BUAH HATI 23
(Tien Kumalasari)
Indra jengkel, klakson dibunyikannya berkali-kali, tapi Lusi tak mau surut. Indra menjalankan mobilnya.
“Aku tabrak kamu !!” teriak Indra lagi.
“Tabrak saja kalau berani.”
Mobil itu berhenti, tepat di hadapan Lusi. Hampir menyentuh tubuhnya.
“Satpaam !! “ Indra berteriak. Tapi Lusi mendekat dan dengan marah memukul pintu mobil di samping kemudi.
“Kalau kamu tak mau turun dan berbicara, aku akan berteriak-teriak tak perduli kamu malu atau apa.”
“Orang gila !!”
Indra memberi isyarat agar satpam yang sudah mendekat kemudian menjauh.
Indra memundurkan mobilnya, berhenti di samping gerbang kantor. Lalu turun dengan mata merah menyala.
“Apa sebenarnya mau kamu?” hardiknya sambil berkacak pinggang.
“Indra, kamu keterlaluan! Kamu menolak aku tapi kamu membuat Surti hamil. Berapa kamu bayar laki-laki itu agar mau menikahi Surti?”
Dada Indra hampir meledak karena marahnya. Ia mendekati Lusi dan dengan sekali ayun dia berhasil menampar pipinya.
“Mulut busuk ! Dari mana kamu mendapatkan berita bahwa Surti hamil, orang gila!!”
“Auh..!”
“Aku tahu sendiri, aku memegang perutnya.”
“Dan mulut busuk kamu mengira aku melakukannya? Aku akan memanggil polisi agar kau ditangkap karena pencemaran nama baik.”
“Indra, kamu tidak bisa punya anak, mengapa kau biarkan Surti...”
Plaakkk! Sekali lagi Indra menampar Lusi.. sebelum wanita itu melanjutkan ocehannya.
“Buka mata kamu perempuan edann! Isteriku sendiri hamil !! Dan jangan lagi memfitnah Surti dan juga berhentilah mulut busukmu berbicara.”
Lusi memegang pipinya yang tampak merah. Ia tak sempat menjerit karena mendengar kata-kata Indra bahwa isterinya sedang hamil.
“Seruni hamil? Pasti dia berbohong !!” gumamnya sambil menatap Indra. Ia mengelus pipinya yang semakin memerah.
“Pergi dari hadapanku atau aku laporkan kamu ke polisi.!”
Indra meninggalkan Lusi yang masih mengelus pipinya, menaiki mobilnya dan melaju memasuki halaman kantor. Di gardu penjaga dia melambatkan mobilnya.
“Awas ya, jangan biarkan perempuan itu masuk. Kalau nekat seret dia ke kantor polisi karena membuat onar disini.”
***
Lusi terpaku di tempatnya. Pipi kiri kanannya terasa tebal dan perih. Hatinya apa lagi, ia ingin terus mengganggu Indra, tak pernah berhasil. Terakhir didengarnya Seruni hamil?
“Yang benar saja, aku akan menelpun bu Prastowo,” pikiran gilanya tak hendak berhenti juga.
Lusi naik ke dalam mobil dan mencoba menelpon bu Prastowo. Baru kemarin dia bertemu Surti di rumah pak Mul, bersama laki-laki yang diakuinya sebagai calon suami. Ia terus saja merasa curiga.
“Aku kira Indra membayar laki-laki itu agar menikahi Surti, ternyata tidak? Mana yang benar, penasaran aku.” Gumamnya sambil memutar nomor bu Prastowo
“Hallo, “ sapa Lusi ketika sudah tersambung .
“Siapa ini?” tanya bu Prastowo.
“Saya Lusi ibu..”
“Oh, nak Lusi, ada apa pagi-pagi menelpon ? Saya baru di dapur, memasak bersama simbok.”
“Ma’af bu, mengganggu.. bagaimana kabarnya Indra.. dan juga isterinya?” tanya Lusi memancing.
“Oh, mereka baik-baik saja .. dan sedang berbahagia Karena Seruni sedang mengandung.”
“Lhoh, ibu bilang Seruni mandul?”
“Ya, dulu diperkirakan begitu, ternyata sekarang hamil, saya senang sekali, akan mendapat cucu.”
“Ohh.. jadi Seruni sudah mengandung?”
“Sudah menginjak tiga bulan.. eh.. empat bulan sepertinya..”
“Oh.. begitu ? “ Lusi merasa terpukul, dugaannya salah. Tapi mengapa sebetulnya harus terpukul? Lusi benar-benar seperti tak terima dengan kehamilan Seruni. Keinginan mengganggu Indra patah begitu saja.
“Ya sudah nak, ibu mau melanjutkan memasak dulu ya,” kata bu Prastowo yang tak ingin berbincang lebih lama.
“Iya bu, eh.. sebentar.. kalau Surti.. bukankah dia juga mengandung?” mulut usilnya masih ingin mengoceh.
“Surti? Tidak, dia justru mau menikah, mungkin dalam waktu dekat, menunggu ayahnya keluar dari rumah sakit.”
“Oh.. tidak ya? Sebentar bu...” Lusi masih ingin bicara, tapi rupanya bu Prastowo sudah menutupnya.
Lusi memukul-mukul kemudi dengan gemas. Semua yang disangkakannya ternyata kandas dalam kenyataan yang tak pernah dibayangkannya.
***
“Seruni, kalau kamu ketemu Lusi atau mendapat telpon dari dia, tak usah digubris ya,” pesan bu Prastowo ketika menelpon menantunya setelah selesai memasak.
“Memangnya ada apa bu?”
“Pagi tadi tiba-tiba dia menelpon, menanyakan Indra dan kamu. Aku bilang bahwa kamu sudah mengandung, tampaknya dia tidak suka. Biarkan saja. Lalu dia tiba-tiba bertanya, apakah Surti juga mengandung? Gila kan?”
“Dia bertanya begitu ?”
“Iya, mulutnya sungguh usil. Yang bukan urusannya juga dibicarakan, sebel aku, belum selesai dia ngomong, aku tutup ponselku.”
“Dia menanyakan apakah Surti mengandung?”
“Iya, aku jawab saja tidak, bahkan mereka akan segera menikah, begitu. Itu bukan urusannya kan, untuk apa dia menelpon ibu cuma mau menanyakan itu.”
“Ya sudah bu, tidak usah difikirkan saja. Bagaimana kabarnya pak Mul bu? Surti juga belum mengabari.”
“Kelihatannya pak Mul sudah semakin baik, tiap hari bapakmu menengok ke rumah sakit.”
“Syukurlah bu, mungkin kedatangan Surti membuatnya gembira, jadi bisa mempercepat kesembuhannya.”
“Benar Seruni, dan lamaran laki-laki yang kata bapakmu baik itu, juga membuatnya senang pastinya.”
“Iya bu. Seruni juga senang mendengarnya.”
“Besok kalau Surti menikah, pasti dia kemudian mengikuti suaminya, lalu siapa yang membantu kamu? Nanti ibu carikan pembantu ya.”
“Tidak usah bu, nanti gampang.”
“Harus ada yang membantu mengurus anak kamu lho. Kasihan kalau kamu sendiri.”
“Iya bu, pasti nanti ada, tapi tidak sekarang. Mas Indra juga sudah memikirkannya.”
“Baiklah, kalau butuh apa-apa, kabari ibu ya?”
“Terimakasih bu, titip sungkem buat bapak, dan salam untuk pak Mul kalau bapak ke rumah sakit lagi.”
“Iya Seruni, nanti ibu sampaikan.
***
“Dasar orang gila, tidak kapok-kapoknya, lain kali akan aku hajar bener-bener dia,” gerutu Indra sambil melepas sepatunya sepulang dari kantor.
“Lho, pulang-pulang kok marah-marah.”
“Tidak bisa berhenti marah aku, sejak pagi dan selama mengikuti meeting, pikiranku ke arah ucapan dia terus.”
“Apa sih mas, mas marah sama siapa?”
“Lusi, pagi-pagi sudah mencegat aku di gerbang kantor.
“Lusi lagi ?”
“Ucapannya itu lho. Jadi dia itu bilang, katanya aku mengahamili Surti, lalu aku membayar seorang laki-laki agar mau menikahi Surti.”
“Astaghfirullah... dia bilang begitu?”
“Aku tampar tadi dia, sampai dua kali. Lain kali aku tidak akan hanya menamparnya, akan aku hajar dia sampai dia bilang kapok.”
“Ya sudah, redakan dulu marahnya, ini teh hangat buatan isteri mas yang cantik, harus dinikmati dulu. Malu terdengar anak kamu lho mas, kalau mas marah-marah terus.”
Indra mencium pipi isterinya, lalu mengelus perutnya, baru menerima cawan berisi teh hangat yang disuguhkan isterinya.
“Terimakasih sayang, benar-benar lega setelah minum teh buatan isteri cantikku.”
“Ibu tadi menelpon. “
“Ibu ?”
“Ya, ibu.. mungkin ada hubungannya dengan pertemuan mas dengan Lusi pagi tadi.”
“Ibu bilang apa?”
“Dia terkejut dan tampak tidak senang mendengar bahwa aku telah hamil. Lalu dia juga bertanya, apakah Surti juga hamil.”
“Ibu bilang apa?”
“Ibu bilang tidak, dan mengatakan bahwa Surti mau menikah.”
“Heran aku, ada orang seperti itu.”
“Saking gandrungnya sama suamiku yang ganteng ini..”
“Hm... senangnya.. dipuji sama isteriku... memang sih aku ganteng...”
“Tapi bau asem..” ledek Seruni sambil mendorong suaminya masuk ke kamar mandi.
***
Hari itu pak Mul sudah bisa duduk dan tampak segar. Surti melayaninya makan dan meminum obat, sedangkan Tikno menunggui di dekatnya.
“Aku ingin segera pulang,” kata pak Mul.
“Iya, nanti kita tanya dulu pada dokter, apakah bapak sudah boleh pulang atau belum.”
“Kalau bapak masih harus dirawat, sebaiknya tidak tergesa pulang dulu,” sambung Tikno.
“Tapi aku sudah merasa sehat. Kalau sudah tidak diinfus, tidak pakai bantuan oksigen untuk pernafasanku, berarti kan bisa dirawat di rumah.”
“Iya bapak, coba nanti kita bicara sama dokter ya.”
“Nak Tikno sudah tiga malam disini, cutinya hampir habis kan?”
“Tidak apa-apa pak, masih ada waktu. Menunggu bapak sembuh dulu.”
“Iya pak, nanti aku bicara sama dokternya ya.”
“Berapa juta uang yang dikeluarkan pak Pras untuk aku, jadi nggak enak.”
“Bapak tidak usah memikirkan itu, nanti saya mau bicara sama pak Pras mengenai biaya ketika bapak dirawat disini, saya bisa mengganti kok,” kata Tikno.
“Aduuh, belum jadi menantu sudah repot untuk bapak..” keluh pak Mul.
“Ada apa ini, kok namaku disebut-sebut?” semuanya terkejut, pak Pras tiba-tiba muncul.
“Pak Pras...” seru pak Mul.
Surti dan Tikno mundur ke belakang, dan mempersilahkan pak Pras duduk di kursi.
“Kamu sudah bisa duduk, dan kelihatan sehat Mul.”
“Iya pak.. maka dari itu saya nanti akan minta rawat jalan saja.”
“Ya jangan kamu yang menentukan Mul, dokternya bagaimana.. kalau masih harus tinggal ya sabarlah dulu.”
“Iya pak, nanti menunggu dokternya.” Sambung Surti.
“Aku tadi sudah ke bagian administrasi, aku bayar semua biaya kamu selama dirawat. Masih ada sisa, barangkali masih kurang seandainya kamu belum boleh pulang.”
“Itulah yang selalu menjadi pikiran saya pak,” kata pak Mul sambil menundukkan kepalanya.
“Itukah tadi sebabnya maka aku mendengar namaku disebut-sebut? Tidak Mul, aku memberikannya dengan ikhlas, tidak minta ganti, dan tidak mau kalau diganti. “
“Terimakasih banyak. Surti, Tikno.. dengar apa yang dikatakan pak Pras, kalian harus berterimakasih ..” katanya kemudian kepada Surti dan Tikno.
Surti dan Tikno mendekat. Surti meraih tangan pak Pras, menciumnya sambil matanya berkaca-kaca.
“Apa yang harus saya lakukan untuk membalas semua kebaikan bapak ini? Kami selalu merepotkan,” katanya lirih dengan bibir bergetar.
“Apa yang kamu katakan Surti, aku tidak menghutangkan apa-apa, semua aku lakukan karena Mulyadi bukan orang lain bagiku. Sudah.. sudah.. jangan menangis. Bapakmu orang baik, dan semua orang akan memperlakukannya dengan baik pula.”
Surti mengangguk, dan mengusap air mata harunya.
“Sudah Mul, jangan memikirkan apa-apa, kamu cepat sehat, dan segera memikirkan anakmu itu. Mereka harus segera dinikahkan, supaya kamu lebih merasa tenang karena anakmu sudah ada yang menjaga.”
Pak Mul menatap Tikno.
“Saya sanggup melakukannya kapan saja asal bapak mengijinkan,” kata Tikno mantap.
“Tuh Mul, tunggu apa lagi?”
Pak Mul tersenyum, mengelus kepala Surti yang berdiri dekat di sampingnya.
“Saya sudah tidak punya orang tua pak. Kalau harus secara resmi saya akan mengajak saudara saya.”
“Nanti dibicarakan kalau aku sudah pulang ya nak..”
“Dan kamu Mul, nanti kalau anak kamu sudah menikah, kamu tetap saja tinggal di rumahku, kalau di rumah sendiri kan sepi, sedang di rumahku banyak orang.”
“Iya pak, terimakasih atas semuanya.”
***
Berbulan berlalu ketika Surti menikah dengan Tikno, Surti tidak langsung keluar dari pekerjaannya di rumah Indra. Dia datang pagi dan pulang pada sore harinya. Tikno dengan rajin mengantar Surti dan menjemput bersamaan dengan waktu kerjanya.
“Surti, kandungan kamu sudah kelihatan membesar, kalau kamu mau berhenti bekerja juga tidak apa-apa. Kasihan anak kamu kalau kamu harus bolak balik kesini dan ke rumah kamu.
“Tidak apa-apa bu, saya juga kasihan kalau melihat bu Indra yang perutnya sudah semakin membesar harus bekerja sendiri.”
“Tidak apa-apa Surti, kan aku di rumah aku sendiri, sedangkan kamu harus bolak balik kesana kemari.”
“ Nanti kalau ibu sudah ada pembantu, saya bisa melepaskan pekerjaan ini.”
“Pak Indra akan mencarinya nanti.. karena dia juga kasihan sama kamu. Aku yang dimarahi, dikira tidak memikirkan kandungan kamu.”
“Tidak apa-apa bu, kan saya yang mau.”
“Kamu itu hebat Surti, sementara aku sudah sering malas-malasan, kamu masih sanggup mengerjakan semuanya.”
“Iya lah bu, kan kandungan bu Indra sudah semakin besar. Mungkin sudah sa’atnya melahirkan ya bu?”
“Perkiraan dokter masih awal bulan depan.”
“Tuh, sudah sa’atnya kan? Tidak heran kalau sudah sering merasa malas atau gampang capek.”
“Kamu sendiri juga sudah kelihatan buncit lho Sur.. Meskipun aku nanti sudah melahirkan, kamu juga harus rajin memeriksakan kandunganmu lho.
“Iya bu, kata dokter Melani, sebulan sekali harus periksa kandungan.”
“Betul Sur.. kamu harus menjaga kandungan itu dengan baik.”
“Benar bu, saya jadi ingat.. dulu sering ingin mati karena kandungan ini.”
“Itu karena pikiranmu gelap, merasa bahwa segalanya harus diselesaikan dengan kematian, padahal sekarang kamu merasakan kebahagian bukan?”
“Karena mas Tikno selalu menjaga saya dan sangat mencintai saya bu.”
“Aku senang Sur.. semoga kamu akan selalu bahagia..”
“Seperti ibu dan pak Indra..”
Seruni tersenyum. Memang dia merasa sangat bahagia, dengan suami yang sangat mencintai, dengan akan hadirnya seorang anak yang segera lahir.
“Semoga aku melahirkan dengan selamat, lancar, agar kebahagiaanku sempurna,” bisiknya dengan senyum bahagia.
“Aamiin, bu, saya akan selalu mendo’akan untuk kebahagiaan ibu dan pak Indra.”
“Terimakasih Surti.”
***
Sore itu Indra pulang ketika Surti belum dijemput suaminya.
“Lho, mas Tikno belum menjemput kamu Surti?” tanya Indra.
“Belum pak, tadi bilang mau lembur sampai agak sorean.”
“Ya sudah, kamu istirahat saja, jangan sampai lelah, karena kamupun juga sedang mengandung.”
“Ya pak, ini juga banyak istirahatnya, kalau siang bu Indra juga menyuruh saya tidur.”
“Betul Surti,” kata Indra sambil melangkah ke belakang. Seruni menyambutnya dengan pelukan, lalu Indra mencium perut isterinya dengan sayang.
“Apa kabar anak bapak seharian ini?”
“Banyak menendang-nendang bapak, habisnya bapak nggak pulang-pulang,” kata Seruni sambil mengambilkan minum untuk suaminya.
“Oh, gitu ya.. tampaknya anak bapak laki-laki nih, habisnya suka menendang-nendang.”
“Katanya perempuan, karena ibunya cantik dan rajin.”
“Kalau ibunya sih, selalu cantik..”
“Terimakasih, bapak...” kata Seruni sambil menggelendot manja.
Keduanya tertawa bahagia. Indra meneguk minuman hangat yang dihidangkan isterinya.
“Surti belum dijemput ya.”
“Katanya, mas Tikno lembur sore ini. “
“Oh iya Seruni, kamu tahu nama laki-laki yang dulu memperkosa Surti?” kata Indra pelan.
“Nggak, Surti juga nggak mau mengatakannya, mungkin ngeri kalau teringat kembali. Katanya.. jangankan menyebut namanya, mengingat wajahnya saja tak sudi. Memangnya kenapa mas kok tiba-tiba mengatakan itu?”
“Aku membaca berita di koran, ada beberapa narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Ngawi, kabur, salah satunya bernama Sardiman, terdakwa pemerkosa beberapa bulan lalu.”
“Ssst, jangan sampai Surti mendengarnya,” kata Seruni pelan.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment