Cinta Ayudia 26
A story by Wati Darma
Part 26
Ayu tergesa-gesa keluar dari lift, sambil membawa beberapa map berisi berkas untuk bahan presentasi yang dibutuhkan Alden esok hari.
Ia meletakkan di meja ,dan mengusap keningnya yang sedikit berpeluh keringat.
“Kamu kenapa sih, buru-buru banget?” tanya Sarah.
“Tadi lama di ruangan arsip, sampe kebelet Mbak,”
Jawab Ayu, sambil berlari kecil menuju pojok ruangan di mana pantry dan restroom berada.
Di lantai dua puluh hanya ada ruangan direktur, wakil direktur, ruang GM, juga beberapa ruang meeting. Tersedia pantry di pojok bagian lantai tersebut.
Ayu keluar dari restroom dengan wajah lega, lalu mendudukan bokong di bangkunya. Meja kerjanya bersebelahan dengan Sarah, sekretaris senior Alden.
“Eh, tau nggak, Yu. Auditor kita yang namanya Pak Sandhika itu, baru sehari dateng udah bikin heboh,” celetuk Sarah.
“Heboh kenapa Mbak?”
“Heboh bikin cewek-cewek meleleh.”
“Hahh?!”
“Ish, kamu, nih! Maksudku itu auditornya ganteeng. Bikin karyawan cewek di sini pada klepek-klepek gitu.”
“Kayak burung aja klepek-klepek,”
Sahut Ayu, sambil menginput data-data dari berkas yang ia bawa tadi.
“Udah ganteng, macho, murah senyum lagi. Senyumannya itu bikin semua perempuan terpesona.”
“Jadi ceritanya Mbak Sarah ikutan terpesona juga, gitu? Inget anak sama suami loh, Mbak.”
“Ish kamu nih, aku kan cuma cerita doang. Mana tau kamu mau cari ayah baru buat Della.”
“Ssst .., jangan sampe Mbak ngomong gitu di deket Pak Alden. Ribet urusannya nanti.”
“Eh, memangnya kenapa? Ada perkembangan dalam hubungan kalian? Ada cerita apa di liburan kemarin?”
Tanya Sarah antusias.
Ayu hanya tersenyum.
Sarah adalah sahabat Alicia, dia cukup kenal dan dekat dengan keluarga Richardson.
Dia juga tahu mengenai Alden yang telah lama menyukai Ayu, walaupun Sarah tidak pernah melihat rekan kerjanya itu merespon semua perhatian Alden.
Dia juga tahu apa yang terjadi pada hubungan Alden sebelumnya, tapi dia memilih diam. Ikut campur urusan orang lain, bukanlah sifatnya.
Dan Ayu menyukai itu, sehingga ia pun merasa nyaman bercerita dengan Sarah.
Bibir Ayu membuka hendak bercerita pada Sarah, tetapi terhenti saat pintu ruangan Alden terbuka.
Dari dalam ruangan Direktur keluar dua orang pria yang Ayu ketahui saat itu adalah agenda pertemuan para tamu auditor bersama Alden.
Ketiga pria tersebut mengobrol sebentar di depan pintu ruangan, sampai salah seorang tamu menolehkan kepalanya menuju meja sekretaris. Pria itu tampak terkejut lalu tersenyum lebar, saat mengenali salah seorang wanita yang tengah duduk di balik meja.
Langkahnya cepat menuju meja Ayu, wajah wanita itu sama terkejutnya dengan pria itu, apalagi saat pria itu dengan lancangnya memegang kedua tangan Ayu sambil berkata,
“Nggak nyangka ketemu lagi sama kamu, Ayu.”
Ayu yang sempat meragu, akhirnya menyebutkan sebuah nama yang hampir delapan tahun tidak ia ketahui keberadaannya.
“Di-dika?” ucap Ayu ragu.
Jika saja tidak melihat senyuman lebar khas milik Dika, Ayu mungkin masih belum mengenali pria di hadapan yang sangat berbeda penampilannya dari yang ia kenal dulu.
Dika yang saat SMA bertubuh kurus, tinggi, penampilan rapih dan berkacamata kini menjelma menjadi pria tampan, dengan tubuh yang matang, dada yang bidang, kemeja slim fitnya menampilkan lekukan otot di tangannya.
Kacamata yang dulu bertengger di wajahnya memang sudah tidak ada. Itu yang membuat Ayu meragu akan siapa pria di hadapannya karena Dika kini memakai contact lens, dengan wajah macho yang dihiasi bulu-bulu halus di sekitar rahang dan bibir atasnya.
He's totally different.
“Iya, ini aku Dika. Lama nggak ketemu, kangen,”
Ucap Sandika sambil tersenyum lebar dan menggenggam erat kedua tangan Ayu— yang masih tak menyangka bisa bertemu lagi dengan pria yang pernah menyukai dirinya itu.
“Ehem.”
Suara dehaman keras menyela kedua orang itu, Ayu segera menarik tangannya dari genggaman tangan Dika karena ia tak mau Alden salah paham akan hal itu.
“Eh, Pak Alden, ternyata sekretaris Anda ini adalah teman saya saat di SMU. Kami tidak pernah bertemu lagi sejak pesta kelulusan,” jelas Sandika.
“Oh ya? Teman dekat?”
Tanya Alden dengan nada ingin tahu yang cukup ketara.
“Iya, lumayan dekat.”
Jawaban Dika membuat raut wajah Alden berubah. Kedua tangan yang tersembunyi di saku celananya, mengepal kuat.
“Kami berteman cukup dekat juga dengan Jessi, Rangga, dan Dessi,”
Elak Ayu, yang membuat wajah Alden kini mengendur dari ketegangan.
Perubahan itu tertangkap jelas oleh Sandika, yang membuatnya kembali tersenyum walau tidak menyentuh ke pipinya.
“Oh ... hanya teman lama,” kata Alden.
“Iya, kami dulu teman ngumpul, jalan, dan belajar bareng. Cukup dekat,” ucap Ayu gugup.
“Oh, iya ... kemarin aku bertemu dengan Dessi di kafetaria bawah, ternyata dia bekerja di tower sebelah. Bagaimana kalau kita nanti makan siang bersama?” ajak Sandika lagi.
“E-eh ... mmm.”
Ayu bingung, bagaimana menolak ajakan Sandika ditengah tatapan tajam Alden pada dirinya.
“Ayu, kita akan menjemput Della siang ini. Aku tak mau dia marah pada Daddy-nya karena tidak dijemput saat hari pertamanya sekolah,” ucap Alden tiba-tiba.
Perkataan yang membuat Sarah mengulum senyum, Sandika dan Ayu tersentak.
“I-iya, Pak,” sahut Ayu.
“Maaf Dika, mungkin lain kali bisa kita bisa makan siang bersama Dessi juga Jessi,” tambahnya.
“Baiklah, ini kartu namaku. Hubungi aku ya.”
Dika memberikan kartu namanya kepada Ayu.
Pria itu tersenyum manis lalu mengedipkan matanya menggoda Ayu.
Berbagai raut wajah timbul pada orang-orang yang berada di tempat itu, sampai Dika dan rekannya undur diri dan berjalan menuju lift.
“Masuk ke ruanganku, Ayu. Sekarang!!”
Seru Alden, dengan raut wajah dingin yang baru pertama kali ini Ayu lihat ada pada kekasihnya.
Langkah Alden tertahan, lalu ia berbalik kembali berjalan menuju Ayu. Mengambil paksa kartu nama yang masih ada di tangan Ayu, lalu merobek-robeknya menjadi serpihan kecil dan membuangnya ke tempat sampah.
Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu kembali masuk ke ruangannya. Sementara itu, Sarah menatap Ayu dengan tatapan ngeri.
“Sepertinya kamu dalam masalah, Ayu. Si Bos terbakar api cemburu,”
Ucap Sarah menakuti Ayu.
“Jangan menakutiku, Mbak.”
“Serius, Yu. sudah lama aku tidak pernah melihat raut wajahnya seperti itu sejak ..”
Perkataan Sarah menggantung begitu saja, saat suara Alden kembali bergema dari dalam ruangannya memanggil nama Ayu.
“Cepat masuk sana!”
Seru Sarah, sambil mendorong punggung mungil Ayu.
🍀🍀🍀
“Daddy ... Bunda!”
Seru Della, saat melihat kedua orang itu menunggunya di luar gerbang sekolahnya.
“Hai, Cantik! Bagaimana hari pertama sekolahnya?”
Tanya Alden, sambil menggiring Della menuju mobilnya.
“Menyenangkan, Dad.”
Gadis kecil itu mengangguk dengan semangat.
” Terima kasih ya sudah jemput Della di hari pertama masuk sekolah. Della senang sekali. Terima kasih Daddy, terima kasih Bunda.”
“Tapi Bunda sama Om Alden nggak janji bisa jemput tiap hari ya, Sayang.”
Della mengangguk kembali.
Dia terus bercerita mengenai kegiatan hari pertamanya di sekolah kepada Alden. Sepanjang perjalanan penuh dengan senda gurau keduanya.
Ayu yang duduk di depan di sebelah Alden, hanya sesekali menimpali perbincangan mereka. Tangan kanannya mengelus pergelangan tangan kiri yang tampak memerah, karena tarikan dan cengkeraman tangan Alden sejak mereka keluar dari kantor.
Wanita itu tahu pria di sebelahnya tengah cemburu karena Dika, tapi ia tadi sudah menjelaskan duduk permasalahannya.
Baginya, reaksi Dika tadi memang wajar bagi teman yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu dan sepertinya Alden menganggap reaksi Dika itu berlebihan.
Untungnya ia tidak mengatakan bahwa Dika adalah salah satu pria yang pernah mendekatinya dahulu. Jika Alden tahu, entah apa yang akan dilakukannya.
Lamunan Ayu buyar, saat mobil mereka berhenti di depan rumahnya. Della turun dari mobil sambil melambaikan tangan pada Ayu dan Alden, di sana Jessi menunggu di depan pintu dan mengajaknya masuk.
Alden belum menjalankan kembali mobilnya. Masih terdiam dengan mata menerawang mengarah ke depan.
Dia bukannya tidak tahu bahwa dirinya telah menyakiti Ayu, merutuki sikapnya yang tidak bisa menahan kecemburuan berlebih terhadap lelaki sial yang menggoda calon istrinya tadi siang.
Alden menarik tangan kiri Ayu, dan memperhatikan jejak kemerahan yang tercetak di tangan putih dan mungil itu. Dia mengelus, meniup, dan mengecupi luka itu.
“Maafkan aku ... maaf. Aku tak bermaksud melukaimu. Maafkan aku, Sayang”
Ucap Alden sambil terus mengecupi tangan Ayu, sementara wanita itu masih terdiam tak bicara.
Kekerasan, hal yang paling Ayu takuti sejak peristiwa di masa lalu.
Hal itu membuatnya takut dengan sentuhan semua makhluk berjenis kelamin pria. Bayang-bayang itu selalu berada di kepalanya walaupun ia sudah berusaha melupakan.
“Aku takut, Ayu. Aku takut kembali kehilangan wanita yang aku cintai,”
Lirih Alden, dengan matanya yang memancarkan penyesalan dan kesedihan.
Seketika Ayu tersenyum. Ia mengerti apa yang dirasakan pria di hadapannya ini.
Pria ini sama seperti dirinya, sama-sama terluka akan masa lalu dan bayangan itu masih menghantui calon suaminya.
“Aku berbeda dengannya, Al. Aku bukan dia,”
Ucap Ayu, sambil membalas genggaman tangan Alden.
“Aku tidak mau kehilangan kamu dan Della. Kalianlah pusat duniaku saat ini dan masa mendatang. Jangan tinggalkan aku.”
Ayu dapat melihat kesungguhan di mata Alden yang berkaca-kaca. Betapa besar cinta Alden pada dirinya.
Kedua tangan Alden menarik bahu Ayu ke dalam pelukan dan mendekapnya erat.
“Aku akan selalu di sisimu, Al. Tidak akan pergi sampai kamu yang menyuruhku pergi,” ucap Ayu.
Masa lalu yang membuat Alden dan Ayu terus ketakutan untuk melangkah ke depan, masa lalu juga yang kini membuat mereka belajar untuk tidak melakukan kesalahan yang sama, seperti orang-orang yang dulu pernah mengecewakannya.
🍀🍀🍀
“Udah bukan rahasia lagi kalau si janda gatel itu ada hubungan sama si Bos. Tampang aja imut, tapi kelakuan busuk.”
Ucapan yang keluar dari bibir seksi nan merah menggoda itu, tampak mengagetkan si pria yang masih asyik meraba dan menggerayangi tubuh si wanita yang berada di atas pangkuannya.
“Ah, masa, sih?” tanya pria itu.
“Rini, anak HR, yang bocorin identitas pribadinya. Dia janda anak satu kalau nggak salah. Siapa yang nggak curiga anak lulusan sekolah menengah bisa jadi asisten sekretaris bos, dan sekarang naik jadi sekretaris. Walaupun aku denger-denger dia jago bahasa asing dan pinter gitu, tapi dia pasti ada affair sama si bos.”
“Kok bisa bos kamu suka sama cewek itu?”
“Mana aku tahu, pake pelet kali. Padahal di kantor itu, buanyaakk perempuan yang tergila-gila sama si bos lebih seksi dan lebih cantik dari janda gatel itu. Kayak aku,”
Ucap wanita itu, sambil mengecupi rahang si pria yang ditumbuhi bulu-bulu halus. Membawa sensasi tersendiri saat menyentuhnya.
“Nggak usah ngomongin dia lagi, deh, kita nikmatin waktu kita aja berdua gimana?”
Ajak pria itu, sambil memberikan kecupan kilat di bibir si wanita.
Sudah cukup baginya mendapatkan info yang dia inginkan. Tentang seorang wanita yang dulu pernah menarik perhatiannya. Kini waktunya untuk bersenang-senang dengan sang informan cantik nan seksi itu.
“Tempatku atau tempatmu?”
Tanya wanita itu dengan suaranya yang mendesah pelan.
“Tempatmu saja. Di hotel ‘kan ada temenku.”
Tanpa basa-basi, kedua insan manusia itu melenggang keluar dari club lalu mencari taksi yang akan mengantarkan mereka ke tempat tujuan, untuk menuntaskan gairah yang tertahan.
Bersambung
No comments:
Post a Comment