Cinta Ayudia 27
A story by Wati Darma
Part 27
Ayu tengah memilah-milah dokumen yang berserakan di atas meja sebuah kafe.
Mencermati kembali data yang ia dapatkan dari salah satu gerai retail—milik Alden—di Mall ini. Saat ini, ia tengah berada di foodcourt, menunggu pesanan makan siangnya datang.
Ia telah selesai melakukan survey juga mengumpulkan beberapa data, lalu memutuskan untuk rehat sejenak di kafe ini untuk makan siang.
Ayu saat ini tidak pergi ke kantor pusat seperti biasa, karena hari ini adalah jadwalnya untuk melakukan kunjungan ke beberapa gerai departemen storemilik Richardson inc. guna melengkapi skripsinya.
Ya, ia memilih melakukan riset pemasaran pada beberapa gerai milik Alden, dan pria itu tak keberatan dirinya menjadikan salah satu anak perusahaan Richardson di bidang ritel dan fashion itu, sebagai bahan penelitiannya.
Saat ini Alden tengah melakukan perjalanan bisnis keluar negeri beberapa hari, jadi ia memutuskan untuk pergi survey saja daripada di kantor harus bertemu lagi dengan Dika. Semenjak pembicaraan keduanya kemarin di mobilnya, ia memutuskan untuk menjaga jarak dengan teman lamanya tersebut.
Selain untuk menjaga perasaan Alden, ia juga sebenarnya merasa sedikit tidak nyaman dengan sikap Dika yang jauh berbeda dengan yang ia kenal dulu.
Tidak ada lagi Dika yang manis dan tertutup, yang ia lihat dan dengar sekarang adalah seorang Sandika Pratama yang flamboyan, sering tebar pesona, dan tipe pemain wanita, player.
Bertahun-tahun tidak bertemu membuatnya menjadi pribadi yang sangat berbeda, dan Ayu merasa tidak nyaman saat berdekatan dengan Dika.
Kring ... kring ...
+62856789xxxxxx calling...
Ayu mengernyitkan dahi saat sebuah nomor tak dikenal menghubungi dirinya, yang akhirnya ia angkat karena khawatir ada sesuatu yang penting.
“Hallo, selamat siang,” ucap Ayu.
“Ayuu... kamu di mana, Sayang?”
Balas suara di seberang sana.
Hah, Sayang? Ini siapa? Ini bukan suara Alden.
“Ini siapa?” tanya Ayu heran
“Astagaa... jadi nomer ponselku tidak kamu simpan ya? Apa kartu namaku berakhir teronggok di tempat sampah?”
Tanya lagi suara pria di seberang sana.
Glek...
Ayu langsung menyadari suara siapa yang berada di seberang ponselnya saat ini, pria yang tengah dihindarinya.
“Dika, ya? Maaf, aku lupa belum simpan nomer HP kamu dan kartunya juga aku lupa taro di mana,” jawab Ayu.
Ia menggigit pipi dalamnya, berusaha tidak gugup karena telah berbohong.
Terdengar helaan nafas berat Dika.
“Sudah kuduga. Kamu di mana sekarang? Aku lagi di kafetaria makan siang sama Dessi, ke sini dong!”
“Eh, aku lagi nggak di kantor, ada tugas luar. Aku nggak ke kantor pusat beberapa hari ini.”
“Kok gitu? Sama Bos kamu ya?”
“Enggak kok, aku lagi riset pemasaran beberapa gerai anak perusahaan Richardson. Jadi, aku mondar mandir sana sini, Senin baru aku ngantor lagi.”
“Enak banget ya jadi kesayangan bos, bisa nggak ngantor.”
“Apa maksud kamu?”
Suara Ayu agak meninggi mendengar perkataan Dika yang menggelitik hatinya.
“Dika, tolong kamu jangan beranggapan negatif dan memercayai perkataan orang lain yang tidak-tidak tentang saya. Pak Alden sendiri yang memerintahkan, agar saya menjadikan anak perusahaannya sebagai bahan skripsi saya, karena itu juga bisa menjadi bahan evaluasi untuk perusahaan. Saya pun harus berkeliling Jakarta mendatangi semua gerainya untuk mendapatkan data, dan itu bukan hal yang mudah.”
“Baik, maafkan aku. Aku cuma mau ajak kamu makan siang bukan mau bertengkar.”
“Kamu duluan yang bikin kesel, dan maaf saya belum bisa makan siang sama kamu.”
“Tapi aku cuma seminggu di Jakarta loh, Yu, minggu depan udah balik ke Surabaya. Aku pengen ketemu berdua sama kamu. Kamu nggak kangen sama aku?”
Ayu menghela napas kesal, baru saja pria itu menyindirnya sinis, sekarang merayu dan mengatakan rindu.
Yang benar saja!
“Maaf Dika, lain kali aja ya. Nanti saya hubungi kalau ada waktu luang.”
“Baiklah, selamat bekerja Ayu.”
Ayu tidak menjawab, dan langsung mematikan ponselnya dengan geram.
Ini bukan pertama kalinya ia mendapat tuduhan negatif atas dirinya, tapi kali ini rasanya menyesakkan hati karena sindiran itu datang dari orang yang pernah jadi teman dekatnya.
Apakah Dika tidak berpikir untuk mengonfirmasi kebenarannya terlebih dahulu kepada dirinya, sebelum berkomentar seperti itu?
Ayu tahu, Dika pasti bisa merasakan kemarahannya. Apalagi tadi ia menggunakan panggilan formal pada dirinya tidak lagi dengan sebutan aku, tapi saya.
πππ
Ayu merapikan kembali kertas-kertas di hadapannya, saat pelayan membawakan pesanan yang ia minta. Semangkuk Soto Betawi plus nasi dan lemon tea dingin.
Setelah menambah perasan jeruk nipis dan sesendok sambal ke dalam kuah sotonya, ia makan dengan lahap. Selain karena lapar, hatinya pun terasa tak menentu, perasaan kesal, marah, dan jengkel menjadi satu di hatinya.
Setelah semuanya tandas, ia menyeruput lemon teanya perlahan dengan pikirann melayang ke pembicaraannya dengan Dika tadi.
Selama ini telinganya sudah kebal dengan segala cemoohan, bully verbal ataupun fisik, yang ia dapatkan dari teman-teman sekantornya yang lain. Tapi ia tidak membalas, hanya diam dan buktikan dengan kemampuan dirinya yang tak kalah dengan lulusan sarjana. Sarah dan Alden adalah guru terbaiknya.
Ayu kembali menghela napas jika teringat bahwa hubungan dirinya dan Alden suatu saat akan terkuak, entah apa lagi yang akan mereka bicarakan di balik punggungnya.
Ia sangat sadar akan siapa dirinya, itu juga yang mengganjal saat pertama kali Alden menyatakan perasaan.
Merasa rendah diri jika harus bersanding dengan Alden, tapi kini keluarga pria itu malah gencar mendukung hubungan mereka berdua.
Hal itu yang akhirnya membuatnya luluh.
Jika keluarga Alden mampu menerima dirinya, berarti mereka juga bisa menerima Della sebagai putrinya dan status janda yang ia sandang.
“Permisi, bolehkah saya duduk di sini?”
Sebuah suara berat membuyarkan lamunan Ayu.
Ia langsung menoleh ke asal suara, ikut tersenyum saat melihat pria di hadapannya menampilkan senyum menawan, yang membuat wajahnya semakin terlihat tampan.
“Boleh duduk di sini?” tanya pria itu lagi.
“E-eh ... bo-boleh,” jawab Ayu tergagap.
Ia mengedarkan pandangannya ke tempat lain yang memang penuh, karena ini waktunya jam makan siang.
Matanya kembali menatap pria di hadapannya yang banyak berubah.
Tubuhnya lebih kurus tapi tegap dan bidang, rambut di dahinya berganti dengan gaya sisir ke belakang yang membuatnya lebih tampak dewasa, kulitnya lebih gelap dari yang ia ingat sebelumnya, tapi menambah eksotis dan ketampanannya, bibir merahnya kini berganti dengan warna kehitaman.
Apakah ia sekarang merokok?
“Apa kabar?”
Ucap pria itu, sambil mengulurkan tangan kekarnya yang kini tampak lebih menonjolkan urat-uratnya, berkesan kasar tapi macho.
“Baik. Kamu kok ada di Jakarta?”
Balas Ayu, sambil menerima uluran tangan pria itu yang masih terasa hangat dan pas membalut tangan mungilnya.
“Iya, aku lagi cuti.”
“Tangan kamu kenapa, Mas?”
Tanya Ayu panik, saat melihat punggung tangan kiri pria itu masih terbalut perban. Ia kemudian tersadar saat bibirnya kembali memanggil 'Mas' pada pria di hadapannya.
“A-Aku masih boleh panggil kamu, Mas Angga kan?”
Tanya Ayu ragu, yang dijawab anggukan dan senyuman manis pria di hadapannya, yang tak lain adalah Rangga.
Rangga merasa sangat senang bahwa wanita di hadapannya ini masih perhatian dan peduli padanya dengan tulus, serta masih memanggil dirinya dengan panggilan yang begitu menghangatkan hati.
“Tentu saja boleh.”
“Tangannya kenapa?”
“Kecelakaan kerja biasa aja kok, resiko jadi orang proyek,”
Ucap Rangga santai.
“Terus sekarang kondisi tangannya gimana? Mas ‘kan kidal.”
“Aku sudah bisa beraktifitas dengan tangan kananku sejak lama. Jadi, kamu tidak usah khawatir.”
“Wah, hebat dong udah bisa pake tangan kanan. Eh tunggu, berarti bukan sekali ini aja tangannya terluka kayak gini? Kok bisa?” tanya Ayu heran.
Rangga menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Bingung harus berkata apa dan untungnya ada pelayan yang menyela pembicaraan mereka, menanyakan pesanan Rangga sehingga ia tidak menjawab pertanyaan Ayu.
“Della pulang jam berapa? Rencananya aku ingin memberi kejutan, dengan menjemputnya pulang sekolah nanti,” ucap Rangga.
“Dia pasti gembira melihat ayahnya sudah pulang. Mmm ... harusnya jam satu ini dia sudah dijemput, tapi dia bilang mau mampir ke tempat Ben dulu.”
“Ben?”
“Ben itu temen sekelas Della, ibunya seorang seniman. Ben mengajaknya ke galeri untuk melihat proses pembuatan gerabah. Rencananya nanti setelah pulang kerja, aku yang akan menjemputnya.”
“Bolehkah aku ikut denganmu untuk menjemputnya?” tanya Rangga ragu.
“Tentu saja boleh.”
“Kamu bawa kendaraan?”
“Aku bawa motorku, karena hari ini banyak tempat yang harus ku kunjungi.”
“Ohh ... aku yang bawa kalo gitu ya.”
Ayu tampak mengerutkan dahinya dan berpikir.
“Tapi sesudah ini masih ada tempat yang harus aku singgahi, nanti kamu nunggu lama.”
“Nggak masalah. Aku kan lagi cuti, jadi nggak ada yang aku kerjain juga.”
“Tangan Mas nanti gimana?”
“Tenang aja, aku di sini juga sambil terapi. Nggak akan sesakit itu kalau cuma buat bawa motor aja.”
“Baiklah, nanti aku cari pinjeman helm sama temenku yang kerja di sini.”
“Oke.”
Pelayan kembali menyela pembicaraan mereka membawakan makanan pesanan Rangga. Pesanan yang sama seperti pesanan Ayu.
“Eh kok sama pesenannya?” tanya Ayu heran.
“Kangen makan ini, di sana susah nemu Soto Betawi yang enak.”
“Oh gitu, ya udah Mas makan aja dulu, ya. Aku sambil ngerjain ini sedikit lagi. Bentar ya.”
“Silakan kerjakan aja dulu, jangan bikin kerjaan kamu terganggu gara-gara aku. Santai saja.”
πππ
Ayu beralih ke laptopnya dan berkutat kembali dengan kertas-kertas di hadapan, yang membuatnya larut dengan cepat dalam pekerjaannya itu.
Sementara itu, Rangga menikmati makan siang sambil memperhatikan wanita yang berada di hadapannya yang begitu serius menekuri pekerjaanya.
Raut wajah seriusnya membuat Rangga tersenyum dalam hati, betapa ia merindukan wanita di hadapannya yang bertambah cantik sejak terakhir mereka bertemu.
Sebenarnya ia tidak menyangka, bahwa pertemuannya kembali dengan Ayu setelah tiga tahun lebih tak bertemu akan seperti ini.
Ia mengira mungkin suasananya akan canggung ataupun tidak mengenakkan, tapi ternyata ia salah.
Saat ini malah dirinya dan Ayu bersikap biasa saja, seolah tidak pernah ada sesuatu terjadi antara mereka berdua.
Mungkin karena wanita itu telah mendapatkan kebahagiaan yang ia cari, sehingga masa lalu mereka tidak berpengaruh lagi pada kehidupannya saat ini. Itu yang Rangga pikir.
‘Aku senang melihatmu dengan keadaanmu saat ini, memang sudah seharusnya dan semoga selamanya kita bisa seperti ini. Mengamatimu dan melihatmu bahagia, sudah cukup membahagiakan aku. Teruslah tersenyum dan gapai impianmu,’ batin Rangga.
Keputusan Rangga untuk kembali ke kota ini, dan menemui orang yang sangat penting dalam kehidupannya ternyata benar-benar berpengaruh.
Mungkin seharusnya ia mengikuti saran psikolognya sedari dulu, sehingga hatinya bisa lebih lepas dan lapang seperti sekarang ini. Ia yakin kesembuhan jiwanya bisa lebih cepat teratasi.
Buktinya, walaupun hanya menemani Ayu beberapa jam saja tapi mampu membuat hatinya senang tak terkira.
Bisa membonceng Ayu di motor, bercanda dan bercerita tak henti seperti saat mereka masih sekolah dulu. Berdamai dengan masa lalu, memang obat dari semua penderitaan dan sakit yang ia alami beberapa tahun ini.
Saat senja hampir menghilang, motor Ayu berhenti di sebuah alamat yang sebelumnya diinformasikan oleh Mommy-nya Ben, Reihana.
Dan rencana kejutan untuk Della, benar-benar membuat gadis kecil itu terkejut dan terpana melihat sosok pria yang turun dari motor bundanya.
Della dan Ben tengah duduk di depan galeri, menunggu kedatangan Ayu ditemani oleh Reihana. Tawa gadis kecil itu terhenti berganti dengan tatapan penuh rindu, saat melihat Rangga turun dari motor Ayu dan melepas helmnya.
Della masih terpaku di tempatnya berdiri.
Air mata menetes dari mata bulatnya, membuat Ben dan Reihana kebingungan.
Ayu ikut terharu melihat reaksi Della, ini adalah pertemuan ayah dan anak yang pertama setelah gadis kecil itu tahu bahwa orang tuanya telah bercerai.
“Ayah ....”
Suara Della terdengar lirih tercekat.
“Putri kecil Ayah sudah besar dan tambah cantik,”
Ucap Rangga, sambil berjalan terus menuju putrinya yang masih termangu di tempatnya. Ia meraih tubuh kecil yang mulai gemetar terisak itu ke dalam pelukan.
“Della kangen Ayah, Della sayang Ayah. Jangan tinggalkan Della lagi, Ayah.”
Della membalas pelukan erat Rangga dan menangis keras, meluapkan semua perasaan yang tengah ia rasakan sekarang. Senang, sedih, dan rindu menjadi satu dalam air mata.
Ayu pun tak mampu menahan air mata yang ikut lolos dari kedua matanya.
Ia dapat merasakan apa yang putrinya rasakan saat ini. Kerinduan seorang putri terhadap keluarga yang sempurna, yang tak terpisah seperti kondisi saat ini.
Ia bukannya tidak tahu jika Della seringkali menangis diam-diam setelah mengobrol dengan Rangga via ponselnya, tapi Ayu hanya diam karena memang harus seperti ini jalannya.
Yang terpenting di sini, Della tidak terabaikan oleh dirinya ataupun Rangga sehingga perpisahan mereka tidak terlalu berpengaruh besar pada pertumbuhan kejiwaannya.
Ayu lalu menyingkir dari kedua orang yang masih berpelukan melepas rindu ,dan mendekati Reihana.
“Di manakah letak kamar kecil di sini?”
Ucap Ayu, sambil menghapus sisa airmata di wajahnya.
“Oh, aku akan antarkan ke sana.”
Ayu bergegas mengikuti arah kursi roda Reihana bergerak, lalu masuk ke dalam toilet untuk membasuh wajah, menghilangkan jejak air matanya.
Sial, kenapa air mata ini terus mengalir.
Ayu terus membasuh wajahnya dengan air yang mengalir dari kran, mencoba menyamarkan gurat kesedihan yang coba ia sembunyikan.
Tidak ingin Della melihatnya menangis dan bersedih seperti ini, tidak bagus untuk kondisi emosi Della nantinya.
Ia terus mengulang menarik napas dan menghelanya perlahan, sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Setelah merasa cukup tenang, Ayu pun berjalan keluar dari toilet.
Ia melangkah mendekati Reihana yang sedang duduk terdiam menatap sebuah lukisan besar di hadapannya, lukisan seorang bayi yang sangat manis dengan kedua sayap di punggungnya.
“So cute,” ucap Ayu pelan.
“Yes, He was. Dia malaikatku yang menungguku di surga.”
“Huh? Maaf, apa dia sudah meninggal?”
“Iya, dia kakaknya Ben. Richardson Junior.”
Pendengaran Ayu terasa berdenging mendengarnya.
Kejutan apalagi ini?
Bersambung
No comments:
Post a Comment