Buah Hati 28
Oleh : Tien Kumalasari
Surti tertegun. Tapi kemudian kakinya gemetar. Bibirnya bergetar, tubuhnya bergetar. Ingin berteriak tapi tak mampu mengeluarkan suara.
“Surti, aku minta ma’af... aku minta ma’af ya..” laki-laki itu berkata. Surti tak mau menatapnya. Sekilas dia sudah tahu siapa dia, dan rasa jijik menggumpal di kerongkongannya. Ingin ia muntah, ingin ia meludahi wajah laki-laki jahanam itu.
Tapi Surti tetap tak bisa berkata-kata, wajahnya pucat, air mata mengambang dipelupuknya. Laki-laki itu tiba-tiba ingin turun dari motornya, tapi dilihatnya sebuah sepeda motor menuju ke arahnya. Ia segera menstarter motornya dan kabur dengan secepat kilat.
Tikno turun dari sepeda motor, bingung apa yang terjadi. Dilihatnya Surti limbung, berpegang pada jeruji pagar. Tikno yang ingin mengejak laki-laki itu mengurungkan niatnya. Ia menghampiri istrinya yang kemudian terkulai pingsan.
***
Pak Mul yang tak kalah bingung hanya mondar-mandir di dalam kamar, dimana Surti terbaring dengan mata tertutup.
“Ada apa sebenarnya? Siapa laki-laki itu? Apa dia yang datang beberapa hari yang lalu dan menanyakan ini rumah siapa? Ada apa? Apa maksudnya?”
“Bapak duduk saja dan tenang ya, tidak terjadi apa-apa. Biarkan Surti tersadar lebih dulu,” kata Tikno sambil menggosok-gosok tangan dan kaki Surti dengan minyak hangat, dan sesekali menciumkannya dihidung .
“Surti... bangun Surti...”
Tikno menepuk-nepuk pipi Surti.
Pak Mul walau mau disuruh duduk, tapi kegelisahan masih tampak pada wajahnya. Siapa laki-laki itu? Mau merampok atau mencuri? Mengapa sasarannya di rumah kecil sederhana yang mungkin saja tak banyak memiliki barang berharga ?
“Mas...” tiba-tiba didengarnya Surti mengeluh. Pak Mul berdiri disamping Tikno yang masih saja mengelus tangan istrinya.
“Tenang Surti, kamu tidak apa-apa... tenang ya.”
Tikno mengambilkan minum, lalu mengangkat kepala Surti untuk disuruhnya minum.
Surti memejamkan matanya. Bibirnya bergumam lirih.
“Untung Mas segera datang..”
“Ada apa to Nduk...?” tanya Pak Mul yang masih saja merasa cemas..
“Orang... jahat... aku... takut...”
“Tenang Surti, kamu tidak apa-apa... orang jahat itu sudah pergi..”
“Apa dia mau merampok?” Tanya Pak Mul.
“Munkin Bapak,” kata Tikno yang tiba-tiba merasa khawatir, karena lambat laun rahasia yang disimpannya rapat akhirnya akan tercium juga oleh mertuanya.
“Mengapa rumah sederhana seperti ini diincar pencuri? “
“Mungkin karena melihat Surti sendirian.”
‘Ya sudah Nduk, tidak terjadi apa-apa, kok Nak Tikno seperti merasa bahwa akan ada bahaya, sehingga memasang pagar besi dengan gembok besar disana.”
“Mari Bapak, kita keluar dulu saja, biar Surti merasa tenang,“ ajar Tikno sambil menggandeng tangan mertuanuya.
“Mas...” panggil Surti. Tikno berbalik dan mendekati Surti.
“Ada apa ? Apa dia mengatakan sesuatu?” tanya Tikno dengan berbisik, takut mertuanya mendengar.
Surti menggeleng.
“Dia hanya bilang minta ma’af.. aku jijik melihat wajahnya.. aku ketakutan mas..”
“Kamu sudah aman disini, aku akan melaporkannya pada polisi. Dia buronan dari napi yang kabur beberapa minggu yang lalu. Tenang ya, kalau kamu tidak kemana-mana sendirian, kamu akan aman. Semoga polisi segera bisa menangkapnya.”
Surti mengangguk.
***
_*“Ada apa Mas Tikno?”*_ tanya Indra ketika Tikno menelpon malam itu.
_*“Orang gila itu sekarang berkeliaran dengan sepeda motor. Saya sudah melaporkannya pada polisi.”*_
_*“Mas Tikno melihatnya dimana?”*_
_*“Tampaknya dia sudah tahu dimana Surti tinggal. Dua kali dia menyatroni rumah saya Pak.”*_
_*“Darimana dia tahu rumah Mas Tikno?”*_
_*“Itulah yang saya tidak mengerti Pak Indra. Yang pertama cuma ketemu Bapak, tapi menanyakan rumah ini rumah siapa. Saya sampai membuat pagar besi dan membelikan gembok besar agar tak mudah orang memasukinya. Tapi tadi dia datang lagi ketika Surti sedang ada di depan pagar, sedangkan saya dan bapak pergi membeli cat untuk pagar itu. Surti sampai pingsan ketakutan.”*_
_*“Jadi mas Tikno melihatnya?”*_
_*“Ya, tapi begitu saya datang dia kabur. Saya ingin mengejar tapi melihat Surti sudah limbung, dan jatuh pingsan begitu saya ada didekatnya.”*_
_*“Heran saya, dia bisa tahu dimana Surti berada.”*_
_*“Rupanya memang dia benar-benar penjahat yang tahu caranya menemukan sesuatu dan faham caranya kabur dari kejaran polisi.”*_
_*“Ya sudah Mas, mulai sekarang harus benar-benar bisa menjaga Surti. Jangan biarkan dia pergi kemana-mana tanpa seorangpun yang menemaninya.”*_
_*“Ya pak, yang saya bingung, kalau nanti Bapak bertanya siapa dia dan mengapa mengejar Surti. Rahasia itu pasti akan terungkap.”*_
_*“Begini saja Mas, daripada suatu hari tiba-tiba Pak Mul tahu dan terkejut karena tidak menduganya, lebih baik Mas ceritakan semuanya pelan-pelan. Toh semuanya sudah berlalu dan Surti sudah punya pelindung yang handal, yaitu Mas Tikno. Pak Mul pasti tak akan begitu sedih.”*_
_*“Akan saya coba Pak Indra. Terimakasih banyak.”*_
***
Malam itu Tikno mengajak Pak Mul duduk-duduk di teras. Tikno tahu bahwa Pak Mul masih dipenuhi tanda tanya oleh kedatangan laki-laki misterius yang membuat Surti pingsan. Ia sedang menata kata-kata tentang kejadian yang dialami Surti beberapa bulan lalu, agar Pak Mul tidak terlalu panik.
“Surti tidak apa-apa?” tanya Pak Mul.
“Sudah lebih tenang Pak. Dia hanya ketakutan karena sedang sendirian di rumah, tiba-tiba ada laki-laki asing yang mendekatinya.”
“Kalau itu laki-laki yang sama dengan yang ketemu aku beberapa hari yang lalu, lalu apa sebenarnya maksudnya? Kalau ingin merampok atau mencuri, mengapa harus ke dalam rumah yang sederhana dan diragukan apakah memiliki benda berharga yang tersimpan.”
“Entah apa maksudnya Bapak, tapi saya sudah melaporkannya kepada polisi. Saya berharap sekitar rumah ini akan terus diawasi.”
“Saya heran, Surti sampai pingsan begitu, apa dia mengancamnya?”
Tikno ingin sekali segera mengatakan tentang kejadian itu, tapi lagi-lagi ia kesulitan mengawali kata-katanya.
“Sesungguhnya Surti itu kan penakut, Pak,” kata Tikno sekenanya.
“Dulu waktu masih kecil dia pemberani lho... Ketika ada topeng monyet, anak-anak kecil pada takut, dia malah mendekat dan memegang-megang monyetnya.”
“Oh ya Pak?” lalu Tikno tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Mungkin besok, kalau ada waktu, ia harus berhati-hati, menghadapi orangtua yang pastinya sangat rapuh.
“Bapak kalau ingin jalan-jalan ajak Surti ya? Supaya Bapak ada temannya, dan Surti juga tidak sendirian di rumah.”
“Ya Nak, dan menggembok pagar itu sangat penting.”
Tikno mengangguk, lalu bangkit berdiri, mengajak mertuanya masuk ke rumah.
“Sudah malam, Bapak harus beristirahat, ya.”
***
“Tidurlah Surti, kok nggak tidur-tidur juga?”
“Mas, bagaimana kalau dia datang lagi?”
“Aku sudah melapor ke polisi, rumah ini akan diawasi. Kalau ada orang mencurigakan pasti ditangkap. Jadi kamu tenang ya?”
“Apa yang Bapak pikirkan Mas? Lama-lama rahasia itu pasti akan terungkap. Aku tak ingin Bapak bersedih.”
“Aku akan mengatakannya terus terang.”
“Mas akan mengatakannya?”
“Daripada dia mendengar dari orang lain, aku akan mengatakannya pelan-pelan dan hati-hati. Sedianya tadi, ketika sedang duduk berdua di teras, tapi aku kok belum menemukan kata yang pas untuk mengawalinya. “
Surti menghela nafas. Bapak pasti sedih.
“Bapak tidak akan sedih kalau kamu hidup bahagia disamping aku. Apa kamu bahagia?”
“Aku bahagia menemukanmu Mas, aku merasa hidup kembali.”
Tikno memeluk istrinya.
“Jadi kamu harus kuat, demi anak kita yang ada di dalam kandungan kamu.”
Surti merasa tenang dalam dekapan suaminya. Ia memejamkan matanya dan terlelap tak lama kemudian.
***
Pagi hari itu tiba-tiba Seruni datang dengan mengajak bayinya. Ia juga membawa mbak Darmi. Indra menurunkan mereka sebelum masuk ke kantor.
“Kok pagarnya digembok ya ?” seru Seruni sambil memukul-mukul pintu besinya.
“Apa mereka pergi ya Bu?” tanya Mbak Darmi.
“Surtiiii !! Surtiii!!”
Tak lama kemudian Pak Mul muncul dan mengambil kunci serta mendekati pintu dengan tergopoh-gopoh.
“Surtiii, ada Bu Indra tuh,” teriaknya sambil bergegas kedepan.
“Ternyata Bu Indra.”
“Sekarang pintunya digembok ya Pak Mul?”
“Iya Bu, sejak ada laki-laki aneh yang tampaknya berniat jahat,” kata Pak Mul yang sudah berhasil membuka gembok dan mempersilakan masuk, tapi kembali menggembok pagarnya, seperti pesan Tikno setiap kali mau berangkat bekerja.
Surti berdiri di teras, lalu turun menyambut bekas majikannya dengan wajah berseri.
“Bu Indra, sama siapa?”
“Tadi bareng sama Mas Indra, kangen sama kamu.”
“Saya juga kangen. Ayo silakan masuk Bu Indra.”
Seruni duduk, mengamati wajah Surti yang sedikit pucat. Indra sudah mengatakan apa yang terjadi sehingga membuat Surti pingsan.
“Kamu baik-baik saja kan Surti?”
“Iya Bu. Cuma kemarin itu sempat ketakutan.”
“Saya heran dia bisa tahu tempat ini.”
“Itulah Mbak, saya jadi terkejut dan cemas.”
“Kamu harus hati-hati. Ooh, itu sebabnya Mas Tikno menggembok pagarnya ya?”
“Iya Bu. Langsung membuat pagar besi kemarin itu.”
“Bagus Surti, dan kamu jangan sampai ke luar rumah sendiri. Bahkan mendekati pagar sendiripun jangan pernah.”
“Iya Bu...”
“Kandungan kamu sudah semakin besar ya Sur, kata dokter Melani bagaimana? Kapan kira-kira melahirkan?”
“Kira-kira tiga bulan lagi bu...”
“Hati-hati menjaga kandungan kamu ya Sur, dan ingat, suasana hati kamu berpengaruh pada bayi yang kamu kandung, jadi jangan sedih, jangan cemas.”
“Iya... oh ya, sebentar saya akan buatkan minum dulu.”
“Ini, sudah Bapak buatkan Surti,” kata Pak Mul tiba-tiba sambil membawa nampan berisi beberapa cawan teh hangat.
“Lho... Pak Mul kok tiba-tiba sudah membuat minum.. terimakasih ya Pak Mul.”
“Sudah biasa membuat minum, jadi ya tidak apa-apa, Bu Indra. Silakan, Mbak Darmi juga. Duuh.. ini putranya tidur nyenyak sekali. Namanya siapa Bu Indra?”
“Namanya Nayaka, Pak Mul..”
“Wah, nama yang bagus. Artinya seorang pemimpin prajurit. Hebat... pas dengan wajahnya yang ganteng seperti Mas Indra.”
“Terimakasih Pak Mul.”
“Lama tidak ketemu, tahu-tahu Mas Naya sudah besar ya?” kata Surti sambil mengambil Naya dari gendongan Darmi.
“Hm... benar-benar ganteng. Bu Indra, silakan diminum, Mbak Darmi juga..”
“Iya Surti. Itu tadi mbak Darmi membawa buah-buahan untuk kamu Surti, banyak makan sayur dan buah supaya kamu dan bayi kamu sehat.”
“Terimkasih Bu Indra.”
“Saya mau menyiram tanaman dulu Bu Indra, kemarin terlupa.”
“Iya Pak Mul, kasihan tanamannya, udara panas begini.”
“Saya senang Bu Indra datang, apalagi bersama Mas Naya ini. Saya benar-benar terhibur, seperti terlepas beban saya.”
“Surti, kamu bersama Mas Tikno yang sangat melindungi kamu, rasanya tak ada yang harus kamu khawatirkan.”
“Iya Bu Indra.”
“Apa Pak Mul sudah diberitahu tentang peristiwa itu?”
“Tidak.. eh.. belum. Mas Tikno juga merasa bahwa lebih baik Bapak diberitahu, tapi belum punya cukup keberanian. Katanya harus menata kata-katanya supaya Bapak tidak terkejut.”
“Benar Surti. Harus hati-hati, cuma saja hal itu harus dikatakannya. Karena sepintar-pintarnya menyimpan bau, akhirnya pasti juga akan tercium. Jadi lebih baik pelan-pelan dikatakan.”
“Dulu saya berfikir, setelah saya menemukan Mas Tikno, semuanya akan terkubur bersama waktu. Tapi ternyata dia muncul dan membuat hati saya resah.”
“Tapi belum tentu juga dia ingin berbuat jahat sama kamu. Siapa tahu dia hanya ingin meminta maaf.”
“Benar Bu, dia memang mengucapkan itu, tapi saya tidak sudi menatap wajahnya. Mungkin ketika itu dia akan mendekati saya, kalau saja Mas Tikno tidak keburu datang.”
“Semoga semuanya akan baik-baik ya Surti.”
“Aamiin, terimakasih Bu Indra. Oh ya, apakah Bu Pras sudah kembali ke Surabaya?”
“Sudah Sur, sebenarnya sih Ibu bilang berat, tapi kasihan Bapak sendirian disana. Kalau Pak Mul biar saja disini sampai anak kamu lahir.”
“Iya Bu, senang ada Bapak disini.”
***
Beberapa hari, bahkan bulan telah berlalu, tak ada tanda-tanda laki-laki itu berkeliaran disekitar rumah Tikno. Mungkin ia sudah merasa cukup ketika mengucapkan ‘maaf’, atau mungkin karena sering kali beberapa polisi berkeliaran di daerah itu.
Surti merasa tenang. Tapi tetap saja dia tak berani ke luar rumah sendirian. Belanjapun dia harus mengajak ayahnya, dan Pak Mul senang melakukannya.
“Kota Solo ini menyenangkan ya Nduk.. Bapak kok kerasan tinggal lama disini.”
“Itu bukan karena kotanya Pak, tapi karena Bapak dekat dengan Surti.”
“Oh, iya benar,” kata Pak Mul sambil tertawa.
“Kemarin itu dokter bilang kandungan kamu sudah saatnya? “ tiba-tiba kata Pak Mul.
“Iya Bapak.”
“Kamu itu menikah bulan apa, kalau Bapak hitung-hitung kan seperti masih dua bulanan, kok dokter bilang bulan depan, salah hitung ‘kali?”
“Terkadang kan perhitungan dokter itu bisa meleset,” jawab Surti sekenanya.
“Maka dari itu, tapi ya tidak apa-apa, terkadang bayi lahir lebih awal.” Dan Surti merasa lega dengan jawaban ayahnya.
“Yang penting lahir sehat dan selamat,” lanjut Pak Mul.
“Doakan ya Pak,” kata Surti sambil bersandar pada bahu ayahnya.
“Orangtua itu kan doanya selalu untuk anaknya to Nduk.”
“Terimakasih Bapak. Tapi apakah Bapak senang punya menantu seperti Mas Tikno?” Tiba-tiba terbersit dihati Surti untuk berterus terang saja kepada Bapaknya. Tak tahan rasanya menyimpan rahasia itu terus menerus.
“Dia itu laki-laki baik, mencintai kamu dan sangat menganggap Bapak seperti orangtuanya sendiri. Bapak bahagia, dan bersyukur atas semuanya.”
“Pak, ada yang ingin Surti katakan, tapi Bapak jangan marah ya?”
“Ya, katakan saja, mengapa Bapak harus marah?”
“Hidup Surti ini sangat beruntung, bisa menemukan Mas Tikno yang sangat mencintai Surti.”
Pak Mul mengelus kepala Surti.
“Sebenarnya Surti ingin merahasiakan semua ini pada Bapak, tapi Surti tak sampai hati melakukannya. Apapun yang terjadi, Bapak harus mengetahuinya.”
“Ada apa sebenarnya, Bapak jadi berdebar-debar nih.”
“Tapi Bapak janji ya, jangan marah, jangan terkejut, dan jangan memarahi Surti.”
“Kamu itu lho Nduk, kalau mau ngomong ya ngomong saja.. jangan kelamaan.”
Surti menata batinnya. Menghembuskan nafas panjang, lalu menggenggam tangan Bapaknya erat.
“Bapak ingat kejadian beberapa bulan lalu ketika Surti dirampok?”
“Ya, tentu saja Bapak ingat.”
“Sebenarnya Bapak... Surti bukan hanya dirampok.”
“Apa?”
“Penjahat itu juga... memperkosa Surti pak...” kata Surti yang kali ini diselingi isak.
Pak Mul terkejut bukan alang kepalang. Dipandanginya Surti dengan tatapan iba. Bagaimana harus marah mengetahui nasib anak semata wayangnya seperti itu?.
“Kamu... kamu...”
“Tapi Tuhan mengirimkan Mas Tikno untuk Surti, dan mengambil Surti sebagai istrinya.”
“O alah Nduk...seberat itu penderitaanmu.” Bisik Pak Mul pilu.
“Bapak tidak usah bersedih, karena Surti sudah menemukan Mas Tikno, yang bersedia mengakui bayi yang Surti kandung ini sebagai anaknya.”
Pak Mul membelalakkan matanya.
“Jadi... jadi... bayi yang kamu kandung ini adalah darah daging si laknat itu?” kata Pak Mul sedikit berteriak.
Surti merangkul Bapaknya. Tapi tiba-tiba Surti merasa bahwa Bapaknya terkulai lemas.
“Bapaaak...!” Surti menggoyang tubuh Bapaknya.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment