrab. Terus melihat sekarang Papa sama Tante juga masih akrab. Kenapa waktu itu Papa gak nikah sama Tante? Apa Tante yang gak mau nikah sama Papa?” Mentari bicara sambil menatapku. Mata bulatnya memancarkan ketulusan.
Belum sempat aku menjawab tanya, dia kembali melanjutkan bicaranya.
“Tadi Papa gandeng tangan Tante, kan?” ujarnya sambil tersenyum penuh arti.
Duh....anak ini persis banget seperti Bapaknya, spontan tanpa basa-basi. Seharian ini aku di skak mat oleh pasangan Bapak dan anak.
“Papa sama Tante gak menikah karena memang belum jodoh, Mentari,” jawabku apa adanya.
Aku mulai gerah. Aku takut gadis remaja ini menginterogasiku lebih dalam lagi. Tapi...kalau kupikir-pikir, gak salah juga kalau dia tahu apa yang terjadi antara aku dan Bapaknya. Toh usianya sudah memasuki remaja akhir, sudah saatnya berpikir realistis.
“Mentari....” panggilku pelan.
“Ya, Tan.”
Di kejauhan Pak Dokter dan Maghrib terlihat berjalan menuju ke tempat aku dan Mentari duduk.
“Nanti aja disambung lagi,” ujarku membatalkan niat untuk bercerita.
Mentari tersenyum memandangku, seolah mengerti kalau aku tidak jadi bercerita karena kehadiran Pak Dokter.
Di belakang mereka, terlihat dua pelayan membawa orderan menuju booth kami. Hidangan tradisional gurami bakar, terancam, tumis kangkung, sambal terasi dan lalapan menjadi menu makan siang kami di sebuah desa nan sejuk di kaki Gunung Ungaran.
@@@@@
Bersambung...
No comments:
Post a Comment