Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 4
[Njenengan memang bener-bener limited edition ya, Dok. Dalam suasana duka beginipun masih sempat merayu.] Aku membalas pesan Pak Dokter yang terkesan konyol karena dikirimkan pada waktu dan saat yang tidak tepat.
[Saya bukan merayu. Itu ungkapan perasaan saya yang paling dalam. Saya terpesona dengan cara Njenengan mensupport saya. Njenengan tidak bersedia saya temui di rumah duka, tapi hanya melalui pesan WA saja Njenengan mampu memompa semangat saya. Saya merasa bagai mobil mainan yang dikendalikan oleh remote kontrol, sementara sang pemegang remotenya tidak kelihatan. Tapi saya suka dan nyaman dengan cara Njenengan. Saya tidak merasa terdikte, justru membuat “rasa” ingin memiliki Njenengan seutuhnya semakin besar.]
Jawaban masuk dari beliau sepanjang daftar belanjaan selama setahun. Kemudian menyusul satu chat singkat.
[Menikahlah dengan saya, Nyonya.]
Pak Dokter selalu berhasil memporak-porandakan hatiku. Membaca pesan-pesannya, getar-getar tak beraturan kembali menjelajah hati. Kualihkan sejenak pandangan keluar jendela armada online yang sedang membawaku pulang.
Sesaat kemudian kuketik seuntai pesan balasan untuk beliau.
[Njenengan istirahat aja dulu, Dok. Perjalanan masih jauh. Tadi malam Njenengan gak tidur semalaman, kan? Istirahat ya, Dok. Sleep tight.]
Aku sengaja membalas chat beliau out of topic, dan kemudian mematikan gawai. Berharap dengan cara ini beliau tidak dapat menghubungiku, sehingga bisa beristirahat selama di perjalanan.
@@@@@
Di Minggu pagi ini, aku dan Maghrib bersiap hendak pergi ke Candi Gedong Songo, salah satu tujuan wisata sejarah di Kabupaten Semarang. Kemarin aku mendapat email dari Majalah udara tempatku berkontribusi. Pihak redaksi menyatakan kalau photo yang kukirim sebagai pendamping artikel tentang Gedong Songo kurang maksimal, terkesan blur kalau diperbesar, sehingga mereka memintaku mengirim ulang photo dengan resolusi yang lebih bagus.
Jadi niat kami ke tujuan wisata itu untuk mengulang pengambilan photo.
Akhir pekan ini Edel tidak pulang karena sedang berdinas ke luar kota, sehingga aku dan Maghrib terpaksa memesan armada online untuk mencapai lokasi tujuan kami. Biasanya kalau ada keperluan di akhir pekan di saat Edel berada di rumah, dia selalu setia menjadi supirku, ke manapun aku pergi.
Kami sudah stand by di teras menunggu mobil orderan datang, ketika sebuah kendaraan yang sangat kukenali membunyikan klakson di depan pintu gerbang. Jantungku berdegup kencang. Pak Dokter datang, dan beliau tidak sendiri, sepertinya dengan Mentari.
Maghrib bergegas menuju pintu pagar, mobil putih nan gagah itu meluncur mulus memasuki halaman berumput rumahku.
Rasa deg-degan merajai hati, telapak tangan dan kakiku mendingin. Ah....aku selalu saja begini, tak pernah mampu menghilangkan demam panggung ketika akan berhadapan dengan beliau. Aku bagaikan seorang emak, rasa ABG.
Dua bulan berlalu sejak wafatnya Ibu Pak Dokter. Dalam kurun waktu itu beliau belum pernah mengunjungiku lagi, namun tetap rutin menyambangi lewat pesan-pesan WA nya. Mungkin beliau masih berkabung. Menurutku itu hal yang wajar karena bagi beliau, Sang Ibu adalah segalanya. Hampir seumur hidup beliau dihabiskan bersama Sang Ibu. Bahkan sejak istri beliau wafat, Ibu lah yang mendampingi Lintang dan Mentari, Ibu yang mendengarkan semua keluh kesah beliau, apalagi kepergian Ibu sangat mendadak.
Namun tiba-tiba, tiada angin tiada hujan, beliau hadir di hadapanku sepagi ini. Ada sebersit tanya menyelimuti hati, apalagi kehadirannya kali ini di dampingi Mentari.
Ketika Pak Dokter dan Mentari turun, Maghrib menyambut mereka dengan menyalami dan mencium punggung tangan keduanya. Sementara aku tetap di posisiku semula, duduk di kursi teras.
Mentari tertawa melihat tindakan spontan Maghrib.
“Dek Maghrib kok salamannya pake cium tangan segala sih ? Wong ya Dek Maghrib aja badannya lebih gede dari aku,” reaksi Mentari.
“Tapi kan lebih tua Mbak Mentari,” jawab Maghrib polos sambil tersenyum.
Pak Dokter tersenyum melihat interaksi keduanya. Mereka –kedua anak ini- pernah bertemu bertahun-tahun yang lalu. Saat itu Maghrib masih kelas dua SD, dan Mentari kelas lima. Ketika itu walau baru pertama kali bertemu, namun mereka bisa berinteraksi dengan baik, akrab dan membumi. Sifat khas anak-anak pada umumnya.
Dan kini, setelah bertahun-tahun tak bertemu, ternyata keduanya masih tetap bisa bersikap wajar tanpa kekakuan, walaupun saat ini mereka sudah sama-sama remaja.
“Assalamualaikum, Tante.” Mentari menyapaku dengan ceria sambil menaiki undakan teras.
“Waalaikumussalam, Mentari.” Aku menjawab salam sambil menyambutnya dalam pelukan. Kemudian mencium kedua pipi dan keningnya.
“Akhirnya keinginanku pengen main ke rumah Tante bisa tercapai,” ujarnya dengan nada riang.
Sementara Sang Bapak, begitu berada di teras langsung duduk di salah satu kursi.
“Pagi-pagi sudah nyampe sini, berangkat dari Semarang jam berapa?” Pertanyaan itu kutujukan pada Mentari yang kini duduk di sebelahku di kursi panjang.
“Tadi keluar dari rumah jam 06.00, Tan.”
“Mbak Lintang sama Mama kok gak ikut?” Terlihat Pak Dokter menatapku sekilas mendengar pertanyaan yang kulontarkan pada Mentari.
“Mama pergi ke Jakarta, Tan. Tadi habis nganter Mama ke bandara, terus langsung ke sini. Mbak Lintang ada acara dengan komunitasnya.”
“Kok Mama gak ditemeni Papa?” tanyaku sambil melirik ke Pak Dokter.
“Acara ibu-ibu kok, Tan,” si anak dengan spontan membela Bapaknya. Sementara Pak Dokter menampilkan senyum kemenangan mendapat pembelaan dari anak gadisnya.
“Mentari udah sarapan belum?” tanyaku lagi.
Sambil mengajak Mentari ngobrol, aku melihat sang Bapak dengan sudut mataku. Beliau sedang asyik dengan gawainya. Sikapnya sok cuek, seolah-olah keberadaannya di sini hanya mendampingi Mentari.
“Sudah, Tan. Tadi sebelum berangkat sarapan dulu di rumah.”
Mendengar jawaban Mentari, terbayang di benakku Mbak Widya menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Seiris perih diam-diam menyelinap di hati melihat adegan tak kasat mata tersebut.
“Tante buatin minum dulu ya. Mentari mo minum apa? Dok, mo dibuatin apa?” Aku bertanya sekaligus kepada Bapak dan anaknya.
“Masih kenyang, Tante. Nanti aja.”
“Iya...saya juga masih kenyang.” Pak Dokter menimpali jawaban putrinya.
“Okelah kalau masih pada kenyang,” jawabku menuruti keinginan para tamu.
Baru selesai aku bicara, Maghrib keluar dari rumah membawa nampan dengan dua mug di atasnya. Ternyata setelah menyambut Pak Dokter dan Mentari tadi, bungsuku ini langsung masuk rumah dan berinisiatif membuatkan minuman untuk tamunya.
“Lho...Dek Maghrib malah repot-repot,” ujar Mentari sambil menyambut minuman yang dibawa Maghrib.
Satu mug dia letakkan di meja persis di hadapan Sang Bapak, dan satunya lagi diletakkan di hadapannya.
“Gak papa mbak, cuma minuman doang kok,” jawab Maghrib sambil duduk di kursi yang berada di sebelah Pak Dokter.
Persis di saat ingin mengajukan tanya kepada Mentari, sebuah mobil BRV hitam berhenti di depan rumahku. Seiringan dengan itu gawaiku bergetar, panggilan masuk dari supir armada online pesananku.
Kuabaikan panggilan itu, dan bergegas menghampiri mobil yang terparkir di bahu jalan di luar pagar depan rumah. Pak Dokter mengikuti langkahku.
“Selamat pagi Bu. Orderan atas nama Maghrib, Bu?” tanya Pak Supir santun.
“Iya, Pak. Tapi saya mau cancel order , Pak. Soalnya lagi ada tamu.” Aku menjawab pertanyaan Pak Supir dengan rasa sesal dan kasihan.
“O..iya, bu. Gak papa. Ibu cancel dari aplikasi ya, Bu.” Pak Supir menjawab dengan legowo.
Ketika aku sedang membatalkan orderan melalui aplikasi, Pak Dokter mendatangi Pak Supir, kemudian menyalami beliau sambil menyampaikan permohonan maaf. Terlihat olehku, beliau menyelipkan lembaran biru saat bersalaman tersebut. Dan kudengar Pak Supir mengucapkan terima kasih dengan takzim.
“Sudah saya batalkan Pak. Maaf banget ya, Pak,” ujarku bersungguh-sungguh.
“Ya, Bu. Gak pa-pa. Saya permisi dulu, Pak, Bu,” ujar beliau sambil membunyikan klakson sekali dan berlalu melanjutkan perjalanan.
“Njenengan mau ke mana?” tanya Pak Dokter ketika kami melangkah beriringan memasuki halaman untuk menuju teras.
“Mau ke Gedong Songo ngambil photo, Dok.”
“Saya antar,” jawab Beliau spontan
“Njenengan pagi-pagi sudah sampe sini mo ngapain, Dok?” tanyaku penasaran.
“Nanti saja ceritanya. Saya lagi pengen ngobrol dengan Njenengan. Saya kangen. Kangen banget,” ujar beliau lirih namun tetap dengan gaya bicaranya yang khas, spontan tanpa basa basi.
Dan seperti biasa, diri ini selalu meleleh setiap mendengar ujaran romantis dari bibir seksi beliau.
@@@@@
Kami tiba di Candi Gedong Songo ketika jam sudah menunjukkan pukul 09.20. Tempat parkir sudah mulai penuh terisi.
Di akhir pekan, tempat wisata ini memang menjadi tujuan favorit. Selain pemandangannya yang indah memukau, juga lokasinya berdekatan dengan beberapa tempat wisata lainnya, seperti Taman Bunga Celosia, Taman Wisata dan Pasar Wisata Bandungan, Perkebunan Bunga Krisan Setiya Aji. Sehingga setelah berkunjung ke Gedong Songo, pengunjung bisa sekalian singgah ke tempat wisata di sekitarnya.
Begitu keluar dari mobil, udara dingin menyergap walaupun matahari bersinar cerah. Pak Dokter dan Maghrib menuju ke loket pembelian tiket, sementara aku dan Mentari berjalan ke pintu masuk, menunggu mereka di sana.
Kompleks Candi Hindu yang berada di lereng Gunung Ungaran ini memang memiliki pesona yang tiada habisnya. Aku berkali-kali mengunjungi tempat wisata ini, namun tidak pernah bosan untuk kembali dan kembali lagi.
Dari mulai gerbang masuk, jalan setapak yang kami lalui terus menanjak. Sesuai dengan namanya –Gedong Songo- ada sembilan candi di kompleks ini. Dan keberadaannya tersebar berjauhan. Dibutuhkan stamina yang stabil untuk bisa mencapai candi satu ke candi lainnya. Namun bagi yang ingin bertualang mengelilingi candi, tapi stamina kurang , bisa menggunakan jasa transportasi kuda.
Para penjaja makanan kecil, tikar, dan joki kuda, menawarkan dagangan dan jasanya kepada kami.
“Pa, aku naik kuda ya?” pinta Mentari kepada Sang Bapak.
“Boleh. Maghrib juga, ya?” Pak Dokter menawari bungsuku.
“Ya, Om.” Jawab Maghrib spontan.
“Njenengan ?” Pak Dokter juga menawariku.
“Gak ah, saya jalan kaki aja.”
“Tante ambil photonya di candi berapa?” tanya Mentari.
“Candi dua dengan candi tiga.”
“Lumayan jauh itu lho. Naik kuda aja.” Pak Dokter seolah mengambil keputusan untuk diriku.
“Iya Tan, naik kuda aja.” Mentari menimpali ujaran Bapaknya.
“Walau udah tua begini, tapi tante masih kuat lho. Tante udah tiga kali keliling sampe candi sembilan jalan kaki.” Aku membanggakan diri sambil mengumbar senyum kepada Bapak dan anak tersebut.
“Ya udah gini aja. Papa sama Tante sewa tikar aja, terus duduk di bawah pohon itu. Aku sama dek Maghrib naik kuda sampe candi sembilan. Nanti yang ambil photonya aku sama dek Maghrib aja. Pokoknya nanti kami ambil sudut-sudut yang oke Tan. Ya, Dek Maghrib?” Mentari meminta persetujuan Maghrib sambil menunjuk ke satu pohon besar di dekat candi satu.
“Setuju, mbak.” Bungsuku malah berkoalisi dengan Mentari.
Aku dan Pak Dokter berpandang-pandangan mendengar celoteh anak gadisnya yang mengatur posisi kami.
“Udah, Pa. Ayo order kuda.” Mentari menarik lengan Bapaknya menuju istal.
@@@@@
Maghrib dan Mentari memilih kuda mereka masing-masing. Setelah bertransaksi dengan pengurus kuda, mereka siap memulai petualangan . Kuserahkan kamera digital milik Dhuha ke Maghrib. Selanjutnya kedua anak melambaikan tangan ke arah kami.
Sementara aku dan Pak Dokter melanjutkan langkah menuju ke candi satu. Tepat di bawah pohon , terdapat tempat duduk batu tanpa penghuni. Lokasinya pas di tempat sejuk, agak jauh dari jalan setapak dan keramaian, namun cukup terbuka, dan terlihat dari segala arah.
Pasangan yang tidak lagi muda ini mengistirahatkan diri di bawah teduhnya naungan pohon besar. Ternyata Pak Dokter sepikiran denganku, tak berminat dengan ide Mentari untuk menyewa tikar.
Seperti biasa, kami selalu mengawali kebersamaan dengan hening. Aku kehabisan kosa kata, sepertinya begitu juga dengan beliau.
“Mau jagung rebus?” Beliau memecah keheningan dengan menawariku jagung rebus.
“Gak, Dok.”
“Air mineral?”
“Oke,” jawabku spontan, “Saya haus,” sambungku lagi.
Pak Dokter memanggil seorang wanita tua yang menjajakan minuman dan makanan ringan, kemudian mengambil dua botol air mineral kemasan 600ml. Membayarnya, dan mengulurkan yang sebotol kepadaku.
“Tadi Mentari sama Maghrib lupa gak dibawain minum,” ujarku teringat pada dua anak yang sedang bertualang.
Walaupun udara di kawasan ini cukup dingin, namun karena matahari bersinar cerah, tubuh cepat mengalami dehidrasi.
“Nanti kalau haus mereka beli sendiri,” ujar Pak Dokter santai.
“Njenengan pagi-pagi kok sudah terdampar ke rumah saya?” Aku mencoba membuka percakapan.
“Saya kangen banget dengan Njenengan. Ntah kenapa kok Mentari juga punya pikiran yang sama dengan saya. Tadi dari bandara, dia minta dibawa ke rumah Tante Maghrib.”
“Saya kira kesedihan yang begitu mendalam karena kepergian Ibu bisa membuat Njenengan melupakan saya.”
“Saya justru ingin memiliki Njenengan, bukan melupakan Njenengan,” ujar beliau sambil menatapku.
Kata-kata beliau yang spontan selalu berhasil men-skak mat ku, menghantarkan getar-getar halus ke relung hati. Kubalas tatapannya sambil menyesap kesegaran air mineral.
“Dok, kira-kira apa ya yang ada di pikiran Mentari tentang kita?” tanyaku setelah selesai mereguk kesegaran air mineral.
“Saya gak tau,” balas beliau seadanya.
“Saya selalu menikmati setiap kebersamaan kita seperti sekarang ini,” lanjut beliau lirih.
“Sebenernya saya juga menikmati. Tapi kok saya jadi merasa jahat ya, Dok?”
“Kenapa?” tanya beliau sambil menatap kaget ke arahku.
“Saya merasa jadi Sephia.”
“Siapa yang bilang begitu?”
“Gak ada. Cuma saya aja yang sadar diri. Harusnya Njenengan menjauhi saya, Dok.”
“Saya gak bisa.”
“Njenengan bisa.”
“Dulu saya menuruti kata-kata Njenengan. Saya istiqomah tidak menghubungi Njenengan karena saya ingin menjaga dan menghormati Njenengan. Tapi apa yang saya dapat ? Saya justru kehilangan Njenengan di saat Njenengan sudah single.” Beliau berujar sambil tak lepas menatapku.
“Itulah yang namanya jodoh, Dok. Bukan kita yang menentukan, tapi Allah,” ujarku sok bijak.
Padahal aku sendiri sebenarnya terhempas dan porak-poranda banget dengan keadaan yang menimpa kami. Ironis... ada jeda dua minggu ketika beliau “masih” single, dan aku “sudah” single, tapi kami sama-sama tidak tahu tentang keadaan itu. Kami saling mendamba dan menginginkan satu sama lain, tapi Allah tidak mengizinkan.
“Itu juga yang membuat saya gak bisa menjauhi Njenengan. Mungkin kalau saat ini Njenengan masih terikat dengan Bapaknya Maghrib, walaupun kita dipertemukan lagi seperti sekarang, saya gak akan mengganggu Njenengan. Tapi Njenengan sekarang sendiri, membuat saya pengen menjaga, melindungi, dan memiliki Njenengan.”
“Saya memang sendiri, tapi Njenengan kan sudah punya pendamping, Dok. Kasihan Mbak Widya, beliau mendampingi Njenengan, tapi ternyata hati Njenengan melanglang buana ke mana-mana.”
Beliau terdiam mendengar ujaranku. Tidak ada tanda-tanda kalau Beliau ingin menjawab ujaranku. Hingga aku memutuskan untuk kembali bicara.
“Kalau niat Njenengan menikahi Mbak Widya demi berbakti kepada almarhumah ibu, dan juga untuk memberikan yang terbaik buat anak-anak, harusnya Njenengan belajar mencintai Mbak Widya, Dok. Kalau almarhumah Ibu tau, pasti beliau juga gak setuju dengan sikap Njenengan sekarang.”
“Saya sudah mencoba, Nyonya. Tapi rasa itu gak pernah tumbuh. Saya berusaha mengingat semua kebaikan dan kelebihan Mbak Widya, namun tetap Njenengan yang nongkrong di sudut hati saya. Njenengan tidak beranjak dari sana sejak pertama kali saya terpikat dengan Njenengan bertahun-tahun yang lalu.”
“Memangnya hati Njenengan itu warung angkringan tho, Dok? Kok ada saya nongkrong di sana ? Saya lagi pesan apa? Nasi kucing, ya ?” Aku mencoba menggoda beliau sebagai kamuflase rasa berbunga-bunga yang menyelimuti hati akibat gombalan beliau yang sangat tidak romantis.
Bayangkan saja, mana ada orang menggombal menggunakan kosakata “nongkrong”.
Beliau tertawa mendengar pertanyaanku. Dan aku selalu terpesona memandang mata beliau yang menyipit saat tertawa lepas.
“Emaknya Maghrib ini memang paling pinter mengotak-atik kata,” ujar beliau di sela tawanya.
“Dok...” sapaku lembut.
“Ya...”
“Saya boleh tanya?”
“Monggo...”
“Maaf, Dok....” Aku sengaja membuat kalimat yang tak usai.
“Ya....” Beliau menanti lanjutan kalimatku.
“Tapi...Njenengan bisa kan menjalankan kewajiban sebagai suami?”
Mendengar pertanyaanku yang begitu absurd, Beliau menatapku lekat.
“Njenengan kenapa bertanya seperti itu?”
“Karena menurut pemikiran saya, kalau Njenengan bisa menjalankan kewajiban sebagai suami, berarti sebenernya di hati Njenengan ada cinta untuk Mbak Widya, walau persentasenya kecil.”
Beliau terdiam mendengar ujaranku. Dan aku kembali meneruskan bicara.
“Lelaki itu pemberi, Dok. Mereka tidak akan bisa menjalankan tugas kalau tidak maksimal. Beda dengan kami sebagai penerima, apa dan bagaimanapun kondisinya, tetap saja bisa menjalankan tugas.” Aku menyudahi ujaranku.
“Saya gak munafik, saya lelaki normal yang sudah bertahun-tahun tidak menyentuh wanita, Nyonya. Adalah hal yang manusiawi kalau saya mampu menjalankan kewajiban sebagai suami.”
Kalimat beliau terdengar lirih dan bergetar. Sementara aku yang mendengar kata-kata beliau tersebut tersulut cemburu yang tidak pada tempatnya. Dadaku berdegup kencang. Aku tidak berani menatap beliau, aku takut beliau melihat kekecewaan di mataku. Pandanganku lurus ke depan, namun dari sudut mata, aku menangkap kalau beliau terus menatap ke arahku.
“Saya harus menghargai dan menafkahi Mbak Widya. Tapi perasaan saya kepada Beliau lebih sebagai rasa hormat dan sayang kepada kakak. Sejujurnya....” Beliau menghentikan bicaranya.
“Kenapa, Dok?” Aku penasaran dengan ucapannya yang menggantung.
“Setelah pernikahan kami memasuki hitungan bulan, saya sering mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajiban sebagai suami. Dan di saat-saat seperti itu, saya selalu menghadirkan Njenengan untuk membantu saya.”
“Dok....” ujarku tercekat.
Perasaanku campur aduk, cemburu, bahagia, sedih, dan segala rasa tak menentu mengaduk-aduk perasaanku.
Aku cemburu membayangkan Pak Dokter menjalankan kewajibannya dengan Mbak Widya. Namun aku juga bahagia karena beliau selalu membutuhkanku. Tapi di balik kebahagiaan itu ada sebersit kesedihan, ketika beliau menggunakan bayang-bayangku demi kepuasan Mbak Widya. Aku gak rela.
Aku mulai berpikir untuk kembali menata hati melupakan Pak Dokter seperti yang pernah kulakukan dulu. Aku harus bijak dan realistis. Merespon kedatangan dan chat-chat mesra Pak Dokter sama saja dengan membiarkan diriku terjerat jaring-jaring asmara terlarang. Pak Dokter sudah menjadi milik orang lain. Aku harus berani dan ikhlas melepasnya. Mungkin Allah punya rencana yang lebih indah untukku.
Note : *Break dulu nunggu Mentari sama Maghrib turun dari Candi 9.
*Pembaca dilarang baper dan kepo, terus gentayangan ke Gedong Songo ngintip
Emak dan Pak Dokter yang lagi berduaan.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment