Cinta Ayudia 24
A story by Wati Darma
Part 24
Malam pun menyapa, Ayu masih belum dapat memejamkan mata.
Ingatannya berputar kembali pada kejadian sore tadi.
Ia dapat merasakan perasaan Della yang terluka dan sedih, akan pengakuannya mengenai perceraian dirinya dan Rangga.
Hal itu terlihat jelas dari mata dan raut wajah putri kecilnya. Ia teringat kembali percakapan mereka tadi sore.
“Ayah sama Bunda sering berantem di belakang Della, ya? Bunda juga dulu sering nangis pas Ayah jauh? Apa karena Della?”
Tanya Della sambil terisak sedih.
“Pertengkaran Ayah Bunda cukup kami saja yang tahu. Nanti jika Della sudah cukup besar, Della akan mengerti. Ini bukan karena siapa-siapa, juga bukan karena Della. Ini karena Ayah dan Bunda, memilih jalan masing-masing untuk sendiri.”
“Apa Ayah tidak akan pulang lagi, Bun?”
“Tentu saja Ayah akan pulang, tapi kami tidak bisa bersama-sama lagi seperti dulu. Tidak satu rumah lagi, karena orang yang sudah bercerai tidak boleh tinggal satu rumah. Walaupun Ayah Bunda sudah cerai, kita tetap bisa bermain bertiga, jalan-jalan bertiga seperti dulu. Tidak ada yang akan berubah kecuali masalah tempat tinggal. Bunda tanya, apa sejak Ayah pergi, Ayah melupakan Della? Apakah ada yang berubah dari Ayah?”
Della menggelengkan kepala menjawab pertanyaan bundanya.
Air matanya kembali mengalir, mengingat kembali wajah ayahnya beserta kenangan mereka bertiga.
“Walaupun kami berpisah tapi kasih sayang kami tidak berubah, Sayang. Walaupun jauh, Ayah tidak melupakan Della, ‘kan? Rajin nelpon Della dan bercerita, ‘kan? Ayah sama Bunda pun masih suka ngobrol juga, membicarakan Della.”
“Iya, Bun. Della tau kalau Ayah sayang banget sama Della walaupun jauh.”
“Doakan saja Ayah selalu sehat di sana, ya?”
Della menganggukkan kepala sambil menghapus air mata dengan punggung tangannya.
“Bunda, apa orang tua yang bercerai tidak bisa bersama-sama lagi?”
Tanya Della pelan, yang disambut senyuman lembut Ayu untuknya.
Tangan-tangan lembut Ayu menarik tubuh kecil itu kembali ke dalam dekapan hangatnya.
“Masa depan itu rahasia Allah. Yang berpisah bisa saja bersatu kembali ataupun mereka bersatu dengan orang-orang baru, seperti mamanya Mia dengan papa barunya. Apa pun yang terjadi pada Ayah Bunda di masa depan nanti, percayalah akan satu hal, Bunda sama Ayah akan selalu menyayangi dan menjadikan Della prioritas kami. Selamanya menjadi putri kecil Ayah Bunda”
🍀🍀🍀
Lamunan Ayu terhenti, saat ponselnya berdering memunculkan nama ibu kandung dari putrinya. Ia pun segera mengangkatnya.
“Assalamualaikum, Kak.”
“Waalaikumussalam,” jawab Rania dari seberang sana,
“Apa aku mengganggu tidurmu?” tanyanya lagi.
“Nggak, Kak. Aku masih terjaga. Della sudah tertidur dari tadi. Dia nggak sabar nunggu besok.”
“Benarkah?! Tapi aku tidak jadi ikut mengantar kalian. Maafkan aku .…”
Suara Rania terdengar lesu dan tidak bersemangat.
“Loh, apa ada hal penting lainnya? Ada sesuatu yang terjadi?”
Tanya Ayu heran.
Sepengetahuanya, Rania-lah yang paling bersemangat mengantar Della pada hari pertama perkenalan sekolahnya dan tiba-tiba dia membatalkannya.
Pasti ada sesuatu hal terjadi.
“Ehmm ... i-itu ... ada masalah penting lainnya yang harus kuurus dan harus kulakukan sekarang sampai beberapa hari ke depan. Urgent. Aku pun tidak bisa menjaga Della untuk beberapa hari. Maafkan aku.”
Ayu menangkap nada gugup dan sesal dalam nada bicara Rania.
Ia tidak masalah jika harus menjaga Della, tapi gadis kecilnya pasti kecewa karena Rania tidak jadi mengantar.
Anak itu seperti ayahnya, tidak suka dibohongi, apalagi jika sudah berjanji, dia akan selalu mengingatnya dalam otak kecilnya dan jika dibatalkan maka kekecewaannya akan tersimpan lama di hati dan pikirannya.
Ayu harus mencari cara agar besok Della tidak badmood, karena janji yang dibatalkan Rania.
“Tapi Kakak tahu sendiri sifat Della seperti apa. Ia akan marah pada seseorang yang sudah berjanji, tapi tidak ditepatinya. Aku akan berusaha membujuknya, tapi tidak bisa menjamin dia tidak marah kepada Kak Rania,” jelas Ayu.
“Aku tahu itu, tapi ini benar-benar penting. Harus aku yang melakukannya,”
Ucap Rania dengan nada memelas.
Ayu menghela nafasnya pelan.
“Baiklah, Kak. Aku akan coba membujuk dan mencari cara, supaya Della tidak marah karena bundanya tidak jadi ikut besok. Dan dia akan berada di rumahku dan Jessi, selama Kakak sibuk.”
“Terima kasih bantuannya, Ayu.”
“Iya, Kak.” Ayu tiba-tiba teringat sesuatu.
“Oh iya, ada yang ingin aku sampaikan mengenai Della. Dia sudah tahu mengenai perceraianku dengan Rangga.”
“Hahh, kok bisa? Siapa yang kasih tau? Terus dia reaksinya gimana?”
Rania cukup kaget dengan pernyataan Ayu, karena selama ini dia dan keluarganya berusaha menutupi perceraian Ayu dan Rangga.
Membiarkan Della dengan asumsinya sendiri, bahwa mereka hanya berpisah untuk sementara, seperti dulu.
“Dia sedih, tapi Della anak yang cerdas. Dia bisa memahami semua penjelasanku dengan baik, Kak. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini sudah waktunya untuk Della tahu kenyataannya. Jika tidak sekarang, akan sulit ke depannya ...”
“Sulit kenapa?”
“Aku akan bertunangan, Kak. Aku sudah dilamar,” ucap Ayu lirih.
“Apaaa?! Dilamar.”
Ayu menjauhkan ponselnya, saat Rania memekik terkejut mendengar kabar yang disampaikannya.
“I-iya, Kak.”
“Kamu akan menikah? Kapan? Dengan siapa?”
“Menikahnya setelah selesai skripsiku selesai, Kak. kami akan bertunangan dulu. Dia teman satu kantor.”
Selama ini ia memang tidak pernah membicarakan masalah kehidupan pribadinya dengan siapa pun, kecuali Jessi.
Ia menganggap wajar reaksi terkejut Rania mendengar berita itu, meski sebenarnya bukan itu yang dipikirkan Rania sekarang.
“Benarkah?! Selamat kalau gitu, semoga kamu bahagia dengan pilihan kamu.”
Ucapan selamat yang harusnya terdengar menggembirakan, malah terdengar janggal jika didengar lebih baik lagi.
Ada nada sedih dan kecewa di dalamnya, apalagi jika Ayu bisa melihat ekspresi Rania saat ini.
'Terima kasih doanya. Aku akan mengabarkan mengenai hasil pertemuan sekolah besok, kepada Kakak.”
“Baiklah, terima kasih ya.”
“Sama-sama, Kak.”
🍀🍀🍀
Belum lama Ayu menutup panggilan itu, ponselnya kembali berdering menampilkan nama kekasih yang baru dimilikinya.
“Halo, Sayang. Kamu tadi telponan sama siapa, kok nada sibuk terus?” cerocos Alden.
Ayu tertawa terkekeh, mendengar Alden yang langsung bertanya tak sabaran sehingga lupa mengucapkan salamnya.
“Ya ampun, Al, tenang aja. Bukan cowok kok yang nelpon aku.”
“Syukurlahh!”
Terdengar helaan nafas lega dari seberang telepon, yang membuat Ayu tertawa tergelak.
Mendengar suara tawa yang renyah itu, membuat Alden tak berhenti tersenyum menyadari kekonyolannya.
Suara tawa yang terdengar bagai alunan musik indah, yang menularkan keceriaaan dan kebahagiaan pada semua orang termasuk seorang Alden Richards, tawa yang jarang wanita itu umbar di khalayak ramai dan kini hanya dia seorang yang dapat menikmati tawa itu sendiri.
“Tadi itu Kak Rania yang nelpon,” jelas Ayu.
“Oohh, apa terjadi sesuatu? Kenapa suaramu jadi lesu? Aku lebih senang mendengar tawa ceria tadi, terdengar indah di telingaku.”
“Gombal!”
Ucap Ayu. Ia mengembuskan lagi napasnya.
“Besok Kak Rania nggak bisa ikut antar Della. Ada suatu hal penting yang tidak bisa dia tinggalkan. Aku hanya khawatir, Della akan merajuk karena tau Kak Rania membatalkan janjinya.”
“Ohh begitu. Besok acaranya jam berapa?”
“Jam sembilan pagi, Open House aja belum belajar aktif. Program perkenalan sekolah, dengan murid dan wali murid saja. Della nanti akan berkenalan dengan teman dan guru barunya.”
“Oh, I see. Bagaimana kalau aku yang menggantikannya?”
“Apa? Nggak usah, Al. Besok kalau nggak salah kamu ada pertemuan sama auditor, ‘kan?”
“Iya, jam delapan pagi. Aku hanya ikut menyambut mereka saja, selebihnya nanti biar kuserahkan pada Pak GM saja dan juga Sarah.”
“Apa benar tidak mengganggu?”
“Tentu saja tidak, walaupun mungkin aku akan sedikit terlambat menyusul kalian.”
“Baiklah. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana wajah senang Della, saat melihatmu hadir di sana menemaninya.”
“Aku bisa membayangkannya. Matanya membulat kaget, senyumannya lebar sambil berteriak 'Daddy ... Daddy ...' khas dengan suara melengkingnya.”
Ayu dan Alden kemudian tertawa membayangkan apa yang dijabarkan pria itu barusan.
Seperti itulah reaksi Della saat bertemu dengan Alden, selalu riang gembira lalu merentangkan kedua tangan kecilnya untuk menyambut dan memeluk tubuh besar Alden.
“Terima kasih, Al. Aku akan tenang menghadapi hari esok bersama Della, jika kamu ikut dengan kami. Dia pasti tidak akan badmood lagi.”
“Jangan berterima kasih kepadaku. Apa pun akan kulakukan untukmu, dan juga putri kecilku. Aku sangat mencintaimu, Ayu.”
“Al ....”
Lidah Ayu kelu, tak mampu membalas kata-kata yang sama seperti yang Alden harapkan. Semuanya seperti de javu saat dia masih bersama Rangga.
Dirinya yang sering mengumbar kata cinta tapi tidak pernah dibalas oleh sang suami, mantan tepatnya.
“Sst ... tak perlu kamu jawab. Kamu hanya perlu rasakan semua perasaan cinta yang melimpah untukmu, dan berbahagia.”
“Aku bahagia, Al. Sangat bahagia,”
Ucap Ayu, diiringi air mata yang menetes di sudut matanya.
Semuanya terasa bagai mimpi. Semuanya terlalu indah dan sempurna.
🍀🍀🍀
Sementara itu di tempat lain ....
“Dia akan menikah?”
Rania tersentak kaget, dan menoleh ke belakang.
“Ka-kamu mendengarnya?”
“Hemm, apakah dia bahagia?”
“Sepertinya dia bahagia. Tapi, bagaimana denganmu?”
“Tidak ada yang kuinginkan di dunia ini selain melihatnya bahagia. Melupakan semua luka dan penderitaannya karena aku, dan kita.”
Rania hanya memejamkan mata, tak mampu melihat pria di hadapan yang sekilas tampak begitu kuat menahan perasaannya sekaligus rapuh.
“Jika dia hidup dengan bahagia, maka aku pun bisa melanjutkan hidupku dengan lebih tenang dan damai.”
“Kamu memang harus melanjutkan hidup. Kamu pun berhak bahagia. Sudah cukup pengorbananmu menanggung kesalahan yang kami perbuat. Tidurlah, besok kita akan menemui Dr. Frans lagi untuk terapi.”
Rania kembali membawa pria itu ke kamar.
Menemani tidur, agar tidak ada lagi mimpi-mimpi buruk yang mengganggu tidur adik kesayangannya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment