Friday, August 7, 2020

Cinta Ayudia 22

Cinta Ayudia 22
A story by Wati Darma
Part 22

Ayu tampak bersandar pada tepian balkon kamar hotel, menikmati udara dingin di pagi hari yang membelai wajahnya. 
Udara pagi itu membuat hidungnya terasa dingin membeku. Angin laut pesisir pantai cukup kuat berembus, mengibarkan helaian rambutnya yang mulai mengering.
Ini pertama kalinya Ayu menikmati liburan bersama keluarga Richardson, itupun setelah paksaan dari Della, Alden, dan Alicia yang bersekongkol untuk membuatnya menyetujui liburan ini. Biasanya dirinya tidak pernah mau ikut pada setiap perjalanan bisnis bosnya itu. 
Namun kali ini berbeda. Bosnya merencanakan perjalanan ini sekaligus untuk berlibur bersama keluarga Richardson, dan mengajak dirinya juga Della, menikmati weekend panjang di bulan ini.
Ayu bukannya tidak tahu bahwa pria yang menjadi bosnya tersebut mempunyai perhatian lebih kepadanya, tapi ia memilih untuk tidak menghiraukannya. 
Dirinya sudah bertekad untuk tidak menjalin hubungan asmara, atau melibatkan urusan dengan pria lagi untuk sementara waktu. Tidak sampai kuliahnya selesai, dan impiannya untuk mempunyai usaha sendiri terwujud. 
Apalagi ia menyadari, dengan status janda yang disandangnya selalu mengundang perhatian di sekitarnya. Bahkan tak sedikit karyawan lain di kantor yang memandangnya sebelah mata, karena status dan kedekatannya dengan pimpinan tertinggi perusahaan Ricahardson berusia tiga puluh dua tahun itu. 
Hanya Sarah—sekretaris senior— yang menjadi teman dekatnya di perusahaan itu.
🍀🍀🍀
Kring..kring...
Ayu melangkah masuk ke kamarnya, setelah mendengar nada dering ponselnya bergaung dari atas nakas.
Mas Angga Calling …
Setelah tiga tahun lamanya, baru pertama kali ini ponselnya menyembulkan kembali nama itu. Jika dulu tertera ‘Husband’, sekarang hanya nama panggilan kesayangannya yang belum ia ubah sama sekali. 
Apakah karena lupa atau lain hal, ia sendiri tidak tahu. 
Biasanya Rangga rutin menghubungi Della melalui ponsel yang dimiliki putrinya. Rangga tidak pernah menghubunginya langsung ke ponselnya. 
Da selalu menghubungi ke ponsel Della, dan menanyakan kabar dirinya melalui putri mereka.
Ayu merutuki dirinya karena terlalu lama melamun, sehingga panggilan itu terhenti seketika. Ada rasa tak nyaman menggelayutinya, karena tidak mengangkat telepon dari Rangga.
Ada hal penting apa yang membuatnya langsung menghubungiku?
Lamunan Ayu kembali terpecah, saat ponselnya kembali berdering memunculkan nama yang sama seperti sebelumnya. 
Kali ini Ayu langsung mengangkatnya padahal baru berdering satu kali.
“Halo,” ucapnya cepat .
“Assalamualaikum,” 
Sapa suara Rangga dari seberang sana, hampir bersamaan dengan sapaan Ayu.
Pipi Ayu memerah karena lupa mengucapkan salamnya, saking penasaran atas apa yang akan disampaikan pria itu.
“Waalaikumussalam, Mas. Apa kabar?” balas Ayu.
Di seberang pulau sana, pria itu tersenyum hangat mendengar panggilan 'Mas' yang masih disematkan Ayu untuk dirinya. 
Sejenak, dia terdiam tak mampu berkata-kata. Lupa akan tujuannya menghubungi wanita yang sudah tiga tahun ini coba dia lupakan, sampai dehaman suara wanita itu kembali terdengar di telinganya.
“Ehem, Mas ada apa?”
“Apa kamu baik-baik saja? Kamu masih di rumah sakit?”
Ayu mengernyitkan dahi, saat mendengar pertanyaan Rangga yang penuh kekhawatiran akan dirinya. 
“Aku nggak apa-apa, Mas. Aku ada di kamar hotel.”
“Alhamdulilah, syukurlah jika tidak terjadi sesuatu yang serius. Aku kemarin menghubungi Della dan ternyata ia sedang menangis. Katanya sesuatu terjadi pada kamu, dan dia sedang berada di rumah sakit. Ia terus menangis dan menyalahkan dirinya, katanya kamu terluka karena dia.”
“Della terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku terluka murni karena kecelakaan. Aku baik-baik saja.”
“Apakah lukanya dalam? Harus dijahit? Della bilang banyak darah di paha kamu.”
Ayu mengigit bibir bawahnya pelan, bingung menjawab apa. 
Tidak mungkin ia mengatakan bahwa itu adalah darah perawannya.
“Ti-tidak sampe dijahit kok, hanya luka biasa.”
Di seberang sana, Rangga kembali mengernyitkan dahi merasa heran dengan jawaban Ayu. Bagaimana mungkin hanya luka biasa? 
Menurut penuturan Della semua orang tampak khawatir akan Ayu. 
Namun, Rangga memilih diam tidak menyuarakan suara hatinya. 
Biarlah dia belajar menahan diri lagi, terhadap segala hal yang menyangkut Ayu.
Keduanya lalu terdiam, tidak tahu harus membahas apalagi semuanya terasa canggung.
“Mas apa kabar? Sehat?” 
Tanya Ayu memecah keheningan antara mereka berdua.
Di seberang sana Rangga mengangguk sambil tersenyum miris.
“Aku baik-baik saja. Saat ini aku sedang bersama teman-temanku di kota jadi bisa menghubungimu. Besok baru akan kembali ke lokasi pembangunan site. Bagaimana denganmu? Apa kamu melanjutkan kuliahmu?”
“Hem, aku mengambil jurusan Manajemen bisnis. Cita-citaku sudah tidak lagi ingin menjadi diplomat. Aku ingin mempunyai bisnisku sendiri.”
“Oh ya? Baguslah kalau begitu.”
“Tapi aku ambil kuliah malam. Siangnya aku bekerja”
“Apakah kampusnya jauh dari rumah? Kamu naik apa ke sana? Tidak aman kalau kamu pulang malam sendirian.”
Hati Ayu menghangat mendengar nada khawatir terlontar dari bibir Rangga. 
Ayu sendiri memilih rumah kontrakan dekat kampus, karena ia masih trauma bepergian malam sendirian.
“Tenang saja, aku menyewa rumah kecil persis dekat kampusku. Hanya lima menit berkendara dengan motor, tempatnya ramai dan insya allah aman.”
“Syukurlah. Lalu bagaimana dengan Della? Tahun ini dia masuk SD ‘kan ya?”
“Betul. Aku sudah diskusikan sekolah barunya bersama Kak Rania. Ehm. Maaf aku tidak mendiskusikannya denganmu.”
“Tidak apa-apa, kamu dan Rania lebih tahu sekolah mana yang terbaik untuk Della. Aku akan mengirimi uang untuk biaya masuk sekolah Della.”
“Tidak, tidak usah. Uang tunjangan yang Mas kirimkan setiap bulan untuk Della jarang dipakai. Akan kugunakan uang itu.”
“Ini sudah kewajibanku. Walau Della hanya anak kita di atas kertas, tapi aku sudah menganggapnya sebagai putriku sendiri. Aku akan bertanggungjawab untuknya sampai dia besar nanti.”
Beberapa menit lalu ia mampu berbincang santai dengan Rangga seolah tidak ada masalah antara mereka, tapi saat menyinggung mengenai Della, kenangan itu menyeruak kembali. 
Ayu menolehkan kepalanya saat ranjang di sebelahnya bergoyang. Della telah melompat ke atas ranjangnya.
“Mas mau bicara sama Della? Dia baru selesai dari kamar mandi.”
Pria di seberang sana sebenarnya enggan untuk menjawabnya. Ia ingin mendengar suara Ayu lebih lama lagi. 
“Boleh,” jawabnya dengan berat hati.
Ayu menyodorkan ponselnya kepada putrinya yang memandangnya heran. 
“Siapa Bun?”
“Ini Ayah,” jawab Ayu.
Mata Della langsung berbinar gembira, dan menarik cepat ponsel itu dari genggaman Ayu.
“Ayaahhhh … Della kangen. Mmuah ... muah …muah!” 
Pekik Della, sambil tersenyum gembira.
Terdengar kekehan ringan dari ponsel tersebut, yang telah diloudspeaker oleh Ayu.
“Ayah kangen juga sama Della,” balas Rangga.
Ayu duduk menyandar di tepi ranjang, sambil mendengarkan ayah dan anak itu mengobrol dan bercerita. 
Ia menyimak setiap perkataan Della, yang begitu antusias menceritakan liburannya bersama keluarga Richardson. 
Jauh dalam lubuk hati Ayu, ia merindukan suasana hangat dan akrab keluarga kecilnya yang bahagia seperti waktu itu, sebelum rentetan mimpi buruknya terjadi.
🍀🍀🍀
Bel kamar hotelnya berbunyi, Ayu melangkahkan kakinya menuju pintu melihat siapa yang datang sepagi ini.
“Selamat pagi, Sayang,” 
Sapa pria tampan yang berdiri di depan pintunya, sambil menampilkan senyuman dan lesung pipi yang mampu melelehkan semua hati wanita yang melihatnya.
Ayu tersenyum canggung, saat mendengar sapaan sayang keluar dari bibir merah Alden. 
Ia belum terbiasa dengan kedekatan mereka yang sekarang sudah naik statusnya.
“Selamat pagi. Silahkan masuk,” 
Balas Ayu, sambil membukakan pintu dan menggeser tubuhnya agar pria itu bisa masuk ke kamarnya.
“Di mana si cantik?” 
Tanya Alden, sambil mencari keberadaan gadis kecilnya.
“Dia sedang mengobrol dengan ayahnya lewat ponselku.”
Ada sedikit perasaan tak nyaman di hatinya saat mendengar jawaban Ayu. 
Alden mencoba untuk tak menghiraukannya. 
Dia mengerti, bahwa masih ada Della yang akan menjadi penghubung antara Ayu dan Rangga dan dia sedikit khawatir akan itu.
“Daddyyy!” 
Seru Della, saat melihat Alden berada di ruang tamu kamar hotelnya.
“Hai, princess! Emmh ... wangi bangett. Sudah mandi, ya?” 
Tubuh mungil itu tenggelam dalam dekapan Alden.
“Sudah dong.”
“Yuk, kita turun! Oma udah nunggu kita buat sarapan,” 
Ajak Alden, sambil menggenggam tangan mungil Della.
“Ayokk!” 
Balas Della, mengeratkan pegangannya di tangan Alden. 
Mereka pergi lebih dulu meninggalkan Ayu.
Wanita itu kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan tas tangannya, kemudian menyusul Alden dan Della yang telah mendahuluinya berjalan menuju restoran hotel. 
Di meja itu hanya tinggal Ayu yang baru tiba, Della sedang mengunyah suapan pertama dari sereal yang diberikan Alden untuknya.
“Bunda, masih lama kuliahnya ya?” 
Tanya Della tiba-tiba.
Ayu mengernyitkan dahinya, heran dengan pertanyaan Della yang tiba-tiba menanyakan kuliahnya. 
Ia pun menganggukan kepalanya.
“Sepertinya begitu. Kenapa, Sayang?”
Della menundukkan kepalanya lesu, binar di matanya kini meredup sendu. 
“Della kangen Ayah, kalau Bunda sudah selesai kuliahnya Ayah pasti pulang kan, Bun? Ayah dulu pulang ke rumah juga setelah Ayah selesai kuliah. Iya kan, Bun?” tanya Della.
Tubuh Ayu kaku begitupun dengan Alden. 
Sepertinya semua kegiatan di meja makan itu terhenti saat mendengar pertanyaan Della. 
Alicia, Matthew, dan bu Riana melirik ke arah Ayu dan Alden yang masih terdiam.
“Me-Memangnya Ayah bilang mau pulang?” tanya Ayu.
Della menggeleng lemah. 
“Tidak Bunda, Ayah tidak bilang apa-apa. Della kangen kumpul bertiga, main bertiga, terus bobo bertiga,” ucap Della.
Lidah Ayu kelu, tidak tahu harus menjawab apa di tengah situasi seperti ini. 
Ingin ia memarahi putri kecil itu, tapi dia belum tau apa-apa mengenai orangtuanya yang kini telah berpisah. 
Ingin ia menangis tapi apa yang harus ditangisi, semuanya sudah berlalu. Ia melupakan satu hal dalam keputusannya untuk menerima Alden, ia lupa meminta persetujuan putrinya.
Alden tampak mencengkeram erat sendok yang berada di tangannya, yang kemudian melemas setelah tangan bu Riana kini menggengamnya.
“Kamu melupakan persetujuan Della dalam hubungan kalian. Bersabarlah,” 
Bu Riana berbisik pada putranya, yang dibalas anggukan Alden.
Alden membalik bahu Della ke arahnya, menghapus airmata yang mengalir perlahan dari sudut mata itu. Segera ia menarik gadis kecil itu ke pangkuannya.
“Anak cantik kok nangis? Di sini kan ada Daddy. Daddy mau kok jadi temen bermain Della, bertiga sama Bunda, jalan-jalan bertiga terus bobo bertiga, kalau perlu Daddy akan tinggal bertiga bersama kalian di rumah,” bujuk Alden.
Tangisan Della berhenti lalu menatap pria di hadapannya. 
Tangan kecilnya meraih wajah tampan Al, dan menekan letak lesung pipinya sesuai kebiasaannya.
“Tapi Daddy bukan Ayah,” 
Gumam Della sambil memeluk tubuh besar itu, menenggelamkan wajahnya di dada Alden yang berdebar kencang karena menahan berbagai emosi di dalam dirinya.
Tangannya merasakan kembali kehangatan dari tangan yang berbeda. 
Ia melihat Ayu yang menggengam tangannya, sambil tersenyum mencoba menghibur dirinya.
Aku akan lakukan apa pun untuk mendapatkanmu, dan juga membuat Della menyadari bahwa aku bisa menjadi Ayah yang baik untuknya.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER