BUAH HATI 24
Oleh : Tien Kumalasari
Surti berdiri ketika mendengar sepeda motor memasuki halaman. Tikno menatap istriya dan tersenyum melihatnya sudah menunggu di depan rumah.
“Maaf aku terlambat,” katanya setelah turun dari sepeda motor dan mendekat.
“Tidak apa-apa mas, aku sabar menunggu. Sebentar aku pamit Bu Indra dulu,” kata Surti sambil bergegas kebelakang.
Indra sudah keluar begitu mendengar Tikno datang.
“Lembur ya Mas ?”
“Iya Pak, minggu ini akan sering lembur, karena pesanan meningkat,” kata Tikno sambil menyalami Indra.
“Ya begitulah Mas, orang bekerja terkadang harus bisa menyediakan tenaga ekstra, kalau ada pekerjaan menumpuk begitu.”
“Benar Pak Indra.”
“Waah, Mas Tikno cari duit gede nih, lembur terus.. “ Kata Seruni yang tiba-tiba keluar, diiringi Surti dari belakang.
“Iya Bu Indra, habisnya mau punya anak nih,” kata Tikno sambil menatap istrinya.
“Ayo, silakan duduk dulu,” ajak Indra.
“Iya, minum teh hangat dulu Mas Tikno,” sambung Seruni.
“Terimakasih Bu Indra, ini keringat sudah bau asem… pengin cepet-cepet mandi,” kata Tikno sambil menyalami lagi Indra untuk berpamit.
“Baiklah Mas Tikno, ati-ati di jalan ya.”
“Surti, kalau bonceng pegangan yang kenceng ya..” Pesan Seruni.
“Baiklah Bu Indra.”
Indra menggandeng istrinya masuk ke rumah, setelah Tikno dan Surti pergi.
“Menurut Mas, apakah Sardiman itu berbahaya? “
“Entahlah, aku tidak tahu. Mungkinkah akan mengganggu Surti?”
“Ah, aku kira tidak. Dia kan tidak pernah mengenal Surti sebelumnya. Mana dia perduli sama Surti?”
“Iya sih.. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.”
“Mas, kenapa ya, perutku akhir-akhir ini sering kenceng-kenceng begitu?”
“Kan dokter Melani sudah bilang bahwa kalau sudah saatnya akan begitu. Jadi kamu tidak usah kebanyakan melakukan aktivitas pekerjaan rumah.”
“Sudah banyak berkurang Mas, tapi kan harus sering jalan-jalan, kalau tiduran terus juga kurang bagus.”
“Iya benar. Oh ya, aku sudah ditawari teman kantor, ada seorang perawat teman dia yang mau bekerja untuk kita.”
“Benarkah ? Kapan dia datang kemari?”
“Mungkin besok, kata temanku dia bukan hanya bisa merawat bayi tapi juga rajin mengerjakan semua pekerjaan rumah.”
“Syukurlah, tapi aku ingin melihatnya dulu, semoga sama-sama cocok.”
“Iya, besok mau kemari, kamu temui saja dan ajak berbincang.”
“Iya Mas, aku juga memikirkan Surti, kalau kita sudah punya pembantu kan Surti bisa istirahat di rumah. Kasihan masih selalu memperhatikan kita.”
*****
“Pak, kalau tidak salah sudah dekat saatnya Seruni melahirkan. Saya boleh ke Solo kan Pak?” kata Bu Prastowo kepada suaminya pada suatu sore.
“Sebetulnya Bapak juga ingin, tapi kan pekerjaan sedang menumpuk. Ada proyek baru yang harus aku tangani sendiri.”
“Aku berangkat sendiri saja juga nggak apa-apa kan Pak?”
“Terserah kamu saja Bu, kalau mau berangkat sendiri, kabari Indra supaya bisa menjemput kamu di Bandara, soalnya kamu kan sendirian.”
“Iya, nanti aku akan mengabari Indra.”
“Ya sudah, kapan kamu mau berangkat, biar aku suruh orang pesan ticket.”
“Hari Minggu saja Pak, Indra kan libur, jadi bisa menjemput.”
“Ya sudah, bersiaplah. Nanti aku menyusul sama Mul.”
“Iya, pasti Mul juga sudah ingin ketemu anaknya. Kabarnya Surti juga sudah mengandung.”
“Benar, Mul pasti suka nanti kalau aku ajak kesana.”
“Surti kan sudah seminggu ini tidak bekerja di rumah Indra.”
“Ya karena sudah ada pembantu disana, lagian Surti juga mengandung, kasihan kalau masih harus bekerja.”
“Itu Pak Mul, sudah selesai menyiram taman.”
“Mul.. sini Mul.”
“Ya Pak…”
“Kamu mau nggak ke Solo?”
“Waduh mau dong Pak.. Bapak mau ke Solo?”
“Tidak sekarang Mul, pekerjaan sedang banyak. Ibu yang mau berangkat duluan, nanti kalau pekerjaan bisa aku tinggalkan baru aku menyusul, sama kamu.”
“Iya Pak, terimakasih banyak. Tapi saya mau naik kereta saja Pak.”
“Lha kenapa? Diajak naik pesawat yang bisa cepat sampai kok memilih naik kereta.”
“Nggak apa-apa Pak.”
“Nanti gampang, wong belum sekarang.”
“Saya besok mau pamit sebentar Pak.”
“Mau kemana ?”
“Mau membersihkan gubug saya Pak, sudah sebulan saya tidak menengok.”
“Rumah kamu itu mbok disewakan saja ta Mul, dengan begitu kamu bisa dapat duit, sekaligus ada yang merawat rumah kamu.”
“Rumah jelek begitu apa laku Pak?”
“Ya ditawarkan dulu, siapa tahu, kan tidak semua orang cari rumah bagus, yang penting terjangkau.”
“Coba nanti saya bersihkan dulu Pak, atau dicat biar kelihatan bersih.”
“Iya Pak Mul, sepertinya dibelakang masih ada cat yang belum dipakai lho, cari saja di gudang sana, kan bisa untuk mengecat rumah kamu,” sambung Bu Pras.
“Terimakasih Bu, iya nanti saya cari di gudang.”
“Ya sudah, istirahat saja dulu, ini sudah sore.”
***
Walau perutnya semakin besar, dan sudah ada pembantu di rumah, tapi Seruni masih rajin memasak sendiri. Ia senang karena Indra selalu memuji masakannya, bahkan sejak awal mereka menikah dulu.
“Seruni, Ibu bilang, besok mau ke Solo,” kata Indra saat pulang makan siang di rumah.
“Oh ya Mas? Sama Bapak kan ?”
“Tidak, Ibu sendiri. Kalau sama Bapak pasti tidak akan memberitahu. Bapak kan suka bikin kejutan.”
“Kalau begitu Mas harus menjemputnya dong.”
“Iya, besok aku jemput.”
“Aku ikut ya Mas.”
“Iya, boleh…”
“Berangkat agak pagi, pengin nasi liwet nih..”
“Tuh kan, anak Bapak paling suka nasi liwet ya?”
“Iya Bapak..”
“ Ini masakan kamu atau mbak Darmi?” Tanya Indra. mBak Darmi itu pembantu yang juga akan menjadi perawat anak mereka nanti.
“Aku sama mbak Darmi, Kenapa Mas? Nggak enak ?”
“Enak dong, kan aku nambah sampai dua kali tadi.”
“Kirain mau bilang nggak enak.”
“Enak, masakan istriku selalu enak.”
“Terimakasih, sayang. Oh ya Mas, nanti sore antar aku jalan-jalan ya.”
“Jalan-jalan kemana?”
“Ada keperluan bayi yang masih kurang, daripada nanti repot beli ketika sudah saatnya lahir.”
“Iya tidak apa-apa, aku nanti pulang agak sorean.”
“Hm, senangnya…”
“Ini akhir Minggu, harusnya aku nggak ke kantor kan, tapi karena ada urusan ya kekantorlah, sebentar saja.”
“Ya sudah, sekarang aku mau membersihkan kamar samping untuk Ibu, jadi kalau besok datang kamarnya siap dipakai.”
“Jangan kamu, biar mbak Darmi saja.”
“Iya, tapi kan aku harus memberitahu bagaimana baiknya.”
***
Surti dan Tikno tinggal di rumah sederhana, tapi tertata rapi dan manis dipandang. Sebelumnya Tikno juga rajin membersihkan rumah, dan sekarang Surti lah yang menatanya lebih apik, karena kebanyakan wanita kan suka tanaman bunga, maka pelataran kecil yang ada di depan rumah sudah banyak ditanami bunga-bunga. Ada mawar, melati, dan banyak lagi. Bukan bunga atau tanaman mahal, tapi kalau ditata rapi pasti elok dipandang.
Selama Surti tidak bekerja di rumah Indra, Tikno selalu memerlukan pulang saat makan siang. Bahagia rasanya, makan masakan istri, dan ditunggui pula.
“Kalau kamu capai, tidak usah dipaksa untuk bekerja, apalagi memasak. Kita kan hanya berdua, bisa beli saja masakan matang di warung.
“Iya Mas, aku tahu, tapi sekarang aku baik-baik saja, Mas tidak usah khawatir.
“Syukurlah, perutmu sudah kelihatan buncit. Beberapa bulan lagi melahirkan. Rumah kita akan meriah dengan tangis bayi.”
Surti tersenyum bahagia. Tak disangkanya akan ada seorang laki-laki asing yang tiba-tiba bersedia mengangkatnya dari hidupnya yang papa dan nyaris membuatnya putus asa. Bahkan juga mencintai bayi yang ada di dalam kandungannya. Tak terasa matanya berkaca-kaca.
“Mengapa Surti? Gampang sekali kamu menitikkan air mata. Kamu tidak percaya pada ketulusan hatiku?” kata Tikno sambil memeluk istrinya.
“Mas Tikno, terimakasih banyak ya. Aku menangis karena terharu. Mas Tikno sungguh mulia. Ketika aku hampir menghabisi nyawaku bersama bayi ini, Mas Tikno menyelamatkan aku, dan mengasihi aku beserta bayiku. “
“Sudah, itu tidak usah diulang-ulang lagi. Aku melakukannya karena memang aku ingin melakukannya. Aku mencintai kamu dengan segala yang kamu miliki Surti, aku juga akan mencintai anakmu seperti aku mencintai anak kandungku.”
Surti tenggelam dalam tangis haru, memeluk suaminya seakan tak ingin melepaskannya.
“Sudah, dan jangan lagi mengucapkan itu, janji ya,” kata Tikno sambil mengusap lembut kepala istrinya.
Dering ponsel membuat Surti melepaskan pelukannya.
“Mas, sepertinya Bapak..” kata Surti sambil mengangkat ponselnya.
“Hallo, Bapak..”
“Surti, kamu baik-baik saja?”
“Surti dan Mas Tikno baik-baik saja Pak, ini Mas Tikno kebetulan habis makan siang di rumah.”
“Oh, baiklah...tidak libur hari ini? Ini kan akhir pekan?”
“Tidak pernah libur Sabtu Pak, liburnya hanya Minggu.”
"Kirain libur. Bagaimana kandunganmu? Sudah menginjak berapa bulan ini Nduk?”
"Sudaaah….mm…” Surti tampak berpikir..."
“Tiga bulanan Bapak..” Jawab Surti sekenanya. Ia belum ingin berterus terang tentang kejadian yang menimpanya, dan sepertinya memang tak ingin mengatakannya. Biarlah semuanya menjadi rahasia dirinya dan suaminya, serta juga rahasia keluarga Indra tentunya.
“Pasti perutmu sudah kelihatan buncit.”
“Iya Bapak...”
“Tak lama lagi Bapak akan kemari.”
“Benarkah? Kapan Bapak ? Biar Mas Tikno menjemput di stasiun.”
“Belum pasti harinya, menunggu Pak Pras, karena beliau juga akan ke Solo. Katanya ingin menunggui Bu Indra melahirkan.”
“Iya, memang sudah saatnya Bu Indra melahirkan...“
“Bu Pras besok akan berangkat ke Solo, tapi sendiri, Pak Pras baru menyelesaikan urusannya di kantor, jadi aku nanti akan bareng Pak Pras.”
“Oh, jadi besok Bu Pras datangnya? Surti mau kesana Pak, lama tidak ketemu Bu Pras.”
“Kamu ingin apa? Nanti aku nitip sama Bu Pras, kalau Bu Pras tidak keberatan.”
“Tidak usah Bapak, nanti merepotkan Bapak dan juga Bu Pras. Nanti saja kalau Bapak datang, saya mau, apapun yang Bapak bawakan.”
“Baiklah, ya sudah.. sampaikan salamku untuk suamimu ya Nduk.”
“Wa’alaikum salam, Bapak.”
Surti tersenyum, tampak senang mendengar Bapaknya mau datang.
“Bapak mau kesini Mas.”
“Oh ya, kapan?”
“Masih nunggu Pak Pras, besok Bu Pras datang sendiri, karena Pak Pras harus menyelesaikan urusan di kantornya.”
“Jadi Bapak bareng Pak Pras?”
“Iya Mas. Tapi harinya belum pasti.”
“Besok aku akan membersihkan kamar di sebelah kamar kita, biar ketika Bapak datang semuanya siap.”
“Biar aku saja Mas.”
“Jangan, harus mengangkat meja segala, biar aku yang menatanya, kamarnya kecil biar kelihatan agak luas.”
“Ya sudah, terserah Mas saja.”
***
Pagi hari itu Indra bersama Seruni siap menjemput Bu Pras di bandara. Tapi Seruni minta agar mampir dulu di penjual nasi liwet. Masih banyak waktu untuk bisa sampai ke bandara sebelum pesawat yang ditumpangi Bu Pras mendarat, sehingga mereka bisa makan dengan santai.
“Kali ini aku makan banyak ya Mas, kok pengin nambah lagi,” kata Seruni sambil menggigit ampela ati yang tinggal sepotong.
“Ya sudah, tambah saja, daripada anak kita ngiler.”
“Tambah satu lagi ya Bu, sama minta yang dibungkus dua porsi, sayurnya disendirikan,” pesan Seruni.
“Buat Ibu ya?”
“Iya Mas, kan di rumah Seruni belum sempat memasak.”
“Iya benar, dan Ibu juga pasti suka.”
Seruni tersenyum senang. Tiga porsi nasi liwet dihabiskannya dengan nikmat. Indra menatap istrinya dengan menahan senyum. Tapi senang melihat istrinya makan dengan lahap.
“Sudah ya Mas, perutku semakin membengkak nih,” kata Seruni sambil membuang pincuk nasi liwet terakhir ke keranjang sampah.
Indra menarik tangan Seruni, untuk membantunya berdiri. Lalu membayar makanannya, dan menuntunnya ke arah mobil.
Indra memacu mobilnya ke arah bandara. Senang sekali Ibunya akan datang untuk menemani menunggui Seruni saat melahirkan.
Tapi kira-kira sepuluh menit sebelum sampai bandara, tiba-tiba Seruni meringis kesakitan.
“Aduh Mas..,” keluhnya sambil memegangi perutnya.
“Ada apa?” Tanya Indra khawatir melihat wajah istrinya yang meringis menahan sakit.
“Perutku sakit sekali nih…”
“Tuh, kamu kekenyangan barangkali..”
“Bukan Mas, ini beda, lihat, perutku terasa kenceng-kenceng, jangan-jangan aku mau melahirkan.”
Spontan Indra menghentikan mobilnya. Hatinya berdebar-debar.
“Sakit sekali Mas… nggak tahan aku...”
Indra memutar mobilnya, dan memacunya ke arah rumah sakit.
“Maaas..”
“Tahan Seruni, sabar ya… sabar...”
“Ibu... bagaimana ?”
“Sudah, Ibu gampang, aku harus mengantar kamu ke rumah sakit terlebih dulu.”
“Aduhhhhh…” Seruni terus mengelus perutnya..
“Sabar ya Nak... sabar...sebentar lagi sampai…“ Kata Indra sambil sebelah tangannya mengelus perut istrinya.
***
“Hallo.. bapak..” Bu Pras menelpon suaminya.
“Ya Bu, sudah sampai?”
“Ibu sudah sampai di bandara Pak, tapi kok Indra belum kelihatan menjemput ya.”
“Coba Ibu telpon dia, mungkin kena macet.”
“Sudah Ibu coba menelpon, tapi tidak diangkat Pak.”
“Lho, bagaimana Indra ini. Coba Bu, biar Bapak menelpon.”
Pak Pras mencoba menelpon Indra tapi tetap saja Indra tidak mengangkatnya. Lalu Pak Pras menelpon Seruni, tapi sama saja tidak diangkat.
“Mungkin macet atau apa ya, kok Bapak telepon juga tidak bisa. Bahkan ponsel Seruni juga tidak ada yang mengangkat, ”kata Pak Pras ketika menelpon kembali istrinya"
“Ya sudah Pak, Ibu naik taksi saja kalau begitu.”
"Berani Ibu naik taksi sendiri?”
“Ya berani dong Pak, masa tidak berani.”
“Ya sudah, hati-hati, nanti kalau sudah sampai telpon Bapak lagi ya.”
Iya Pak...iya...nggak apa-apa Ibu sendiri.”
***
Pagi itu Surti sudah sampai di rumah Indra. Tapi rumah itu kosong, semua pintu terkunci.
“Pasti Pak Indra dan Bu Indra sedang menjemput ke bandara. Biar aku tunggu saja disini,” Gumam Surti sambil duduk di tangga teras.
Tak lama setelah itu, Surti melihat sebuah taksi berhenti di depan pagar. Surti heran, masa sih Pak Indra naik taksi, mobilnya kemana? Pikir Surti.
Penasaran Surti melangkah ke depan, dan terkejut melihat siapa yang turun.
“Lho, Bu Pras?” tergopoh Surti mendekati, dan meminta barang bawaan Bu Pras.
“Kamu disini Surti?”
“Iya, menunggu Ibu, tapi rumahnya kosong, saya kira Pak Indra menjemput Ibu.”
“Tidak, aku juga heran, berkali-kali menelpon tidak diangkat. Sebentar, aku bayar taksinya dulu, bawa barang-barangku masuk, sekuatnya saja Surti, jangan semuanya. Biar nanti aku bantu.”
“Iya Bu.”
Surti berlalu, tapi tanpa disadarinya, pengemudi taksi itu terus menatapnya tak berkedip.
“Ini uangnya Pak...” Bu Pras mengulurkan uang ongkos taksi.
“Oh.. iya.. iya..," jawab si pengemudi taksi sambil menerima uangnya tapi matanya terus menatap punggung Surti.
***
*Bersambung*
No comments:
Post a Comment