Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 9
Tiga purnama telah berlalu sejak kepulanganku ke Salatiga. Selama kurun waktu tersebut Pak Dokter tetap setia menagih jawaban dariku. Dan aku juga tetap setia dengan jawaban tak ingin menjadi yang kedua. Dengan kesibukan dan jadwalnya yang begitu padat, baru sekali Beliau sempat mengunjungiku di akhir pekan. Selebihnya komunikasi kami intens hanya melalui aplikasi WA.
Di Sabtu pagi ceria ini aku sedang khusuk menghadap laptop di meja kerja, mencoba kembali merangkai kalimat untuk sebuah artikel. Sudah hampir empat bulan aku vakum menulis.
Si sulung – Edel- sedang bersamaku di kamar. Dia duduk di tepian tempat tidur. Di hadapannya terbuka kotak perhiasan. Dia asyik memilah milih perhiasan yang akan digunakannya. Nanti malam Edel akan menghadiri resepsi pernikahan teman SMA nya dan dia bermaksud meminjam perhiasanku. Tiba-tiba dia mengajukan sebuah tanya.
“Ma, ini cincinnya baru, ya?”
Aku kaget mendengar pertanyaannya. Walau tatapanku masih terfokus ke layar laptop, tapi aku tahu cincin mana yang dimaksud Edel.
“Iya,” jawabku singkat dan tak hendak memalingkan wajah bertatap pandang dengannya.
Aku yakin saat ini dia pasti sedang mengamati dan meneliti kondisi cincin tersebut. Ada inisial namaku dan nama Pak Dokter di lingkar dalam cincin tersebut. Dan aku menebak beberapa pertanyaan susulan akan segera meluncur.
BINGO...tebakanku tepat.
“Ini cincin dari Pak Dokter, ya Ma ?” Nada suaranya ketus dan dingin.
Akhirnya aku tak mampu bertahan untuk tidak menghadapnya. Aku membalikkan badan. Menatap ke arahnya yang juga sedang menatap tajam ke arahku sambil memegang cincin pemberian Pak Dokter.
“Ada inisial nama Mama dan Pak Dokter di sini.” Dia melanjutkan ujarannya, masih dengan nada datar dan dingin.
“Iya. Itu memang cincin dari Pak Dokter. Beliau melamar Mama. Tapi Mama belum bisa menerima Beliau,” Akhirnya aku memilih menjawab pertanyaan Edel apa adanya.
“Aku sudah bilang sama Mama, hati-hati sama Pak Dokter. Tapi Mama terus aja merespon Beliau.” Nada suara Edel terdengar agak meninggi dan sedikit jengkel.
“Kamu kira Mama gak berusaha menghindar dari Pak Dokter. Mama juga cukup tau diri Edel.” Aku membalas ucapannya juga dengan nada sedikit meninggi.
“Tapi nyatanya cincin ini sekarang ada di sini. Itu berarti Pak Dokter memberi dan Mama menerima.” Dia masih ngotot dengan syakwa sangkanya terhadap diriku.
Aku tak ingin menjelaskan dengan gamblang kronologi cincin itu bisa sampai di sini, di kotak perhiasan di dalam lemariku.
Mendengar Edel berbicara dengan nada tinggi dan memojokkan saja sudah membuat aku sakit hati. Namun aku berusaha meredam rasa tersinggungku.
“Mama mengkhianati Papa, dan sekarang Mama menjadi penghalang rumah tangga Pak Dokter.” Tiba-tiba dia mengeluarkan kalimat yang membuat sakit hatiku bertambah perih, walau kuakui ada kebenaran dalam kalimatnya.
Anak perempuanku satu-satunya, yang seharusnya menjadi teman akrabku. Yang seharusnya menjadi tempat saling bertukar cerita, menghujatku sedemikian rupa. Bagi seorang Ibu, ketika anaknya berbicara ketus saja sudah bisa membuat sakit hati. Dan kini Edel menghakimiku sebagai pengkhianat dan duri dalam rumah tangga Pak Dokter. Hatiku bagai disayat beribu belati, kemudian luka sayatannya ditaburi perasan jeruk nipis, perih yang teramat sangat.
Aku tidak ingin membiarkan Edel menjadi anak durhaka dengan menghujatku terus. Kujawab segala ucapan nyelekitnya dengan nada tegas sambil menatap lekat ke arahnya.
“Kalau Mama menghianati Papa, Mama sudah jadi istri Pak Dokter dari dulu. Kalau Mama menghianati Papa, Mama sudah membalas chat Pak Dokter ketika Papa sedang anfal. Kalau Mama menghianati Papa, Mama sudah langsung berkirim kabar ke Pak Dokter begitu Mama menjadi janda. Tapi Mama tidak melakukan semua itu. Mama menahan diri hingga akhirnya Pak Dokter rela menikahi Tante Widya walau tanpa cinta hanya demi baktinya pada sang Ibu. Dan itu semua terjadi karena Mama mengabaikan pesan Beliau.” Aku mengambil jeda.
Rasa sakit masih terasa mengiris kalbu. Edel duduk diam di tepian tempat tidur sambil memegang dan memandang cincin pemberian Pak Dokter. Dia seolah menghindar beradu pandang denganku.
“Jujur Edel, perasaan Mama kepada Papa sempat hambar ketika Pak Dokter begitu serius mengejar Mama. Mama hanya manusia biasa, yang kadang bisa tergoda. Sementara Pak Dokter itu lelaki yang cukup potensial untuk dicintai. Tapi Mama masih punya iman. Mama gak mau jadi istri durhaka. Mama jaga marwah Papa. Mama menjauhi Pak Dokter. Mama dan Pak Dokter sudah menjalani masa-masa penuh godaan, namun akhirnya kami tetap tidak berjodoh.”
Kulihat Edel masih belum mau menatap ke arahku. Dia masih di posisinya semula, duduk berdiam diri di tepi tempat tidur.
“Edel...tatap Mama.” Dengan intonasi tegas kuminta dia memandang ke arahku.
Gadis itu menatap ke arahku, namun kelihatan kalau dia tidak ikhlas memenuhi perintahku. Sementara aku menatap lekat ke bola matanya.
“Kamu juga perempuan Edel. Tadinya Mama berharap kamu bisa memahami perasaan dan posisi Mama, tapi ternyata tidak. Mama berharap kamu tidak akan pernah mengalami kondisi seperti Mama, menghadapi cobaan dalam menjaga kesetiaan.”
“Maafin Edel, Ma. Bukannya Edel gak suka sama Pak Dokter. Bukannya Edel gak bisa memahami perasaan Mama. Edel cuma ingin Mama berjodoh lagi dengan Papa di akhirat nanti.” Akhirnya Edel merespon kalimat-kalimatku.
Mendengar jawabannya, perasaanku campur aduk tak menentu. Rasa sakit hati yang masih tersisa karena dihujat anak sendiri. Sedih karena harus bertengkar dengan anak sendiri. Pilu karena aku bisa merasakan apa yang Edel rasakan. Beginilah yang namanya Emak, sesakit apapun perasaannya dibuat si anak, namun tetap saja tidak tega ketika melihat anaknya bersedih.
Edel kembali mengemasi kotak perhiasanku, dan mengembalikannya ke lemari. Dia mengurungkan niatnya memilih perhiasan yang akan dikenakan nanti malam.
“Kok gak jadi pilih perhiasan?” Aku bertanya dengan pelan.
“Gak pa-pa, Ma.” Edel merespon tanyaku dengan nada datar sambil berlalu meninggalkanku sendiri di kamar.
Pertengkaran kecil dengan Edel merusak mood-ku untuk menulis. Kumatikan laptop dan merebahkan diri di pembaringan. Pikiranku melayang.
Kisah asmaraku dengan Pak Dokter terlalu berliku. Bahkan ketiga anakku-pun memiliki sudut pandang yang berbeda-beda dalam menyikapinya. Dhuha lebih mementingkan kebahagiaanku. Keputusan apapun yang kuambil asal bisa membuatku bahagia, dia setuju. Sementara maghrib dengan pola pikir remajanya merasa bahwa aku tidak boleh berpacaran dengan pria yang sudah beristri. Dan anak gadisku –Edel- justru bersikap lebih ekstrim dengan menuduhku menghianati Bapaknya, karena dia berharap aku dan bapaknya tetap berjodoh dunia akhirat.
Aku yakin, tidak ada satupun kejadian di alam semesta ini yang kebetulan. Semua sudah tertulis dan digariskan Allah. Bahkan ketika selembar daun jatuh dari pohon pun sudah tersurat di takdir Allah. Begitu juga dengan jalan hidupku.
Allah menguji kesetiaanku kepada almarhum Bapaknya Maghrib. Allah juga menguji imanku dari godaan Pak Dokter yang sudah beristri. Allah tidak mempertemukan kami ketika sama-sama single. Allah pasti punya rencana yang jauh lebih baik dengan semua skenario ini. Allah....Allah.....Allah.....semua Allah yang mengatur. Dan harusnya aku ikhlas menerima semua garis takdir yang sudah diatur oleh BELIAU, Sang Penguasa Semesta.
Aku bangkit kemudian menuju kamar mandi di pojok kamar. Kusucikan diri dengan berwudhu, menunaikan dua rakaat sholat dhuha. Selanjutnya kutunaikan dua rakaat sholat taubat. Kupasrahkan diri serendah-rendahnya kehadapan sang Ilahi Rabbi. Aku pasrah dan ikhlas atas jalan hidup yang telah Dia pilihkan untukku. Aku tidak akan memaksakan diri dengan memelihara cinta yang membara ini ataupun berpaling menjauhi Pak Dokter. Aku akan mengikuti alur yang telah Allah tetapkan. Apapun yang terjadi, aku ikhlas.
Selepas bercengkrama dengan Sang Penguasa, aku keluar kamar, mencari si gadis di kamarnya. Dia sedang asyik rebahan sambil berduaan dengan gawainya.
“Kenapa gak jadi pilih perhiasan?” Aku mengulangi pertanyaan yang tadi telah kuajukan sambil mendudukkan diri di tepi tempat tidurnya.
“Gak pa-pa, Ma,” jawabnya masih dengan nada datar.
“Memangnya nanti malam gak jadi pergi resepsi?” Aku masih berusaha untuk meluluhkan hatinya.
“Jadi.” Edel menjawab sambil tetap asyik dengan gawainya.
“Mama pilihkan ya?” ujarku sambil mengelus rambutnya.
“Gak usah, Ma. Nanti aku pilih sendiri.”
Untuk sesaat kami terdiam. Dalam kevakuman tersebut tetiba suara Maghrib terdengar memanggilku dari ruang tamu.
“Mama, Om Dokter dateng.”
Edel langsung mengubah posisi berbaringnya menghadap tembok. Aku bahkan belum berhasil melakukan gencatan senjata dengan Edel, eh..sang pemicu masalah malah menyambangiku.
@@@@@
“Njenengan libur tho, Dok?” tanyaku begitu sampai di teras. Heran melihat kedatangannya di Sabtu pagi.
Beliau sedang menungguku sambil mengotak-atik gawainya, dan segera meletakkan benda tersebut di atas meja begitu melihat kemunculanku.
“Iya. Saya lagi ada perlu, mau ke Solo. Mumpung lewat Salatiga singgah sebentar ke sini. Dah lama gak singgah.” Beliau menjawab tanyaku sambil mengambil kembali gawainya yang bergetar. Mungkin ada pesan masuk.
Sejak aku kembali dari Medan, Pak Dokter memang baru sekali berkunjung di akhir pekan. Dan singgahnya di pagi ini merupakan kunjungannya yang kedua.
“Kok sepi?” tanyanya setelah selesai memeriksa gawainya.
“Edel di kamar, Maghrib nonton tivi. Dia lagi gak enak badan, saya suruh izin sekolah. Mbak Sih kalau akhir pekan gini kan libur.”
“Ikut saya ke Solo, yuk?” Tiba-tiba Beliau menawariku untuk mendampinginya ke Solo.
“Mau ngapain ?” Kutatap Beliau tepat di bola matanya.
“Nemenin saya,”
“Kenapa tadi gak ngajak Mbak Widya? Kok malah ngajak saya,” tanyaku dengan nada heran.
“Mbak Widya ke Jakarta. Tadi saya habis nganter Beliau ke bandara, terus bablas ke sini.”
“Mbak Widya kok sering ke Jakarta tho, Dok?” tanyaku sedikit kepo.
“Belanja.” Singkat sekali jawaban yang Beliau berikan.
“Yuk....ke Solo.” Beliau mengalihkan pembicaraan sambil kembali mengajukan penawaran untuk mendampinginya.
“Gak ah....” jawabku seadanya.
“Kenapa? Gak ada pesanan atau acara apapun tho?” Beliau menatapku lekat.
“Gak. Saya tadi ribut kecil dengan Edel.”
“Gara-gara saya?” Seolah memahami sikap Edel, Beliau mencoba menebak akar keributanku.
“Bisa dikatakan begitu.”
“Lebih jelasnya?”
“Edel melihat cincin yang Njenengan kasih. Intinya dia gak suka dengan hubungan ini. Saya tadi sedang berusaha bernegosiasi dengan dia, eh....Njenengan dateng....gagal usaha saya membujuk dia. Mungkin sekarang dia makin marah nih sama saya.”
Selesai aku bercerita Maghrib keluar membawa minum untuk Pak Dokter.
“Pinter banget Maghrib.” Pak Dokter memuji bungsuku yang tanpa disuruh sudah mengerti apa yang harus dilakukan.
“Cuma teh kok, Om,” jawabnya seadanya.
“Maghrib dah salam Om Dokter?”
“Udah tadi, Ma. Diminum, Om,” Maghrib mempersilahkan Pak Dokter untuk minum kemudian pamit masuk ke rumah.
“Konon lagi Njenengan ngajak saya ke Solo...” Kalimatku terputus ketika Edel datang menghampiri ke teras.
“Ma, Edel pamit keluar bentar,” ujarnya sambil menyalami dan mencium punggung tanganku.
Belum sempat aku mengajukan tanya, dia sudah beralih pamit dan menyalami Pak Dokter.
“Om, Edel pamit dulu.”
“Mau ke mana, Edel?” Pak Dokter mencoba menyapa anak gadisku yang Beliau tahu dari ceritaku tadi, kalau si gadis sebenarnya sedang ngambek.
“Ke rumah temen, Om. Pamit dulu ya Om, Ma,”
“Hati-hati, Edel.” Pesan standard ala Emak-emak untuk anak gadisku.
“Ya, Ma,” jawabnya sambil berlalu menuju garasi.
Aku menatap dengan nanar ketika Mobilio hitam itu berlalu keluar dari pintu gerbang.
“Saya sedih, Dok.”
“Kenapa?” tanyanya lembut.
“Walaupun tadi sempat tersinggung dengan perkataan Edel, tapi melihat dia ngambek gitu saya sedih. Gak tega rasanya saat dia sedang istirahat di akhir pekan bareng keluarga, eh...kog malah ada benturan kecil.” Kucoba berkeluh kesah sejenak kepada lelaki yang selalu mengajakku untuk menikah ini.
“Nanti telphone Edel. Njenengan minta maaf. Walau kita orang tua, tapi gak ada salahnya kalau kita minta maaf sama anak. Anak akan merasa lebih dihargai.” Kata-kata Beliau terasa menyejukkan.
Inilah salah satu alasan kenapa aku membalas cinta Beliau. Seperti yang Dhuha bilang, aku butuh teman berbagi di hari tua. Sementara mereka, anak-anakku mungkin akan punya kehidupan lain dan teman berbagi masing-masing. Namun sayangnya aku belum punya kesempatan untuk menjadikan Pak Dokter sebagai tempat untuk berbagi.
“Gak diangkat, Dok,” ujarku sambil menutup panggilan yang tak berbalas.
“Edel masih di jalan. Nanti Njenengan telphone lagi, ya. Sekarang jangan sedih, kan ada saya.” Beliau mencoba menghiburku.
“Njenengan mo ke Solo jam berapa ? Ini udah jam 09.30 lho.” Aku mengingatkan Beliau tentang rencananya ke Solo.
“Sebentar lagi. Kangen saya belum hilang. Sudah dua bulan gak ketemu Njenengan. Terlalu banyak agenda kerja.”
Beliau meraih mug berisi teh yang tadi dihidangkan Maghrib.
“Saya minum dulu, ya,” izinnya padaku.
Aku membalas ujarannya dengan anggukan kecil.
“Gimana ? Mau ya, ikut saya ke Solo. Maghrib diajak sekalian.” Sekali lagi Beliau mengajukan penawarannya sambil meletakkan kembali mug ke atas meja.
“Gak usah, Dok. Nanti malah jadi masalah besar sama Edel. Lagian Maghrib kan lagi gak enak badan.” Aku kembali menolak ajakannya.
“O..iya,” jawab Beliau seolah teringat kembali alasan Maghrib ada di rumah.
“Saya ada kabar buat Njenengan.” Beliau bicara dengan mimik wajah serius.
“Kabar apa, Dok?” tanyaku penasaran.
“Nanti kalau pas saya lega, saya datang lagi. Butuh waktu dan tempat yang nyaman untuk menyampaikannya.”
“Saya dikasih bocorannya dikit.” Aku semakin penasaran dengan kabar yang akan Beliau sampaikan.
“Boleh...” jawab Beliau sambil tersenyum menggoda.
“Tapi ada syaratnya,” lanjut Beliau lagi, “Bersedia menikah dengan saya, ya?”
@@@@@@
Bersambung...
No comments:
Post a Comment