BUAH HATI 20
(Tien Kumalasari)
Tiba-tiba pak Mul merasa dadanya sakit, ia berjalan tertatih kearah sebuah kursi dimana ada sebuah bangku terletak disana.
Terengah pak Mul duduk, sambil menyandarkan tubuhnya dikursi itu.
Pak Prastowo yang melihatnya dari kejauhan agak heran melihat pak Mul bersandar di kursi dihalaman. Bergegas pak Prastowo turun kehalaman, mendekati pak Mul.
“Mul.. kamu ngantuk? Mul... Mul.. kok diam?” pak Prastowo mengguncang tubuh pak Mul keras, tapi pak Mul tak bergerak.
“Bu.. bu.. panggilkan sopir...!!” teriak pak Prastowo.
“Kenapa pak?”
“Cepat panggilkan, Mul pingsan lagi, suruh ngantar ke rumah sakit cepat.”
Bu Prastowo memanggil sopir yang lagi makan dibelakang, dan segera menyuruh membawa pak Mul kerumah sakit.
***
“Kenapa lagi pak Mul tadi?”
“Kumat lagi, mungkin tekanan darahnya naik, aku lihat dia sudah bersandar dikursi taman, aku kira tidur, ternyata pingsan.”
“Untung bapak melihatnya sehingga bisa cepat dibawa kerumah sakit.”
“Harus mengabari Surti apa tidak ya bu?”
“Nanti saja pak, kalau sudah jelas keterangan dari dokter. Nanti Seruni yang lagi hamil ikut terkejut, lalu mempengaruhi janin yang dikandung.
“Ya sudah, kita tunggu saja beritanya dari rumah sakit.”
“Mikir apa pak Mul, atau kecapekan pak, harusnya jangan disuruh menyirami tanaman yang begitu luasnya.”
“Kalau Cuma menyirami kan tidak berat bu, tinggal mengucurkan air dari selang. Beberapa hari yang lalu malah pamit, katanya ada yang minta tolong membetulkan rumah bocor.”
“Naa.. itu barangkali penyebabnya, terlalu capek. Sebetulnya orang seperti pak Mul itu kan tidak lagi menerima pesanan orang yang minta tolong. Kebanyakan memerlukan tenaga dan itu berat.. Ya kan?”
“Nanti akan aku peringatkan dia supaya tidak bekerja terlalu keras. Gaji yang kita berikan aku rasa cukup untuk dia, sementara makan minum sudah ikut kita.”
“Iya, lagi pula Surti juga sering mengiriminya uang.”
“Tapi terkadang Mul itu terlalu baik. Ukurannya bukan uang. Ia hanya suka menolong.”
“Menolong itu kan kalau dia bisa melakukannya, kalau badannya tidak kuat ya tidak boleh dipaksa.”
“Benar, nanti harus diperingatkan.
***
Sore itu Tikno datang kerumah Indra. Kebetulan Indra ada dirumah.
“Ma’af, bolehkah saya bertemu Surti?”
“Ini yang namanya mas Tikno ya?” Tanya Indra.
“Betul pak, saya Tikno.”
“Oh, ya.. baru sekali ini bertemu saya ya mas, saya Indra.”
Tikno menyalami Indra dengan penuh hormat.
“Silahkan duduk mas, “
“Terimakasih pak. Ma’af mengganggu.”
“Tidak, saya juga ingin mengucapkan terimakasih karena mas Tikno berkali-kali menyelamatkan Surti.”
“Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan. Siapapun orangnya pasti juga akan melakukan hal yang sama kalau melihat situasi seperti itu,” kata Tikno merendah.
“Iya, kebetulan mas Tikno yang melakukannya. Baiklah, saya panggilkan dulu Surti.”
Indra masuk kedalam dan memanggil Surti, yang segera keluar menemui Tikno.
“Siapa mas?” tanya Seruni.
“Mas Tikno. Tampaknya sangat perhatian sama Surti.”
“Syukurlah, biar Surti terhibur karena ada yang memperhatikannya. Semoga saja bisa jadian.”
“Ehem.. iya. Semoga.”
“Mas ayo keluar...”
“Itu ada tamu, kita tinggal saja?”
“Nggak apa-apa mas, biar saja berbincang berdua. Mas Tikno kelihatannya baik kok.”
Indra dan Seruni berpamit untuk keluar, karena seperti biasa Seruni merengek minta makan nasi liwet.
“Surti, kami keluar dulu sebentar ya,” kata Seruni.
“Oh iya bu..”
“Buatkan minum dan suguhan untuk mas Tikno dong, masa dibiarkan saja?” tegur Seruni.
“Iya saya buatkan.”
“Sudah, tidak usah repot,” kata Tikno, tapi Surti nekat masuk kedalam.
“Namun sebelum Indra dan Seruni memasuki mobil, dilihatnya dua orang polisi masuk kehalaman rumah.”
Surti yang baru keluar dengan membawa minuman, menatapnya dengan hati berdebar.
“Silahkan diminum mas,” kata Surti tanpa mengalihkan pandangannya .dari majikannya yang sedang berbincang dengan polisi didepan mobilnya.
“Ada apa Surti?”
“Itu, ada polisi... aku kok merasa nggak enak mas.”
“Mengapa difikirkan, kalau kita tidak melakukan apa-apa, tidak usah merasa takut, ya kan?”
Surti mengangguk, tapi ia terus melihat kearah depan.
Tak lama kemudian Indra kembali kerumah, diteras ia mengulurkan sebuah surat kepada Surti.
“Surti, rupanya orang yang merampok kamu sudah tertangkap. Tapi polisi mengharap kamu bisa datang ke Ngawi untuk memberi kesaksian.”
Surti terkejut.
“Ssaya..? Tidak.. mengapa saya harus kesana lagi?”
“Mungkin kamu hanya akan ditanya, apa benar yang ditangkap itu orang yang telah menipu dan merampok kamu.”
“Surti, jangan takut, kalau memang kamu harus kesana, biarlah saya mengantar kamu.”
“Tuh, mas Tikno akan mengantar kamu.”
Surti tetap saja ketakutan. Bayangan kejadian yang telah lampau kembali melintas di benaknya. Wajahnya berubah pucat.
“Ya sudah, saya pergi dulu. Permisi mas Tikno, katakan kepada Surti bahwa tak ada yang perlu ditakutkan, apalagi kalau mas Tikno bersedia menemani,” kata Indra sambil beranjak pergi.
Tikno mengangguk mengiyakan.
Surti masih terdiam, wajahnya benar-benar pucat.
“Mengapa takut Surti? Aku akan menemani kamu, dan kamu hanya disuruh menyaksikan, apakah benar dia orang yang telah menipu kamu dan merampok semuanya.”
“Aku tidak akan ditahan disana bukan?”
“Tentu saja tidak. Kapan mau berangkat, bilang sama aku.”
“Bukankah mas harus bekerja?”
“Aku bisa minta ijin. Tidak apa-apa.”
“Aku merepotkan mas Tikno.. “
“Tidak... aku senang melakukannya untuk kamu.”
***
Pak Prastowo dan isterinya memasuki ruangan dimana pak Mul dirawat. Ada jarum infus menancap dilengannya dan selang oksigen tersambung dihidungnya. Tapi pak Mul tampak terjaga. Ada kilat behagia melihat pak Pras datang bersama isterinya.
“Bagaimana keadaanmu Mul?”
“Syukur sudah sadar pak Mul.”
“Terimakasih banyak pak, bu, saya menyusahkan saja. Saya sudah tua dan sakit-sakitan, “ bisiknya pilu.
“Jangan ngomong begitu Mul, kamu sudah seperti keluarga saya sendiri. Kalau kamu sakit aku ya sakit Mul.”
“Terimakasih banyak pak, saya hanya dekat dengan bapak, anak satu-satunya jauh..” dan tiba-tiba pak Mul tampak berlinang air mata.
“Mul, kamu itu kenapa, jangan sedih, kalau baru diberi sakit, diterima dengan ikhlas, kamu sudah ditangani dokter, pasti akan sembuh.”
Pak Mul teringat kata-kata Lusi, bahwa Surti mengandung anak Indra. Ia ingin mengatakannya tapi sungkan. Ia sungguh bingung, lupa bahwa pak Pras pernah berkata bahwa tak usah mendengarkan kata-kata Lusi. Ia sangat terpukul.
“Apa kabarnya mas Indra?” akhirnya itu yang diucapkan pak Mul.
“Baik, dia pasti senang, isterinya sudah mengandung.”
“Benar, isterinya sudah mengandung, tapi mengapa menghamili anakku?” batin pak Mul.
Mata pak Mul tampak menerawang jauh.
“Mul, kamu tidak usah memikirkan apa-apa, yang penting kamu sehat. Ini aku belum mengabari Surti, bahwa kamu sakit, apa kamu ingin mengabarinya sendiri ?”
Pak Mul menggeleng.
“Bagaimana, kok geleng-geleng?”
“Nggak usah mengabari dia pak, biar saja.”
“Lho, nanti disalahkan lho, bapaknya sakit kok nggak mengabari.”
“Nanti gampang pak.. biar saya saja.”
Pak Mul masih tampak letih, nafasnya terasa sesak.. itu sebabnya ada selang oksigen yang membantu pernafasannya.
“Saya ingin segera pulang..”
“Tidak Mul, kamu sehat dulu baru bisa pulang. Jangan memikirkan biaya, aku yang menanggung semuanya, sampai kamu sembuh.”
“Tapi pak...”
“Sudah, jangan banyak bicara, pokoknya jangan memikirkan apa-apa, dan jangan tergesa minta pulang.”
***
Hari itu Surti jadi memenuhi panggilan polisi ke Ngawi. Wanita yang ditangkap, benar. Laki-laki yang bersamanya, Surti lupa-lupa ingat. Sa'at itu malam, dalam keadaan setengah sadar.. bagaimana Surti mengingatnya?
Laki-laki itu sudah berumur, mungkin 40 tahun atau lebih. Menatap Surti dengan marah. Surti menatapnya dengan jijik. Ia memegang lengan Tikno erat-erat.Polisi menawarkan agar laki-laki itu mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan menikahi Surti, tapi Surti menolaknya mentah-mentah. Ia tak sudi bersuamikan laki-laki menjijikkan yang namanya Surti tak mau mendengar atau mencatatnya. Untunglah proses itu segera berakhir.
Dalam perjalanan pulang itu Surti banyak terdiam. Tikno selalu mengajaknya bicara agar Surti melupakan semuanya.
Ketika itu malam hari. Duduk didalam kereta sa’at malam, membuat Surti teringat kisah pedih yang dialaminya. Bersikap baik dengan orang yang duduk disampingnya, tapi ternyata menjerumuskannya kedalam jurang penuh duka dan sengsara. Karenanya ia tak berani memejamkan mata, walau kantuk menderanya.
“Tidurlah, ini sudah malam.”
“Iya mas, tak bisa tidur. Disa’at seperti inilah aku berbincang dengan wanita itu. Bertanya banyak hal, lalu menawarkan minuman.”
Surti menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Surti, kamu harus melupakannya.”
“Tapi ada jejaknya yang terus mengikuti aku. Jejak dimalam laknat itu.. yang tak aku sadari akibatnya, kemudian membuatku menjadi manusia hina, rendah, nista.. kalau ingat itu lebih baik aku mati.”
“Jangan begitu Surti,” Tikno menarik tangan Surti dan menggenggamnya erat.
“Kamu harus kuat...”
“Ini mendera perasaan aku seumur hidup.. aku benci bayi ini.. aku benci jejak laknat ini...,” isaknya.
Tikno mendekap Surti kedalam pelukannya. Menoleh kekiri.. ia melihat penumpang sudah pulas semua. Namun ia mencegah Surti menangis lebih keras.
“Dengar Surti, ini ditempat umum. Jangan sampai kita menjadi perhatian banyak orang.”
Surti memperlambat isaknya. Ia merasa pertemuannya dengan kedua penjahat itu seperti membuka luka yang sebenarnya memang belum mengering.
“Kamu tidak sendirian, aku akan menemani kamu dan membuat kamu kuat.”
Surti menghentikan tangis nya, menatap Tikno dengan sendu.
“Itu benar..” bisik Tikno.
Dan tiba-tiba Tikno menyadari bahwa rasa kasihan yang semula tumbuh terhadap gadis disampingnya ini, sudah berubah menjadi perasaan yang berbeda.
Apakah itu cinta? Entahlah. Tapi bahwa Tikno ingin menemani dan membuat Surti kuat, seperti sebuah ungkapan tentang setumpuk janji, yang diharapkannya Surti akan mengerti dan mempercayainya.
Lalu apa maksudnya menemani?
Surti tak bereaksi, tapi sorot matanya mengatakan bahwa dia merasa tenang berada disamping Tikno.
***
“Surti, kamu tampak letih,” sapa Seruni ketika ia sudah sampai dirumah dengan diantar Tikno.
“Iya bu, semalam saya nggak bisa tidur.”
“Ya sudah kamu istirahat saja dulu. Tapi bagaimana? Sudah ketemu para penjahat itu?”
“Benar orangnya bu, mungkin segera diproses. Saya tak tahan ada disana terlalu lama.”
“Iya Surti, aku bisa mengerti, kamu harus tenang sekarang, yang bersalah akan menjemput hukumannya. Lalu bagaimana pertanggungan jawab laki-laki busuk itu yang telah melukai lahir batin kamu?”
“Saya tidak sudi punya suami seperti dia. Melihatnya saja saya merasa jijik.”
“Ya sudah, sekarang kamu mandi dan istirahat, tidak usah mengerjakan apa-apa.”
“Saya kan harus belanja dan memasak?”
“Tidak untuk hari ini Surti. Kita bisa beli lauk diluar, saya bisa pesan, kamu ingin apa?”
“Ibu jangan menawari saya, saya apa saja doyan bu.”
“Baiklah, sekarang kamu mandi dan beristirahat saja.”
“Terimakasih bu.”
Surti kebelakang dan mandi. Tapi tiba-tiba ia ingin sekali berbincang dengan bapaknya. Maka diambilnya ponselnya.
“Kamu ?”
“Saya bapak, Surti.. apa kabar bapak?”
“Baik.. “ jawab pak Mul singkat.
“Bapak sehat ?”
“Ya, sehat.”
“Surti kangen sama bapak.”
“Kamu tahu, bapak ada dirumah sakit.”
“Bapak? Sakit lagi?”
Nafas pak Mul mendadak menjadi terengah-engah.
“Bapak.. bapak kenapa?”
“Bapak begini... karena... kamu...”
“Bapak, mengapa bapak berkata begitu ?”
“Kamu ini sebenarnya perempuan apa?”
“Bapaaak..!”
“Kamu tega melukai majikanmu sendiri..”
Surti kebingungan mendengar kata-kata bapaknya. Ia ingin menjawab tapi pak Mul sudah menutup pembicaraan itu. Surti balik menghubunginya tapi pak Mul sudah mematikan ponselnya.
Surti merasa sangat khawatir. Tadi bapaknya seperti terengah-engah begitu. Apakah sakitnya parah?
Berbaring dikamar sampai sore tak sedikitpun Surti bisa memincingkan mata. Ia harus pulang ke Surabaya. Tapi tidak malam ini, jadi besok pagi saja.
Surti keluar dari kamar, ingin membuat minuman hangat seperti biasanya, tapi ternyata Seruni sudah membuatnya. Ia mendengar suara televisi, berarti majikan gantengnya sudah pulang.
“Ma’af bu, biar saya saja..” kata Surti.
“Kamu sudah bangun ? Istirahat saja dulu, baru besok kamu boleh bekerja. Jangan bandel Surti.”
“Tidak apa-apa bu, biar saya saja.”
Karena Surti nekat maka Seruni membiarkan Surti membuat teh hangat sore hari itu.
“Kalau kamu mau makan, aku tadi memesan soto dan perkedel. Tapi harus dipanasii dulu karena kalau dingin kan kurang enak.”
“Ya bu, terimakasih.”
Ketika sudah meletakkan teh hangat dimeja, Surti mengutarakan keinginannya pulang ke Surabaya.
“Pulang? “
“Bapak masuk rumah sakit lagi bu, “ Kata Surti sedih.
“Sakit apa?”
“Pastinya kumat darah tingginya bu, saya tahunya juga tadi ketika menelpon bapak. Kok bapak tidak memberitahu kalau sakit. Hati saya merasa tidak enak.”
“Baiklah Surti tapi besok saja ya, jangan malam ini.”
“Iya bu.. terimakasih ya bu,” kata Surti sambil menjauh, Seruni menatapnya dengan rasa iba.
“Pak Mul sakit apa lagi ya?” tanya indra yang semula diam.
“Bapak kok ya tidak memberi kabar.”
Tiba-tiba bel tamu berdering. Indra bergegas kedepan.
“Mas Tikno? Silahkan duduk, saya panggilkan Surti.”
“Sebelumnya saya mau bilang dulu sama bapak. Dan pastinya ibu.”
“Oh ya? Seruniii ! Sini sebentar,” teriak Indra.
Seruni keluar dengan heran, melihat Tikno sudah duduk bersama suaminya.
“Mas Tikno ingin bicara, sama kita.”
“Surti ?” tanya Seruni.
“Sama pak Indra dan bu Indra dulu saja.”
“Oh ya, tampaknya penting. Bukan karena Surti ingin bunuh diri lagi?” seloroh Indra.
“Tidak pak. Sebetulnya ini berawal dari rasa kasihan saya kepada Surti. Tapi lama kelamaan saya terus kepikiran, bahwa Surti membutuhkan seorang pendamping yang bisa menguatkan dia.”
“Itu betul mas Tikno.”
“Saya sudah memikirkannya masak-masak, bahwa saya ingin melamar Surti.”
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment