Sangat sulit untuk tidak ber-sinetron di part 10 ini. So, please forgive me, readers, karena part 10 sangat garing, segaring rengginang di kaleng Khong Guan.
Stetoskop Cinta Sang Dokter
Part 10
“Mbak Widya berencana menggugat saya,” ujar Pak Dokter sambil meletakkan kembali mug kopi yang baru disesapnya ke atas meja. Wajah Beliau menggambarkan satu ekspresi yang tidak bisa kuungkap ketika mengucapkan kalimat tersebut.
Pak Dokter menyambangiku sekitar jam 09.00 pagi di Minggu nan cerah ceria ini. Beliau memenuhi janji yang terucap sebulan lalu, ingin menyampaikan suatu kabar untukku. Sebenarnya Beliau ingin mengajakku keluar, tapi aku lebih memilih berbincang di rumah saja, karena hari ini Maghrib tidak bisa menemaniku. Dia pergi renang bareng teman-temannya.
Sementara Edel menikmati istirahatnya di kamar. Aku sudah berdamai dengannya. Kejadian sebulan yang lalu justru membuat kami bisa saling bertukar cerita, mengeluarkan pendapat dan sudut pandang masing-masing tentang hubunganku dengan Pak Dokter. Aku mengakui pada Edel bahwa apa yang dia ucapkan memang ada benarnya. Aku meminta maaf karena seolah-olah menganggap dia sebagai penghalang. Sementara Edel pun menyadari kalau aku juga butuh teman berbagi, tapi dia sangat berharap aku tidak menjadi duri dalam rumah tangga Pak Dokter. Kuberi dia janji pasti, bahwa aku tidak akan pernah menjadi yang kedua.
Sepenggal kalimat yang diucapkan Pak Dokter yang kuasumsikan sebagai “kabar” itu benar-benar membuatku tidak percaya. Baru beberapa bulan yang lalu -ketika Beliau menyusulku ke Medan- Pak Dokter menyatakan tidak mungkin melepas Mbak Widya tanpa alasan. Kenapa sekarang tiba-tiba Mbak Widya menggugat Beliau. Ada deal politik apa di balik semua ini?
“Baru beberapa bulan yang lalu ketika Njenengan melamar saya, Njenengan bilang gak mungkin melepas Mbak Widya tanpa alasan. Kenapa sekarang tiba-tiba Mbak Widya menggugat Njenengan? Adakah deal-deal tertentu di balik semua ini?” Aku menanggapi kalimat beliau dengan pertanyaan bernada menyelidik.
Dan seolah menyadari kecurigaanku, Beliau balik mengajukan pertanyaan.
“Menurut Njenengan ini semua rekayasa? Atau atas kemauan saya, tapi dengan skenario Mbak Widya yang menggugat ?” tanyanya sambil menatap ke arahku.
Aku tidak bisa mengartikan makna tatapan Beliau. Tersinggungkah ?
“Saya gak bilang begitu lho, Dok. Tapi jujur, saya merasa janggal dengan kejadian ini.”
Beliau masih menatapku, namun tidak merespon ucapanku. Aku pun tak tahu harus berucap apa. Kebisuan menyelinap di antara kami.
Rasa penasaran menggelayuti jiwa, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dalam durasi waktu yang begitu cepat segalanya berbalik arah. Rasa was-was mulai menyelimuti jiwa. Apa mungkin Mbak Widya mengetahui keberadaanku ? Sehingga Beliau memilih mundur ? Kalau demikian kondisinya, berarti aku sukses menjadi perusak rumah tangga Pak Dokter. Duh...gimana perasaan anak-anakku kalau sampai tahu tentang hal ini.
“Dok....” Panggilanku memecah keheningan di antara kami.
“Ya...”
“Mbak Widya tau tentang saya?”
Beliau menjawab tanyaku dengan menggeleng pasti.
“Lantas alasannya apa?” tanyaku hati-hati.
Beliau kembali tidak menjawab tanyaku. Aku bingung melanjutkan perbincangan yang absurd ini. Perbincangan yang penuh dengan keheningan.
“Sebulan yang lalu Njenengan bilang mau nyampein satu kabar ke saya. Apa kabar yang Njenengan maksud itu hanya seuntai kalimat yang tadi Njenengan ucapkan itu?” Aku memperjelas rasa penasaranku.
Beliau menghela napas berat, namun masih belum memberi respon atas kalimat-kalimatku.
“Kalau Njenengan belum siap untuk cerita, gak pa-pa. Saya gak maksa. Saya merespon karena Njenengan yang memulai.”
Aku semakin bingung dengan lelaki dewasa yang sukses meluluh lantakkan hatiku ini. Alih-alih merespon ujaranku, Beliau malah terlihat begitu rapuh.
“Njenengan sedih digugat cerai Mbak Widya atau Njenengan sedih karena harus berpisah dengan Mbak Widya? tanyaku dengan nada lembut.
“Kita keluar yuk,” tiba-tiba Beliau mengajakku pergi.
“Di rumah saja, Dok. Toh kita bisa bicara bebas terbuka.” Aku menolak ajakannya untuk pergi.
Aku menyadari kekeliruanku yang terlalu memberondong Beliau dengan begitu banyak tanya. Akhirnya kucoba untuk menahan diri, membiarkan Beliau dengan keheningannya. Dan setelah beberapa jenak, Beliau mulai mengeluarkan beban yang mungkin saat ini sedang menggelayuti hati dan pikirannya.
“Menurut Njenengan sebenarnya siapa yang salah ya?”
Aku tidak menjawab tanya Beliau, melainkan merespon dengan memasang wajah antusias siap mendengarkan segala yang akan Beliau ucapkan.
“Saya menikahi Mbak Widya karena memenuhi keinginan almarhum Ibu. Menurut Ibu, saya dan Mbak Widya ibarat botol ketemu tutup, saling melengkapi. Saya butuh istri yang bisa memenuhi semua kebutuhan saya. Anak-anak butuh ibu yang bisa menyayangi mereka. Sementara Mbak Widya dengan kesendiriannya butuh suami sebagai pelindung, dan butuh anak-anak sebagai pendamping di hari tuanya.”
Pak Dokter menghentikan ceritanya, kemudian kembali menyesap kopi yang kuhidangkan. Sejenak kemudian Beliau melanjutkan ujarannya.
“Maksud Ibu baik. Beliau melihat kebutuhan kami dari sudut pandang kedua sisi. Ibu tau ke mana hati saya berlabuh, dan Ibu berharap seiring berjalannya waktu saya bisa melupakan Njenengan. Tapi Ibu tidak tau kalau hati Mbak Widya pun ternyata tidak berlabuh kepada saya.”
Seketika sebersit rasa kaget menghampiri diriku mendengar kalimat terakhir Pak Dokter.
“Dok ?”
Chemistry di antara kami begitu kuat. Walau aku hanya menyebut namanya dalam nada tanya, Beliau langsung menangkap maksudku.
“Ya. Mbak Widya bersedia dijodohkan dengan saya karena sungkan dengan Ibu. Hati Beliau masih berlabuh di mantan suaminya. Jadi, Mbak Widya pun sebenarnya gak mencintai saya. Sementara Ibu iba melihat Mbak Widya kesepian di hari tuanya, tanpa anak dan suami.” Beliau menghela napas dengan berat.
Secercah rasa lega menembus ke relung jiwa, menyadari bahwa ternyata aku bukan merupakan alasan utama Mbak Widya menggugat Pak Dokter. Setidaknya aku tidak akan menyandang predikat sebagai perusak rumah tangga Beliau.
Namun hatiku teriris mendengar penuturan Beliau. Lelaki dewasa yang cukup potensial untuk dicintai ini ternyata perjalanan asmaranya sangat tidak mulus. Ditinggal meninggal oleh istri tercinta, kemudian jatuh cinta pada wanita yang masih bersuami, terakhir harus menikah dengan wanita yang tidak dicintai dan juga tidak mencintai dirinya. Berbanding terbalik dengan diriku. Sepanjang hidupku, diri ini terlindungi oleh cinta yang berkepanjangan. Ketika aku masih menjadi istri dari Bapaknya Maghrib, suamiku begitu mencintaiku. Disaat bersamaan, cinta dari seorang dokter kharismatik menghampiriku. Bahkan hingga kini walau tak bisa bersatu, aku masih menerima curahan cinta Sang Dokter.
“Kenapa Mbak Widya tiba-tiba ingin menggugat Njenengan, Dok?” tanyaku penuh kehati-hatian.
Aku menyadari Beliau sedang mengalami pergolakan di bathinnya. Yang Beliau butuhkan saat ini cuma kesiapanku untuk menjadi pendengar. Namun aku juga merasa perlu bertanya tentang alasan semua kejadian ini.
“Ceritanya panjang.”
“Gak pa-pa, Dok. Selama Njenengan nyaman berbagi dengan saya, saya siap dengerin semua keluh kesah Njenengan. Keluarkan aja semua beban yang menghimpit hati dan pikiran Njenengan.” Aku menatap lembut ke bola matanya, mencoba menyakinkan Beliau bahwa aku sungguh sangat siap untuk menjadi pendengar setianya.
“Mbak Widya itu pisah dengan suaminya bukan atas kemauan Beliau, tapi karena keinginan suaminya. Suaminya tergoda sama perempuan lain. Dengan alasan yang cukup kuat -bahwa mereka gak punya anak- suaminya menggugat cerai Mbak Widya demi untuk menikahi selingkuhannya. Sebenarnya Mbak Widya gak keberatan untuk dimadu, tapi perempuan lain itu yang gak mau berbagi.”
Aku tertohok mendengar cerita Pak Dokter, karena aku sempat berulang kali mengucapkan kata-kata tersebut – bahwa aku tidak ingin menjadi yang kedua dan tidak ingin berbagi dengan Mbak Widya- ketika Beliau melamarku.
“Cinta perempuan lain itu kepada suami Mbak Widya gak tulus. Dia cuma tertarik dengan materi. Ketika usaha suami mbak Widya kolaps, dia gak siap mendampingi. Dalam kondisi bangkrut dan tak bermarwah, mantan suami Mbak Widya berusaha mencari keberadaannya, karena dia tau cinta Mbak Widya untuk dia begitu besar.” Pak Dokter kembali mengambil jeda di sela-sela ceritanya.
“Kita keluar yuk.” Beliau kembali mengulangi tawarannya mengajakku keluar.
“Mau kemana sih, Dok? Wong ceritanya aja belum tuntas kok.” Aku masih berusaha menolak ajakannya.
“Kemana aja.”
“Lha...Njenengan yang ngajak pergi, tapi gak jelas maunya ke mana.”
“Udah, Njenengan siap-siap dulu. Edel diajak sekalian.” Beliau memintaku untuk mengajak Edel.
“Serius mau ngajak Edel?” tanyaku tak yakin.
“Iya. Kita ngobrol bareng. Edel toh udah dewasa. Cerita saya bukan cerita vulgar. Justru bisa jadi pembelajaran untuk Edel. Juga bisa jadi endorse kalau Emaknya yang begitu mempesona ini bukanlah perusak rumah tangga orang,” ujarnya dengan senyum menggoda.
“Hhmmmmm........,” ujarku sambil berlalu masuk ke rumah. Terdengar Beliau tertawa karena ucapanku.
Bukan Pak Dokter namanya, kalau tak mengumbar gombal.
@@@@@
“Kita mau ke mana, Om?” tanya Edel ketika mobil mulai melaju di jalan raya.
“Edel maunya kemana?” Beliau malah balik bertanya.
“Kalau Edel manut, Om.”
“Njenengan maunya ke mana?” Beliau mengalihkan tanya kepadaku.
“Ngikut ke mana dibawa Pak Supir,” jawabku apa adanya.
“Ke Hortimart aja, Om.” Tetiba Edel memberi rekomendasi tempat untuk dikunjungi.
“Oke. Njenengan oke juga, kan?” tanya Beliau sambil menoleh ke arahku yang duduk di sebelahnya.
“Ya, boleh.”
Mobil meluncur dengan pasti menuju Hortimart , sebuah agro resto di kawasan Bawen. Awalnya tempat ini merupakan pusat penjualan aneka bibit pohon buah-buahan dengan kualitas bagus. Seiring berjalannya waktu, kemudian lokasi ini dilengkapi dengan resto all you can eat yang bangunannya terletak di ujung perkebunan buah di tepi lembah yang menghadap ke Gunung Ungaran. Selain itu juga ada supermarket yang menjual beragam buah, sayur segar, dan aneka olahan hasil pertanian, yang semuanya merupakan produk Hortimart bekerjasama dengan supplier yang berada di bawah naungan Yayasan Obor Tani. Tak ketinggalan juga swalayan yang menjual beragam peralatan untuk bercocok tanam. Dan selain resto all you can eat yang dibuka tergantung reservasi, juga ada resto reguler yang buka setiap hari. Resto reguler ini menyediakan beragam makanan sehat.
Ketika kami tiba di Hortimart, pengunjung sudah mulai ramai. Kelihatannya mereka merupakan rombongan dari luar kota. Terlihat beberapa bis pariwisata di tempat parkir.
Aku, Pak Dokter, dan Edel segera menuju ke agro resto. Kami memilih sofa tepat di pojok resto. Posisi duduk kami menghadap ke hamparan kebun buah-buahan yang terbentang luas. Resto all you can eat juga terlihat di kejauhan.
Pelayan datang membawa buku menu. Setelah memilih menu dan menunggu orderan datang, kami bertiga terlibat perbincangan santai.
Sebenarnya aku penasaran dengan kelanjutan cerita Pak Dokter, tapi aku sungkan memulai bertanya karena ada Edel di antara kami.
Namun lagi-lagi ikatan bathin antara diriku dengan Pak Dokter mulai bermain. Bagai menerima pesan melalui telepati, Beliau melanjutkan ceritanya tanpa kuminta.
“Ternyata mantan suami Mbak Widya sudah rutin menghubungi Beliau sejak pernikahan kami berjalan beberapa bulan, setelah kita bertemu di bandara,” ujar Beliau menyambung pembicaraan kami di teras rumah tadi.
“Ma, Edel ke pusat pembibitan dulu ya. Mo lihat-lihat bibit pohon.” Seolah ingin menghindari perbincanganku dengan Pak Dokter, Edel mengajukan alasan ingin ke pusat pembibitan.
“Di sini aja Edel. Cerita Om gak ada yang rahasia kok. Edel juga sudah dewasa, gak tabu mendengarkan cerita Om dan Mama. Untuk pembelajaran nanti kalau Edel sudah berumah tangga.” Pak Dokter mencegah Edel untuk undur diri.
Terlihat kalau anak gadisku sebenarnya sungkan ikut terlibat dalam perbincangan ini, tapi dia menuruti perkataan Pak Dokter dan tetap tinggal bersama kami.
“Mantannya mengajak rujuk, sementara Mbak Widya bimbang. Cintanya kepada sang mantan masih begitu besar walaupun sudah disakiti., namun Beliau merasa tidak punya alasan untuk meninggalkan saya.”
Hhmmmm...persis seperti Pak Dokter, ingin berpoligami karena merasa tidak punya alasan untuk melepas Mbak Widya.
“Cinta sejatinya kepada sang mantanlah yang membuat Mbak Widya tidak peka terhadap keberadaan Njenengan. Beliau menjalani kehidupan dengan saya bagai air mengalir. Mengurus kebutuhan anak-anak, menjalankan peran sebagai istri, tapi ternyata sukmanya hampa.”
Dua orang pelayan datang menghampiri meja membawa orderan kami. Edel terlihat lega melihat orderan sudah datang karena dia tidak perlu lagi berpura-pura fokus dengan gawainya sementara telinganya harus menangkap keseluruhan obrolanku dan Pak Dokter.
Kami menikmati sajian masing-masing. Sebelum Pak Dokter melanjutkan ceritanya, Aku kembali mengulangi pertanyaan yang tadi belum terjawab.
“Lantas alasan apa Mbak Widya menggugat Njenengan?”
Edel yang menyuap nasi goreng sayur terlihat kaget mendengar pertanyaanku. Dia menatapku dengan pandang tak percaya. Aku pura-pura tidak membalas tatapannya, walau sebenarnya aku mencuri pandang dari sudut mata. Setelahnya dia berganti menatap Pak Dokter.
“Bener, Om?” Akhirnya anak gadisku tak kuasa untuk tidak ikut terlibat dalam obrolan kami.
“Iya. Tante Widya berencana menggugat Om.” jawab Pak Dokter lugas dan jujur.
“Karena Mama?” Ada nada khawatir dalam ujarannya.
“Bukan,” jawab Pak Dokter pasti.
“Beneran ?” Dia seolah tidak yakin dengan jawaban Pak Dokter.
“Om gak perlu berbohong untuk urusan seserius ini , Edel,” Beliau berusaha meyakinkan anak sulungku.
Aku mendengar helaan napas lega dari seorang gadis yang duduk di sebelahku. Selanjutnya Dia kembali menyuap nasi goreng sayur orderannya.
“Mbak Widya gak bisa berpura-pura dengan perasaannya. Dua minggu setelah saya pulang dari Medan, Beliau mengajak saya bicara. Mbak Widya berterus terang tentang perasaan dan keinginannya. Dia juga minta maaf karena selama ini menurutnya dia gak jujur di belakang saya, karena menjalin komunikasi dengan mantannya.”
Aku kaget mendengar cerita Pak Dokter. Seorang Mbak Widya yang bertubuh mungil itu begitu gentle dalam mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Ternyata ungkapan bahwa the power of emak-emak itu begitu dahsyat, sangat benar sekali. Bukan hanya untuk urusan menguasai jalanan dengan motor matic saja, tapi juga untuk urusan cinta sejati yang menyelimuti hati.
Pak Dokter menghentikan ceritanya, kemudian mengambil selembar tissue untuk mengelap sudut luar bibirnya yang mungkin terkena bumbu gado-gado yang dimakannya.
Sementara Edel kulirik mendengarkan dengan seksama cerita Pak Dokter sambil tetap menikmati hidangannya.
“Berarti Mbak Widya lebih gentle dibanding Njenengan, Dok,” ujarku mengekspresikan kekaguman terhadap istri kekasihku.
“Jujur, waktu Mbak Widya menumpahkan semua uneg-unegnya, saya merasa jadi laki-laki paling pengecut di muka bumi. Beliau berani berterus terang tentang kecurangannya di belakang saya, sementara saya tidak,” ujar Beliau.
“Saya gak berani berterus terang karena saya menghargai Mbak Widya. Saya takut Beliau terluka karena saya pikir Beliau mencintai saya. Ternyata saya Ge-eR, ya?” lanjutnya lagi.
Aku menahan senyum mendengar kata-kata terakhirnya yang diucapkan dengan mimik wajah yang konyol, begitu juga dengan Edel.
“Apa ini merupakan alasan kenapa Mbak Widya rajin ke Jakarta, Dok ?” Aku mencoba mengambil kesimpulan dari cerita Beliau.
Beliau mengangguk sambil kembali menyuap sesendok gado-gado.
“Mbak Widya rajin ke Jakarta untuk menyelamatkan asset, yang masih ada hubungannya dengan keadaan ini, yang sebenarnya asset Beliau pribadi. Tapi saya gak bisa cerita secara gamblang untuk hal yang satu ini karena walaupun saya tau masalahnya, tapi mengenai asset ini murni urusan Mbak Widya dengan mantannya.”
Pak Dokter kembali meraih tissue yang kini posisinya agak jauh karena tadi digeser Edel. Aku membantu mengulurkan tempat tissue kepada Beliau.
“Kondisi sang mantan sekarang payah. Bangkrut, kesehatan drop, berbalut cinta yang begitu besar, Mbak Widya gak tega membiarkan mantan suaminya menderita. Seperti sinetron, ya?”
“Duh...Mbak, aku tidak bisa menyimpulkan sebenarnya Njenengan itu berbudi luhur atau terlalu naif,” bathinku dalam hati.
Pikiranku tentang Mbak Widya berpendar-pendar. Di satu sisi aku mengagumi sikap terus terangnya demi menggapai cinta sejati. Tapi di sisi lain, aku merasa Beliau itu terlemahkan oleh cinta, setelah dicampakkan Beliau masih rela mengutip remah-remah cintanya yang berceceran.
“Njenengan menerima wacana gugatan Mbak Widya?” tanyaku pelan, walau sebenarnya aku sudah sangat tahu jawaban yang sesungguhnya.
“Njenengan mungkin sudah tahu jawaban saya terhadap wacana itu. Tapi kami masih butuh waktu untuk membicarakannya dengan anak-anak. Walau Mbak Widya bukan ibu kandung mereka, tapi saya gak mau anak-anak punya gambaran buruk tentang perpisahan ini nantinya.”
“Njenengan sedih dengan kejadian ini, Dok?” Setelah mengucapkan kalimat ini, aku kok merasa seperti wartawan yang mencecar nara sumber dengan beribu pertanyaan.
“Iya. Saya sedih karena ketidak tegasan saya, ada dua wanita yang jadi korban. Pertama Njenengan, saya mengombang-ambingkan perasaan Njenengan sedemikian rupa. Sementara Mbak Widya harus terpasung dalam pernikahan yang tidak diinginkan.” Beliau menjawab tanyaku dengan jujur.
“Edel, besok kalau mau menikah harus jujur dengan perasaan Edel. Jangan seperti Om, dengan alasan ingin berbakti pada Eyangnya Lintang, Om memaksakan diri dengan mengabaikan perasaan sendiri.” Layaknya seorang bapak, Pak Dokter seolah ingin membagi pengalamannya dengan Edel.
“Ya, Om,” jawab Edel singkat dan hormat.
Aku kembali menekuri seporsi mie goreng Jawa di hadapanku yang dari tadi hanya kuaduk-aduk melulu. Sementara Pak Dokter melanjutkan menghabiskan gado-gadonya. Edel sudah purna dengan nasi goreng sayurnya, dan kini asyik dengan gawainya.
Perasaanku berputar-putar tak menentu. Aku tak mampu mengungkapkannya dengan kata-kata. Dunia ini memang benar-benar panggung sandiwara, dan aku tak pernah tahu adegan apa yang terjadi nanti, esok, lusa, minggu depan, tahun depan.
Aku tidak munafik, ada seberkas harapan menyusup ke relung hati. Namun harapan itu seolah berbalut ketakutan. Harapan yang selama ini selalu mengisi imajinasiku untuk mengayuh biduk bersama Pak Dokter. Namun di satu sisi, rasa ketakutan seolah menyergap diri. Takut ketika ternyata Sang Sutradara Hidup kembali membelokkan skenario hidup kami.
@@@@@
Bersambung..
No comments:
Post a Comment