BUAH HATI 27
Oleh : Tien Kumalasari
Tikno memasuki pagar rumahnya dan masih memarkir sepeda motornya di halaman. Seorang laki-laki yang tadi mengikutinya, mengawasinya sejenak, lalu pergi dari sana.
“Surti...!” Tikno memasuki rumah sambil berteriak memanggil istrinya. Surti bergegas ke luar, tersenyum senang melihat suaminya datang. Diraihnya tangan Tikno, dan diciumnya seperti kebiasaan sehari-harinya ketika sang suami datang dan pergi.
“Mana Bapak?”
“Masih di kamarnya, baru selesai mandi,” kata Surti sambil meminta tas yang dibawa suaminya untuk dibawa ke kamarnya.
“Ini apa Mas?”
“Tadi aku beli makanan, hidangkan untuk Bapak, barangkali suka.”
“Waah, baunya enak.. aku taruh di piring dulu ya.”
Pak Mul sudah selesai mandi, dan berganti pakaian. Surti menunggunya duduk di ruang tengah.
“Bapak, ini mMs Tikno beli makanan untuk Bapak.”
“Wah... Nak Tikno repot-repot nih..”
“Tidak Pak, Mas Tikno sering begitu, dia lewat di penjual makanan lalu mampir untuk beli sesuatu untuk cemilan.”
“Ini apa, Bapak belum pernah tahu.”
“Itu disini namanya ledre Bapak, bahannya dari ketan.. dilipat... isinya pisang. Cobain deh Pak.”
Pak Mul mencomot sebuah ledre... mengecapnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Enak. Kelihatan seperti gosong, tapi empuk.”
“Kalau Surti suka yang ini...”
“Kalau itu Bapak tahu, namanya sosis. Di Surabaya banyak.”
“Bapak suka?” tanya Tikno yang sudah muncul setelah selesai mandi.
“Suka, ledre ini rasanya unik... Bapak sudah ambil dua.”
“Dihabiskan saja kalau Bapak suka.”
“Kalau yang ijo ini apa?”
“Itu dadar gulung Pak, isinya enten-enten. Enten-enten itu kelapa parut yang dimasak dengan gula dan vanili, harum, enak.”
“Bapak cobain ya. Tapi nanti Bapak pasti nggak doyan makan. Habisnya kekenyangan setelah makan ini semua.”
“Tidak apa-apa Pak, makannya bisa agak nanti, setelah makanan yang kita makan sekarang sudah melorot ke bawah.” Seloroh Tikno.
“Bapak senang sekali. Ini keluarga yang utuh. Ada suami, ada istri, ada calon anak.”
“Dan ada Bapak...” sambung Surti.
“Seandainya Ibumu masih ada, pasti dia juga akan bahagia,” kata Pak Mul sendu.
“Kalau Ibu bisa melihatnya, pastilah Ibu juga akan bahagia,” kata Surti sambil menepuk tangan Bapaknya.
“Ayo Bapak, dadar gulungnya masih ada,” kata Tikno untuk menghilangkan suasana sendu itu.
“Oh ya Pak, kabarnya besok Pak Pras akan kembali ke Surabaya,” kata Surti.
“Lho, kok Bapak tidak diberi tahu? Apa Bapak tidak diajak pulang ya?”
“Mungkin Pak Pras ingin agar Bapak puas ketemuan sama Surti, sehingga Pak Pras pulang sendiri.”
“Iya, kabarnya Bu Pras juga masih disini kok.”
“Kalau begitu besok pagi Bapak mau kesana.”
“Iya, nanti bareng Tikno ya Pak, saya antarkan ke rumah Pak Indra.”
“Iya Nak, begitu juga boleh.”
*****
Taapi masih pagi ketika itu, tiba-tiba Pak Pras muncul bersama Indra. Pak Mul tergopoh-gopoh menyambut.
“Saya baru mau kesana bareng sama Nak Tikno, Bapak sudah sampai sini.”
“Tadi jalan-jalan sama Indra, lalu pengin tahu rumahnya Surti, jadi Indra mengantar aku kemari.”
“Bu Pras tidak ikut?”
“O, dia kalau sudah menggendong cucunya nggak bisa diganggu gugat.”
“Walaah... mari Pak.. Mas Indra... silakan masuk...”
Pak Mul sibuk mempersilakan masuk, memintanya duduk didalam tapi Pak Pras memilih duduk di teras.
“Surti... Nak Tikno... ada tamu nih..” teriak Pak Mul.”
“Enak rumah ini, sederhana tapi ditata apik, banyak bunga- cantik, pasti ini Surti yang menanam.”
“Biasanya perempuan memang suka bunga,” kata Indra.
“Lho... Pak Pras dan Pak Indra sudah sampai disini? Sedianya Bapak mau kesana bareng sama Tikno saat berangkat ke kantor.”
“Tadi jalan-jalan sama Indra, lalu ingin melihat rumahnya Surti. Bagus ya Tikno rumahmu..”
“Waduh, ini gubug sederhana sekedar untuk berteduh dari panas dan hujan Pak.”
“Ini rumah yang nyaman. Surti pintar mengatur rumah..”
“Teh hangat.. silakan Bapak...Bapak...” kata Surti yang membawa nampan berisi cawan-cawan teh untuk tamu-tamunya.”
“Terima kasih Surti, senang kamu sudah hidup nyaman,” kata Pak Pras sambil menghirup tehnya, diikuti Indra.
“Kabarnya Pak Pras mau kembali ke Surabaya hari ini?”
“Iya, agak siang Mul, paginya masih ingin jalan-jalan disini. Tadi makan soto di daerah Gading sana, enak... soto disini dan di Surabaya berbeda.”
“Setiap kota punya soto dengan aneka bumbu ya pPk.”
“Tapi Soto Solo paling segar, tidak eneg... kuahnya bening...”
“Apa Pak Pras pulang sendiri nanti?”
“Iya Mul, pulang sendiri saja, karena masih ada yang harus aku kerjakan dan belum selesai. Ibunya Indra masih suka menimang cucunya, sedangkan kamu pasti masih kangen sama anakmu. Ya kan?”
“Iya Pak, benar. Terimakasih sudah membawa saya kemari. Kalau tidak ada Bapak, entah kapan saya bisa sampai di rumah anak saya.”
“Ya kalau kamu ingin bisa saja sewaktu-waktu berangkat sendiri Mul. Naik kereta tidak sampai seharian seperti kalau ke Jakarta.”
“Iya sih Pak. Tapi mencari waktunya yang agak susah. Saya juga tidak bisa meninggalkan tugas di rumah Bapak terlalu lama.”
“Lho.. Mul, aku kan sudah bilang, bekerja di rumahku itu semampu kamu saja. Kamu itu tidak muda lagi, dan punya penyakit darah tinggi yang sewaktu-waktu bisa kumat. Apalagi kalau terlalu capek, jadi aku tidak akan memaksa kamu untuk terus bekerja. Kerjakan yang enteng-enteng saja, dan istirahat kalau kamu lelah.”
“Terimakasih banyak Pak.”
“Kamu disini lebih lama juga tidak apa-apa Mul, pasti anakmu lebih suka kalau nanti saat melahirkan kamu bisa menungguinya.”
“Benarkah ?” mata Pak Mul berbinar karena tanpa memintanya Pak Pras sudah memberinya ijin.
“Mengapa tidak Mul? Aku juga seorang ayah.”
“Terimakasih Pak, terimakasih banyak,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
*****
Pak Mul senang sekali karena akan lebih lama bisa berkumpul dengan anak semata wayangnya bersama suami yang tampak sangat mencintai istrinya, dan menghormati mertuanya.
Saat Surti memasak, Pak Mul ikut merawat tanaman-tanaman yang ada di kebun kecil depan rumah. Dan bahagia itu membuatnya sehat.
Ketika Pak Mul sedang membersihkan daun-daun kering di kebun, dilihatnya seorang pengendara sepeda motor berhenti di depan pagar.
Karena laki-laki itu melongok-longok ke halaman, maka Pak Mul mendekatinya.
“Mau mencari siapa Nak ?”
“Oh, maaf Pak... saya hanya ingin tahu... ini sebenarnya rumah siapa ya?”
“Ini rumah menantu saya, Tikno, sedangkan istrinya Surti, adalah anak saya. Anda kenal dengan salah satunya?”
“Oh, tidak Pak...maaf... mungkin saya salah. Terimakasih Pak,” kata laki-laki itu sambil terus berlalu.
Pak Mul sama sekali tidak curiga, ia kembali memunguti daun-daun kering yang ada disekitar pelataran.
“Siapa Bapak ?” tiba-tiba Surti melihat sebuah motor berlalu setelah berhenti di depan pagar, tapi tak jelas siapa orangnya.
“Oh, orang mencari alamat seseorang sepertinya.”
“Mencari rumah siapa Pak, barangkali Surti kenal.”
“Dia sudah pergi, dan tidak mengatakan untuk mencari siapa-siapa.”
“Lha tadi dia bilang apa?“
“Cuma tanya ini rumah siapa, dan sudah saya jawab lengkap. Rumah Tikno menantu saya, dan Surti anak perempuan saya. Bapak pikir dia menganal kamu atau suami kamu.”
Surti mengerutkan keningnya.
“Setelah itu dia bilang... maaf Pak, mungkin saya salah... Cuma gitu lalu pergi.”
“Orang itu laki-laki?”
“Laki-laki, ada cambang diwajahnya.”
Tiba-tiba Surti merasa bulu kuduknya merinding. Ia merasa bahwa orang itu sedang mengawasi rumahnya, dan khususnya dirinya. Surti bergegas kebelakang, tak ingin menampakkan wajah cemas yang tiba-tiba membayang dimukanya.
“Ya Tuhan, mungkinkah jahanam itu? Bagaimana dia bisa tahu tempat ini? Aku jadi takut sekali, takut akan apa yang ingin dilakukannya.”
Tiba-tiba Pak Mul muncul dan heran melihat Surti duduk di kursi dapur, dan wajahnya tampak pucat.
“Surti, kamu kenapa? Sakit ?”
“Oh, tidak Pak.. Surti hanya kegerahan.. “
“Minumlah .. memang udara sangat panas. Tapi kok wajahmu pucat?”
“Masa sih Pak? Surti tidak apa-apa. Bapak mau makan sekarang?”
“Tidak Nduk, Bapak cuma ingin minum, memang udara sangat panas.”
“Saya ambilkan Pak.”
“Tidak usah, biar aku ambil sendiri saja..”
“Kalau Bapak ingin makan, Surti sudah selesai masak kok.”
“Nanti saja, bukankah sebentar lagi suami kamu pulang?”
“Iya Pak... sudah waktunya Mas Tikno pulang makan. Surti siapkan dulu makanannya di meja ya Pak.”
*****
“Mas, sini sebentar, aku mau bicara..” kata Surti setelah makan siang. Ia menarik tangan suaminya ke dalam kamar, tak ingin ayahnya mendengar apa yang dikatakannya.
“Ada apa? Kamu kok tampak ketakutan seperti itu?”
“Mas tahu nggak, tadi ada seorang laki-laki bersepeda motor, berhenti di depan rumah.”
“Siapa dia?”
“Aku tidak tahu Mas, tapi sikapnya mencurigakan. Aku masih didalam ketika Bapak berbicara sama dia, dan pas aku keluar motornya sudah berlalu, aku tak sempat melihat wajahnya.”
“Mengapa dengan laki-laki itu?”
“Dia... ciri-cirinya.. seperti laki-laki jahanam itu. Dia bertanya pada Bapak, ini rumah siapa, dan Bapak mengatakannya, lalu dia berlalu begitu saja.”
Tikno mengerutkan alisnya.
“Mungkinkah dia?”
“Bukankah Mas mengatakan bahwa dia kabur dari penjara?”
“Ya, tadinya dia menjadi sopir taksi, tapi begitu polisi menyelidiki setiap pengemudi taksi, dia keluar, dan entah berada dimana, polisi sedang memburunya. Mungkinkah dia?”
“Aku takut sekali Mas, tampaknya dia sudah tahu bahwa aku ada disini.”
“Darimana ya dia bisa tahu?”
“Gimana Mas, kalau Mas kebetulan pergi lalu dia datang kemari?”
“Ya sudah, besok aku akan memanggil tukang, agar mengganti pitu pagar itu dari besi, dan kamu harus menutupnya dengan gembok.”
“Baiklah Mas, terimakasih banyak Mas.”
“Satu lagi, jangan sekali-sekali kamu keluar rumah sendiri. Kalau kamu ingin, ajaklah Bapak, supaya secara tidak langsung bisa melindungi kamu.”
“Iya Mas, aku juga takut kalau ketemu dia.”
“Semoga istri dan bayiku baik-baik saja,” kata Tikno sambil mencium kening istrinya, kemudian berpamit untuk kembali ke kantor.
*****
“Nak Tikno, cuma membetulkan pagar saja mengapa harus mendatangkan orang, Bapak kan bisa.” Kata Pak Mul pada sore hari itu ketika Tikno pulang, sedangkan dua orang tukang sedang memasang pintu besi dan sudah hampir selesai.
“Bapak, itu dari besi, pakai mengelas segala. Kasihan kalau Bapak yang mengerjakannya.”
“Iya sih, tapi sebenarnya dari kayu saja sudah bagus lho.”
“Biar kuat Bapak.”
“Apa disini banyak maling?”
“Kalau dikampung sini aman Bapak. Nggak apa-apa, hanya untuk coba berhati-hati saja. Lagipula pagar besi itu saya dapat dari teman, dengan harga murah, jadi nggak apa-apalah, saya beli,” kata Tikno berbohong.
“Ya sudah kalau begitu.”
“Baguskah Bapak?”
“Bagus, nanti ,kalau sudah selesai biar Bapak yang mengecatnya.”
“Ah, Bapak.. “
“Nggak apa-apa Nak, Bapak itu biasa bekerja, kalau tidak mengerjakan sesuatu rasanya kok badan malah pegal semua.”
“Baiklah, besok saja mengecatnya, ini kan sudah sore.”
“Nak Tikno beli saja catnya. Biar Bapak yang mengecat.”
“Bagusnya warna apa ya Pak?”
“Bagaimana kalau abu-abu?”
“Baiklah, sekarang saja Tikno belikan, disebelah sana ada toko besi yang tutupnya agak sorean.”
“Aku boleh ikut Nak?”
“Cuma dekat saja kok Pak.”
“Iya, biar Bapak tahu. Nggak usah ganti baju kan?”
“Nggak usah, Saya juga nggak perlu ganti baju.”
Surti yang keluar rumah tiba-tiba sudah melihat suaminya dan Bapaknya berboncengan keluar.
“Kemana ya Bapak tadi?” tanyanya kepada salah seorang pekerja yang membenahi peralatannya.
“Sepertinya mau beli cat Bu.”
“Kok tidak bilang sih, Mas Tikno,” gerutu Surti’
“Tokonya dekat kok Bu, tidak ada seratus meter dari sini.”
“Oh, dekat ya?” Tanya Surti sambil membalikkan badan.
Tak lama kemudian Surti keluar sambil membawakan dua gelas teh panas.
“Pak, nanti sebelum pulang tehnya diminum dulu ya.”
“Ya Bu, terimakasih.
Kedua pekerja itu sudah selesai mengerjakan pekerjaannya. Ia membuka dan menutup gerbang itu untuk meyakinkan bahwa pekerjaannya sudah beres.
“Cukup ya Mas..” kata satunya.
“Sudah oke, kita bisa pulang. Oh ya, Bu Tikno meminta kita minum tehnya dulu. Sayang kalau tidak diminum.”
“Keduanya berjalan ke arah rumah setelah mengemasi semua peralatan yang dimasukkan ke dalam tas besarnya.
“Semuanya sudah selesai Bu.” Katanya kepada Surti yang kembali keluar, mungkin untuk melihat suaminya.
“Oh ya, terimakasih Pak.”
“Ini gemboknya Bu, nanti bisa dicoba.”
“Baiklah, habiskan dulu tehnya.”
“Ini sudah habis Bu, kami mau pamit dulu, kalau ada yang masih kurang, biar Pak Tikno menghubungi saya.”
“Baiklah,” kata Surti sambil mengambil gembok dan kuncinya, sementara kedua pekerja itu juga berjalan ke arah motornya lalu pergi.
Surti mendekati pintu dan mencoba menggembok pintu.
“Gemboknya besar sekali, uuh.. berat rupanya,” keluh Surti sambil berkutat mencoba gemboknya.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti di depan pagar. Surti mengira suaminya yang datang, ternyata bukan.
*****
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment