Saturday, September 5, 2020

Buah Hati 22

BUAH HATIKU 22
(Tien Kumalasari)

“Saya lega  kalau  ternyata.. mas Indra.. datang..” kata pak Mul dengan mata berbinar.

Pak Prastowo mengira pak Mul sedang mengigau. Karena penyakitnya jadi bicaranya nyerocos tak karuan. Ia diam, lalu menoleh ketika terdengar langkah-langkah kaki mendekat.

“Bapaaak... “ Surti setengah berlari menubruk ayahnya, dan terisak di dadanya.

Pak Mul tampak mengelus kepala Surti dengan air mata berlinang.

Pak Pras mundur, dan melihat laki-laki tegap yang datang bersama Surti. Laki-laki itu mengangguk hormat.

“Saya Tikno pak.”

“Oo.. kamu yang mau melamar Surti ?”

“Benar pak,”

“Aku Prastowo, bapaknya Indra,  sudah kenal Indra kan? Pak Mul ini ikut bersamaku.”

“Oh, pak Indra saya kenal baik.”

Pak Pras mengajak Tikno menjauh, membiarkan Surti melampiaskan kerinduannya pada ayahnya.

“Surti, mana mas Indra?”

“Kok  pak Indra sih pak, masa pak Indra mengantar Surti?”

“Lho, kamu tidak datang bersama mas Indra? Bukankah kamu hamil karena mas Indra?”

Surti tercengang. Ia melepaskan pelukan bapaknya, menatap bapaknya dengan heran.

“Mengapa bapak berkata begitu? Siapa yang bilang bahwa surti hamil karena pak Indra?” tanya Surti lirih, sungkan kalau sampai pak Prastowo mendengarnya.

“Lho.. memangnya itu tidak benar ?”

“Bapak dengar dari siapa?”

“Dari mbak Lusi...”

“Aduh bapak, lagi-lagi dia... bapak kan sudah tahu kalau dia itu suka bicara yang tidak-tidak?”

“Jadi  itu tidak benar?”

“Tidak benar sama sekali bapak.. ini saya datang dengan seseorang,  saya panggil  ya..” Surti berjalan mendekati Tikno yang masih berbincang dengan pak Pras. Surti lebih dulu menyalami pak Pras.

“Bapak, terimakasih banyak sudah repot karena bapak saya.”

“Tidak apa-apa Surti, bapakmu itu kan juga keluargaku. Sudah, jangan difikirkan.  Aku senang, ini.. calon suamimu ini tampaknya baik.”

“Iya pak, mohon do’a restu ya pak..”

“Semoga kalian bahagia. Sekarang aku pulang dulu, sudah agak lama disini. Dan hibur bapakmu, karena sakitnya, bicaranya nglantur. Kasihan..”

“Oh.. iya pak..”

“Dari tadi menyebut Indra terus, mengira yang datang bersama kamu itu Indra, aku jadi bingung.”

“Ma’afkan bapak ..” Surti merangkapkan kedua tangannya ke arah pak Prastowo. Ia tahu yang terjadi, tapi mendiamkannya. Malu kalau sampai pak Pras tahu apa yang dimaksud bapaknya. Gara-gara mulut runcing milik Lusi, jadi bapaknya dikira linglung.

“Ya sudah Surti, mudah-mudahan dengan kedatangan kamu dan calon suamimu ini, bapakmu segera sehat kembali.”

“Terimakasih, bapak.”

Ketika pak Pras berlalu, Surti menghela nafas. Ia segera menarik tangan Tikno, diajak mendekati  bapaknya.

“Bapak, ini namana mas Tikno.”

“Saya Sutikno dari Solo, bapak.”

Pak Mul menatap Tikno tak berkedip.

“Siapa dia, Surti?”

“Mas Tikno ini, datang kemari mau melamar Surti.”

“Melamar?”

Tikno segera mendekat.

“Ma’af bapak, barangkali ini waktu yang tidak tepat karena bapak sedang sakit, tapi memang benar bahwa kedatangan saya ke Surabaya ini mau melamar Surti.

“Ooh.. melamar anakku?”

“Tapi bapak harus sehat dulu, nanti kalau bapak sudah baik, saya akan berbicara lagi sama bapak.”

“Tampaknya dia baik.” Katanya pelan sambil menatap Surti.

”Iya, bapak segera sehat ya?”

“Bapak ingin makan apa? Saya bawa serabi dari Solo. Sudah tidak panas lagi sih pak, tapi masih enak. Mau ya bapak,” kata Tikno.

Pak Mul mengangguk pelan. Tampaknya terkesan akan sikap Tikno yang baik.

Surti membuka bungkusan serabi, dan menyuapkannya sedikit demi sedikit ke mulut ayahnya.

“Enak..” kata pak Mul pelan. Dan wajah yang semula pucat itu berangsur memerah.

Ketika perawat datang dan memeriksa tensinya, perawat itu mengangguk-angguk senang.

“Luar biasa, tensinya pak Mul mulai menunjuk ke angka normal. Ini sungguh bagus. Saya akan melaporkannya kepada dokter,” kata perawat itu.

“Terimakasih suster.”

Seruni menatap ayahnya dan tersenyum senang.

“Segera sembuh ya pak.”

***

Siang itu juga Tikno membeli tikar dan bantal. Surti disuruhnya tidur di bawah bapaknya, karena ruang inap pak Mul memang ruang yang biasa, jadi tidak ada tempat tidur untuk penunggunya. Namun Surti merasa senang, bapaknya terawat, walau tempatnya sederhana, tapi pak Pras sudah memberikan yang terbaik untuk bapaknya. Tanpa pak Pras, entah bagaimana nasib bapaknya.

“Surti, malam nanti kamu tidur disini, aku biar di luar saja sama penunggu yang lain,” kata Tikno yang sudah menggelar tikar di bawah ranjang pak Mul.

“Kasihan mas Tikno, apa mas Tikno mau tidur di rumah bapak saja?”

“Tidak, nanti kalau bapak membutuhkan sesuatu biar aku tahu.”

“Ma’af ya mas, ini tempat yang tidak layak untuk tamu.”

“Heeiii... siapa tamu? Aku ini calon menantu bapakmu,” kata Tikno sambil mencubit hidung Surti pelan.

Surti mengerdipkan matanya, tersenyum bahagia.

“Tuhan telah memberi aku seseorang, yang bisa menguatkan aku. Terimakasih.. ya Allah..” kata Surti sambil merangkapkan tangannya.

“Dan Allah juga memberikan aku seorang calon  isteri yang bukan hanya cantik, tapi sangat baik, terimakasih, ya Allah,” kata Tikno yang ikutan merangkapkan tangannya.

“Surti...” tiba-tiba pak Mul terbangun . Keduanya lupa, berbicara agak keras di samping pak Mul yang tertidur pulas.

“Eh, ma’af.. bapak terbangun karena Surti ngomong terlalu keras ya? Ma’af bapak.”

“Tidak, tolong beri aku minum.”

Surti berdiri, mengambil minum dan sedotan. Pak Mul meneguk minumannya dengan nikmat.

“Rasanya aku sudah semakin baik.”

“Iya bapak.. Surti senang bapak semakin sehat. Besok pagi Surti pamit untuk pulang sebentar. Rumah bapak kan lama tidak ditinggali, jadi akan Surti bersihkan terlebih dulu.”

“Itu gubug. Nak Tikno apa suka punya mertua miskin?”

“Mengapa bapak berkata begitu? Tikno menerima Surti apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.”

“Kalau Surti bahagia, bukankah bapak juga bahagia?” sambung Surti.

“Tentu saja Surti. Hm.. bapak jadi ingat, bapak sakit gara-gara kata-kata mbak Lusi. Sungguh bapak terkejut waktu itu. Bapak pikir, kalau itu benar, mengapa mas Indra atau pak Pras tidak bicara apa-apa sama bapak.””

“Mulai sekarang bapak tidak usah mendengarkan apa yang mbak Lusi katakan.”

“Nak Tikno, bapak minta ma’af, jadi merepotkan.”

“Tidak bapak, saya senang malakukannya. Bapak harus tenang, biar segera sehat.”

“Apa nak Tikno tidak bekerja?”

“Saya bekerja disebuah  pabrik plastic pak, di bagian gudang. Tapi sa’at ini saya sedang cuti seminggu, setelah bertahun-tahun tidak pernah mengambil cuti.”

“Oh, jadi ini tidak mengganggu pekerjaan nak Tikno?”

“Tidak sama sekali bapak.”

“Itu kalian duduk di tikar, punya siapa?”

“Tadi mas Tikno beli, sambil kami makan siang di luar. Bapak mau makan lagi?”

“Tidak, tadi kan sudah makan, sudah makan  oleh-oleh kalian juga.”

“Sekarang bapak tidur lagi saja.

“Nanti nak Tikno tidur dimana? Masa berjubel di bawah situ?”

“Tidak pak, saya akan tidur di luar, biar Surti saja yang tidur disini menemani bapak.”

“Hm... semoga aku bisa segera pulang ya.. jadi menyusahkan banyak orang.”

“Bapak jangan memikirkan apa-apa, tidak ada yang susah kok. Susah itu karena bapak sakit. Jadi bapak memang harus segera sembuh. “

Pak Mul mengangguk, lalu memejamkan matanya. Setelah kedatangan Surti dengan membawa calon suami yang baik, perasaannya menjadi lebih nyaman.

***

Pagi harinya kondisi pak Mul sudah membaik. Tekanan darah sudah normal, dan tidak memerlukan asupan oksigen lagi karena sudah bisa bernafas lega.

Surti dan Tikno sudah tiba di rumah sederhana milik bapaknya, yang sudah ditinggalkan selama beberapa sa’at lamanya sejak menderita sakit sebelumnya. Pak Pras menyuruhnya tinggal di rumahnya agar ada orang lain yang menjaganya.

“Ini, gubugnya bapak mas.. kotor, lama tidak ditinggali.”

“Iya, nggak apa-apa, sini aku bantu membersihkan.”

Keduanya segera sibuk menyapu dan mengepel rumah, membersihkan debu di setiap perkakas sederhana yang mereka punya.

“Capek mas?”

“Tidak, kamu itu, istirahat saja dulu, kasihan bayi di dalam kandungan kamu.”

“Iya mas, pegal nih rasanya. Tapi lumayan sudah bersih,” kata Surti sambil menyelonjorkan kakinya di kursi kayu yang panjang.

“Minum dulu nih,” kata Tikno sambil mengulurkan minuman botol yang dibelinya di jalan.

“Untunglah bapak tidak menanyakan tentang perutku ya mas, aku juga sebaiknya tidak usah mengatakan apa-apa dulu.”

“Yang penting bapak sudah tahu bahwa apa yang dikatakan Lusi itu tidak benar. So’al kehamilan tidak perlu diungkit.”

“Iya, supaya bapak tidak terganggu dengan nasib buruk aku.”

“Benar..  sebaiknya jangan sampai membuat orang tua kita susah.”

Surti mengangguk senang. Tak pernah dibayangkannya ada seseorang yang mengisi relung hatinya dengan cinta dan perhatian. Dia yang tak berdaya, tanpa derajat dan apalagi harta, tak pernah bermimpi bisa mendapatkan seorang laki-laki sebaik Tikno.

Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara seseorang memanggil-manggil.

“Pak Mul... pak Mul...”

Wajah Surti langsung muram. Ia mengenal suara itu. Tikno menatap Surti, tapi keduanya tak bergerak dari tempat mereka duduk.

“Pak Mul.. “ langkah kaki itu terdengar memasuki rumah. Surti terpaksa berdiri, diikuti Tikno.

“Lho.. kok Surti ada disini? Pak Mul mana? Saya minta agar dia memberikan nomor rekening kok tidak segera diberikan,” gerutu Lusi.

“Memangnya untuk apa minta nomor rekening bapak?”

“Dulu aku minta tolong,  tapi belum sempat memberinya upah. Sa’at itu aku di Jakarta, maksudnya uangnya mau aku transfer saja ke rekening pak Mul. Mana dia?”

“Bapak di rumah sakit.”

“Sakit lagi? Lhah ini siapa?”

“Ini calon suami saya mbak..”

“Calon suami? Indra bagaimana ?”

“Apa maksud mbak?”

“Hm, Surti,  jangan kamu mengira kalau aku tidak tahu, tapi tidak apa-apa.. nanti aku akan menegur Indra. Kasihan calon suami kamu itu.”

“Apa maksud mbak Lusi?” teriak Surti.

Tikno yang sedikit banyak mengetahui permasalahannya segera maju dan menatap tajam wanita di hadapan Surti.

“Kalau anda bicara lebih banyak lagi, maka saya akan menyeret anda keluar dari sini !” hardik Tikno keras.

“Eh, ya ampun.. galak bener ,” kata Lusi sambil melangkah keluar dan bergegas menghampiri mobilnya.

 “Tampaknya orang gedongan, bicaranya seperti orang tak berpendidikan,” gerutu Tikno.

“Untung ada mas Tikno yang membuat dia kabur. Kalau tidak,  maka pasti semakin panjang dia mengoceh yang tidak-tidak.”

***

“Bagaimana keadaan pak Mul, bapak?” tanya Indra ketika menelpon ayahnya.

“Aku dengar keadaannya semakin membaik. “

“Syukurlah, Indra ikut senang. Sekarang masih di rumah sakit?”

“Masih, saya baru mau suruhan untuk mengecek semua biayanya selama di rumah sakit, supaya pak Mul tidak kepikiran.”

“Iya bapak, betul sekali.”

“Beberapa hari yang lalu itu, ketika Surti belum datang, bicaranya Mulyadi itu seperti orang linglung. Yang menanyakan kamu lah, yang .. apa ya.. aku tidak bisa mencerna apa maunya.”

“Karena tubuhnya panas lalu mengigau, barangkali.”

“Mungkin, aku biarkan saja dia ngomong semaunya, orang lagi sakit, tapi untunglah waktu itu Surti segera datang, dan tampaknya dia senang.”

“Surti bersama mas Tikno kan pak?”

“Iya, katanya mau melamar. Sepertinya dia baik, bapak suka berbicara sama dia. Beruntung Surti mendapat suami baik dan pintar. Sementara Surti sendiri kan hanya lulusan SMP?”

“Iya bapak, mas Tikno memang baik, Indra juga suka., syukurlah Surti dapat jodoh laki-laki yang baik.”

“lha nani kalau Surti menikah pastinya ikut suaminya dong. Seruni harus dicarikan pembantu baru.  Apalagi  nanti.. harus merawat bayi juga.”

“Iya, nanti difikirkan pak, sekarang Seruni malah sudah tidak ngidam lagi. Makan banyak dan suka masak-masak.”

“Oo.. berarti anakmu besok perempuan Ndra.”

Indra tertawa senang.

“Masa pak?”

“Coba saja tanya sama ibumu. Katanya kalau orang lagi hamil itu kelihatan cantik, terus.. rajin.. biasanya anaknya perempuan. Tapi laki-laki atau perempuan sama saja. Itu pemberian Yang Maha Kuasa, harus diterima dengan senang dan penuh rasa syukur.”

“Benar bapak. “

Dan setelah itu Indra lalu memperhatikan isterinya.

“Iya benar, isteriku cantik, rajin, suka berdandan..suka memasak.. barangkali benar, anakku bakal perempuan,” gumam Indra sambil menatap isterinya ketika sedang santai malam hari itu.

“Ada apa sih mas, kok lihat-lihat? Aku aneh, bajuku kebalik ya..” kata Seruni sambil mengamati baju, lalu mengelus pipinya.

“Ada coreng moreng di mukaku?”

Indra tertawa.

“Tidak Seruni, kamu cantik. Kata bapak, anakku besok kemungkinannya perempuan,” kata Indra sambil mengelus perut isterinya.

“Oh ya? Masa sih mas?”

“Kalau ketika hamil, seorang ibu kelihatan cantik, suka berdandan dan suka memasak, anaknya bakal perempuan.”

“Waaah... aku seneng kalau perempuan, ada  temannya, supaya kalau bapaknya nakal ada yang ngebelain.”

“Enak aja, memangnya bapaknya nakal? Nggak ya nak, ayo bilang sama ibu bahwa bapak tidak nakal.” Kata Indra sambil mencium perut isterinya.

“Mas, perutku ini sudah mulai kelihatan gendut ya?”

“Iya, habis kamu makannya banyak..” seloroh Indra.

“Bukan begitu ‘kali,  anaknya mulai tumbuh semakin besar.”

“Besok kalau di USG, aku mau lihat, wajahnya mirip siapa.”

“Mirip ibunya dong, katanya perempuan.”

“Belum tentu, itu kan kata orang tua-tua.. memangnya yang rajin cuma perempuan? Aku juga rajin tahu.”

“Wweee... tapi kalau cantik.. kan cuma perempuan yang cantik?”

Ketika itu mereka sedang berbincang malam hari, di halaman, di sebuah kursi di bawah pohon mangga, sambil menatap bintang yang terburai di langit biru, menatap rembulan sepotong yang mengambang di awan. Semilir angin malam menerpa rambut Seruni yang sebagian menutupi keningnya. Indra menyibakkan anak rambut itu dan mencium keningnya.

“Bagiku, laki-laki atau perempuan akan membahagiakan. Aku ingin lebih banyak anak..”

“Oh, banyak? Berapa ?”

“Bagaimana kalau lima?”

“Iih.. banyak amat..”

“Biar ramai rumah kita.. tidak sepi seperti sekarang ini. Hanya ada kamu dan aku..”

“Enam sekalian mas, perempuan tiga, laki-laki tiga..”

“Woouwww.. bagus.. aku suka.. aku suka..”

Keduanya bercanda seru sekali, terkadang saling cubit, saling rangkul.. saling ejek dan kemudian tertawa renyah bersama.

Rembulanpun tersenyum melihat kemesraan itu.

“Seperti bintang diatas sana yang tak pernah berhenti berkedip, begitu juga cinta kita..”  bisik Indra sambil mengelus kepala isterinya, yang bersandar dengan manja di bahunya.

***

Pagi itu Indra berangkat ke kantor lebih pagi, karena ada meeting jam delapan tepat.  Indra memacu mobilnya cepat karena bangun agak kesiangan. Tapi ketika mobilnya mau memasuki halaman, seorang wanita berdiri di tengahnya.

“Lusi? Apa yang dikerjakannya disitu?”

“Indra, turun sebentar, aku mau bicara.”

“Minggir kamu, kalau tidak biar saja aku menabrak kamu!!”  teriak Indra sambil melongok keluar jendela.

***

Bersambung..

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER