Buah Hati 25
Oleh : Tien Kumalasari
Bu Prastowo merasa heran, pengemudi taksi itu terus memperhatikan Surti, sambil masih membuka telapak tangannya yang telah memegang uang bayarannya.
“Mas sopir, itu nanti uangnya jatuh lho,” Bu Pras mengingatkan.
“Oh eh… iya… maaf Bu...” Jawab Mas sopir lalu menggenggam uangnya.
“Kok ngelihatin terus.. dia itu Surti, bekas pembantu anak saya. Tertarik ya? Dia itu sudah punya suami, bahkan sudah mengandung.”
“Ooh...iya Bu... saya itu... kalau melihat... mm...wanita mengandung kok rasanya bagaimanaaaa gitu.”
“Bagaimana itu maksudnya apa?”
“Saya belum punya anak Bu, ingin sekali punya anak.”
“Lha sudah punya istri belum?” Bu Pras malah ngajakin ngobrol.
“Sudah Bu, tapi istri saya itu tidak bakalan punya anak. Rahimnya sudah diangkat karena tumor.”
“Oh, kasihan…”
“Ya sudah Bu, terimakasih banyak.”
Mas sopir menutup pintunya lalu melaju pelan meninggalkan Bu Pras yang masih berdiri didepan pagar.
Ketika Bu Pras berbalik lalu berjalan ke arah rumah, dilihatnya Surti menunggunya sambil duduk di tangga teras.
“Lha si Darmi kemana ya, bukankah Seruni sudah punya pembantu bernama Darmi? Kok pintunya juga dikunci?”
“Saya juga sedang berpikir demikian Bu, apa mungkin ikut Pak Indra menjemput ke bandara?”
“Menjemput apa, aku menunggu sampai lelah dia tidak juga datang, aku menelpon berkali-kali juga tidak diangkat,” gerutu Bu Pras sambil duduk di kursi teras.
“Lha kalau begitu Pak Indra sama Bu Indra kemana ya?”
Tiba-tiba seorang wanita yang umurnya tampak jauh lebih tua dari Surti datang mendekat. Surti segera mengenalnya sebagai Darmi, pembantu Seruni yang baru.
“Lho, mbak Surti.. sudah lama? Eh, ada tamu ?” katanya ketika melihat Bu Pras.
“mBak Darmi, itu Bu Prastowo, Ibunya pak Indra,” terang Surti.
Darmi segera mendekat dan menyalami Bu Prastowo.
“Maaf Bu, saya baru datang,” Katanya lalu membuka pintu.
“Lha Mbak Darmi dari mana ? Pak Indra dan Bu Indra kemana?” Tanya Surti sambil mengangkat tas yang dibawa Bu Prastowo kedalam.
“Lho, Pak Indra sama Bu Indra tadi bilang mau menjemput Ibu ke bandara. Kok Ibu datang sendiri?” tanya Darmi heran.
“Aku menunggu dia tidak segera datang, ya aku naik taksi.”
“O.. padahal berangkatnya pagi-pagi. Sebentar Bu, saya buatkan minum, bawaan Ibu dimasukkan ke kamar saja, kemarin sudah saya bersihkan dan ditata rapi,” kata Darmi kepada Surti.
Bu Pras jadi kepikiran. Kalau mereka berangkat pagi, mengapa bisa terlambat menjemputnya? Pikir Bu Pras. Perasaannya jadi tidak enak.
Tiba-tiba ponselnya bordering.
“Nah, ini baru dari Indra, hallo Ndra, kamu ini kemana?”
“Maaf bu, kalau Ibu kelamaan menunggu, Ibu naik taksi saja?”
“Lha kamu kenapa to? Ini aku sudah ada di rumah kamu.”
“Oh, maaf Bu, tadi sebelum sampai bandara Seruni mengeluh perutnya sakit sekali, jadi saya kembali dan melarikannya ke rumah sakit.”
“Ke rumah sakit?”
“Iya Bu, sedang menunggu Seruni mau melahirkan.”
“Oh, Seruni mau melahirkan? Kalau begitu aku mau menyusul ke rumah sakit saja,” kata Bu Pras yang langsung panik.
“Surti… Surti..!”
“Ya Bu...itu barang-barang Ibu sudah saya masukkan kedalam kamar.”
“Oh ya, biarkan saja, ayo ke rumah sakit, panggilkan taksi sekarang. Menantuku mau melahirkan.”
“Baiklah Bu, rumah sakit mana ya Bu, oh pasti rumah sakitnya dokter Melani. Baik saya pesankan taksi Bu.”
“Ibu, silakan diminum,” kata Darmi sambil meletakkan cawan teh ke atas meja.
“Ya...ya, “ Bu Pras meneguk tehnya, dengan gelisah.
“Saya tadi disuruh ke pasar oleh Bu Indra, karena katanya Ibu akan datang, jadi saya harus masak untuk Ibu. Belanjaannya macam-macam Bu.”
“Ya... ya, gampang. Surtii… sudah taksinya?”
“Baru dalam perjalanan Bu.”
“Mau kemana Bu?” Tanya Darmi yang merasa heran karena tamunya mau pergi lagi.
“Menantuku mau melahirkan, aku sama Surti akan ke rumah sakit. “
“Oh, Alhamdulillah… tidak mengira secepat itu. Kalau begitu sekalian baju-baju Bu Indra dan perlengkapan bayi yang sudah disiapkan dibawa sekalian ya.” kata Darmi senang.
***
Bu Pras dan Surti bergegas masuk kedalam, langsung ke ruang bersalin. Dilihatnya Indra berjalan mondar-mandir dengan gelisah.
“Indra,” kata Bu Pras hampir berteriak.
Indra menoleh, bergegas mendekati Ibunya dan mencium tangannya.
“Maaf Bu… tadi…..”
“Tidak...tidak apa-apa.. bagaimana Seruni ?” Tanya Bu Pras memotong kata-kata Indra.
“Masih ditangani Bu... silakan duduk dulu Bu, Surti...kamu ikut bersama Ibu?”
“Saya tadi menunggu Bu Pras di rumah, terkejut ketika Bu Pras datang sendiri.”
“Iya, tiba-tiba Seruni kesakitan, dan ternyata mau melahirkan.”
“Tapi nggak ada masalah kan Ndra?”
“Tidak Bu...“
“Semoga lancar...“ kata Bu Pras sambil duduk, diikuti Surti.
Indra tetap saja berdiri dan mondar-mandir di depan pintu ruang bersalin.
“Duduklah disini Ndra, dan berdoa, jangan mondar-mandir begitu,” tegur Ibunya.
Indra menurut, duduk disamping Ibunya, tangannya saling menggenggam, mulutnya komat-kamit memanjatkan doa.
Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking seorang bayi. Mengoyak segala lamunan dan kegelisahan yang memenuhi sanubari Indra dan ibunya.
“Apakah itu anakku?” bisik Indra gemetar.
Ia langsung berdiri, mendekati pintu ruang bersalin.
Terdengar kelutak kelutik dan lengkingan tangis yang sangat keras.
“Pasti anakku, lengkingannya sangat kuat.”
Dan lengkingan itu bagai sebuah kidung dari sorga yang memenuhi semua ruang dihatinya.
Ketika pintu terbuka, dahi Indra terantuk karena tak beranjak dari depan pintu. Seorang dokter cantik keluar, tersenyum melihat Indra mengelus dahinya.
“Pak Indra, selamat ya,” kata dokter Melani sambil mengulurkan tangan.
“Bagaimana anak dan istri saya?”
“Bayinya laki-laki, sehat, tangisannya sangat kuat. Bu Indra juga sehat, diapun kuat.”
Indra menghempaskan nafas lega, air matanya berlinang karena bahagia. Sampai-sampai ia tak menjawab ketika sang dokter cantik berpamitan untuk meninggalkan tempat itu.
Indra setengah berlari mendekati Ibunya.
“Benar, sudah lahir?”
“Cucu Ibu laki-laki... pasti ganteng seperti saya,” selorohnya sambil mengusap air matanya, lalu memeluk Ibunya dengan erat.
Bu Pras juga menitikkan air mata. Bahagia yang terurai, menyusup disekitar kalbu, bahagia yang terurai, bagai wangi bunga ketika kelopak bermekaran.
Surti juga menitikkan air mata, ia mengusapnya perlahan, lalu dengan lirih mengucapkan selamat kepada bekas majikannya.
“Selamat ya Pak Indra. Bu Pras…”
Ketika pintu ruang bersalin terbuka, Indra segera menghambur kesana. Seorang suster menggendong sosok mungil yang terbungkus selimut.
“Ini putera Bapak..” kata perawat itu.
“Anakku...” Indra merengkuh bayinya, dan membisikkan adzan ditelinganya.
Seakan mendengarkan suara bapaknya, mata bayi itu terbuka, tampak bening bagai telaga. Bu Pras dan Surti yang semula duduk juga ikut menghambur mendekatinya.
“Maaf Bapak, saya bawa ke kamar bayi dulu ya,” kata perawat meminta bayi yang digendong Indra. Indra melepasnya dengan enggan. Ia masih ingin mendekapnya berlama-lama.
“Kami boleh masuk kedalam?” Tanya Indra, perawat itu mengangguk.
Indra dan Ibunya diikuti Surti langsung masuk kedalam. Indra memeluk istrinya dan menciuminya bertubi-tubi.
“Terimakasih telah menyempurnakan kebahagiaan kita, sayang.”
“Seruni, selamat, terimakasih telah memberikan cucu yang cakep untuk Ibu,” bisik Bu Pras yang juga memeluk Seruni erat.
“Terimakasih Mas, terimakasih juga Ibu, dan Surti,” suara Seruni masih lemah. Sesungguhnyalah bahwa melahirkan adalah pertaruhan nyawa. Dan Tuhan menyelamatkan semuanya.
“Terimakasih ya Allah, karuniaMu tak terhingga,” bisik Indra masih dengan mata berkaca-kaca.
***
_“Apa? Malah sudah melahirkan ?”_ teriak Pak Prastowo ketika menerima telpon dari istrinya.
_“Ketika mau menjemput ke bandara, tiba-tiba Seruni kesakitan, Indra melarikannya ke rumah sakit, itu sebabnya aku menunggu tapi dia tidak segera datang. Tapi aku bahagia Pak, kita punya cucu, laki-laki yang guanteng,”_ kata Bu Pras dengan sangat bersemangat.
_“Kalau ganteng pasti seperti aku,”_ seloroh Pak Pras sambil mengusap air mata bahagianya.
_“Huuh, sudah tua... gantengnya sudah hilang,”_ balas Bu Pras.
_“Ini Ibu masih di rumah sakit?”_
_“Iya, menunggu Seruni dipindahkan ke kamar rawat.”_
_“Kalau begitu aku akan menyusul besok.”_
_“Ya Pak, kalau pekerjaan sudah bisa ditinggalkan ya secepatnya saja menyusul.”_
_“Sudah...sudah kok. Muuuul…”_ Teriak Pak Pras sambil penutup ponsel nya.
Pak Mul tergopoh mendekat.
“Ya pak…”
“Besok kita berangkat ke Solo. Kita naik pesawat saja.”
“Lhoh...kok...tiba-tiba Pak?”
“Seruni sudah melahirkan Mul, aku harus segera kesana untuk melihat cucuku.”
“Oh, Alhamdulillah.. ikut bahagia saya Pak.”
“Cucuku laki-laki, ganteng seperti aku Mul,” kata Pak Pras yang tak tahan untuk tidak menitikkan air mata juga.
“Ikut bahagia Pak… sungguh… semoga nanti Surti juga akan melhirkan lancar dan selamat seperti Bu Indra.”
“Iya Mul, aku juga akan mendoakan untuk anakmu. Sekarang bersiap-siaplah, aku akan suruhan membeli ticketnya.”
“Saya juga akan naik pesawat lagi Pak?”
“Iya lah Mul, gimana kamu itu. Cepat sana… aku tak sabar menunggu besok...”
***
“Bagaimana perasaanmu sekarang Seruni? Apa yang sakit?”
“Tidak ada Mas, semua rasa sakit sudah terobati dengan hadirnya anak kita. Ternyata dugaanku salah ya Mas, kirain perempuan, ternyata dia laki-laki.”
“Dia akan menjadi laki-laki yang gagah, rajin, soleh, dan ganteng seperti Bapaknya, sekarang sudah kelihatan kan? Hidungnya mancung, matanya bening, bibirnya tipis, rambutnya ikal..semuanya seperti aku kan?”
“Kok semua seperti Mas sih? Aku mana, kok nggak kebagian?“ kata Seruni cemberut.
Indra tertawa lalu mencium kening istrinya.
“Nggak, aku bercanda. Matanya bening seperti matamu, bibirnya tipis seperti bibirmu, semoga tidak cerewet seperti kamu.”
“Biarin cerewet, kalau Bapaknya nakal biar dicerewetin sama anaknya.”
Indra tertawa keras.
“Bapak begini baiknya, dimana letak nakalnya coba?”
“Seruni, ini aku belikan buah-buahan untuk kamu,” kata Bu Pras yang datang bersama Surti.
“Lho, Ibu...kirain Ibu pulang dan beristirahat.”
“Ibu tadi keluar bersama Surti, beli buah-buahan dan makanan, tadi sudah sekalian makan soto sama Surti.”
“Baiklah Bu, sekarang Ibu saya antar pulang ya, seharian Ibu tidak istirahat, ini sudah malam lho Bu.”
“Sekalian Surti diantar pulang Mas,” sambung Seruni.
“Iya benar. Mari Bu... Ibu harus istirahat, besok pagi kesini lagi.”
“Baiklah, kesininya menunggu Bapakmu sekalian, besok Bapakmu jam tujuh dari sana.”
“Waah, senangnya...” seru Seruni.
“Dan Pak Mul juga.”
“Bapak saya juga Bu?” Surti pun hampir bersorak karena senang.
***
Tikno masih sibuk membersihkan kamar dan menatanya, ketika Surti tiba-tiba muncul. Surti sudah mengabari bahwa Seruni sudah melahirkan, itu sebabnya Tikno tidak menjemputnya, karena yakin bahwa Surti pasti membantu kesibukan keluarga Indra.
“Mas... kok bersih-bersih tidak menunggu aku?”
“Tidak, aku bisa sendiri, lihat, kamar Bapak sudah rapi.”
Surti memandang kesekeliling kamar, benar-benar sudah rapi. Ranjang berseprei bersih, sarung bantal dan guling nyang berbau wangi. Meja yang diletakkan di dekat almari agar kamarnya tampak lebih luas.
“Terimakasih Mas, Bapak datangnya besok lho.”
“Besok ? Secepat itu?”
“Iya, begitu mendengar bahwa Bu Indra sudah melahirkan, Pak Pras langsung mengajak Bapak berangkat besok pagi.”
“Bapak naik pesawat juga?”
“Iya, mau naik kereta dilarang oleh Pak Pras.”
“Bapak mengabari kamu?”
“Tadi Bu Pras yang bilang, tapi tadi dijalan Bapak sudah menelpon aku. Bingung mau cari oleh-oleh apa untuk aku. Tapi aku melarangnya. Kasihan Bapak, berangkatnya begitu mendadak, mana sempat belanja oleh-oleh.
“Iya, orangtua biasanya begitu. Ya sudah, kamu mandi dan beristirahat. Pasti kamu capai. “
“Aku nggak ngapa-ngapain Mas, cuma ngantar Bu Pras beli makanan, cuma gitu-gitu aja kok mas, capai darimana?”
“Biasanya kan kamu tidur siang juga.”
“Nggak apa-apa Mas, besok kalau aku melahirkan juga pasti merepotkan banyak orang.”
“Ya sudah, sekarang mandi dan istirahatlah, sudah aku siapkan air hangat lho. “
“Aduuh, Mas Tikno kok ya repot-repot nyiapin air hangat buat aku segala, padahal mandi air dingin lebih segar lho Mas.”
“Ini kan sudah malam Seruni, sudahlah, jangan bawel.”
“Mas tadi seharian makan apa?”
“Kan kamu sudah masak sebelum berangkat, ya aku makan masakan kamu itu lah. Ini kamu mau makan?”
“Tidak Mas, sudah kenyang, tadi makan soto sama Bu Pras. Kalau Mas mau makan aku temani.”
“Aku nanti saja gampang, yang penting kaku segera mandi dan istirahat. Besok kamu nggak usah masak, paginya sarapan nasi pecel saja di Menangan, siangnya aku makan di kantor. Bukankah kamu akan ke Bu Indra lagi?”
“Iya Mas, nggak enak, mereka sudah baik sama kita. Nanti aku pulang sama Bapak.”
“Iya, besok Bapak sudah datang. Ya nanti gampanglah, yang penting besok tidak usah masak, aku nggak ingin kamu lelah.”
“Baiklah Mas.”
“Nanti kalau capai aku pijitin..”
“Iih...mas Tikno tuh, jangan terlalu memanjakan aku... nanti keterusan lho.”
“Biar saja keterusan, aku suka melakukannya,” kata Tikno sambil merangkul istrinya dari belakang, lalu mendorongnya ke kamar mandi.”
***
Pagi itu Surti langsung ke rumah sakit, karena dia yakin pasti Ayahnya bersama Pak Pras juga akan langsung kesana. Tikno memboncengkannya, sekalian masuk bekerja.
Ketika dia datang Seruni sedang menyusui bayinya.
“Waduuh.. senangnya...makan pagi ya dik ?” kata Surti sambil mendekat.”
“Kok pagi-pagi sudah sampai sini Sur?”
“Iya, sekalian bareng sama mas Tikno.”
“Oh, iya. Ini Mas Indra juga pulang, karena Bapak kan akan datang. Jadi nanti Mas Indra sekalian menjemput ke bandara.”
“Saya kira akan langsung ke rumah sakit.”
“Mungkin nanti dari bandara akan langsung kemari, Bapak bilang nggak sabar ingin ketemu cucunya.”
“Iya Bu. Ini Ibu saya bawakan nasi liwet, apa Ibu suka?”
“Oh...ya ampun... kamu masih ingat kalau aku suka nasi liwet ya Sur?”
“Tadi lewat, lalu ingat kesukaan Bu Indra, lalu mampir sebentar.”
“Terimakasih Surti, nanti setelah adik selesai minum ASI aku makan.”
“ASI nya lancar ya Bu?”
“Lancar Surti, kamu juga harus sering makan sayur dan buah, supaya ASI kamu lancar, anak kamu tidak usah minum susu formula.”
“Iya Bu, susu formula kan mahal.”
“Benar, ASI itu murah tapi lebih sehat.”
“Iya Bu.”
“Surti, aku mau minta tolong ya.”
“Iya Bu, Ibu mau sesuatu?”
“Mas Indra lupa membawa sabun mandi, mungkin nanti akan dibawa, tapi aku ingin cepat-cepat mandi. Maukah kamu membelikannya diluar?”
“Tentu saja Bu, saya berangkat sekarang. Saya sudah tahu sabun yang biasa Ibu pakai.”
“Ini uangnya Surti, ambil di dompetku itu.”
“Nanti saja Bu, saya bawa uang, biar saya belikan saja dulu, nggak berani saya membuka-buka dompet Ibu,” kata Surti sambil berlalu. Seruni hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.
Surti langsung keluar dari rumah sakit, karena ketika bertanya ditoko rumah sakit, sabun yang dimaksud tidak ada.
Ia menoleh kekiri dan kanan jalan, mencari dimana ada mini market atau toko terdekat.
Jalanan begitu ramai karena saatnya anak-anak beranagkat ke sekolah. Surti melihat diseberang jalan ada toko yang dimaksud. Ia menunggu agar jalanan sedikit sepi.
Tapi tiba-tiba sebuah taksi berhenti. Surti terkejut, dan melangkah mundur.
“Padahal aku sudah minggir, kok masih saja dia nyelonong ketepi,” gerutunya pelan.
Tiba-tiba pengemudi taksi itu membuka jendela mobil sebelah kiri, lalu menatap Surti tak berkedip. Surti ingin menyeberang, karena jalanan agak sepi, tapi terkejut ketika pengemudi mobil itu memanggil namanya.
“Surti !!”
Barangkali kalau ada halilintar menyambar saat itu, Surti tak akan begitu terkejut seperti ketika melihat wajah laki-laki itu.
***
*BERSAMBUNG*
No comments:
Post a Comment