Friday, August 7, 2020

CintaAyudia 23

CintaAyudia 23
A story by Wati Darma
Part 23

Bermain air adalah salah satu kegemaran Aradella Cantika Aditya sejak kecil, dan bermain seharian di Pulau Gili Air bersama keluarga Richardson dan bundanya membuat dia lupa sejenak akan kerinduan dan kesedihan hatinya seperti—tadi pagi ketika mengingat ayahnya yang jauh di sana.
Bermain di bibir pantai, membangun istana pasir, berenang, lalu menyelam menikmati keindahan terumbu karang dan ikan-ikan cantik di bawah laut sekitar pulau, membuat Della ceria kembali. Hal yang sangat sayang dilewatkan jika mereka tidak mengeksplor keindahan pulau ini. 
Makan siang di pondokan sederhana pinggir pantai dengan tangkapan ikan dan seafood yang masih segar, merupakan kenikmatan yang tak ternilai. 
Hari pun tak terasa berlalu begitu cepat, membuat mereka tersadar bahwa liburan ini akan segera berakhir dan mereka harus kembali ke rutinitas harian seperti biasa.
Della yang kelelahan terkulai lelah di bahu kanan Alden, mata lelahnya mendorongnya ke alam mimpi. 
Tangan kiri Alden yang bebas, menarik tangan Ayu dan menggenggamnya erat. Genggaman yang hangat dan menyenangkan. 
Mereka berdua berjalan beriringan menikmati senja yang mulai tenggelam, panorama indah yang memanjakan mata. 
Ayu menoleh dan tersenyum kepada pria di sampingnya, yang seharian ini berusaha menyenangkan Della dan dirinya. Pria tampan, penyayang, dan penuh perhatian.
“Al ..,” ucap Ayu tiba-tiba.
“Hhmm,” 
Gumam Alden, berusaha memelankan suaranya agar tidak membangunkan Della.
“Maafkan perkataan Della tadi pagi ya?” pinta Ayu. 
Seharian ini ia masih memikirkan apa yang Della katakan tadi pagi. Ia merasa tidak enak pada keluarga Richardson, yang telah meminta dirinya untuk menjadi pendamping Alden, tapi ia melupakan hal lainnya yang juga penting dalam kelangsungan hubungan mereka, restu Della.
Alden mengeratkan genggaman tangan pada jemari Ayu, mengangkat tangannya dan membawa tangan mungil itu untuk ia kecupi perlahan, lalu tersenyum berusaha menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
“Della tidak bermaksud menyakitiku. Aku tahu itu. Dia hanya sedang merindukan ayahnya yang jarang ia temui, dan itu hal yang wajar. Kurasa ini sudah waktunya untuk kita menjelaskan perihal perpisahan orangtuanya, bahwa kalian tidak mungkin bersama lagi,” balas Alden.
Ayu bukan tidak pernah mencoba untuk menerangkan bahwa ia dan Rangga telah berpisah. 
Ia sudah menerangkan beberapa kali, tapi gadis kecil itu selalu beranggapan bahwa perpisahan mereka adalah hal yang biasa—karena dulu pun mereka pernah mengalami hal seperti itu. 
Dalam pikirannya tertanam, bahwa suatu saat Rangga akan pulang saat kuliah Ayu selesai. 
Sama halnya seperti dulu Rangga yang menyelesaikan kuliahnya, barulah ia pulang ke rumah, berkumpul kembali bersamanya.
“Della harus memahami arti perceraian antara kalian. Bahwa kalian tidak dapat bersama lagi dan kemungkinan nanti orang tuanya akan melanjutkan hidupnya, menikah dengan orang baru lagi. Ia juga harus belajar mengenal dan menerima, orang yang akan menjadi ibu tiri ataupun daddynya, seperti aku,” 
Tambah Alden sambil mengedipkan sebelah matanya kepada Ayu.
Rona kemerahan merambat di pipi Ayu melihat senyuman manis di wajah tampan Alden. 
Wanita mana yang tidak meleleh terhadap pesona pria di sampingnya, dan ia menjadi wanita yang beruntung karena dipilih oleh pria itu.
Ibu tiri? Mungkinkah Dessi suatu saat akan menjadi Ibu tiri Della?
Ayu mencoba menghalau pemikiran yang melenceng jauh dari masalahnya, dan juga yang bukan urusannya.
“Kenapa menggelengkan kepala? Pusing ya?” tanya Alden
“Tidak apa-apa. Aku hanya sedikit berpikir saja mengenai Della.”
“Ohh ... Aku sepertinya harus bicara hati ke hati juga dengannya, memintanya secara resmi untuk menjadi putriku dan merestui hubungan kita,” 
Ucap Alden lagi, sambil membawa jemari Ayu mampir kembali ke bibirnya dan mengecupnya lagi. 
Perlakuan hangat yang berhasil membuat pipi Ayu memerah kembali.
“Ya, sepertinya kamu harus melakukan itu, agar kamu bisa menjadi Daddy-nya seutuhnya.”
“Ahhh, putri kecil itu membingungkan saja. Padahal dia dengan senang hati memanggilku Daddy,tapi kenapa ia masih ragu untuk menerimaku menjadi pengganti ayahnya?” kekeh Alden.
“Ayah adalah cinta pertama putrinya, wajar jika ia sangat memuja Rangga. Kalian memiliki tempat masing-masing di hatinya, tidak akan tergantikan,” 
Ucap Ayu berusaha memberikan semangat untuk pria di sampingnya.
“Sungguh aku tidak menyesal hampir menabrakmu waktu itu. Akhirnya aku akan mendapatkan dua bidadari cantik dalam hidupku.” 
Alden tersenyum hangat kepada Ayu sambil mengeratkan genggaman tangannya.
Ayu dan Alden sama-sama tersenyum mengenang pertemuan pertama mereka, walaupun itu bukan pertemuan yang indah. 
Hal itu juga memunculkan kembali pertanyaan yang sedari dulu disimpannya rapat-rapat, karena tidak selama ini ia tidak ingin mencampuri urusan pribadi Alden. 
Dan kini, ia merasa harus menanyakannya karena terkait dengan perasaan pria itu kepadanya.
“Al, bolehkah aku menanyakan sesuatu yang bersifat pribadi?”
“Pertanyaan apapun akan ku jawab, Ayu.”
“Benarkah? Aku harap kamu tidak marah jika pertanyaanku ini menyinggung hatimu.” 
Ayu lalu terdiam sejenak, menyiapkan dirinya untuk bertanya tentang topik yang sepertinya sensitif untuk mereka bahas.
“Apakah saat pertama kali bertemu denganku, wajahku mengingatkanmu kepada seseorang?” tanya Ayu pelan.
Pertanyaan Ayu menghentikan langkah Alden seketika.
Tak menyangka wanita di sampingnya akan menanyakan hal itu. 
Tubuhnya kini menghadap Ayu, dan menatap serius wanita yang dicintainya itu dengan tajam.
“Apa yang ingin kamu ketahui sebenarnya?” tanya Alden lugas.
Ayu menelan ludahnya perlahan. 
Ini pertama kalinya Alden menampakkan wajah tidak bersahabat. 
Wajah kesal dan penuh amarah sudah biasa ia temui saat di kantor dengan berbagai masalah perusahaan yang menerpanya. 
Tapi kali ini berbeda, sorot mata itu menunjukkan kebencian.
“A-aku pernah tidak sengaja melihat secarik foto di laci meja kerjamu saat sedang merapikan ruangan. Kamu tersenyum bahagia di foto itu bersama dengan dia.”
“Kapan kamu melihat foto itu?”
“Sepertinya saat tahun kedua aku bekerja di sana.”
“Pantas saja. Foto itu sudah aku bakar sejak setahun yang lalu. Semua jejak dia sudah menghilang dari hidupku sejak dia memutuskan untuk pergi. Apa foto itu juga yang membuatmu ragu dan menolakku?”
Ayu meringis mendengar pertanyaan Alden. 
Itu memang salah satu alasan ia tidak mau menerima perhatian Alden, karena ia tidak mau menjadi pelarian ataupun pelampiasan pria itu. 
Ia tidak ingin kembali merasakan sakit di hatinya.
“Bukan karena itu aku menolakmu, tapi kamu tahu sendiri kondisiku saat itu seperti apa. Aku sedang tidak ingin menjalin hubungan yang melibatkan perasaan lagi. Kegagalan pernikahan bukanlah hal yang sepele, dan aku ingin pernikahanku selanjutnya adalah untuk yang terakhir. Sampai saat ini aku belum memikirkan ke sana. Hanya ingin fokus pada masa depan yang kuimpikan. Aku bersedia menjalani pertunangan ini denganmu karena aku dapat merasakan perasaan tulusmu untukku. Terima kasih selama ini kamu tidak pernah memaksakan perasaanmu kepadaku dan bersedia menjalaninya perlahan denganku. Dan kuharap keraguan dan ketakutanku akan pernikahan akan memudar, karena aku tahu dirimu akan sabar mendampingi diriku yang seperti ini.”
Alden mengangguk. 
Ia kini mengerti kenapa wanita di sampingnya trauma akan hubungan serius antara pria dan wanita. Tak lain karena pernikahan aneh yang dijalaninya.
“Kita sama-sama terluka akan masa lalu. Kita akan bersama-sama belajar dari masa lalu itu untuk masa depan kita, bukan untuk menghalangi kebahagiaan kita.”
Ucapan Alden membuat hati Ayu menghangat, apalagi saat pria itu melabuhkan kecupan ringan di keningnya. Ciuman pertama mereka berdua.
“Kamu bukan pelampiasan ataupun pelarianku, Ayu. Kamu adalah masa depanku, yang aku pilih untuk jadi pendamping hidupku. Aku mencintaimu karena apa adanya dirimu, bukan karena ada apanya. Kamu bukanlah dia, dan kamu jauh lebih baik dari dirinya. Itu yang membuatku jatuh cinta padamu,” 
Ucap Alden sambil menarik Ayu dengan sebelah tangannya ke dalam pelukannya.
Kini tanpa ragu lagi, Ayu membalas pelukan pria itu. 
Mereka bertiga berpelukan dalam diam. 
Menikmati perasaan indah yang mengalir dalam jiwa dan raga mereka.
“Wanita itu meninggalkanku beberapa hari sebelum pernikahan kami tanpa ada penjelasan, bahkan orangtuanya pun panik tidak tahu kemana dia pergi. Aku akui kalian memang memiliki kemiripan tapi bukan karena itu aku menyukai dan mencintaimu. Kalian orang yang berbeda. Jika dulu aku pernah mencintainya, kini hanya ada kebencian dalam hatiku untuknya. Dan jika aku memanfaatkan kemiripan kalian, apakah mungkin aku akan memperlakukanmu seperti sekarang aku memperlakukanmu dan Della? Apakah kamu melihat kepura-puraan dalam setiap perbuatanku padamu?”
Ayu menggelengkan kuat kepalanya, 
“Tidak. Aku dapat merasakan ketulusanmu untukku dan Della. Hanya saja, jika suatu hari dia kembali ....”
Pertanyaan Ayu menggantung begitu saja, tapi Alden dapat menangkap maksud dari pertanyaan itu. 
“Aku tidak peduli. Untuk apa aku bertahan untuk orang yang meragukan diriku. Saat dia memutuskan untuk pergi, saat itu juga aku mematikan cintaku untuknya.”
“Tapi..”
“Ssst!” 
Telunjuk Alden kini tepat berada di bibir Ayu, membuatnya berhenti berkata-kata. 
“Cukup sampai di sini kita bicarakan masa lalu. Dia harus kita tinggalkan di belakang. Sekarang genggamlah tanganku dan melangkah menuju masa depan. Tidak ada kata yang dapat menggambarkan berapa besar perasaanku kepadamu, bahwa semua perkataan dan perilaku padamu murni dari dasar hatiku bukan karena kemiripan kalian. Kamu percaya kepadaku?” tanya Alden.
Ayu menganggukkan kepalanya pelan sambil tersenyum. 
Apalagi yang ia ragukan dari pria di hadapannya. 
Semua hal yang diimpikan wanita, telah pria itu berikan untuknya. 
Kalau perlu, ia juga akan mulai berjuang untuk mempertahankan hubungan mereka dan menumbuhkan kembali bunga-bunga cintanya yang gugur tak bersisa.
🍀🍀🍀
Di tempat lain, di suatu daerah pelosok yang jauh dari keramaian dan hiruk pikuk dunia modern, tempat dimana gadget tidak berdaya menunjukan eksistensinya, dan interaksi sosial antara sesama lebih terasa dengan saling berbincang ringan, berdiskusi, dan bercanda bersama menghabiskan waktu.
“Pak Mus, liat Rangga?” 
Tanya seorang pria berperawakan gemuk, tinggi dan besar.
“Eh? Kayaknya nggak liat tuh, Mas Teguh. Terakhir ya pas kita balik dari kota tadi. Udah tidur kali di kamarnya,” 
Jawab pria setengah baya yang dipanggil Pak Mus.
“Ohh, ya udah saya susul aja ke kamarnya. Saya pamit, Pak.”
Teguh lalu berjalan menjauhi ruangan rekreasi, yang menjadi tempat berkumpul para karyawan untuk bercengkerama dan melepas lelah dengan menggunakan fasilitas lengkap yang tersedia.
Dia berjalan menuju mess tempat mereka tinggal di lokasi ini. 
Ada dua gedung mess karyawan yang disediakan perusahaannya. Dan barak untuk level eksekutif hanya dihuni satu orang perkamar, berbeda dengan dengan karyawan level biasa.
Tok ... tok ... tokk
“Assalamualaikum Ga, elo udah tidur belom?” 
Tanya Teguh sambil mengetuk pintu kamar Rangga. Pria itu kembali mengetuk pintu dan memanggil nama sahabatnya berulang kali.
“Ga, elo nggak apa-apa?” 
Tanya Teguh setengah berteriak.
Pria itu hanya ingin mengecek keadaan sahabat yang sudah bersamanya sejak kuliah itu. Perasaannya tidak tenang, saat dia tahu sahabatnya itu tadi menghubungi seseorang yang ada di seberang pulau sana. Yang mungkin bisa membangkitkan sesuatu yang coba sahabatnya sembuhkan sejak bertahun-tahun lalu.
Ceklek
Tangan Teguh menyentuh gagang pintu kamar Rangga yang ternyata tidak di kunci.
“Ga, elo di dalem?” 
Tanya Teguh, saat melihat ruangan kecil itu tampak gelap gulita. 
Dia berjalan meraba dalam kegelapan mencoba mencari sakelar lampu.
Klik.
Kamar itu pun seketika terang benderang, menampilkan suasana kamar yang rapih dan apik. Kaki Teguh lalu beralih ke ruangan kecil seperti dapur, lalu melangkah ke pojok ruangan, kamar mandi.
“Innalilahi, Rangga!!”
Teguh memekik kaget saat melihat sahabatnya dalam posisi mengenaskan, sama seperti tiga tahun lalu. 
Pecahan kaca berserakan, buku jarinya penuh dengan luka dan darah, dan pria itu duduk terkulai di lantai kamar mandi tak sadarkan diri.
Segera dibopongnya tubuh Rangga keluar barak untuk mendapatkan pertolongan pertama. Bibirnya tak henti berteriak meminta pertolongan, sampai beberapa orang mendekat dan membantunya membawa Rangga ke pusat kesehatan. 
Setelah memastikan Rangga mendapatkan pertolongan, dia bergegas menuju kantor. 
Setelah meminta ijin kepada petugas jaga, dia segera menekan tombol-tombol angka di telepon itu dengan tubuh yang masih bergetar.
“Ha … Halo Mbak Rania, ini Teguh. Rangga ... kondisinya drop lagi.”
🍀🍀🍀
Alden turun dari mobilnya membawakan koper milik Ayu dan Della, liburan mereka telah usai dan tiba waktunya kembali ke rutinitas. 
Pria itu mengantar Ayu dan Della ke rumah mereka yang kini disambut oleh Jessi, Yogi dan anak mereka, Chika. 
Della sudah duduk bersama Chika, balita berumur hampir tiga tahun, memainkan mainan oleh-oleh yang dia bawa untuk saudara kecilnya itu. 
Tawa bahagia terdengar dari mereka berdua yang sedang bermain di samping Yogi. Alden, Ayu dan Jessi ikut tersenyum melihat interaksi mereka berdua.
“Ada kabar baik apa pulang liburan? Kayaknya ada sesuatu yang berbeda?” 
Tanya Jessi dengan tatapan menyelidik. Apalagi ia melihat genggaman tangan Alden yang tidak pernah lepas pada tangan Ayu.
Alden mengangkat tangannya dan tangan Ayu yang saling terkait, seraya berkata, 
“Kami akan bertunangan.”
Yogi yang mendengar pengumuman itu langsung beranjak dari duduknya dan mendekati Alden, menepuk bahunya pelan dan memberikan ucapan selamat.
“Weisss, selamat ya, Bro! Akhirnya penantian itu menghasilkan buah yang manis!!” kataYogi.
Sementara Jessi masih ternganga tak percaya mendengar perkataan Alden. 
“Serius?” pekiknya.
Yang kemudian dibalas anggukan pelan Ayu dengan wajah yang merona.
“Sebenarnya sih pengen langsung nikah aja, tapi Ayu masih pengen jalanin pelan-pelan. Aku juga masih harus merayu Della, agar mau menerimaku menjadi ayahnya, pendamping Bundanya. Selama ini sepertinya ia nyaman denganku hanya sebagai seorang teman. Ia pun belum mengerti tentang perceraian Ayu dan Rangga,” jelas Alden.
Jessi beranjak dari tempat duduknya lalu memeluk sahabat yang sudah seperti saudara baginya. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Ayu.
“Selamat Ayu, semoga kamu mendapatkan kebahagiaan yang kamu impikan,” 
Ucap Jessi tulus.
Ayu menerima pelukan hangat Jessi. 
Ada perasaan sendu merasuki sukma kedua wanita itu, begitu juga dengan Yogi. 
Mereka tahu penderitaan Ayu selama ini, dan Alden adalah orang yang cocok untuk mengobati luka masa lalunya dan bisa melimpahkan kebahagiaan untuk Ayu.
“Aku akan membantu memberi pengertian pada Della tentang kalian. Dia sudah nyaman denganmu Al, hanya perlu pengarahan dan penjelasan yang tepat untuknya tanpa ia merasa sedih,” tambah Jessi.
“Terima kasih sudah mau membantuku, Jes. Itu sangat berarti untukku,” ucap Alden.
“Jangan sungkan kepada kami. Sebentar lagi kita akan jadi keluarga. Aku dan Jessi akan membantu persiapan pertunangan ataupun pernikahan kalian, karena hanya kami sekarang keluarga yang Ayu miliki,” ucap Yogi.
“Baiklah, nanti aku akan datang kembali bersama Mami untuk melamar Ayu secara resmi.”
“Aku harus pulang sekarang, Mami sendirian di rumah. Beliau agak mellow kalo abis pisah sama Alice dan cucu kesayangannya,” 
Tambah Alden. Alice memang ikut dengan suaminya tinggal di Australia, dan tadi mereka berpisah di bandara.
“Sebentar lagi beliau tidak akan kesepian kok,” goda Jessi.
Keempat orang itu tertawa, mengerti betul maksud ucapan dari Jessi. 
Alden melangkah mendekati Della yang masih asyik bermain dengan Chika, mengusap lembut rambut panjang Della
“Daddy pulang ya, cantik,” ucap Alden
“Kok pulang sekarang? Ini kan masih sore, Dad,” tanya Della
“Kasihan Oma di rumah sendiri. Aunty Alice sama Baby K kan sudah pulang, Oma kesepian di rumah.”
“Della yang nemenin, boleh?”
“Boleh banget cantik. Suatu saat nanti Della akan nemenin Oma setiap hari di rumah, biar Oma nggak kesepian di rumah.”
“Beneran Dad?! Della boleh nginap setiap hari di rumah Daddy yang besar itu? Berenang setiap hari?” 
Della tampak gembira dengan perkataan Alden.
“Tentu saja, Della dan Bunda bisa menginap setiap hari di rumah, selamanya. Bersabar dulu sampai hari itu tiba ya, Cantik.”
Mata bulat Della berbinar gembira. Ia menganggukan kepalanya cepat. 
Alden tersenyum mencium kening gadis kecil itu lalu beralih ke kedua pipi tembemnya.
“Istirahat ya, princess. Besok mau ke sekolah baru kan?”
“Heemm, besok Della pergi sama Bunda dan Bunda Rania.”
“Tidur lebih cepat, supaya besok pagi nggak kesiangan.”
“Oke, Daddy.”
Della menarik punggung tangan Alden lalu menciumnya, tak lupa mencium kedua pipi Alden persis di lesung pipinya.
“Aku akan mengantarmu ke depan,” 
Ajak Ayu kepada Alden.
Jessi dan Yogi saling berpandangan dan tersenyum melihat interaksi Alden dan Della. 
Hanya perlu sedikit lagi waktu, maka semuanya akan berjalan dengan sempurna.
Alden melangkah keluar rumah dengan masih menggenggam tangan Ayu. 
Hatinya terasa sangat bahagia. 
Ia membayangkan bagaimana jika mereka sudah menikah dan mereka berkumpul di rumahnya. Itu akan membuat hidupnya terasa sangat sempurna.
“Dia sangat antusias untuk tinggal di rumahmu,” ucap Ayu
“Ya. Sepertinya tidak akan sulit untuk membujuknya menerimaku sebagai ayahnya.”
“Teruslah bersabar dan berusaha. Aku akan membantumu.”
Kembali Alden mengangkat jemari Ayu dan mencium jemarinya. 
Matanya yang menyorotkan kelembutan penuh cinta membuat hati Ayu menghangat. Ia merasa sangat beruntung dicintai pria itu.
“Terima kasih sudah menerimaku dan membukakan hatimu untukku. Semoga semuanya akan berjalan lancar sampai tiba waktunya kita bersanding di pelaminan.”
“Aamiin,” 
Ucap Alden dan Ayu serentak.
“Aku pergi ya, Sayang.”
“Iya, salam buat Mami. Terima kasih untuk liburan yang menyenangkan.”
Alden masuk ke mobilnya, menurunkan kaca jendela pengemudi, memberikan kecupan jauh untuk kekasihnya yang disambut kekehan tawa Ayu dan lambaian tangannya.
“Bye, Sayang. Assalamualaikum.”
“Hati-hati, waalaikumussalam.”
🍀🍀🍀
Ayu lalu kembali masuk ke dalam rumahnya. 
Ia melihat Jessi dan Yogi tengah ikut duduk bersimpuh di karpet menemani Della dan Chika bermain. 
Jessi melambaikan tangannya, mengajaknya untuk ikut duduk bersama mereka.
“Della, inget nggak temen TK-nya yang namanya Mia. Itu yang rumahnya di ujung gang? Della pernah ke sana pas dia ulang tahun,” 
Tanya Jessi kepada Della.
“Mia ... Mia ... oh, yang rumahnya warna pink itu ya?” tanya Della.
“Iya, betul. Udah inget?” tanya Jessi.
“Iya, Della tau. Kenapa Tante?”
“Kemarin dia ngadain pesta. Della diundang tapi Dellanya kan sedang liburan, jadi Tante yang datang kesana.”
“Pesta ulang tahun lagi?”
“Bukan, pesta pernikahan. Mamanya Mia menikah lagi, sekarang Mia punya Papa baru. Papanya ada dua.”
Ayu duduk semakin merapat dekat Della. 
Ia tahu Jessi tengah mengusahakan cara yang pas untuk menyampaikan apa yang menjadi hambatan dalam hubungannya bersama Alden. Restu Della.
“Papanya ada dua? Kok bisa. Boleh ya?” tanya Della heran.
“Tentu saja bisa, Sayang.”
Kali ini giliran Ayu yang berusaha menjelaskan lebih gamblang agar Della memahaminya dengan mudah. 
“Della inget dulu pernah cerita ke Bunda kalau Mia sering bersedih di sekolah karena orangtuanya berpisah?” tanya Ayu.
Dengan dahi berkerut dan telunjuk mengarah ke pelipisnya, Della mencoba mengingatnya kembali. 
“Ehmm, Mia bilang orang tuanya cerai, Bunda” jawab Della.
“Iya betul. Cerai itu adalah berpisahnya dua orang yang sebelumnya sudah menikah. Cerai itu dicatat oleh hukum Negara dan Agama. Dua orang yang dulunya suami istri setelah bercerai, mereka bukan suami istri lagi. Mereka menjalani hidup sendiri-sendiri lagi, tidak bersama dan tidak serumah lagi. Tapi mereka tetap bekerja sama mengurus dan membesarkan anak-anaknya.”
“Kenapa harus cerai Bunda?”
“Masalah orang dewasa itu rumit, Sayang. Nanti jika Della sudah dewasa, Della akan mengerti. Tidak semua masalah mereka dapat diselesaikan dengan baik-baik. Mereka memilih berpisah daripada terus bertengkar dengan pasangannya dan membuat anak-anak mereka sedih.”
Della lalu mengangguk-anggukan kepalanya.
“Dan karena mereka sudah resmi bercerai, mamanya Mia boleh menikah lagi dengan laki-laki yang sekarang menjadi papa baru Mia. Tapi papa kandung Mia tetap akan menjadi papa Mia selamanya, karena tidak ada yang namanya bekas papa atau bekas orang tua. Kasih sayang orang tua itu tak lekang oleh waktu. Selamanya, mereka tetap akan jadi orang tua kandung Mia.”
“Jadi, kalau mamanya Mia boleh menikah lagi dengan orang lain, papanya Mia juga bisa menikah lagi dengan orang lain?”
“Tentu saja boleh. Tapi kita tidak tau pilihan papanya Mia seperti apa. Apakah akan menikah lagi atau tidak.”
“Apakah ibu tiri dan papa tiri itu jahat seperti di tivi, Bun? Nanti kalau Mia dijahatin gimana, Bun?” 
Tanya Della polos.
“Yang ada di tivi itu drama, Sayang. Hanya cerita buatan manusia yang diperankan manusia juga. Cuma sandiwara. Tidak ada orang tua di dunia ini yang ingin anaknya menderita, walaupun Bunda suka cubit kamu kalau lagi nakal, tapi Bunda nggak akan rela loh kalau kamu dicubit sama orang lain, walaupun itu Ayah. Sama halnya seperti mamanya Mia. Pasti dia sudah memilih calon Papa yang terbaik untuk putrinya, yang mau menerima dan menyayangi Mia setulus hati walaupun Mia bukan anak kandungnya.”
Della kembali menganggukkan kepalanya, mencerna dan memahami pelan-pelan penjelasan bundanya.
Ini saatnya …
“Bunda dan Ayah mau minta maaf sebelumnya sama Della,” lirih Ayu.
“Minta maaf? Bunda sama Ayah nggak salah apa-apa kok,” 
Ucap Della heran.
“Sebenarnya Bunda dan Ayah juga sama seperti orangtuanya Mia. Ayah dan Bunda berpisah sejak beberapa tahun ini, karena kami juga sudah bercerai,” 
Ucap Ayu dengan suara bergetar.
Bibir Della terbuka karena terkejut. 
Matanya berkaca-kaca. 
Tampak sekali kesedihan di matanya. 
Dia tidak mampu berkata-kata untuk sesaat, hanya airmata yang mengalir dari kedua mata bulatnya yang jernih.
Ayu dapat merasakan kesedihan yang dirasakan putrinya. 
Ia tak sanggup melihat gadis kecilnya menangis. Itulah alasannya ia sering menunda menjelaskan lebih lanjut tentang perceraiannya. 
Ayu menarik Della ke dalam dekapan, memeluknya erat, mengelus rambut panjangnya dan menghujani dengan ciuman.
“Maafkan Bunda, Sayang, maafkan Ayah. Kami tetap menyayangi Della, tidak ada yang berubah,” 
Ucap Ayu di sela isak tangisnya.
Ibu dan anak itu saling berpelukan berangkulan, mengeluarkan kesedihan mereka. 
Jessi dan Yogi beranjak dari duduknya, mengangkat Chika lalu pergi ke luar. 
Sengaja memberikan waktu agar Ayu dan Della dapat bicara dari hati ke hati dengan bebas.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER