Cinta Ayudia 33
A story by Wati Darma
Part 33
Ting nong ... ting nong ....
Kaki kecil Della berlari menuju pintu, setelah mendengar bel apartemen berbunyi.
Gadis kecil itu langsung menyongsong tubuh Ayu dan memeluknya.
“Ayah ada di kamar mandi, nggak mau keluar. Kayak ada suara benda terjatuh, Bunda,”
Ucap Della cemas.
“Sejak kapan Ayah ada di kamar mandi?” tanya Ayu.
“Setelah Della telepon Bunda, Ayah langsung masuk ke kamar mandi,” jawab Della.
Yogi langsung masuk ke dalam kamar Rangga yang tampak berantakan.
Ada gumpalan kain kotor berbau asam di pojok kamar, juga botol-botol obat di meja nakas.
Dia mengetuk pintu kencang dan memanggil Rangga tapi tidak ada jawaban, hanya terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi.
“Apa yang terjadi sebelumnya, Della?” tanyanya.
“Della bobok di sini sama Ayah, Bunda Rania bobok di kamar sebelah. Tiba-tiba Ayah bangun sambil teriak dan menangis, seperti orang mimpi buruk. Bunda Rania lalu kasihkan obat itu,” tunjuk Della pada botol-botol di atas nakas, “
Tapi Ayah malah muntah-muntah.”
Telunjuk Della kemudian mengarah pada tumpukan kain yang berbau tidak sedap itu.
“Karena obat habis, jadi Bunda Rania pergi mencari apotik yang buka 24 jam.”
Yogi menyerahkan botol-botol obat kosong itu pada Ayu lalu berkata,
“Ini bukan obat sembarangan, anti depresan dan penenang. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Ayu menatap nanar botol obat kosong di tangan Yogi. Ia tidak pernah tahu bahwa mantan suaminya mengidap penyakit serius.
“Mas Yogi, dobrak saja pintunya. Aku takut sesuatu yang buruk terjadi,” pinta Ayu.
Brugh ... brugh ... brakk!
Pintu kamar mandi pun terbuka, Ayu dan Yogi terkejut melihat apa yang terjadi di dalam.
Ayu lekas menutup kembali pintu itu, untuk mencegah Della melihat keadaan ayahnya yang sangat kacau.
“Della bantu Om Yogi bawa keluar kain kotor itu, ya. Setelah itu pergi tidur di kamar sebelah, biar Bunda yang rawat Ayah sambil menunggu Bunda Rania datang,” perintah Ayu.
“Baiklah, tapi Ayah nggak kenapa-napa, ‘kan, Bun ?” tanya Della.
“Iya, nggak kenapa-napa. Besok saat Della bangun tidur, Ayah akan berada dalam kondisi yang jauh lebih baik,” jawab Ayu.
“Mas Yogi tolong temani Della, ya. Biar Ayu yang urus Mas Angga,”
Pinta Ayu pelan kepada Yogi.
“Baiklah, jika butuh bantuan panggil saja aku,” balas Yogi.
Ayu mengangguk, lalu bergegas menuju ke kamar mandi di mana Rangga berada. menutup pintu di belakangnya, agar tidak terlihat oleh Della. Bagaimanapun, putri mereka tidak boleh melihat kerapuhan orang tuanya.
🍀🍀🍀
Tanpa sadar air mata Ayu mengalir, hatinya berdenyut sakit melihat keadaan Rangga.
Pria itu duduk terkulai lemah, di bawah kucuran shower yang terus mengalir.
Matanya menatap kosong pada kedua tangannya.
Tangan kirinya yang beberapa hari tampak dibalut perban, kini bercucuran darah kembali.
Luka-luka baru tampak di sana, beserta beberapa kepingan kaca yang masih menancap.
Ayu lalu menoleh pada kaca kamar mandi yang telah pecah berkeping-keping.
Akhirnya ia tahu, darimana luka-luka di buku jari mantan suaminya itu, baik luka baru dan bekas luka lama lainya.
Tapi, kenapa ia menyakiti dirinya seperti itu?
Ayu bergegas memutar keran shower dan mematikannya.
Ia bisa lihat bibir Rangga yang mulai pucat, kedinginan. Ayu menyambar handuk yang menggantung di dekat pintu, mengelap mengeringkan wajah dan kepala Rangga.
Ia menahan tangis, agar tidak semakin deras mengalir di wajahnya.
“Mas, apa yang terjadi padamu?” lirih Ayu
Tatapan Rangga masih kosong menatap kedua tangannya, mengacuhkan Ayu yang berlutut di depannya.
Dengan air mata yang masih berderai, tangan Ayu bergerak membuka kancing baju piyama Rangga yang telah basah kuyup tersiram air, membukanya pelan melewati tangan yang terluka. Satu persatu pakaian Rangga terlepas dari tubuhnya, tidak ada kecanggungan dalam benak Ayu dengan ketelanjangan Rangga, toh dulu ia pernah melihat mantan suaminya tanpa busana.
Yang ada di pikirannya sekarang, hanyalah kondisi Rangga yang seolah bergerak tanpa ada jiwa di dalamnya.
Rangga menuruti semua perintah, dengan tatapan kosong mengarah pada wajah wanita yang masih menangis di hadapannya.
Ada kesedihan dan ketidak berdayaan pada tatapan matanya.
Ayu telah selesai mengeringkan tubuh pria itu, dan memakaikan bathrobe pada tubuh Rangga yang terlihat lebih kurus dari yang ia ingat.
Dengan telaten, ia membersihkan luka di buku-buku jari Rangga, pelan-pelan mencabut pecahan kaca yang masih menancap di kulit.
Tak sedikit pun respon atau rintih kesakitan yang pria itu tunjukkan, saat Ayu membersihkan luka di tangannya.
Seolah luka-luka itu tidak sakit sama sekali, padahal ada beberapa luka yang cukup dalam sampai lapisan dagingnya terlihat jelas oleh Ayu.
Namun, lelaki itu hanya diam.
“Tangan ini telah banyak menyakitimu, memukulmu ... mendorongmu … membuatmu terluka. Kau tak perlu mengobatinya,”
Ucap Rangga dingin.
Ayu terkesiap dengan perkataan Rangga, yang akhirnya merespon kehadiran dirinya.
“Jika kamu menyembuhkannya, maka tangan ini akan kembali melukai kamu. Membuatku menjadi sosok monster yang menakuti dirimu, menyebabkanmu trauma. Biarkan saja tangan ini menerima hukumannya,”
Tambah Rangga, masih dengan ekspresi datar dan bernada marah dalam setiap perkataannya.
Ayu menggelengkan kepalanya.
Air mata yang sedari tadi ditahannya, kini mengalir deras di wajah.
“Tidak. Ini salah, Mas. Bukan dengan cara ini kamu menghukum dirimu,” isak Ayu.
“Harusnya aku yang melindungi dirimu, tapi yang aku lakukan malah sebaliknya. Aku pernah berjanji menjadi pelindung dirimu pada ayahmu, tapi kenyataan berbalik. Aku malah menjadi sumber trauma dan ketakutanmu. Wajahmu yang begitu ketakutan karena perbuatanku saat itu, terus terbayang di mataku. Dan hari ini, aku kembali melukai kamu, bertambah lagi dosaku padamu,”
Ucap Rangga penuh penyesalan.
“Tidak, aku tidak terluka, Mas. Kamu tidak sengaja. Justru aku Bahagia, karena kamu masih peduli padaku dan membelaku di depan Dika.”
Ayu meyakinkan Rangga, agar tidak terus-terusan menyalahkan diri sendiri.
“Lihatlah, aku segar bugar, tidak ada luka ataupun memar. Lagi pula itu bukan salahmu,” tambah Ayu.
“Jangan benci kepadaku, Ayu. Aku rela tidak memiliki kamu dan cintamu, tapi jangan pernah membenciku. Aku tak sanggup, jika kamu akhirnya membenciku. Aku berjanji, akan membahagiakanmu dan menebus segala dosa keluargaku,”
Rangga tiba-tiba menangkupkan tangannya dan menggengam tangan Ayu.
“Aku mohon, jangan pernah benci padaku. Tatapanmu saat itu terus membayangi mimpiku, saat kamu meneriakiku monster. Aku tidak akan pernah mengulanginya lagi. Aku janji!”
Mohon Rangga, sambil membawa tangan Ayu ke bibirnya dan mengecupinya pelan.
“Aku tidak pernah membencimu, Mas. Aku telah memaafkan apa yang telah terjadi di masa lalu. Saat itu, kita hanya korban dari keadaan.”
Ayu memejam dan menghela napas, rasanya sesak jika harus mengingat hal itu lagi.
“Ayu ingin Mas Angga lanjutkan hidup. Jangan terus ingat hal itu lagi. Raih suksesmu, dan temukan kebahagiaan Mas sendiri,” tambah Ayu.
“Walau tidak bersamaku” Gumam Ayu.
“Hidupku akan tenang, jika aku sudah mengembalikan semua yang telah hilang dari hidupmu karena perbuatanku dan keluargaku,” lirih Rangga.
Dia melepaskan genggaman tangan Ayu dan terdiam menundukkan kepala, air mata kini mengalir di pipi tirusnya.
“Kau harus kehilangan masa depan dan masa muda karena keluargaku. Kehilangan cinta juga karena keegoisanku, kehilangan ibumu juga hidup sebatang kara karena keluargaku, terhina karena status janda juga karena aku ....”
Perkataannya terpotong, karena tangisan Rangga yang terdengar menyayat hati Ayu.
Air mata bertambah deras mengalir di wajahnya, masih sambil menundukkan kepala.
“Bagaimana aku bisa memperjuangkan cintaku, jika dosa itu semua dilakukan oleh keluargaku sendiri.”
“Aku tersiksa tidak bisa memilikimu, tapi aku lebih tersiksa melihatmu menderita jika terus bersamaku. Biarkan aku menebus semua kesalahan itu. Biar aku yang mengembalikan semua yang harusnya kamu miliki. Aku tidak bisa memilih lahir dari ibu yang seperti apa, aku juga tidak bisa membencinya. Hanya bisa memperbaiki kesalahan yang diperbuat, dan menjauhkanmu darinya. Tolong, maafkan aku dan keluargaku, terutama ibuku. Jangan benci aku.”
Air mata Rangga terus mengalir tak terbendung.
Mengeluarkan semua rasa sakit dan sesal yang dipendam selama tiga tahun ini.
Dan kini, dia bisa mengeluarkannya dan meminta maaf langsung pada orang yang telah disakiti olehnya, oleh ibunya.
Semua kata maaf dan penyesalan terus keluar dari bibir Rangga, yang terus meracau mengeluarkan semua keluh kesahnya.
Ayu tak bisa tak menangis melihat pria yang pernah dicintainya, yang pernah menjadi pelindungnya kini tampak hancur. Rapuh tak tertolong.
Ia menangkupkan tangannya pada rahang Rangga, dan mendekatkan wajah mereka sampai tak berjarak.
Mulanya Ayu hanya ingin mengecup bibir itu untuk menghentikan semua racauan dan isakan Rangga, tapi setelah bibir mereka bertemu kini keduanya enggan berpisah.
Sebelah tangan Rangga memegang tengkuk Ayu dan memperdalam ciuman mereka, sapuan bibir penuh kelembutan seolah tidak ingin berakhir.
Rasa asin dari air mata mereka dan kesedihan mendalam dari keduanya, membuat mereka terlarut suasana.
Mereka hanya ingin merekam kedekatan ini dalam kepala dan hati, bahwa mereka pernah saling mencintai dan sama-sama terluka karena cinta.
Rangga melepaskan tautan bibirnya dengan enggan, menempelkan dahinya di kening Ayu. Mencoba meresapi kebersamaan ini, yang mungkin akan menjadi hal terakhir yang mereka dapat lakukan sebelum wanita di hadapannya akan menjadi istri orang lain.
“Mengapa mencintaimu harus sesakit ini? Mengapa jalanku untuk memilikimu harus sesulit ini,” lirih Rangga, air mata kembali menetes di wajahnya.
“Jika memang sulit dan sakit, maka lepaskan cinta itu.”
Ayu mengatakan itu sambil memejamkan mata, menahan kecewa di dalam hatinya.
Hatinya ingin berkata lain, tapi akhirnya kata-kata itu yang terucap dari bibirnya.
Ayu bisa apa, jika pria yang dicintainya sampai sekarang itu, akan semakin tersakiti jika mereka terus bersama.
Harusnya dengan cinta keduanya, mereka tidak akan kesulitan untuk bersatu kembali, tapi jika mereka berakhir dengan kesakitan seperti yang Rangga utarakan, ia bisa apa.
Mungkin memang menikah dengan Alden adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan, agar dirinya juga Rangga, bisa mengikhlaskan perasaan mereka untuk berakhir sampai di sini. Tidak saling tersakiti lagi.
Ayu melingkarkan lengannya di pinggang pria itu, dan membawanya berjalan ke ranjang yang kini tampak lebih rapi. Sepertinya Yogi dan Della yang membersihkan tempat itu.
Rangga membaringkan tubuhnya di tengah Kasur, Ayu lalu menyelimutinya sampai dada.
“Bolehkah aku meminta sesuatu?” tanya Rangga.
“Apa, Mas?”
“Peluk aku seperti dulu, sampai aku tertidur. Mungkin, ini permintaan terakhirku sebelum kamu resmi menjadi istri orang lain.”
Ayu menghela napasnya pelan.
Mendengar sebutan itu membuatnya tersadar, bahwa ia kini adalah seorang wanita yang telah terikat janji dengan seorang pria yang akan menjadi suaminya dalam hitungan hari ke depan. Rasa bersalah itu kemudian datang, saat mengingat kejadian tadi di mana ia mencium mantan suaminya, dan kini berada di sini sambil memeluknya.
“Untuk yang terakhir sebelum kita benar-benar berpisah”ucapnya dalam hati.
Ayu terdiam dalam rengkuhan Rangga, menyandarkan kepalanya di dada pria itu yang kini berbaring miring memeluknya erat.
Ia dapat mendengar jelas degup jantung yang berdetak cepat, juga hembusan napas yang mengenai puncak kepalanya.
Perasaan nyaman ini tidak berubah, sama seperti dulu.
Tidak ada yang mengeluarkan kata-kata, hanya keheningan yang menyelimuti ruangan kamar tersebut.
Ayu masih dalam pikirannya sendiri mencoba menerka apa maksud semua perkataan Rangga tadi. Ada yang mengganjal dalam hatinya.
Ingin ia menanyakan itu, tapi ia tahu sekarang bukan waktu yang tepat untuk menanyakannya. Ia akan mencari tahu nanti jika Rangga sudah sadar sepenuhnya, tidak seperti sekarang.
Sementara itu Rangga tengah menikmati pelukan hangat Ayu, menghirup wangi rambut dan aroma tubuh yang beberapa waktu lalu menghilang dari ingatannya.
Aroma bayi penuh kelembutan, halusnya kulit yang pernah dia sentuh, wajah mungil nan cantik dan rasa bibirnya yang manis.
Semuanya kembali direkam di otak kecilnya, bahwa dia pernah mencintai wanita dalam pelukannya ini sepenuh hatinya walaupun tidak bisa dia miliki selamanya.
Dia tersenyum dalam tidurnya, membayangkan jika 'misi'nya yang selama ini diam-diam dilakukannya akan berhasil, dan memberikannya kepada Ayu.
Saat itu, dia akan merasa bebas sepenuhnya karena berhasil mengembalikan semua milik wanita yang dicintainya.
Sebentar lagi …
Ayu melepaskan pelukan Rangga, saat dia merasakan rengkuhan pria itu melemah.
Napas pria itu semakin beraturan, menandakan bahwa dia telah lelap dalam tidurnya.
Ia beringsut turun dari ranjang, matanya kembali menatap sang mantan suami yang tengah tertidur.
Selamat tinggal …
Bersambung
No comments:
Post a Comment