Wednesday, September 9, 2020

Buah Hati 26

BUAH  HATI 26
Oleh: Tien Kumalasari

Surti merasa bumi yang dipijaknya bergoyang, ia ingin lari tapi kakinya terasa gemetar. Ia mengatur nafasnya,  maju sedikit ke jalan, dan melambaikan tangannya meminta jalan agar kendaraan memperlambat lajunya.

“Surti !!”

Panggilan itu membuat langkahnya semakin cepat,  dan terus melangkah tak tentu arah. Yang penting jauh dari laki-laki yang sejak tadi memanggil-manggil namanya.

“Aku minta maaf Surti !!” teriakan itu sangat keras, tanpa sungkan semua orang menoleh ke arahnya dengan heran.

Surti terus melangkah seperti dikejar setan. Sesekali ia menoleh kebelakang, takut laki-laki itu mengikutinya.  Tak tampak ada yang mengikuti, tapi Surti masih saja ketakutan. Ia terus melangkah tak tentu arah. Kemudian ketika kelelahan menderanya, ia jatuh terduduk di sebuah pinggiran toko. Nafasnya tersengal, wajahnya pucat.

“Surti !”

Surti hampir pingsan mendengarnya, ia bangkit dan berusaha berlari, tapi sebuah tangan kekar mendekapnya dari belakang.

Surti meronta ingin melepaskan diri,  tubuhnya gemetar.

“Surti, kamu kenapa, ini aku !!”

Surti mendongakkan kepalanya , dan terkulai dalam dada laki-laki yang mendekapnya.

“Kamu kenapa Surti?”

Surti terisak didadanya. Hatinya mulai tenang ketika berada di dalam dekapan suaminya.

“Mas... aku takut sekali Mas..”

Tikno menggandeng tangan Surti mengajaknya masuk ke dalam warung. Ia butuh air minum untuk menenangkan istrinya.

Ketika segelas teh hangat membasahi kerongkongannya, Surti merasa lebih tenang.

“Mas, untunglah ketemu kamu Mas.”

“Ada apa sebenarnya?”

“Makan ya..?”

Surti menggeleng.

“Habiskan minumnya, tenangkan hati kamu.”

Surti meneguk lagi minumnya, lalu tangannya menggenggam tangan suaminya erat-erat.

“Untunglah ada kamu Mas, kalau tidak... aku bisa mati ketakutan.”

“Kamu itu jangan bicara yang tidak-tidak, kamu kecopetan?”

Surti menggeleng keras.

“Dia... aku melihat dia...”

“Dia siapa?” kata Tikno sambil menggoyang-goyang tangan istrinya.

“Laki-laki jahanam itu Mas, aku takut sekali.”

“Laki-laki yang...”

“Iya, laki-laki  jahanam itu, dia mengemudi taksi, memanggil-manggil namaku..”

“Dia ada disini? Bukankah dia dipenjara?”

“Entahlah Mas, aku tidak tahu... dan mengapa juga dia memanggil namaku... aku tidak sudi melihat dia, tidak sudi bertemu dia.”

“Ya sudah, tenangkan hati kamu. Tapi bukankah tadi kamu turun di rumah sakit? Kok bisa ada di sini? Ini jauh dari rumah sakit lho.”

“Aku berjalan terus, pokoknya jauh dari dia. Tak sadar sudah berjalan jauh.”

“Sebenarnya kamu mau kemana?”

“Bu Indra minta agar aku membelikan sabun mandi. Toko yang ada di rumah sakit tidak ada, lalu aku keluar, dan berjalan agak jauh untuk menemukan sebuah toko. Tapi tiba-tiba sebuah taksi berhenti didekatku, pengemudinya membuka jendela mobil dan memanggil namaku. Aku hampir pingsan Mas, aku terus berlari tak tentu arah, takut dia mengikuti aku.”

Tikno menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak mengerti bagaimana laki-laki itu bisa berada di Solo sementara tadinya dipenjara di Ngawi sana.

“Ya sudah, kamu sudah beli sabunnya?”

“Belum Mas.”

“Ayo aku antar, aku ambil sepeda  motornya dulu. Untunglah aku sedang berada diluar dan melihat kamu.”

“Kamu penyelamatku mas...” Bisiknya lirih.

Surti masih duduk di meja didalam warung itu, ketika suaminya sudah memarkir motornya di depan warung.

“Ayo, kamu sudah lebih tenang?” katanya sambil menggandeng tangan istrinya setelah membayar minumannya.

Surti mengangguk.

***

Ketika mengantar Surti kembali dari rumah sakit, Tikno bertemu Indra yang sudah selesai mengantarkan Pak Prastowo dan Pak Mul kedalam. Sedianya Indra mau kembali ke kantor. Setelah Surti masuk kedalam, Tikno memerlukan menemui Indra yang hampir masuk ke dalam mobilnya.

“Pak Indra..”

“Lho, mas Tikno kok bisa ada disini ?”

Lalu Tikno menceritakan perihal Surti yang ketakutan karena melihat Sardiman yang menjadi pengemudi taksi.

“Jadi dia ada disini? “

“Iya Mas, bukankah dia dipenjara?”

“Mas Tikno tidak membaca berita beberapa waktu yang lalu?”

“Berita apa pak?”

“Bahwa beberapa napi di LP Ngawi kabur?”

“Jadi dia salah satu dari orang yang kabur ?”

“Kelihatannya begitu mas, karena disebutkan bahwa salah satu yang kabur adalah tersangka pemerkosaan.”

“Dia ada disini, menjadi pengemudi taksi. Tadi memanggil-manggil Surti, dan membuatnya ketakutan. Untunglah ketika itu saya melihatnya.”

“Saya heran, Mas Tikno selalu menjadi penyelamat Surti.”

“Saya juga tidak tahu Pak, tadi itu dia sangat ketakutan.”

“Kalau begitu ayo lapor saja ke polisi Mas, biar dia bisa ditangkap kembali.”

“Sayangnya Surti pasti tidak mengenali nomor polisi taksi itu. Baru melihat orangnya saja dia sudah ketakutan.”

“Tidak apa-apa Mas, nanti semua taksi pasti akan diperiksa siapa-siapa pengemudinya.”

“Baiklah, saya akan melaporkannya sekarang juga.”

***

“Surti... kamu kesasar ya?” teriak Seruni begitu melihat Surti masuk ke kamarnya.

“Maaf  Bu Indra. Ini sabunnya, agak jauh saya belinya,” kata Surti sambil mengulurkan sabun yang tadi dibelinya bersama Tikno.

“Terimakasih Surti. Bagus sekali, Mas Indra juga lupa lagi membawanya.”

Surti langsung menyalami Pak Prastowo yang sudah ada disitu, dan juga Bapaknya. Benar-benar membahagiakan, ketika setelah merasa panik dan cemas kemudian bertemu Bapaknya.

“Kamu sehat Nduk?”

“Alhamdulillah sehat Pak, Bapak juga kelihatan sehat,” Surti memeluk Bapaknya untuk lebih menenangkan jiwanya. Tapi ia tak ingin mengatakan apapun tentang kejadian itu. Bukankah Bapaknya tak tahu apa-apa?.

“Senang karena Pak Pras mengajak Bapak kemari, sehingga bisa bertemu kamu. Perutmu sudah tampak membuncit..”

“Iya Bapak.”

“Jaga kesehatan baik-baik, dirimu dan juga bayimu.”

“Iya Bapak. Tadi Mas Tikno mengantar Surti kemari, belum bisa menemui Bapak karena harus bekerja, tapi kamar untuk Bapak sudah disiapkan oleh Mas Tikno.”

“Iya.. iya, terimakasih ya Nduk.”

“Tadi ketemu Mas Tikno? Pantesan lama,” sela Seruni.

“Iya Bu, maaf,” hanya itu yang dikatakan Surti. Ia tak ingin menceritakan apa yang terjadi sehingga membuatnya ketakutan.”

“Nggak apa-apa. Tadi sudah mandi dengan sabun seadanya.”

“Maaf. Mana Bu Pras ?”

“Sedang ke kamar bayi, tuh Bapak juga sudah ikut kesana.”

“Iya, pasti tidak akan bosan menatap mahluk mungil yang tampan dan lucu menggemaskan.”

“Sebentar lagi kamu akan memilikinya Surti.”

“Iya Bu Indra, apakah sudah diberi nama?”

“Nanti mas Indra akan berembug sama Bapak, kalau Mas Indra sendiri nanti Bapak kecewa.”

“Benar Bu, bagusnya diberikan bersama-sama, mana yang terbagus.”

“Nasi liwet dari kamu sudah aku habiskan lho Sur.”

“Syukurlah Bu Indra.”

“Kamu tidak apa-apa Surti ?”

“Tidak, memangnya kenapa Bu?”

“Wajahmu sedikit pucat.”

“Udara diluar panas sekali.”

“Benar Surti. Kamu jangan sampai lelah ya, jaga kesehatan kamu, dan juga bayi kamu, seperti pesan Pak Mul tadi.”

“Iya Bu Indra...Oh, rupanya Bapak juga ikutan ke kamar bayi,” kata Surti ketika tak lagi melihat Bapaknya ada didekatnya.

“Benar, tadi bersama-sama kesana. Setelah minum ASI lalu suster mambawanya kembali ke kamar bayi, jadi yang kepengin melihat ya cuma melongok dari jendela kaca.”

“Kapan boleh pulang?”

“Mungkin besok, atau sehari lagi. Kata dokter saya dan bayinya sehat, jadi tidak perlu berlama-lama di rumah sakit.”

“Syukurlah Bu Indra, jadi bisa lebih bebas melihatnya, atau bahkan menggendongnya..”

“Istirahatlah dulu di sofa Surti, kamu seperti sangat letih.”

“Baiklah, sambil menunggu Bapak, nanti Bapak akan saya ajak pulang ke rumah.”

“Iya Surti.”

***

Pak Mul senang melihat rumah anaknya tampak rapi walau tidak semewah rumah Indra. Ia merasa kehidupan Surti tidak kekurangan, dan itu sangat membahagiakan.

“Bapak disini merepotkan ya Nak Tikno?”

“Tidak, mengapa Bapak berkata begitu ?” Kami sangat senang ada Bapak disini. Kalau Bapak mau, Bapak tidak usah kembali ke Surabaya, biar tinggal disini saja. Bukankah begitu Surti?”

“Iya benar, mau kan Bapak?”

“Tampaknya menyenangkan. Tapi aku harus bilang dulu sama Pak Prastowo. Kan selama ini Bapak tinggal bersama Pak Prastowo, diberi makan minum cukup, bahkan diberikan pakaian, dan uang yang membuat Bapak tidak kekurangan. Bapak sakitpun Pak Prastowo yang membeayainya. Jadi kalau tiba-tiba Bapak pergi dari sana, rasanya kok kurang enak.”

“Itu benar. Tapi Bapak  bisa bicara pelan-pelan nanti,” kata Tikno.

“Rumah Bapak sesekali saja kalau kebetulan pulang dibersihkan.”

“Rumah itu kan sudah disewa orang Nduk.”

“Oh, disewa orang?”

“Baru seminggu ini. Pak Pras yang menyuruh. Jadi beberapa waktu yang lalu Bapak membenahi rumah dan mengecatnya sehingga kelihatan bersih, ternyata ada yang mau mengontrak untuk dua tahun ini.”

“Oh, syukurlah kalau begitu.”

“Ini, uangnya aku berikan kepada kalian, Bapak tidak butuh uang banyak,” kata Pak Mul sambil mengambil sebuah amplop tebal berisi uang.

“Tidak Bapak, jangan, disimpan Bapak saja, barangkali Bapak memerlukan sesuatu,” kata Tikno.

“Bapak sudah punya cukup uang, Bapak tidak kekurangan.”

“Itu benar, tapi kan lebih baik disimpan Bapak saja. Nanti kalau suatu saat Surti membutuhkan, Surti akan minta kepada Bapak,” kata Surti sambil memeluk ayahnya.

“Untuk apa Bapak uang sebanyak ini? Ini ada limabelas juta, rumah kecil dan sederhana, lumayan bisa laku.”

“Bapak kan punya rekening. Besok akan saya masukkan saja ke rekening Bapak,” sambung Tikno.

“Lalu untuk apa Bapak uang sebanyak itu.”

“Ya untuk simpanan, barangkali Bapak butuh sesuatu.”

Pak Mul tampak kecewa, dan Surti tidak sampai hati mengecewakan ayahnya. Barangkali pemberian yang ditolak itu agak menyakitkan. Dan pastinya Pak Mul memberikannya agar Surti senang.

“Begini saja Pak, uang ini...Surti minta yang lima juta, sedangkan yang sepuluh juta, biar oleh Mas Tikno dimasukkan ke tabungan Bapak.”

“Betul kata Surti Bapak.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Kalau kurang, Surti pasti akan minta pada Bapak.”

Pak Mul mengangguk, sedikit lega karena setidaknya uang itu tidak semuanya ditolak oleh anaknya. Barangkali Pak Mul ingin memberikan sesuatu kepada anaknya, agar ada sedikit kepuasan batin karena bisa membantu anaknya.

“Ya sudah, ini uangnya, kamu yang mengaturnya, dan bukankah milik Bapak juga milik kalian juga?”

Tikno menerima uang itu, dan minta nomor rekening Bapak mertuanya.

“Aku tidak hafal, ini bukunya ada.” Kata Pak Mul sambil mengulurkan sebuah buku tabungan yang disimpan di dalam tasnya.

***

Seruni dan bayinya sudah ada di rumah. Bu Pras terus menerus memangku cucunya, yang dipandanginya tanpa ada bosan-bosannya.

“Bu, sudahlah.. tidurkan saja, apa kamu nggak capek menggendong dan memangkunya terus?”

“Iya Pak, sebentar lagi, tidurnya belum nyenyak, nanti terbangun lagi,” kata Bu Pras memberi alasan. Padahal setiap selesai minum ASI  sang bayi pasti langsung pulas.

Indra dan Seruni hanya tersenyum.

Mereka tahu, bahwa Pak Pras sebenarnya  juga ingin menggendong tapi takut.

“Bapak masih lama disini kan ?” Tanya Indra kepada Bapaknya.

“Tidak bisa Ndra, Bapak besok harus kembali ke Surabaya, soalnya urusan pekerjaan belum selesai. Kemarin itu Bapak menunda semua acara kantor yang harus Bapak  tangani.”

“Tidak bersama Ibu kan?”

“Terserah Ibumu mau ikut pulang atau tidak, tapi aku kira dia masih suka berada disini menimang cucunya.”

“Tapi saya kira Pak Mul juga masih ingin tinggal di rumah anaknya,” sambung Seruni.

“Tidak apa-apa kalau Mulyadi masih ingin tinggal, aku bisa mengerti , kan jarang ada kesempatan bisa bertemu anaknya. Aku buru-buru pulang karena pekerjaan.”

“Jadi bapak pulang sendiri?”

“Iya, tolong pesankan ticketnya, tidak usah yang pagi juga tidak apa-apa, Bapak masih ingin jalan-jalan pagi disini besok.”

“Baiklah Pak.”

“Mas, ada telpon di ponselmu lho,” kata Seruni ketika mendengar dering ponsel dari arah kamar.

“Iya benar,” kata Indra sambil berlari ke kamar.

“Hallo, mas Tikno?”

“Iya Pak  Indra, saya mendengar berita dari kantor polisi tentang pesakitan yang kabur dan bernama Sardiman.”

“Sudah tertangkap?”

“Tidak Pak, rupanya ketika polisi mendata semua pengemudi taksi, dia sudah mencium gelagat yang tidak baik.”

“Kabur lagi?”

“Salah seorang pengemudi taksi keluar sejak kemarin.”

“Waduh... kabur kemana lagi dia?”

“Polisi sedang memburunya.”

“Mas Tikno harus hati-hati, jangan membiarkan Surti dijalanan sendiri, saya khawatir dia akan melakukan sesuatu pada Surti.”

“Saya tidak tahu apa rencananya, tapi yang jelas dengan adanya dia dikota ini membuat Surti sangat ketakutan.”

“Semoga dia segera tertangkap. Apapun maunya, itu sangat meresahkan. Saya heran mengapa dia seperti ingin mendekati Surti.”

“Ya sudah Pak Indra, saya cuma ingin memberitahu soal itu.”

“Terimakasih , kabari saya kalau ada apa-apa.”

*“Baik, pak Indra.”*

“Ada apa mas? Dari mas Tikno?” tanya Seruni sambil mendekati suaminya.

“Iya..”

“Kenapa dengan Surti?”

“Bukan soal Surti, Surti tidak apa-apa.”

“Lalu...”

“Nanti saja aku ceritakan. Aku tidak ingin Bapak atau Ibu mendengarnya.”

***

Sore hari itu Tikno mampir ke sebuah toko cemilan. Ia ingin membeli makanan untuk mertuanya. Banyak pilihan, jadi Tikno bingung.

“Kalau orangtua kan sukanya yang empuk-empuk. Jadi...apa ya...?" pikir Tikno sambil mencari-cari.

Lalu Tikno memutuskan untuk membeli sosis, lalu dadar gulung, dan sus isi ragout..

“Pasti Bapak suka.” Pikirnya.

Lalu ia mendekat ke arah seorang penjual.

”mBak...makanan ini baru atau sudah sejak pagi?”

“Ini baru dikirim sore pak, yang dari pagi sudah habis.”

“Baiklah, ini saya minta per macam tiga ya, ini apa mbak?”

“Itu ledre namanya Pak, ketan dilipat, isinya pisang raja.”

“Baiklah, tambah ledre tiga. Semuanya berapa?”

“Silakan di kasir ya Pak.”

Tikno membayar makanan yang dibelinya, lalu menuju ke arah motornya diparkir.  Tikno tak sadar, ketika tukang parkir bercambang menatapnya tajam. Kemudian ketika Tikno sudah mengendarai motornya untuk pulang, tukang parkir itu mengikutinya .

***

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER