BUAH HATI 29
(Tien Kumalasari)
“Bapaaak... “ Surti panik. Tak ada orang lain dirumah itu. Ia mengambil minyak gosok, dibalurkannya ke kaki tangan ayahnya, sambil terus memanggil-manggil namanya.
“Aduh.. apa yang harus aku lakukan? Membawa bapak ke rumah sakit? Bagaimana ini,” gumamnya dengan bingung. Lalu diambilnya ponsel dan memanggil suaminya. Tapi sebelum tersambung, dilihatnya tangan ayahnya bergerak-gerak.
“Bapak..”
Surti menubruk ayahnya..yang mulai membuka matanya.
“Bapak, ma’afkan Surti bapak.. ma’afkan Surti..”
Pak Mul mengangkat tangannya.. meraih tangan Surti.
“Bapak.. ma’af ya bapak.. Surti tak bermaksud membuat bapak sakit..”
Surti mengambil air minum, lalu dilihatnya pak Mul sudah bangkit dan duduk.
“Minumlah bapak, dan tiduran dulu ya..”
Pak Mul meneguk minuman yang disodorkan Surti.
“Bapak, berbaringlah dulu...”
“Aku tidak apa-apa...”
“Bapak membuat Surti takut..”
“Bapak tidak menyangka, kamu menderita begitu berat nduk..”
“Tidak bapak, Surti sudah melewatinya dengan baik, karena banyak cinta di sekitar Surti. Surti sekarang bahagia bapak..”
Pak Mul merengkuh tubuh Surti, dipeluknya erat.
“Aku mengira semuanya baik-baik saja... ternyata kamu menderita..”
“Tidak, mengapa bapak berkata begitu? Surti sudah melewatinya, dan karena itu Surti berani berterus terang pada bapak.”
“Kamu terlalu menjaga perasaan bapak, sehingga memendam derita kamu seorang diri.”
“Bapak, sekarang Surti sudah menemukan bahagia yang lengkap, dengan adanya bapak disini.”
“Bayi yang kamu kandung ini, darah daging manusia laknat yang tak berperikemanusiaan. Tapi bayi ini tak berdosa. Rengkuh dia dengan kasih sayang, dan didik agar menjadi manusia berhati mulia, berbudi luhur, dan menjadi kebanggan kalian.”
Surti mengangguk, lalu mereka berangkulan sambil meneteskan air mata.
Tiba-tiba ponsel Surti berdering.
“Dari mas Tikno,” kata Surti sambil mengangkat ponselnya.
“Hallo mas,” sapa Surti.
“Kamu tadi menelpon? Aku sedang menerima barang datang, jadi tidak mendengarnya. Ada apa?”
“Mm.. tidak apa-apa mas.. cuma mau bertanya, nanti pulang makan tidak?” kata Surti berbohong. Ia belum ingin menceritakan semuanya sekarang.
“Ya pastilah, sebentar lagi aku pulang. Kamu baik-baik saja kan?”
“Baik..”
“Bapak...?”
“Bapak juga baik.”
“Ya sudah, perasaanku kok seperti nggak enak. “
“Tidak ada apa-apa, ya sudah mas, selesaikan tugas mas, lalu pulang makan, kami tunggu nih.”
“Masak apa isteriku hari ini ?”
“Cuma urap .. sayur lodeh.. ikan asin layur.. sambal..”
“Waah, kok perutku tiba-tiba keroncongan mendengar lauknya. Ya sudah, sebentar lagi aku pulang Surti.”
***
“Nak Tikno.. ada yang ingin bapak katakan pada nak Tikno,” kata pak Mul malam itu ketika nereka sedang duduk berdua di teras.
“Ada apa bapak?”
“Aku sangat berterimakasih pada nak Tikno..”
“Lho, terimakasih untuk apa bapak?”
Nak Tikno telah melakukan sesuatu yang besar pada keluarga bapak.”
“Apa maksud bapak ?”
“Bapak sudah tahu semuanya..”
“Tentang apa bapak ?”
“Bahwa nak Tikno menikahi Surti setelah tahu bahwa Surti diperkosa, lalu mengandung dari laki-laki laknat itu.”
Tikno tertegun. Tak mengira bapak mertuanya sudah mengetahui hal tersebut.
“Surti telah mengatakan semuanya. Bapak sungguh tidak mengira, tanpa bapak ketahui, Surti menderita begitu beratnya. Bisa aku bayangkan, betapa berat menanggung derita itu. Seorang gadis, bukan hanya dirampok, tapi juga diperkosa, lalu kembali tanpa memiliki sesuatupun di tubuhnya. Hampir di sepanjang perjalanannya ia berjalan kaki, dari Ngawi menuju Solo. Betapa sengsaranya anakku..” kata pak Mul sambil terisak.
Tikno terkejut, rupanya Surti sudah mengatakan semuanya. Lalu Tikno bangkit, dan bersimpuh di hadapan pak Mul, menggenggam tangannya erat.
“Yang lalu biarlah berlalu pak, sekarang kami bahagia. Sangat bahagia.”
“Jarang atau bahkan tak ada seorang lelakipun mau menerima wanita yang sudah mengandung, apalagi tak jelas siapa ayahnya.”
“Saya mencintai Surti bapak, mencintai dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bapak harus tenang dan melupakan semua itu. Kami hidup sangat bahagia, bayi yang dikandung Surti adalah anak saya juga, bapak.”
“Kamu sungguh mulia nak,” pak Mul merangkul Tikno dengan mata berkaca-kaca.
“Saya menemukan wanita yang saya cintai, dan saya akan membahagiakannya. Bapak juga harus bahagia, bukan?”
“Terimakasih ya nak.. terimakasih banyak..,” isak pak Mul dengan suara bergetar.
“Sudah pak, lupakan semuanya. Saya juga berterimakasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan saya dengan wanita sebaik Surti.”
***
“Ternyata kamu sudah mengatakan semuanya pada bapak,” kata Tikno menjelang tidur.
“Iya mas, habis awalnya tuh bapak menghitung hitung kandungan Surti, kapan melahirkan.. lalu aku tiba-tiba merasa harus mengatakannya sa’at itu juga.”
“Bapak terkejut bukan?”
“Bukan hanya terkejut mas. Mas tahu tidak ketika saya menelpon mas siang tadi?”
“Kenapa?”
“Itu bapak tiba-tiba pingsan mas.”
“Ya Tuhan..”
“Aku panik.. ingin membawa bapak ke rumah sakit.. lalu menelpon mas. Tapi sebelum mas menjawab telpon, bapak sadar dan bisa berbicara lancar.”
“Syukurlah kalau tidak terjadi apa-apa pada bapak.”
“Tadi bapak mengatakannya pada mas ?”
“Iya.. aku kaget. Tapi aku bersyukur bapak bisa menerima semuanya.”
“Sekarang kita tidak terbebani dengan rahasia yang semula kita simpan ya mas. Semoga semuanya baik-baik saja.”
“Iya, tapi kok kamu keringatan begitu banyak?”
“Udara sangat gerah mas, dan perutku rasanya kok kenceng-kenceng terus.
“Mana .. mana anak bapak.. ooh.. lihat nih, kakinya menendang-nendang.. “
“Iya mas, nggak berhenti-berhenti.”
“Besok aku antar ke dokter saja .. siapa tahu sudah sa’atnya lahir.”
“Tapi dokter bilang masih bulan depan.”
“Bulan depan itu kurang lima hari lagi lho Sur..”
“Oy, iya ya...”
“Besok aku akan pulang agak siang supaya bisa mengantar kamu ke dokter.”
“Kalau mas sibuk, aku kan bisa sama bapak. Ke rumah sakitnya pagi saja mas.”
“Nggak apa-apa, sama bapak?”
“Nggak apa-apa mas..”
“Ya sudah terserah kamu saja, tapi hati-hati ya.. dan kamu juga nggak usah masak-masak, besok pulang kantor aku beli lauk matang saja.”
“Iya mas, gampang.”
***
“Mas, aku nanti sama mbak Darmi mau ke dokter.”
“Lho.. siapa yang sakit?”
“Ini. Sejak pagi tadi kok Naya bersin-bersin terus.. dari pada terlanjur sakit.. aku mau ke dokter saja.”
“Pantesan tadi agak rewel digendong mbak Darmi..”
“Hidungnya mampet mas, sudah aku gosokin dadanya biar anget.. tapi aku mau ke dokter saja sebentar lagi.”
“Mau diantar ?”
“Nggak mas, aku sama mbak Darmi saja.. tapi kalau mas tidak terburu-buru.. aku bisa numpamg sampai ke rumah sakit.”
“Kalau nanti sore kan tidak usah ngantri di rumah sakit, tapi langsung di tempat praktek dokternya.”
“Kelamaan mas, nanti pileknya tambah parah. Biar segera diperiksa dan segera dapat obatnya.”
“Ya sudah, ayo aku tungguin kalau begitu, nanti kalau sudah selesai diperiksa, telpon aku, biar aku jemput.”
“Nggak usah mas, aku naik taksi saja..”
“Ya sudah, buruan kalau mau bareng.”
“mBak Darmi... kita ke dokter sekarang saja, bareng sama pak Indra ya.”
“Iya bu, sudah siap semuanya.”
“Nanti pulangnya mampir belanja ..”
“Lho, anaknya pilek kok mau diajak belanja.”
“Biar Naya sama mbak Darmi di mobil, aku turun sendiri saja. Nggak banyak. Cuma beli kebutuhan untuk Naya juga.”
“Terserah kamu saja, jangan lama-lama belanjanya.”
“Iya.. cuma belanja sedikit kok.”
***
“Bapak tidak apa-apa kan, Surti ajak ke dokter ?”
“Bapak senang, bisa sambil jalan-jalan.”
“Nggak capek nanti?”
“Masa begitu saja capek?”
“Terkadang nunggunya lama lho pak.”
“Nggak apa-apa, ayo.. mau berangkat sekarang?”
“Iya pak, sebentar.. Surti membereskan dapur dulu..
“Sini bapak bantu, suamimu kan sudah melarang kamu bekerja terlalu keras?”
“Cuma membersihkan dapur, bukan kerja keras, nggak apa-apa biar Surti saja. Bapak menunggu di depan kalau sudah bersiap-siap.
Tapi ketika hampir selesai mencuci gelas dan piring, tiba-tiba Surti merasa perutnya sakit sekali. Surti menghentikan kegiatannya, duduk di kursi sambil mengelus perutnya. Ketika rasa sakit itu mereda, Surti kemudian berdiri dan mengelap meja serta merapikan semuanya.
Surti masuk ke kamar dan mengganti bajunya, dan dengan terkejut ia melihat ada bercak darah di celananya.
“Darah? Mengapa ada darah ? Mengapa aku mengeluarkan darah?” gumamnya khawatir.
Ia mengambil ponsel dan memanggil taksi. Setelah memakai pembalut dia bergegas ke depan.
“Apa itu taksi yang kamu pesan Surti? Itu sudah datang,” teriak pak Mul sambil mengambil kunci gembok untuk membuka pintu.
“Surti keluar dan mengunci pintu rumah, wajahnya pucat, dan sebentar-sebentar seperti menahan sakit.
Dalam perjalanan ke rumah sakit itu Surti hanya diam sambil mengelus perutnya.
“Surti, kamu tidak apa-apa?”
“Perut Surti terasa agak sakit pak..” jawabnya sambil meringis kesakitan.
“Waduh.. jangan-jangan kamu mau melahirkan,” kata pak Mul yang cemas melihat Surti tampak kesakitan.
“Entahlah pak.. kadang sakit.. kadang tidak.. Tadi Surti juga mengeluarkan darah.”
“Waduh... mas sopir, agak cepat jalannya ya, jangan sampai anak saya melahirkan di jalan.”
“Iya pak, iya.. secepat saya bisa, so’alnya jalanan lagi ramai nih pak.”
“Biar aku menelpon suami kamu,” kata pak Mul sambil membuka ponselnya.
Tapi lama sekali tidak ada jawaban.
“Aduuuh, kok tidak diangkat ya nduk..”
“Mungkin mas Tikno sedang sibuk pak, nanti saja menelpon lagi.”
“Panik aku melihat kamu kesakitan..”
“Bapak tenang ya, sebentar lagi kita sampai.”
Dan ternyata sesampai di rumah sakit Surti langsung masuk ke kamar bersalin.
Pak Mul menunggu dengan gelisah karena sejak tadi menelpon menantunya tidak juga tersambung.
“Adduuh... nak Tikno kemana ya..” gumam pak Mul sambil berjalan ke sana ke mari dengan menggenggam ponselnya.
Ketika suster keluar dari ruangan itu, pak Mul memburunya.
“mBak.. mbak suster.. bagaimana anak saya?”
“Sabar ya pak, baru pembukaan 6, bapak tenang ya. Bapak suaminya?”
“Suami bagaimana to mbak, kan saya bilang anak saya, berarti saya ini bapaknya,” kata pak Mul sedikit kesal karena hatinya sedang gelisah.
“Ooh, ma’af..”
Pak Mul kembali mondar mandir. Begitu ponselnya berdering langsung diangkatnya.
“Nak.. kok lama sekali.. “
“Nak siapa Mul.. aku Prastowo.. kok nak.”
Pak Mul terkejut, sambil terbungkuk-bungkuk dia menjawabnya.
“Ma’af pak Pras.. ma’af sekali.. saya tadi menelpon suaminya Surti kok belum segera dijawab.”
“Oo, aku cuma mau menanyakan kabarmu Mul, kamu sehat kan?”
“Iya pak Pras, alhamdulillah sehat. Ini sedang menunggu di rumah sakit, sepertinya Surti mau melahirkan.”
“Lho.. sudah mau melahirkan? Berarti belum sa’atnya ya Mul, ya sudah, aku ikut mendo’akan semoga lancar dan selamat semua ya.”
“Terimakasih pak, sedang menghubungi nak Tikno belum nyambung juga.”
“Mungkin sedang sibuk Mul, sabar ya. “
Pak Mul sudah lelah berjalan ke sana ke mari dan bermaksud duduk, ketika Tikno menelponnya.
“Bapak menelpon saya ?”
“Iya nak, aduh.. bingung aku nak, ini Surti di rumah sakit, sepertinya mau melahirkan.”
“Oh.. benarkah? Ya sudah pak, tunggu ya, sebentar saya menyusul ke sana.”
***
Seruni sudah selesai memeriksakan Naya, dan sudah membeli obat dan belanja keperluan anaknya. Tiba-tiba dilihatnya penjual camilan yang sangat menarik hatinya.
“Sebentar mbak Darmi, saya mau beli makanan itu, kelihatannya enak.”
“Ya bu, apa saya ikut turun ?”
“Nggak usah mbak, disini saja.. saya cuma mau beli beberapa makanan. mBak Darmi mau yang apa?”
“Terserah bu Indra saja.”
Seruni tidak jadi naik ke dalam mobil. Tukang parkir yang sudah mendekat kembali mundur.
“Sebentar pak, masih mau beli makanan dulu, “ kata Seruni kepada si tukang parkir.
Beberapa sa’at lamanya Seruni membeli makanan, keluar dari toko itu sambil berbicara di telpon.
“Iya mas, ini sudah mau pulang, sudah selesai beli makanan dan mau naik ke dalam taksi nih. Apa? Ada berita apa? Haaa.. sangat menyenangkan, Surti melahirkan? Apa anaknya? Laki-laki juga? Aduuh.. senangnya.. nanti setelah pulang aku mau menjenguknya ya mas.”
Seruni menutup ponsel dan naik ke dalam taksi. Seorang tukang parkir yang sejak tadi mendengarkan percakapan Seruni tampak memperhatikan dengan mata bercahaya. Ia bahkan tak sempat memberi aba-aba ketika taksi itu berlalu.
***
Bersambung..
No comments:
Post a Comment