Tuesday, September 15, 2020

Stetoskop Cinta Sang Dokter 03

Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 3

[Innalillahi wainnaillaihi roji”un.]

[Eyang Lintang meninggal dunia, baru saja. Sekitar jam satu kurang sepuluh menit.]

[Njenengan nanti layat ya. Jenazah dibawa ke Yogya jam 10.00, dikebumikan di sana.]

[Nanti saya kirim supir untuk jeput Njenengan.]

Beliau mengirimiku pesan secara beruntun. Aku terkaget dengan berita yang terkandung di dalamnya. Pak Dokter tidak pernah cerita kalau ibunya sakit, tiba-tiba di pagi buta seperti ini beliau mengirim berita duka.

Membaca pesan-pesan tersebut, terbayang olehku wajah seorang wanita bijaksana, yang saat ini usianya mencapai 75 tahun. Aku pernah bertemu dengan beliau lima tahun yang lalu di acara ulang tahun Mentari. Wanita dengan kulit putih bersih, wajahnya  cerah, terawat dengan baik. Penampilannya sederhana namun sangat berkelas dan elegan. Beliau sangat njawani, namun sikapnya tegas dan penuh wibawa, membuat siapa pun yang berhadapan dengan beliau akan menaruh rasa hormat yang dalam.

Beliau pernah berharap diriku bersedia menjadi ibu pengganti untuk Lintang dan Mentari. Beliau mengetahui statusku sebagai seorang istri, namun tetap mengizinkan Pak Dokter setia menantiku selama bertahun-tahun, walau akhirnya Ibu Pak Dokter jenuh di ujung penantian. Akhirnya beliau menyodorkan Mbak Widya -kakak sepupu jauh Pak Dokter, janda tanpa anak yang usianya  tiga tahun lebih tua dari Pak Dokter- untuk menjadi ibu pengganti bagi kedua gadis remaja Pak Dokter. Demi baktinya kepada sang ibu, walau tanpa cinta, Pak Dokter menerima mbak Widya. 

Sebelum menerima tawaran ibunya, Pak Dokter menghubungiku terlebih dahulu, untuk mencari kepastian tentang statusku setelah kami berpisah selama empat tahun lebih. Namun saat itu aku tidak merespon chatnya, karena sedang fokus mendampingi suamiku yang anfal. Menyadari chatnya tak berbalas, Pak Dokter berasumsi kalau aku masih menghindari beliau karena menjaga marwahku sebagai istri. Satu bulan setelah Pak Dokter menghubungiku, beliau menikahi Mbak Widya. Ironisnya pernikahan  tersebut  terlaksana  ketika aku justru sudah dua minggu menyandang  status single. Aku baru mengetahui kalau Pak Dokter sudah menikah lagi ketika kami bertemu di bandara tiga minggu yang lalu. Pun demikian juga dengan beliau, yang baru mengetahui kalau aku sudah single  saat pertemuan di bandara itu.

[Innalillahi wainnaillaihi rojiun,] balasku.

[Ibu sakit apa, Dok?]

[Njenengan kok gak pernah cerita kalau ibu sakit?]

[Turut berduka cita ya, Dok. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan menempatkan beliau di tempat yang terpuji...aamiin.]

[Aamiin. Terima kasih, Nyonya.] Beliau langsung membalas pesanku.

[Ibu gak sakit. Jam 12 lewat 15 menit tadi ibu  memanggil-manggil Lintang. Saya yang belum tidur mendengar panggilan ibu langsung menuju ke kamar beliau. Ternyata beliau sedang menahan sakit dan sesak di dada. Kejadiannya begitu cepat, saya belum sempat bertindak maksimal, jam satu kurang sepuluh ibu pergi.]

Kalau Allah sudah berkehendak, bahkan seorang dokter konsultan pun tidak mampu bertindak untuk menolong ibunya.

[Njenengan sudah bangun atau belum tidur?] lanjutnya lagi.

[Sudah bangun, Dok. Terbangun tepatnya.] Mimpi indah yang mengerikan tadi kembali menari-nari di pelupuk mataku. Ada sebersit rasa malu menyelinap di dada, walau aku sedang tidak berhadapan dengan Pak Dokter.

[Nyonya...maafin ibu ya.]

[Ibu gak salah, Dok. Toh Beliau tetap mengizinkan njenengan menunggu saya selama bertahun-tahun, walaupun beliau tau kalau saya ini wanita bersuami. Ibu gak salah, takdir kita memang tidak berjodoh.]

[Terima kasih, Nyonya.]

[Njenengan seharusnya bersyukur, Dok, karena sudah mengabulkan keinginan beliau supaya njenengan menikah lagi sebelum beliau wafat.]

[Nasib saya sama dengan Njenengan, dalam waktu enam bulan harus merasakan dua kali kehilangan. Kehilangan saya akan Njenengan begitu menyakitkan dan ironis. Sementara kehilangan akan Ibu lebih kepada rasa sedih yang terlalu kuat. Saya belum cukup berbakti kepada Beliau, sementara Beliau menghabiskan sepanjang hayatnya untuk mengurus saya, dari saya lahir hingga memiliki anak. Bahkan Beliau masih saya repotkan dengan mengurus Lintang dan Mentari. Saya berdosa banget, Nyonya.]

[Dok...Njenengan tidak boleh menyesali nasib. Sedih oke, meratap jangan. Semua itu sudah garis hidup. Njenengan yang saya kenal selama ini lelaki tegar yang pantang menyerah. Ikhlas ya, Dok. Nanti jadi imam sholat jenazah ya, Dok. Njenengan mampu dan sanggup.]  

Kata-kata penghiburanku memang terlalu mainstream, tapi cuma itu yang bisa aku lakukan. Aku gak mungkin menelphone beliau di pagi buta ini. Selain waktunya yang tidak tepat, aku juga harus menjaga perasaan Mbak Widya. Seharusnya orang yang paling pantas menghibur beliau saat ini ya memang Mbak Widya, karena aku hanya seorang outsider.

@@@@@

Aku tiba di rumah Pak Dokter sekitar jam 08.00 pagi dengan menaiki armada online karena aku menolak tawarannya untuk dijeput supir.. Walau Pak Dokter sering bercerita tentang tempat bernaungnya, namun sejak mengenal Pak Dokter, ini pertama kali aku berkunjung ke rumah beliau. Rumah yang dulu selalu kulewati setiap aku membawa Maghrib kontrol ke RSUP.  

Hari masih sepagi itu, namun para pelayat telah ramai memenuhi rumah duka yang berada di jalan Sultan Agung 150 itu.  Karangan bunga berjajar di halaman rumah nan luas. Mobil-mobil pelayat terpaksa terparkir di sepanjang bahu jalan utama kota Semarang tersebut. 

Aku gemetar. Dalam situasi berduka seperti ini pun, rasa grogi seakan tak mau menjauh dari diriku. Itulah sebabnya, begitu tiba di sana aku tidak masuk ke rumah duka. Setelah menyalami para penerima tamu, aku langsung mencari kursi kosong di pojok belakang di bawah naungan teratak yang terpasang di halaman. Berbaur dengan para pelayat lainnya.
Walau pagi masih terlalu muda, namun para pelayat datang silih berganti, mungkin karena saat ini hari kerja, ditambah lagi jenazah akan segera diberangkatkan ke Yogya pada pukul 10.00 nanti, jadi mungkin mereka menyempatkan diri dulu untuk takziah sebelum meluncur ke tempat dinas masing-masing.

Aku duduk dalam diam, memperhatikan para pelayat yang datang silih berganti, memperhatikan –mungkin- pihak keluarga yang kelihatan hilir mudik mengurus segala sesuatu, namun sejauh ini aku belum melihat sosok Pak Dokter, Mbak Widya, Lintang dan Mentari. 

Tetiba gawai di tasku bergetar.

[Njenengan sudah sampe mana?] Pesan masuk dari Pak Dokter.

[Saya sudah di rumah duka.]

[Di mana?]

[Saya berbaur dengan para pelayat. Tolong Njenengan jangan mencari saya ya. Saya bakal demam panggung bertemu Njenengan di tengah keramaian begini. Njenengan fokus saja dengan para tamu. Jangan hiraukan saya.]

[Saya bisa minta tolong, Njenengan masuk sebentar ke rumah duka?]

[Pleaseee, Dok. Emotikon tangan tertangkup dua.]

Pesan terakhirku tak berbalas. Beberapa saat kemudian kulihat Pak Dokter keluar dari rumah duka. Berbaju koko hitam, celana hitam, peci hitam. Wajah lelahnya mengguratkan kesedihan yang teramat dalam. Beliau menyebar pandang ke arah para tetamu wanita, mungkin mencari bayang diriku. Setelah beberapa saat tak mampu menemukan keberadaanku, beliau menuju ke deretan kursi paling depan, menyalami tetamu yang duduk di sana. 
Setelahnya beliau duduk di salah satu kursi dan berbincang dengan tamu-tamu yang berada di dekat beliau.

Walau posisi dudukku jauh di pojokan belakang, namun aku bisa memantau semua aktivitas beliau.

Serombongan tamu datang. Pak Dokter berdiri, menyambut sambil menyalami mereka satu persatu. Pak Dokter mendampingi rombongan tamu tadi menuju kursi-kursi yang belum terisi.

Semakin tinggi matahari, tamu yang datang terus mengalir. Hingga jarum jam menunjuk tepat ke  pukul 09.00, Pembawa Acara mengumumkan bahwa prosesi pemberangkatan jenazah akan dilaksanakan pada pukul 09.30. Kemudian jenazah akan dibawa ke Mesjid Jami’ Jatingaleh untuk disholatkan. Selanjutnya rombongan bergerak melalui tol Semarang-Salatiga menuju Yogya via Klaten, karena almarhumah akan dikebumikan di  daerah Prambanan.

Dari tempatku duduk, terlihat Pak Dokter kembali menuju ke rumah duka. Beliau sudah tidak melempar pandang mencari-cariku lagi. Sesaat kemudian gawaiku bergetar.

[Njenengan di mana?] Pesan masuk dari Pak Dokter.

Ternyata beliau masuk ke rumah untuk mengirim pesan padaku. Kufokuskan kamera handphone ke arah rumah duka, mengambil satu photo dari sudut pandang tempatku duduk. Kemudian photo itu kukirim ke Pak Dokter.

[Saya di sini, Dok. Njenengan fokus saja ke para tamu. Fokus ke prosesi. Dan satu yang paling penting, Njenengan wajib mengimami sholat jenazah, ya.]

[Apa saya mampu ?]

[Njenengan mampu dan sanggup. Bicara baik-baik dengan para sesepuh, kalau Njenengan ingin mengimami sholat terakhir untuk Ibu.]

[Saya coba.]

[jempol tiga.]

[Njenengan saya tunggu di rumah.]

[Gak, Dok. Saya gak bisa. Saya datang melayat karena rasa hormat saya kepada almarhumah, dan empati saya kepada Njenengan. Saya gak perlu masuk ke rumah, Dok. Saya gak siap ketemu Mbak Widya. Apalagi Lintang dan Mentari pasti ada di dalam juga, kan? Saya juga gak siap ketemu mereka, karena nanti jadi perhatian orang-orang yang melihat. Saya di sini saja ya, Dok?]

[Saya butuh support Njenengan.]

[Saya selalu ada untuk Njenengan, Dok.]

Makhluk bernama lelaki memang kuat dan tangguh. Namun ada satu sudut dalam jiwa mereka, yang pada titik tertentu butuh dimanja dan ditenangkan oleh makhluk lemah bernama wanita.

Begitu juga dengan kondisi Pak Dokter saat ini. Sepanjang pengetahuanku, beliau itu sosok yang teguh, berpendirian kuat, berkarakter, dan pantang berputus asa. Tapi ketika rasa sedih menyergap karena kehilangan sosok ibu yang menjadi perisai dan pendampingnya, Beliau terlihat down banget. Walau secara kasat mata beliau tidak terlihat menangis lebay, tapi dari raut wajah dan gelagatnya terlihat beliau terpukul berat.

@@@@@

Ketika prosesi pemberangkatan jenazah selesai, di tengah ramainya para pelayat aku menyelinap menuju keluar halaman. Selanjutnya aku berjalan agak menjauh dari rumah duka, menanti armada online yang sudah kupesan. Jalanan macet, tapi untunglah taksi pesananku segera datang, dan segera juga meluncur membawaku ke Mesjid Jami’ Jatingaleh. 

Begitu tiba di Masjid, aku segera berwudhu, tahiyat masjid, dan menunggu iring-iringan pengantar jenazah tiba.

Sepuluh menit ke depan, rombongan tiba. Suasana Masjid menjadi ramai. Enam orang lelaki dewasa menggotong keranda almarhumah dari mobil jenazah ke dalam mesjid. Pak Dokter satu di antara ke enam orang tersebut. Aku bangga dan kagum  dengan beliau. 

Dan kekaguman itu paripurna ketika beliau maju sebagai imam untuk  memimpin pelaksanaan sholat terakhir untuk Sang Bunda, diikuti begitu banyak makmum. 

Jujur, suasana ini membuat hatiku bergetar. Seorang Ibu meninggal, disholatkan lebih dari 40 orang (bahkan prediksiku hampir mencapai seratus orang) dan yang menjadi imam sholatnya anak kandungnya sendiri. Sungguh suatu berkah yang tak ternilai.

Selesai pelaksanaan sholat jenazah, rombongan mulai bersiap memasuki mobil masing-masing untuk menuju Yogya. Di kerumunan keluarga tersebut kulihat Lintang, Mentari, dan Mbak Widya masuk ke Pajero Sport putih milik pak dokter bersama dua orang wanita yang tidak kukenal, dan seorang lelaki yang berperan sebagai supir. 

Mbak Widya terlihat cantik dengan balutan baju dan kerudung serba hitam. Kacamata hitam yang bertengger anggun  membuat penampilannya semakin modis walau dalam suasana berkabung. Wanita bertubuh mungil tersebut memang cukup memukau walau usianya sudah lebih dari setengah abad. 

Lintang...gadis remaja yang masih duduk di kelas II SMA itu terlihat semakin mempesona. Tubuhnya tinggi semampai, kulitnya putih bersih. Wajahnya jelita banget dengan alis tebal persis alis Pak Dokter, hidung bangir, dan bibir seksi warisan dari bapaknya. Aku rindu gadis muda tersebut. Sejak pertemuan di resort lima tahun yang lalu, ini pertama kali aku melihatnya lagi, tapi dia tidak mengetahui keberadaanku yang sedang menatapnya takjub. Sementara Mentari, gadis yang selalu memikat hatiku, terlihat ayu dengan baju hitam-hitamnya.

Dari tempatku berdiri, terlihat  Pak Dokter  hendak masuk ke mobil paling depan, mobil jenazah. Kukirim seuntai pesan untuk beliau.

[Saya di depan pintu mesjid. Saya sedang menatap Njenengan dengan rasa kagum yang membuncah. Berbahagialah ibu memiliki anak lelaki seperti Njenengan, Dok.]

Kulihat beliau mengeluarkan handphone dari sakunya, dan menunda membuka pintu depan mobil jenazah. Selanjutnya beliau menatap benda persegi empat di tangannya, kemudian mengalihkan pandang ke arah pintu mesjid. Menatapku lekat dari kejauhan. Tatapannya persis sama seperti saat beliau mengetahui suamiku sudah meninggal. Hatiku bergetar melihat tatapannya yang begitu sarat makna. Berbagai bayangan berkecamuk di dada. Bayang-bayang kesedihan, sakit tak terperi, kehilangan, semua bercampur tak menentu.

Kukirim lagi seuntai pesan.

[Nanti turun ke liang lahat ya, Dok. Sambut almarhumah ibu dari dalam liang.]

Beliau sudah masuk ke mobil, ketika aku menerima balasan pesannya.

[Menikahlah dengan saya, Nyonya.]

“Makjaaang.....Pak Dokter ini memang limited edition banget. Wong ya lagi berduka kok bisa-bisanya mengajak nikah.” Bathinku dalam hati.

Aku yang sedang terbuai haru menyaksikan bakti Pak Dokter terhadap Sang Bunda tak kuasa mengulum senyum membaca pesannya.


Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER