BUAH HATI 19
(Tien Kumalasari)
Tikno menarik Surti ketepi jalan, lalu meminggirkan motornya. Surti terpaku dibawah sebuah pohon waru, menatap kejalan dengan pandangan bingung.
“Apa yang akan kamu lakukan lagi mbak? Ya Tuhan, bagaimana aku bisa melihat mbak ketika mbak ingin melakukannya lagi?”
Surti masih terdiam, bingung mengapa bisa bertemu Tikno lagi, dan mengapa tadi dia ingin lagi bunuh diri?
“Surti, kamu tidak usah bersedih. Biarlah kamu mengandung, rawat kandunganmu dengan baik, nanti kalau anakmu lahir, biar menjadi anakku,” itu kata Seruni ketika menghiburnya beberapa hari yang lalu. Tapi mengapa dia tetap tak bisa menerima anak yang dikandungnya?
“Mengapa mbak masih ingin melakukannya?”
Surti menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya basah, wajahnya pucat.
Tikno mengajaknya duduk disebuah bangku yang kebetulan ada ditepi jalan itu.
Surti duduk, matanya masih menatap kosong. Tikno menampar pipi Surti agak keras.
“Auwww !” Surti memekik, lalu menatap Tikno dengan wajah sendu, dan air matanya kemudian bergulir.
“Ada setan merasuki jiwa mbak Surti. Istigfar mbak.. istigfar... Astaghfirullah ..”
“Astaghfirullah...” Surti mengucapkannya lirih sekali.
“mBak mau kemana ?”
Surti tiba-tiba berdiri dan melangkah pergi. Tikno mengejarnya.
“mBak, tunggu mbak...” dan Tikno sudah berjalan disampingnya.
“Mari saya antar pulang, jangan berjalan kaki. Rumah pak Indra tidak jauh dari sini kan? Mari saya antar saja,” kata Tikno sambil menarik tangan Surti.
“Saya mau belanja,” katanya pelan.
“Kemana ?”
“Pasar.”
“Baiklah, saya antar saja, tunggu disini.”
Tikno mengambil sepeda motornya, lalu mempersilahkan Surti naik.
“Pasar kan sebelah sana, mengapa mbak berjalan kesini?”
Surti tak menjawab, tapi ia menurut, naik di boncengan motornya Tikno. Dipasar yang dimaksud, Tikno berhenti, dan Surtipun turun.
“Mau belanja apa?” tanya Tikno.
Surti membuka dompet dan mengambil kertas berisi catatan belanjaan.
“Ya sudah, belanja saja, saya menunggu disini. Ingat ya, saya menunggu disini.”
Surti mengangguk lalu masuk kedalam pasar.
Tikno geleng-geleng kepala.
“Mengapa aku bertemu lagi dengan dia?” gumamnya pelan.
Tikno duduk diatas sadel sepeda motornya, pikirannya melayang kearah dua tahun silam, ketika isterinya meninggal karena penyakit asma yang dideritanya. Sa’at itu usia perkawinannya baru satu tahun, dan belum dikaruniai seorang anakpun. Sungguh sa’at itu Tikno bergitu terpukul, dan tak bisa menghilangkan bayangan isterinya sampai berbulan-bulan. Baru setahun ini dia bangkit dan kembali bersemangat. Bahwa mati dan hidup bukanlah miliknya, itu sangat dimengertinya. Itu sebabnya dia sangat perduli ketika melihat seorang wanita ingin bunuh diri. Bahkan ingin diulanginya niat itu untuk yang kedua kalinya. Gadis yang masih belia dan cantik. Haa.. Tikno baru menyadari bahwa Surti memang cantik. Lalu rasa iba itu muncul begitu saja, dan rasa ingin melindungi juga tertanam begitu saja dihatinya.
“Ada apa dengan diriku?” bisiknya pelan.
Tikno sedang bertugas mengirimkan pesanan disebuah toko, karena bagian pengiriman tidak masuk hari itu. Dan sekarang, begitu selesai mengirimkan barang, dia begitu rela mengantar dan menunggui gadis yang baru dua kali dikenalnya itu dengan sabar. Ada rasa khawatir kalau Surti melakukannya lagi. Dan ada rasa sayang kalau gadis semuda itu meninggal dengan cara yang sangat tak terpuji.
Tikno mengibaskan perasaannya, ketika Surti sudah muncul kembali dihadapannya, dengan membawa tas belanjaan yang tampak berat. Tikno turun dan meminta tas belanjaan itu untuk ditaruhnya didepan, agar Surti bisa duduk di bocengan dengan nyaman.
“Naiklah, sekarang kemana lagi?”
“Pulang.” Jawab Surti singkat.
***
Setelah sampai dirumah Indra, Tikno memaksa masuk. Ia harus berpesan kepada bu Indra agar hati-hati membiarkan Surti keluar, karena sudah dua kali ingin bunuh diri.
Seruni terkejut mendengar penuturan Tikno.
“Tampaknya Surti masih belum bisa menerima keadaannya. Padahal saya sudah berusaha menenangkannya.” kata Seruni.
“Mungkin dia masih labil bu, terkadang bisa tenang, tapi terkadang masih merasa ada sesuatu yang membuatnya kecewa, dan tertekan.”
“Baiklah, lain kali saya tak akan menyuruhnya keluar sendiri.”
“Begitu lebih baik bu.”
“Kok ya kebetulan mas Tikno melihatnya ketika dia berusaha bunuh diri lagi.”
“Saya juga tidak tahu bu, setelah selesai mengirimkan pesanan disebuah toko, saya melihat mbak Surti mau melompat kejalan raya.”
“Jangan-jangan mas Tikno memang berjodoh sama Surti. Eh ma’af, bercanda. Pastinya mas Tikno sudah mempunyai keluarga, ya kan?”
“Tidak bu, saya duda.”
“Ooh...”
“Isteri saya meninggal dua tahun yang lalu.”
“Innalillah... sakit apa mas?”
“Dia punya penyakit asma yang sudah parah. Hari itu asmanya kambuh, sementara dia kehabisan obat semprot hidung yang selalu dia pakai. Padahal hari sudah malam. Saya mencari apotik yang buka duapuluh empat jam, tapi ketika sampai dirumah dia sudah tak tertolong,” kata Tikno sendu.
“Ya sudah mas, mas Tikno sabar ya, semoga isteri mas Tikno tenang disana.”
“Aamiin..”
“Dan semoga segera mendapat gantinya ya mas.”
“Aamiin.. terimakasih bu Indra..” lalu Tikno tiba-tiba membayangkan wajah Surti. Gadis yang sedang tenggelam dalam petaka yang menindasnya. Tikno menghela nafas.
“Semoga saya bisa menghiburnya,” bisiknya dalam hati.
***
“Surti...”
Surti yang sedang berkutat menata barang-barang belanjaannya menoleh kearah majikannya.
“Bukankah aku sudah memberi tahu bahwa aku akan mengambil anakmu kelak? Kamu jangan sedih, kamu aman dirumah ini, kami akan melindungi kamu.”
“Iya bu.”
“Jangan pernah lagi melakukan hal bodoh itu Surti.”
“Iya bu.”
“Kamu harus berterimakasih pada mas Tikno, dia selalu menolong kamu. Dan herannya, kok selalu dia kebetulan ada . Barangkali memang dia berjodoh sama kamu."
Surti mengangkat kepalanya. Kata ‘berjodoh’ itu mengusik perasaannya. Terbayang wajah kebapakan bermata teduh yang bibirnya selalu melantunkan kata-kata petuah. Alangkah senangnya bisa berjodoh dengan laki-laki yang penuh belas kasih itu. Tapi kemudian angan-angan itu surut.
“Siapa yang mau dengan gadis yang ternoda seperti saya?” bisiknya sedih.
“Kamu tidak ternoda. Kamu gadis baik yang menjadi korban kejahatan seseorang. Kamu pasti akan mendapatkan jodoh yang baik Surti.”
“Aamiin. .” lalu Surti melanjutkan menata barang belanjaan.. sambil diam-diam membayangkan wajah laki-laki bermata teduh itu. Lalu ia menghela nafas panjang.
"Besok kalau aku ke dokter Melani, kamu ikut ya, supaya kandunganmu juga diperiksa."
Surti menatap majikannya, tak menjawab apapun.
“Ibu mau dimasakin apa?”
“Terserah kamu Surti, aku mau masuk kamar dulu kalau kamu memasak, heran aku kalau bau masakan pasti mual.”
“Iya bu, oseng kacang panjang sama goreng ikan ya bu.”
“Boleh.. boleh. Aku heran, kamu hamil kok tidak merasakan apa-apa. Aku masuk kamar dulu Surti.”
Surti juga heran, kehamilannya tak menimbulkan tanda-tanda seperti orang ngidam. Tidak mual dan tidak menginginkan sesuatu yang khusus. Makanan apa saja masuk ke perut. Syukurlah, kalau dia ngidam juga siapa yang akan mengurus rumah ini?
***
Tapi selesai masak Surti juga kemudian merasa kelelahan. Ia berbaring dikamarnya. Ingin tidur sebentar saja tapi walau mata terpejam, tak sedikitpun dia bisa terlelap. Lalu sebuah dering ponsel mengejutkannya. Tak ada namanya. Siapa ya, kalau mbak Susi lagi ia akan langsung menutupnya.
“Hallo...”
“Surti... eh.. mbak Surti..” suara dari seberang, sangat dikenalnya. Pemilik mata teduh dan suara kebapakan itu.
“Mas Tikno ya?”
“Ya Surti.. eh.. mbak Surti.. aduh.. tiba-tiba aku gugup.”
“Panggil Surti saja lebih enak, saya sungkan dipanggil mbak.”
“Baiklah, aku senang mendengar suara kamu sudah lancar. Semoga kamu sudah merasa tenang sekarang.”
“Iya mas.. aku baik-baik saja.”
“Lagi ngapain?”
“Sudah selesai masak, sekarang lagi berbaring di kamar.”
“Syukurlah, memang harus banyak beristirahat supaya bisa lebih tenang.”
“Ya mas..”
“Tidak keberatan kalau aku sering menelpon kamu?”
“Tidak mas, aku senang.”
“Baiklah, kali ini sekian dulu, aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”
“Terimakasih mas.”
“Terimakasih kembali Surti. Ini aku masih di kantor, biasanya sore baru pulang.”
“Selamat bekerja mas.”
Surti meletakkan ponselnya dan dadanya berdegup kencang. Laki-laki yang baru dua kali bertemu dengannya ini sungguh sangat perhatian terhadapnya. Ada mimpi terselip diangan-angannya. Tapi itu kan hanya mimpi. Tak mungkin Surti bisa meraihnya.
“Aku ini kotor. Jangan banyak berharap Surti,” gumamnya, lalu mencoba kembali memejamkan matanya, tapi wajah kebapakan itu tak juga hilang dari benaknya.
***
“Mencoba bunuh diri lagi?” kata Indra hampir berteriak ketika Seruni menceritakan kejadian siang tadi.
“Dan yang anehnya, laki-laki bernama Tikno itu kembali melihatnya dan menyelamatkannya.”
“Masa? Jodoh barangkali..”
“Aku juga berfikir begitu.”
“Apa dia lajang?”
“Duda mas.”
“Bisa juga nih. Tapi kamu jangan lagi menyuruh Surti keluar rumah, apalagi sampai ke pasar. Itu lumayan jauh.”
“Iya mas, aku pikir dia sudah tenang. Tapi besok-besok aku tak akan menyuruhnya lagi. Belanja cukup di tukang sayur saja, seadanya. Kalau butuh apa-apa juga bisa pesan kok.”
“Pikiran Surti belum bisa tenang. Bagaimanapun keadaan itu pasti mengganggunya.”
“Iya mas, aku bisa mengerti. Kasihan dia. “
“Isteriku dari tadi tiduran saja dikamar nih?”
“Bau masakan Surti mas, aku mual. Tapi aku heran Surti yang sama-sama hamil tidak seperti orang ngidam. Tidak mengeluh bau-bauan, makan apa saja mau.”
“Kita harus bersyukur, karena kalau Surti benar-benar ngidam seperti kamu, bisa-bisa aku yang masak setiap hari.”
“Wah, asyik dong. Tapi aku yakin kalau itu terjadi, lauk kita setiap hari adalah telur ceplok,” kata Seruni sambil tertawa.
“Hahaaa,,, iya, biarin saja.. “
“Suamiku, Tuhan sudah mengatur segalanya, sehingga suamiku tersayang ini tidak harus menjadi emak-emak yang setiap hari berkutat dengan segala kebutuhan rumah tangga .. “
“Tapi kata dokter Melani, ini tidak akan berlangsung lama. Setelah empat bulan kehamilan biasanya segalanya sudah menjadi biasa. Ibu hamil bisa makan banyak .. dan bisa mengerjakan sesuatu seperti biasanya. Cuma aku tetap tidak ingin isteriku kecapekan.”
“Berarti kira-kira bulan depan aku sudah bisa makan seperti biasa dan tidak mual-mual ya mas.”
“Semoga saja begitu.”
“Sekarang aku pengin nasi liwet..”
“ Haa... Seruni.. ini masih sore dan nasi liwet akan ada dimalam hari nanti. Jangan rewel ya.”
“Iya nih,,,”
“Oh ya, tadi aku beli beberapa potong baju hamil, aduh.. tertinggal dimobil. Sebentar aku ambil."
Seruni tertawa lebar melihat suaminya membuka bungkusan, dan memperlihatkan empat lembar baju hamil yang warnanya sesuai dengan selera Seruni.”
Seruni tersenyum . Sejak kapan Indra bisa memilih baju? Biasanya selalu minta isterinya memilih sendiri.
“Mas, bagaimana mas bisa memilih baju sebagus ini?”
“Aku kan tahu selera kamu seperti apa. Tadi aku hanya bilang kepada penjual, mana baju-baju hamil? Lalu dia menunjukkan baju-baju hamil, dan aku memilih empat diantaranya. Kamu suka?”
“Aku suka sekali mas, tapi harus dicuci dulu, aku nggak suka baunya.”
“Iya, yang penting kamu suka dulu. Biar aku bawa kebelakang ya.”
Seruni mengangguk dan tersenyum bahagia.
***
Pagi hari itu ketika Surti berbelanja, tiba-tiba melihat mobil berhenti disamping pagar. Surti masih terus memesan sayur tanpa memperhatikan siapa yang datang.
“Surti...”
Surti menoleh dan agak kesal melihat Lusi sudah berdiri didekatnya.
“Surti... ini.. aku bawakan oleh-oleh. Aku baru datang pagi tadi.”
“Oh iya mbak Susi.. terimakasih,” jawab Surti tak acuh.”
“Ini kok selalu saja salah memanggil orang sih. Aku bukan Susi..”
“mBak Lusi...”
“Ini, diterima dulu, ada kerupuk ikan sama terasi. Terasi dari sana enak, Majikanmu suka sambal terasi tidak?”
“Kadang-kadang mbak, ya sudah, terimakasih. Bu, minyak sayurnya ada?” tanyanya kepada penjual sayuran.
“Ada mbak, yang botolan ini saja ya.”
“Iya bu..”
“Surti, kalau begitu aku pamit ya, eh.. sebentar.. coba lihat, iih.. perutmu kok sedikit besar begini, kamu hamil?”
Surti langsung cemberut.
“Ya ampun Surti, akhirnya kamu benar-benar pintar. Pasti Indra suka sekali,” kata Lusi sambil menepuk pipi Surti kemudian berlalu, langsung mengendarai mobilnya dan pergi.
Surti menatapnya gemas. Kok bisa pak Indra dibawa-bawa sih, pikirnya bingung.
“Orang kok nggak tahu sopan santun. Ngomong seenaknya.”
“Itu sering kemari ya mbak, cantik, dandanannya seperti artis.”
“Iya bu.”
“Kok nggak mau masuk kedalam.”
“Dia itu kan sukanya mengganggu Surti bu, nggak pernah ketemu bu Indra.”
“O.. “
“Sudah bu, semuanya berapa?”
“Mana keranjangnya, saya masukkan kedalam keranjang sama sekalian dihitung ya.”
***
Hari itu pak Mul sedang membersihkan kebun ketika ponselnya berdering.
“Pak Mul...”
“O.. mbak Lusi ya?”
“Iya, waktu pak Mul membetulkan atap rumah itu, saya kan belum sempat memberi pak Mul uang, karena saya harus segera kembali lagi ke Solo.”
“O, iya mbak.. nggak apa-apa.. kapan-kapan saja kalau mbak Lusi kembali ke Surabaya.”
“Kalau pak Mul punya rekening bank, saya transfer saja ya pak.”
“Nggak usah mbak, saya punya, tapi lupa nomornya. Kalau nanti mbak Lusi pulang saja.”
“Saya di Solo agak lama nih pak, karena anak saya sudah mau masuk sekolah, saya akan mengurusnya dulu, kasihan kalau ibu mertua yang mengurusnya. Jadi uang pak Mul saya transfer saja. Pak Mul punya rekening kan?”
“Punya mbak, kan Surti sering mengirimi saya uang, jadi saya dibukakan rekening di bank sama pak Pras.”
“Iya nanti pak Mul SMS kan nomornya. Oh iya, ingat Surti.. aku lupa bilang, senengnya ya pak, sekarang Surti hamil.”
Pak Mul terkejut setengah mati.
“Aaap..apa ?”
“Saya kesana ketika Surti lagi belanja, saya lihat perutnya sudah sedikit membuncit. Senangnya ya pak, pak Mul bisa punya menantu Indra.”
“Aaap..apa?”
“Ya sudah pak.. saya tunggu nomor rekeningnya ya.”
Tubuh pak Mul terkulai lemas.
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment