BUAH HATI 18
(Tien Kumalasari)
“Mana Surti?” tanya Indra ketika mendengar Seruni berteriak.
“Itu mas, sudah mau keluar.. ayo kita kejar..”
Tapi dari ruang dokter Melani, perawat memanggil namanya.
“Ibu Seruni Indra.”
“Waduh,, ayo mas, sudah dipanggil.”
“Apa dia sakit? Periksa apa dia tadi?”
“Mana aku tahu, aku melihatnya sudah berjalan kearah keluar. Tadi pamit mau beli sesuatu, kok tiba-tiba ada disini ?”
“Ya sudah, ayo masuk dulu, kata Indra sambil menarik isterinya untuk mengajaknya masuk keruang dokter.
***
Wanita yang dilihat Seruni tadi memang benar Surti. Ia bergegas keluar dari rumah sakit dan berjalan pulang. Ia tak ingin naik apapun. Pikirannya kacau. Ia teringat kata-kata tukang sayur tadi ketika dia mengeluh menstruasinya terlambat sudah dua minggu.
“Terlambat dua minggu mbak?” tanya tukang sayur itu.
“Iya bu... ada apa ya?”
“Kalau mbak Surti sudah punya suami, kira-kira hamil. Tapi kalau belum ya mungkin karena ada gangguan saja. Beli obat terlambat bulan diapotik.”
“Obat terlambat bulan memang ada bu ?
“Ya ada, kalau terlambat karena ada gangguan. Tapi kalau mau yakin ya pergi ke dokter sana. Nanti kan dikasih obat.”
Surti terkesiap. Dia tak biasa terlambat selama itu.
“Benarkah hanya gangguan, atau aku hamil? Oh.. tidak..” bayangan ketika dia terbangun dirumah yang terasing itu kembali merayapi hatinya. Pakaian bawahnya yang terserak.. apakah laki-laki itu melakukan sesuatu? Ada yang aneh ketika itu, tubuhnya terasa kotor, badannya terasa sakit, apakah dia diperkosa ketika dalam keadaan tak berdaya?
Ketika melangkah kembali kerumah, diputuskannya untuk kerumah sakit untuk memeriksakan keterlambatannya menstruasi.
Tapi hasil yang didapat membuatnya kebingungan setengah mati.
Ia terus melangkah dengan hati kacau. Hamil ?
“Ya Tuhan.. mengapa hukuman ini kau timpakan padaku? Apa salahku?” keluhnya sambil berlinangan air mata.
Ketika melewati sebuah apotik, ia kemudian masuk.
“mBak...”
“Ya, “
“Adakah obat terlambat bulan? Eh.. maksudku.. untuk menggugurkan kandungan?”
Penjaga apotik tampak terkejut.
“Tidak ada mbak, “ jawabnya sambil terus mengawasi wajah Surti yang sembab.
“Tidak ada? Tolong mbak, aku baru terlambat dua minggu.”
“Tidak ada mbak, kalau jamu terlambat bulan ada, tapi bukan terlambat karena mengandung mbak. Kalau mengandung ya mana mungkin bisa.”
Surti keluar dari sana dengan langkah lunglai.
“Apa yang harus aku lakukan? Aku harus bilang apa pada bu Indra? O... tidak.. lebih baik aku mati..” gumamnya pilu. Lalu dengan tanpa berfikir panjang, ia berhenti melangkah, menghadap kejalan, menunggu mobil lewat dan ingin menabrakkan tubuhnya disana.
“Bapak, ma’afkan Surti. Ini jalan terbaik bapak... selamat tinggal, jaga kesehatan bapak, dan jangan menangisi Surti, gadis tak berguna yang hanya membuat aib keluarga. Selamat tinggal bapak..” air matanya bercucuran. Dilihatnya sebuah truk dari kejauhan.. dan Surti siap melompat.
“Sakitkah kematian itu? Tapi kalau aku hidup, alangkah malunya aku, mengandung tanpa suami. Aku malu... aku malu..”
Dan deru truk pengangkut pasir itu semakin dekat.
“Selamat tinggal bapak.., jangan sakit-sakit lagi ya pak, kalau bapak sakit, siapa yang akan merawat bapak.” bisik Surti diantara tangis.. dan ia benar-benar melompat.
“Uuff.. truk itu lewat begitu saja, dan tubuh Surti terlempar kebelakang, menjatuhi tubuh seorang laki-laki yang tadi menariknya. Laki-laki yang masih mendekap tubuh Surti terhuyung kebelakang, lalu terduduk diatas trotoar, dengan tubuh Surti menimpanya.
Surti bangkit dan terengah.
“mBak.. mbak mau bunuh diri?”
“Lepaskan aku. Mengapa kamu menghalangi aku. Biarkan aku mati.. lepaskan.” Teriak Surti. Tapi laki-laki itu terus memegangi tangannya. Sementara beberapa orang yang semula merubungnya, memberinya nasihat.
“Mengapa bunuh diri mbak?”
“Bunuh diri tidak akan menyelesaikan masalah,” kata laki-laki penolongnya.
Surti terisak semakin keras. Dan melihat lebih banyak orang mengerumuninya, laki-laki itu menarik Surti masuk kedalam sebuah warung. Lalu orang-orang yang tadinya berkerumun itu bubar.
***
Surti duduk di kursi warung itu. Laki-laki yang menolongnya duduk didepannya. Laki-laki itu sudah memesan minuman hangat, dan mempersilahkan Surti meminumnya.
“Minum dulu mbak, biar tenang. Ayolah mbak...” laki-laki itu menyodorkan gelasnya lalu mengambil tissue untuk diserahkan kepada Surti.
Surti mengusap air matanya, dan meneguk minuman hangat itu.
Tarik nafas dalam mbak.. Surtipun menurut.
“Apakah perasaan mbak terasa lebih ringan?”
Surti menggeleng. Ia ingin mati saja, mengapa laki-laki itu menghalanginya?
“Baiklah. Coba minum lagi mbak. Oh ya, nama saya Tikno. Sutikno. mBak siapa?”
Surti masih diam. Lalu ia meneguk lagi teh hangatnya.
“Boleh nggak saya tahu nama mbak?”
“Surti..” jawabnya pelan.
“Oh, mbak Surti.. Oh ya, mau makan ?”
Surti menggeleng.
“Kalau sudah sedikit tenang, maukah mbak Surti menceritakan mengapa ingin bunuh diri? “
Surti masih terdiam.
“mBak tahu nggak, bunuh diri itu dosa. Manusia tidak berhak menentukan mati dan hidupnya sendiri. Apakah menurut mbak dengan bunuh diri maka permasalahan akan selesai? Tidak mbak, sesuatu yang mbak perbuat, mbak akan menebusnya, disana, dihadapan Yang Maha Kuasa. “
Surti terdiam, lalu air matanya kembali meleleh. Dering ponsel yang berbunyi berkali-kali sama sekali tak diindahkannya.
“Seberat apapun penderitaan kita, kita harus menjalaninya dengan ikhlas. Mungkin sakit, tapi jalan keluar itu pasti ada.”
Surti terdiam, menatap laki-laki didepannya. Ia masih muda, tapi mungkin jauh diatas Surti. Kira-kira tigapuluhan tahun umurnya. Wajahnya tidak ganteng-ganteng amat, tapi matanya teduh dan kata-katanya penuh kebapakan. Surti menatapnya terus, tak berkedip.
“Masalah itu tidak harus dihindari, tapi harus dihadapi, bukankah begitu?”
Surti masih menatapnya, mencari, apanya yang membuatnya terpukau dari laki-laki ini? Baru saja dia bertemu, dan baru saja dia diselamatkan dari maut, lalu baru saja pula meluncur kata-kata yang begitu menyentuh.
“Adakah penyelesaian dari masalah saya ini?”
“Seberat apa masalah yang tak terselesaikan itu, mbak Surti?”
“Seseorang memperkosa saya beberapa waktu lalu,” katanya dengan bibir bergetar menahan tangis.
Tikno, laki-laki kebapakan itu menatapnya terkejut.
“Sekarang aku hamil...” lalu pecahlah tangisnya.
Tikno menatap Surti penuh rasa iba.
“Ya Tuhan, sangat berat itu mbak, saya bisa mengerti,” kata Tikno sambil menggenggam tangan Surti yang diletakkan diatas meja.
“Tapi bukan kematian yang bisa menyelesaikan masalah itu,” katanya lembut.
“Apakah aku harus menanggung malu dengan perut membesar sementara aku tak punya suami?”
“Pertama-tama mbak harus tenang dulu. Siapa yang mengetahui peristiwa itu? Pernahkah mbak mengatakan kepada seseorang tentang keadaan mbak dan peristiwa yang mbak alami?”
“Saya bekerja disini sebagai pembantu rumah tangga. Malam itu saya harus pulang ke Surabaya karena ayah saya sakit. Tapi ditengah jalan saya dirampok, bukan hanya barang-barang saya, tapi juga tubuh saya..” Surti masih terisak.
“Sekarang mbak masih bekerja ?”
“Saya masih bekerja di keluarga pak Indra. Mereka sangat baik, tapi saya tak berani mengungkapkan apa yang saya alami.”
“Sebaiknya mbak critakan saja apa yang terjadi kepada keluarga pak Indra.”
“Tidak... tidak..” Surti menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau mereka orang baik, pasti mereka tahu jalan keluarnya.”
Surti tak menjawab.
“Sekarang mbak saya antarkan pulang ya, saya membawa sepeda motor. Oh ya, bolehkah saya mencatat nomor kontak mbak Surti?"
Surti tak menjawab tapi mengulurkan ponselnya kearah Tikno. Entah mengapa Surti percaya kepada laki-laki yang baru dikenalnya.
"Ada banyak panggilan masuk, tidak ingin menjawabnya?"
Surti menggeleng.
"Baiklah, mari saya antar pulang."
Dengan perasaan bingung Surti diantarkan pulang kerumah Indra.
***
Seruni berbaring diranjang, sendirian, karena Indra sudah kembali ke kantor. Dengan heran dia menelpon Surti berkali-kali tapi tidak pernah diangkat. Sudah berjam-jam lamanya sejak dia melihatnya dirumah sakit, sampai sekarang belum juga tampak kembali. Seruni menelpon Indra dalam kegelisahannya.
“Seruni, sayang, sudahlah, mungkin Surti mampir kemana, kan tadi bilang mau membeli sesuatu, ya sebaiknya ditunggu saja dan tidak usah kamu pikirkan. Surti bukan anak kecil,” kata Indra menjawab telpon isterinya..
Seruni menghela nafas.
“Sepertinya ada yang aneh. Kalau cuma belanja, masa sih tidak mendengar dering ponsel?” gumam Seruni .
Ia mencoba memejamkan matanya dan ingin melepaskan beban yanmenggayutinya. Benar kata suaminya, Surti bukan anak kecil.
Tapi ketika kantuk mulai menyerangnya, bel tamu bordering.
Seruni bangkit dan menuju kedepan, dilihatnya Surti datang bersama seorang laki-laki.
“Surti.. kamu dari mana?”
Surti tak menjawab, terus bergegas masuk kedalam.
Seruni heran. Ia juga melihat mata sembab diwajah Surti.
“Ma’af bu.. nama saya Sutikno..”
“Oh.. ya.. saya bu Indra..” Seruni juga mempTerkenalkan diri.
“Saya tadi ketemu mbak Surti dijalan.”
“Anda mengenalnya?”
“Tidak sebelumnya. Mm.. tadi...”
“Baiklah, silahkan duduk dulu...”
Tikno duduk, Seruni mengikutinya, duduk didepan Tikno.
“mBak Surti tadi.. mungkin sakit... saya melihat dia limbung ketika berjalan.. “
“Dia sakit?”
“Sepertinya begitu. Nanti ibu tanya saja sama dia. Saya khawatir terjadi apa-apa sama dia, karenanya saya mengantarkannya pulang kemari.”
“Dimana anda bertemu Surti tadi?”
“Saya seorang pegawai disebuah pabrik plastik. Dibagian gudang. Saya baru saja keluar untuk makan ketika tiba-tiba melihat mbak Surti limbung, dan hampir tertabrak truk.”
Seruni membelalakkan matanya.
“Saya menariknya lalu mengantarkannya kemari.
“Ya ampun, ada apa ya Surti.”
“Saya mohon pamit.”
“Baiklah, mas Tikno, saya mengucapkan terimakasih anda telah menolong Surti. “
“Ini nomor ponsel saya, barangkali ibu ingin menghubungi saya,” kata Tikno sambil menuliskan nomor ponselnya disebuah kertas.
“Sekali lagi saya mengucapkan terimakasih.”
Tikno berdiri, mengangguk hormat, lalu berpamit.
Seruni masih terheran-heran, menatap punggung laki-laki tegap itu, sampai hilang dibalik pagar rumahnya. Lalu Seruni masuk kedalam rumah, menuju ke kamar Surti.
“Surti..”
Surti tengkurap memeluk bantal, punggungnya bergoyang menahan isak.
“Surti...” Seruni mendekat dan duduk dipinggiran ranjang.
Tiba-tiba Surti bangkit, lalu merosot kebawah dan menangis dipangkuan Seruni.
“Bu Indra, saya ingin mati saja.. lebih baik saya mati...” katanya diantara tangis.
Seruni tertegun.
“Surti, apa kamu sudah gila? Mengapa bicara so’al mati segala. Berhentilah menangis, ayo berdiri, duduk disampingku dan katakan apa yang terjadi.” Kata Seruni sambil menarik tubuh pembantunya.
Surti menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Tenang Surti, katakana saja, aku akan mendengar semua keluhmu, dan akan berusaha membantu kamu.”
“Ibu... saya hamil...” kata Surti sambil terus menangis.
Seruni terkejut. Dilepaskannya kedua tangan yang semula memegangi bahu Surti.
“Kamu hamil? Siapa melakukannya? Suamiku ?” kata Seruni tiba-tiba.
Surti menggeleng keras.
“Bukan.. bukan..”
“Lalu siapa? Kamu tak pernah keluar rumah dan tiba-tiba kamu hamil? Itu pula sebabnya maka kamu berada dirumah sakit tadi?”
“Ibu melihatnya?”
“Saya sedang kontrol di dokter Melani.. dan melihat kamu keluar dari rumah sakit itu.”
“Benar, saya sedang memeriksakan keadaan saya. Saya terlambat sudah dua minggu. Dokter memeriksa saya, darah saya, dan mengatakan bahwa saya hamil .
“Baiklah, siapa menghamili kamu?”
“Ketika saya dirampok, saya juga diperkosa.”
“Astaghfirullah, Surti, mengapa baru sekarang kamu mengatakannya?”
“Saya takut bu, saya berharap tidak terjadi apa-apa. Tapi ternyata saya hamil.”
“Surti.... Surti...” Seruni bergumam pelan.
“Ma’afkan saya bu.. sekarang saya hanya ingin mati.”
“Diam Surti, jangan sekali lagi kamu mengatakan itu !”
“Saya tadi hampir bunuh diri dijalan, lalu mas Tikno menahan tangan saya, memarahi saya habis-habisan, lalu mengantarkan saya pulang kemari.”
“Jadi kamu bukannya karena sakit, limbung lalu hampir tertabrak mobil? Tadi mas Tikno bilang begitu.”
“Saya putus asa dan ingin mati.”
“Surti... Surti. Untunglah ada orang baik yang mau memarah-marahi kamu. Tidak baik bunuh diri itu. Bukan kamu pemilik kehidupan kamu Surti, kamu tidak berhak memutuskan hidup dan mati kamu. Dosa itu.”
Surti tak menjawab tapi masih terisak.
“Ya sudah, sekarang istirahat saja dulu, nanti kita pikirkan bagaimana baiknya. Ini, nomor kontak mas Tikno, kamu catat. Mungkin dia khawatir dianggap orang tidak bener lalu memberikan nomor kontak ini.”
“Dia juga sudah meminta nomor kontak saya.”
“Baiklah, catat ini barangkali kamu memerlukan dia. Sekarang istirahat saja dulu dan letakkan semua beban.”
“Bu, tolong jangan memberi tahu bapak tentang keadaan saya. Kasihan, jangan sampai bapak bersedih.”
Seruni mengangguk lalu keluar dari kamar Surti.
Dikamar ia meraba ponselnya, ingin menelpon Indra, tapi diurungkannya, takut mengganggu pekerjaannya.
“Nanti saja kalau dia pulang baru aku akan bercerita,” gumamnya lalu kembali membaringkan tubuhnya.
***
“Apa? Dia hamil ? Lalu berusaha mau bunuh diri?” Indra terkejut sekali ketika Seruni menceritakan semuanya.
“Untunglah ada orang yang menghentikan niatnya, lalu mengantarkannya kemari.”
“Dia sudah gila.”
“Aku bisa memakluminya mas, betapa bingungnya dia.”
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Bilang saja sama pak Mul , agar dicarikan suami.”
“Jangan dulu mas. Kasihan pak Mul. Tadi Surti juga melarangnya.”
“Lalu bagaimana?”
“Biar saja mas, Surti hamil, nanti anaknya biar menjadi anakku.”
“Kamu serius? Kamu kan sudah punya anak nantinya?”
“Memang apa salahnya punya bayi dua? Surti juga akan membantu merawatnya, tetapi dia akan menjadi anakku.”
Indra menghela nafas.
“Terserah kamu saja lah.”
***
Seruni berhasil menenangkan hati Surti, dan beberapa hari yang berjalan Surti tampak tenang-tenang saja.
Hari itu Surti pergi belanja bukan di tukang sayur, tapi dipasar, karena banyak barang-barang kebutuhan dapur yang habis.
Tapi sa’at berjalan dan melihat keramaian lalu lintas itu, tiba-tiba Surti kembali limbung. Entah setan apa yang merasukinya, ketika melihat truk yang akan lewat, keinginan beberapa hari yang lalu terlintas kembali dibenaknya.
“Hidupku akan menjadi beban orang lain, dan lambat laun bapak pasti juga akan mendengarnya.”
Surti lupa, bahwa sedih karena mendengar Surti hamil tanpa suami dan sedih ditinggal mati anak semata wayangnya itu sama-sama membuat ayahnya menderita.
Surti sudah ancang-ancang untuk melompat kejalan ketika tiba-tiba sepasang tangan kekar kembali mencengkeram bahunya, lalu menariknya kepinggir.
Surti terpana. Mengapa laki-laki itu kembali muncul dan menyelamatkan jiwanya? Apakan Tuhan memang mengirimkan dia agar menjadi penyelamatnya.?
Tikno mengguncang-guncang tubuh Surti keras.
“Aku menyesal melewati jalan ini kemudian bertemu kembali dengan gadis yang lemah seperti dirimu.”
***
Bersambung
No comments:
Post a Comment