BUAH HATIKU 21
(Tien Kumalasari)
Indra menatap Tikno tajam, mencari kebenaran kata-katanya dari sorot mata Tikno yang tampak bersungguh-sungguh.
“Mas Tikno serius ?”
“Sangat-sangat serius pak Indra.”
“Sudah difikirkan masak-masak ?” sambung Seruni.
“Sudah bu, di sepanjang perjalanan kembali dari Ngawi sampai seharian di rumah, saya hanya memikirkan Surti. Saya bukan hanya mengasihaninya, tapi saya juga mencintainya.”
“Syukurlah mas Tikno, saya senang mendengarnya. Semoga Surti bisa menerimanya.”
“Harusnya kan mas Tikno melamar ke bapaknya Surti, ya kan?” kata Seruni.
“Itu benar, dan kebetulan bukankah besok pagi Surti mau ke Surabaya? Jadi kalau mas Tikno serius, ikutlah bersama Surti dan langsung melamar pada bapaknya.”
“Jadi besok Surti mau ke Surabaya? Kok tadi tidak bilang sama saya ya.”
“Belum lama setelah pulang, Surti menelpon bapaknya, dan ternyata bapaknya sakit di rumah sakit. Karenanya Surti ingin pulang besok.”
“Baiklah, kalau begitu besok saya akan ikut ke Surabaya. Kebetulan sejak kemarin saya mengambil cuti selama seminggu.”
“Kalau begitu ayo kita panggil Surti, biar mas Tikno bicara sendiri sama dia,” kata Indra sambil menggamit lengan isterinya, mengajaknya masuk.
Surti terkejut mendengar lamaran Tikno. Ia tak menyangka akan secepat itu.
“Saya serius Surti, sudah memikirkannya masak-masak.”
“Mas sudah memikirkan, saya ini siapa? Saya hanya pembantu rumah tangga.”
“Apa bedanya kamu dengan wanita lainnya? Bahwa sebuah pekerjaan tidak akan membuat seseorang menjadi rendah, itu harus kamu fahami. Kamu buruh, aku juga buruh, apa bedanya?”
“Tapi tak hanya itu, aku ini sudah ternoda..” katanya lirih, mengingat derita yang dialaminya, yang selalau membuat hatinya bagai teriris .
“Surti.. jangan begitu, kamu gadis yang baik..”
“Apa mas lupa bagaimana keadaanku? Apa yang terjadi pada diriku ?”
“Itu tidak akan berpengaruh apa-apa bagiku Surti..”
Surti terdiam, menunduk. Laki-laki di hadapannya ini sejak awal sudah membuatnya terpukau. Bukan karena ketampanannya tapi karena ucapan-ucapan dan sikapnya yang kebapakan. Ia membutuhkan bahu untuk bersandar, membutuhkan dada bidang untuk meruntuhkan air matanya. Membutuhkan hati yang lapang untuk mengadu. Apakah laki-laki ini adalah laki-laki yang tepat?
“Aku bersungguh-sungguh. Menurut pak Indra besok kamu akan ke Surabaya karena bapak sakit, aku akan ikut bersamamu. Aku akan melamarmu,” kata Tikno bersungguh-sungguh.
Surti masih menatap Tikno dengan mata berlinang.
“Apakah kamu ragu-ragu?” kata Tikno sambil duduk mendekati Surti, lalu menggenggam tangannya erat.
“Bayi di dalam kandungan kamu membutuhkan seorang ayah. Aku akan menjadi ayahnya, akan mengasihinya seperti anak kandungku,” katanya sambil meremas tangan Surti.
Lalu pecahlah tangis Surti. Tikno merengkuhnya, membiarkan Surti terbenam dalam tangis untuk beberapa sa’at lamanya.
“Benarkah mas besok akan ikut bersama aku ke Surabaya?”
Tikno mengangguk pasti.
Alangkah indah hari ini.
***
“Akhirnya permasalahan akan tuntas ya mas..” kata Seruni ketika melayani makan pagi suaminya, setelah Surti jadi berangkat ke Surabaya bersama Tikno.
“Iya, semoga semuanya lancar, ada yang mengakui si bayi sebagai anak kandungnya, ini luar biasa, dan ini karena seseorang bernama Tikno yang berhati mulia.”
“Benar mas, Surti seorang yang baik, tidak aneh kalau tiba-tiba ada yang mengangkatnya dari kesulitan. Allah lah yang mngirimkan mas Tikno untuk Surti.”
“Tapi ngomong-ngomong kok sejak kemarin kamu melahap semua makanan ya? Tidak merengek minta nasi liwet lagi?” tanya Indra sambil menatap isterinya.
“Iya mas, kok aku doyan... ini tadi aku memasak nasi goreng.. coba-coba saja.. dan nggak mual lho mas.”
“Hm... berarti anakku tidak nakal.. Dia tahu kalau tak ada pembantu disini jadi tidak rewel lagi.”
“Iya mas.. hm.. senangnya, nanti mas mau dimasakin apa?”
“Lho.. langsung menantang nih?”
“Iih, aku rindu masak buat mas...”
“Terserah kamu mau masak apa, tapi aku ingatkan kamu, tetaplah jaga kesehatan, jangan terlalu capek. Kamu tidak sedang sendiri, tapi membawa janin yang harus kamu jaga juga.”
“Iya aku tahu, nanti masak yang ringan-ringan saja. Tapi kalau suaru hari masih ingin nasi liet, mas harus mau mengantarnya.”
“Lho.. masih nasi liwet lagi?” tanya Indra sambil melotot lucu..
“Barangkali masih ingin, so’alnya tiba-tiba aku suka banget sama nasi liwet.”
“Iya.. nggak apa-apa. Ini nasi gorengnya boleh nambah nggak?”
“Ee.. kok pakai nanya sih, habisin saja.. ini hanya untuk aku dan mas.”
“Nanti kamu kurang...”
“Aku sudah kenyang.”
“Oke deh.. aku juga merasa enak makan masakan isteriku pagi ini.”
Barangkali perasaan yang mulai lega, seperti benang kusut yang perlahan terurai, maka suasana jadi nyaman, makan pun terasa nikmat. Karena masalah Surti sebenarnya juga menjadi masalah yang membebani pikiran mereka. Syukurlah, semoga semuanya baik-baik saja.
***
Seruni selesai masak, sudah menatanya di meja. Sekarang sa’at makan siang di rumah, tak lama lagi Indra pasti pulang.
Seruni sudah mandi dan berdandan cantik, dengan memakai baju hamil yang dibelikan suaminya. Ia duduk diteras dan menunggu, sambil sesekali menoleh ke arah jam dinding yang tampak dari sana.
“Kok terlambat sih mas Indra, masih banyak pekerjaan barangkali. Hm, aku sudah mulai berkeringat, tidak wangi lagi dong,” Katanya sambil mencium lengan bajunya.
“Nggak ah, masih wangi,” bisiknya pelan. Tak sadar bahwa beberapa waktu yang lalu dia selalu mual setiap kali mencium aroma wangi. Sekarang bahkan tubuhnya dan bajunya berbau sangat wangi, berharap suaminya akan menyukainya.
Seruni hampir masuk ke dalam dengan kesal, ketika tiba-tiba didengarnya mobil suaminya masuk ke halaman.
Seruni tersenyum lebar. Sambil memegangi perutnya yang semakin membuncit, ia berdiri menunggu.
Indra agak lama turun, dan begitu turun dan melangkah mendekati, sebelah tangannya disembunyikan di balik tubuhnya.
Dengan sebelah tangannya Indra memeluk isterinya.
“Hm.. isteriku cantik bener, dan harum nih... hm.. serasa tak ingin melepaskan kamu.. “
“Mas... itu mas bawa apa, kok disembunyiin di belakang?”
Indra melepaskan pelukan itu, dan mengeluarkan seikat mawar warna warni yang sangat indah.
“Tararaaaa......”
“Wau... mawar... Hmmh... aku suka...”
“Hm, malah mencium mawarnya, bukannya mencium suaminya..” gerutu Indara sambil cemberut lucu.
Seruni terkekeh.
“Mas... sini...” Seruni menarik wajah suaminya dan mencium kedua pipinya.
“Tumben mas romantic siang ini..” katanya sambil menarik suaminya ke dalam.
“Eeh... kata siapa cuma siang ini.. aku ini suami yang romantis tau.. selamanya aku romantis.”
Seruni merangkul pinggang suaminya.
“Hm, bau asem..” kata Seruni sambil mengernyitkan hidungnya.
Indra justru memeluknya erat dan mendekapkan kepala Seruni ke dadanya.
“Mas cuci tangan dulu, aku sudah siapkan makan siangnya..” kata Seruni sambil mengambil vas bunga, mengisinya sedikit air dan menata mawarnya di meja di dekat meja makan.
Seruni duduk menunggu sambil memandangi mawar yang baru ditatanya.
“Hari ini aku menemukan banyak hal yang berbeda dari isteriku,” kata Indra sambil duduk di depan isterinya.
Seruni berdiri, membalikkan piring suaminya dan menyendokkan nasi di atasnya.
Indra memejamkan matanya, hidungnya menyentuh harum tubuh isterinya.
“Hmm...”
“Mas bilang apa, apa yang berbeda dari aku?”
“Kamu rajin memasak, dan kamu tidak segan memakai wangi-wangian... dan kamu berdandan cantik sekali.. “
“Mas suka?”
“Suka dong, laparnya jadi beda nih...” katanya sambil tersenyum nakal.
“Heiii... bapak.. jangan ganggu aku dulu ya...” kata Seruni sambil menjauh dan duduk kembali di depan suaminya.
Indra tertawa lirih, lalu menyantap makan siangnya dengan nikmat.
***
“Kemarin itu, ketika bapak menelpon, rasanya kok bapak seperti marah sama aku ya mas,” kata Surti di dalam kereta yang membawanya pulang.
“Masa sih? Marah bagaimana ?”
“Aku hampir tidak bisa menangkap apa maksudnya, hanya saja, suaranya seperti nada yang penuh kemarahan, sampai terdengar nafas bapak seperti tersengal-sengal begitu.”
“Apakah bapak mendengar sesuatu tentang kamu?”
“Apa bapak tahu kalau aku sedang hamil ya?” Surti balik bertanya.
“Dari mana bapak tahu? Apakah ada selain kita yang mengetahui? Oh ya, jangan-jangan pak Indra atau bu Indra.”
“Tidak, pak Indra atau bu Indra tak akan melakukannya.”
“Lalu kalau benar bapak tahu, dari siapa?”
Surti terdiam. Ingatannya melayang kepada Lusi, yang ketika dia belanja memegang-megang perutnya, dan bicara yang tidak-tidak.
“Jangan-jangan dia.”
“Dia siapa ?”
“Ada seorang wanita, cantik, suka mengganggu aku.. dan dia itu usil.. jangan-jangan dia yang bilang pada bapak bahwa aku hamil.”
“Dia tahu bahwa kamu hamil?”
“Tidak sepenuhnya tahu, tapi ketika aku sedang belanja, dia datang, lalu memegang-megang perutku. Mungkin karena waktu itu kelihatan bahwa perutku agak buncit.”
“Dia kenal sama bapak?”
“Dia sering minta tolong bapak untuk membersihkan atau membetulkan rumahnya. Tapi dia itu usil, dan suka ngomong yang tidak-tidak. Aku tidak suka sama dia.”
“Tapi kan belum tentu juga dia bicara masalah hamil itu.”
“Bagaimana kalau iya? Aku kan harus mempersiapkan jawabannya?”
Tikno terdiam. Kalau itu benar, memang harus ada jawaban yang tidak membuat bapaknya Surti marah. Surti memandangi hamparan sawah dan kebun yang dilewati kereta. Tanaman padi yang sudah mulai berbuah, indah kekuningan, dan meliuk-liuk ketika angin menerpanya.
Tapi pemandangan indah itu tak membuatnya terhibur. Hatinya bergemuruh, berpacu dengan deru kereta yang terus berjalan.
Ternyata kesulitan yang harus dihadapi belum akan selesai. Jawaban yang akan dikatakan kepada ayahnya kalau ternyata dia tahu bahwa dirinya sedang mengndung, harus tak membuatnya gusar. Kalau Tikno mengakui bahwa dialah yang telah menghamili, maka pandangan ayahnya terhadap Tikno pasti akan buruk. Dianggapnya Tikno laki-laki yang kurangajar, Dan lancang merusak kesucian seorang gadis yang bukan apa-apanya. Walau akhirnya akan mengambilnya sebagai isteri, tapi tetap saja dianggapnya Tikno itu buruk. Lalu apa..? Surti tak ingin ayahnya menganggap Tikno lelaki yang buruk.
Tikno pun terdiam. Barangkali dia juga berfikiran sama dengan yang Surti pikirkan.
“Tapi itu kan belum tentu ?” gumam Tikno tiba-tiba.
“Apanya yang belum tentu ?”
“Bahwa bapak mengira kamu hamil ..”
“Bagaimana kalau ya..?”
“Bagaimana kalau untuk sementara kita berbohong?”
“Bohong? Apa perutku ini tidak kelihatan?”
“Belum terlalu tampak. “
“Bohong untuk sementara, nanti pada suatu hari aku akan menceritakan semuanya, begitu mas?’
“Benar. Yang penting bapak yang lagi sakit tidak bertambah sakit. Dan justru akan senang kalau aku benar-benar melamar kamu.”
Surti menghela nafas. Barangkali itu jawaban yang pas untuk kali ini.Dia harus menyangkal kalau bapaknya mengatakan bahwa dia hamil.
Kereta terus melaju, menembus jalan desa di tepi persawahan yang menghijau di kiri kanannya, dan kali ini Surti mencoba menikmatinya.
***
“Pak, dengar-dengar kok penyakit pak Mul belum juga berangsur sembuh ya?”
“Iya bu, nanti aku mau menengok kesana lagi. Sepertinya Mul itu sedang memikirkan sesuatu yang menurutnya berat.”
“Bapak tidak bertanya, apa yang sedang difikirkannya?”
“Tidak, dia tak banyak bicara, masih ada selang oksigen yang membantu pernafasannya.”
“Kasihan.. Apa dia ingin Surti segera menikah ya pak?”
“Mungkin saja. Anak satu-satunya, gadis, sudah berumur, pasti dia memikirkan itu. Tapi masa sih hanya karena itu lalu dia sampai sakit begitu berat?”
“Atau dia sungkan, karena memikirkan biaya rumah sakit yang harus kita berikan untuk dia? Lalu dipikirkannya terus?”
“Aku sudah bilang bahwa aku akan menanggung semuanya.”
“Iya sih, tapi pak Mul itu kan orang yang tidak suka menjadi beban orang lain.”
“Nanti aku akan bicara lagi sama dia. Kamu mau ikut ?”
“Bapak saja, nanti ada kumpulan PKK di kampung kita, nggak enak kalau aku nggak datang lagi.”
“Ya sudah, nanti aku saja sama sopir.”
“Lha Surti akhirnya apa sudah diberi kabar ya pak?”
“Waktu aku bilang, dia melarangnya. Mungkin supaya Surti tidak kepikiran. Katanya nanti akan dia kasih tahu sendiri.”
“Tapi nanti kalau ada apa-apa kita disalahkan lho pak.”
“Nanti aku minta dia supaya mengabari. Kalau dia belum bisa biar aku saja menelpon Indra atau Seruni. Masa bapaknya sakit kok anaknya nggak dikasih tahu.”
***
“Seruni ?” tanya bu Prastowo ketika menelpon menantunya.
“Ya ibu, apa kabar, ibu sehat?”
“Sehat sekali. Kamu bagaimana, cucuku bagaimana? Kamu ingin apa? Masih suka nasi liwet?”
“Aduuh.. pertanyaan ibu banyak sekali..” Seruni tertawa.
“Iya bu, saya dan cucu ibu sehat.. beberapa waktu yang lalu selalu pengin makan nasi liwet, tapi sekarang tidak lagi. Bau masakan tidak lagi mual, tadi sudah mulai memasak sendiri.”
“Syukurlah, senang ibu mendengarnya.”
“Tumben ibu menelpon siang-siang, sudah selesai masak ya bu?”
“Sudah, ini.. aku tuh menunggu bapakmu kok tidak sabar. Ingin mengabari tentang pak Mul. Masa mau bilang pak Mul sakit kepada Surti saja pakai menunggu pak Mul setuju.”
“Oh iya bu, kami sudah tahu kalau pak Mul sakit, tadi pagi Surti berangkat ke Surabaya.”
“Lho, malah sudah tahu? Siapa yang memberi tahu?”
“Surti kemarin menelpon bapaknya, pak Mul bilang bahwa dia sedang dirawat di rumah sakit. Pagi tadi Surti pulang dengan diantar calon suaminya.”
“Haa... calon suami? Surti sudah punya calon suami?”
“Iya bu, mereka kesana sekalian mau melamar kepada pak Mul. Kan pak Mul bapaknya?”
“Syukurlah, ibu senang mendengarnya. Jadi sudah tahu? Itu bapakmu beberapa hari yang lalu mau mengabari Surti, tapi pak Mul melarangnya.”
“O.. mungkin supaya Surti tidak bingung seperti yang terjadi beberapa bulan yang lalu.”
“Tapi Surti kan anaknya, harus diberi tahu. Itu sebabnya aku menelpon kamu, mengapa harus menunggu persetujuan pak Mul. Tapi ya sudah kalau Surti sudah tahu, malah sudah pulang.”
“Iya bu, bapak dimana?”
“Bapakmu sedang ke rumah sakit, kabarnya penyakit pak Mul kok tidak berangsur sembuh.”
“Mudah-mudahan setelah melihat Surti nanti pak Mul segera sembuh.”
“Semoga begitu. Ya sudah, kamu menjaga diri dan kandunganmu baik-baik ya? Kapan-kapan ibu sama bapak mau ke Solo lagi.”
“Iya bu.”
***
“Mul.. kamu ini kenapa.. apa ada yang kamu fikirkan ?”
Pak Mul menggeleng lemah. Ia enggan berbicara, kalau berbicarapun nafasnya tampak terengah engah.
“Dengar Mul, kamu tidak usah memikirkan apa-apa. Semua biaya sa’at kamu sakit ini aku yang menanggung. Karena kamu bukan orang lain bagi aku, jadi kamu tidak usah memikirkannya. Kamu hanya harus bersemangat dan karena semangat kamu itu, maka kamu akan segera pulih.”
Pak Mul terdiam, tapi dia tampak mendengarkan kata-kata pak Prastowo. Kepalanya mengangguk pelan.
“Sekarang aku mau mengabari Surti ya, kasihan kalau Surti tidak tahu bahwa kamu sakit.”
Tapi pak Mul menggeleng –gelengkan kepalanya.
“Kenapa Mul? Surti harus tahu, syukur bisa datang kemari..”
Tiba-tiba ponsel pak Prastowo bordering. Pak Pras berdiri, berjalan agak menjauh dari tempat pak Mul berbaring.
“Ada apa bu?” tanya pak Prastowo. Yang menelpon ternyata isterinya.
“Surti ternyata sudah tahu bahwa bapaknya sakit. Kemarin dia menelpon bapaknya.”
“Oh, syukurlah. Dari mana ibu tahu?”
“Tadi aku menelpon Seruni. Dia mengatakan bahwa Surti dalam perjalanan kemari, bersama calon suaminya.”
“Ha, calon suami?”
“Iya pak, dia datang untuk melamar Surti. Semoga ini bisa menjadi obat bagi pak Mul.”
“Ya sudah bu, aku mau bilang sama Mul, biar dia senang.”
Pak Pras mendekati pak Mul, memegang tangannya pelan.
“Mul, ada kabar baik, anakmu.. Surti.. dalam perjalanan kemari..”
Pak Mul membuka matanya.
“Dia datang bersama calon suaminya.”
Pak Mul menatap pak Pras sambil melebarkan matanya.
“Dia akan melamar anakmu Mul, kamu harus berbahagia, dan segera sembuh.”
“Dia.. bersama .. mas Indra?”
Pak Pras menatap pak Mul dengan heran.
“Kok Indra sih Mul...”
***
Bersambung..
No comments:
Post a Comment