Cinta Ayudia 19
A story by Wati Darma
Part 19
Ayu berdiri di depan teras rumahnya.
Tubuh dan matanya mengarah kepada mobil yang baru keluar dari pelataran. Tampak dari dalam mobil itu, Della melambaikan tangan dan wajahnya tampak gembira.
Di sebelahnya ada Rania yang mengemudikan mobil, membawa Della semakin menjauh dari pandangannya, lalu menghilang.
Ayu menghela napas.
Kekosongan dalam hati dan hidupnya semakin terasa, sejak malam di mana Rangga memutuskan untuk berpisah.
Satu persatu orang yang disayanginya kini telah menjauh.
Rangga sudah terbang jauh ke tanah Borneo.
Malam itu menjadi malam terakhir pertemuan mereka.
Kisah kelam mereka ditutup dengan perpisahan yang manis.
Ayu masih mengingat bagaimana pria itu duduk bersimpuh di hadapannya, menggenggam dan mengecup jemarinya lembut dengan tatapan sedih seperti yang ia rasakan. Mencurahkan perasaan dan isi hati mereka untuk yang terakhir kalinya.
Awalnya ia tak rela dan kecewa, karena Rangga berhenti berjuang untuk dirinya.
Namun juga, membuatnya sadar satu hal. Mereka berdua sama-sama terluka.
Bayang-bayang masa lalu itu akan selalu menghantui kehidupan mereka. Dan perpisahan ini akan menjadi awal baru mereka berdua, menutup rapat kenangan menyakitkan itu untuk selamanya.
Setiap kali melihat Rangga, Ayu akan selalu mengingat bagaimana perlakuan ibu mertuanya. Perbuatan Rania dan bu Mirna yang mempermalukan dirinya dengan rencana kotor mereka, penderitaan, kebohongan, juga bagaimana sulitnya untuk mendapatkan pengakuan cinta suaminya.
Walaupun akhirnya cintanya berbalas, tapi semua perbuatan mereka bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan. Dalam mata Rangga, yang Ayu lihat dan rasakan hanyalah tatapan bersalah juga kesedihan.
Begitupun dengan yang dirasakan Rangga.
Cinta yang terlambat disadari, tidak bisa dijadikan alasan untuk menahan Ayu tetap berada di sisinya.
Setiap melihat ke dalam mata Ayu, masih ada pijar ketakutan dan kekecewaan yang tersirat, dan dia tahu itu semua karena perbuatannya dan juga keluarganya.
Rasa bersalah akan rahasia-rahasia itu semakin menggelayuti hidupnya, dan dia tidak lagi ingin mengulang keegoisannya seperti dulu. Membuat Ayu terluka lagi.
Terlebih sekarang dia memegang rahasia besar ibunya, yang makin membuatnya yakin untuk menjauhkan diri dari kehidupan Ayu.
Agar wanita yang dicintainya itu hidup dengan tenang dan bahagia. Biarlah dia merelakan cintanya, yang penting adalah Ayu dapat menjalani hidup seperti seharusnya.
🍀🍀🍀
Tanpa Rangga dan Della.
Hari ini, Della pun juga akan mulai beranjak pergi.
Walaupun hanya berlibur, tapi mulai saat ini ia tidak akan bisa sering bersama dengan gadis kecil itu lagi.
Semua ucapan Rangga ditepatinya. Rania kini mulai mendekatkan diri dan mulai mengemban tugasnya sebagai ibu kandung Della.
Sehubungan dengan waktu liburan sekolah, dia membawa Della berlibur berdua saja selama dua minggu ke negara tetangga.
Rania kini mengurangi jadwal syuting dan pemotretannya, agar bisa merawat dan menemani Della selayaknya apa yang dilakukan seorang ibu.
Ayu sebenarnya sedikit khawatir, nantinya Della akan rewel karena tidak ada dirinya yang menemani, apalagi liburan mereka cukup lama.
Namun ia mengalah, karena ingin memberikan Rania kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dengan Della. Layaknya ibu dan anak sesungguhnya.
Ayu terlanjur menyayangi Della, karena dirinyalah yang mengurus putri kecilnya itu sesaat setelah dilahirkan, masih bayi merah.
Perpisahan bukan hal yang mudah bagi dirinya dan Della.
Dia terlalu kecil untuk mengerti apa yang telah terjadi.
Rencananya jika usia Della sudah cukup besar, Ayu dan Rania akan menceritakan tentang siapa jati dirinya sebenarnya.
“Semuanya kini berjalan seperti seharusnya,”
Kata Jessi, memecah lamunan Ayu.
“Kau mengagetkanku, Jess” ucap Ayu sebal.
Jessi membawa sepiring carrot cheese cream cake buatan Ayu dan segelas teh hijau.
Dia duduk di bangku teras rumah mereka. Ayu pun mendudukan bokongnya di bangku sebelah Jessi.
“Sudah lama aku tidak merasakan kue ini, jadi kangen Ibu,”
Ucap Jessi, sambil menyuap sesendok kue ke dalam mulutnya, meresapi cheese cream yang meleleh di atas lidahnya.
“Rasanya seperti Ibu masih ada di sini, membuatkan kue favoritku khusus untukku,” lanjut Jessi.
Kue favorit Rangga juga.
Entah kenapa hari ini Ayu ingin membuat kue itu. Kue yang membuatnya selalu teringat ibu juga suaminya. Mantan tepatnya.
“Dasar bumil, kue aja bikin mata kamu berkaca-kaca gitu,” ledek Ayu.
Lalu tak lama kemudian, jatuhlah tetesan air mata itu dari sudut mata Jessi.
“Kangen sama Ibu. Beliau pasti senang sebentar lagi akan mendapatkan cucu,” gumam Jessi.
Dia terisak mengingat wanita yang menjadi ibu angkatnya itu.
Ayu menengadahkan wajah, mencegah airmatanya ikut tumpah seperti Jessi.
Ia masih ingat raut wajah kaget dan kecewa sang ibu, saat pak Robby dan bu Mirna melamar dirinya dengan kondisi ibunya yang masih terbaring di Rumah Sakit.
Ibunya shock mendengar alasan kenapa dirinya harus menikah cepat, sampai akad nikah pun dilakukan di ruang rawat inap rumah sakit.
Ayu tahu ibunya kecewa akan dirinya dan Rangga.
Tapi wanita paruh baya itu tidak banyak berkata apa-apa, hanya menasihati dirinya agar menjadi istri dan ibu yang baik nantinya.
Semenjak itu, kondisinya terus menurun sampai akhirnya setelah tiga bulan pernikahannya, ibunya koma. Tumor otaknya sudah menyebar di sistem sarafnya.
Dia mengalami kelumpuhan fungsi otak. Sampai akhirnya mengembuskan napas terakhir setahun tepat pernikahannya. Bahkan ibunya belum sempat untuk menggendong Della di pelukannya.
🍀🍀🍀
“Loh, Sayang … kok kamu makan sambil nangis gitu? Kenapa?”
Yogi yang baru pulang bekerja langsung bergegas turun dari motor, melihat istrinya bersimbah air mata tapi mulutnya terus mengunyah kue.
Ayu cepat-cepat menghapus air mata yang menggenang di sudut matanya, tapi gerakan itu tertangkap oleh seorang pria yang sedari tadi memandanginya.
Sebenarnya Yogi menahan tawa melihat pemandangan istrinya yang tampak lucu, tapi dia tidak berani menertawakan karena istrinya akan tambah menangis dan marah kepadanya.
Hormon kehamilannya benar-benar membuat Jessi sangat sensitif belakangan ini.
Yogi butuh kesabaran ekstra menghadapinya.
“Sepertinya aku mencium sesuatu yang enak,”
Ucap pria yang berjalan di belakang Yogi, dia adalah Alden.
“Eh, ada Pak Alden. Kok bisa barengan?” tanya Ayu.
“Ayu, aku tidak setua itu untuk kamu panggil Bapak. Just call me Al, Oke?!” jawab Alden.
“Baiklah,”
Balas Ayu, sambil menampilkan senyuman yang membuat detak jantung pria itu berdegup kencang seketika.
Senyumnya ....
“A-aku tadi abis ketemu klien di luar, males balik lagi ke kantor. Jadi mampir ke sini, mau ambil kunci apartemen terus mau ketemu si Cantik,” ucap Alden.
“Si Cantik yang besar atau yang kecil?” godaYogi.
“Eh?!” Alden tampak kikuk mendapatkan pertanyaan itu.
“Tentu saja Della,” lanjutnya.
Yogi dan Jessi hanya saling pandang dan tersenyum melihat kegugupan Alden.
Ayu tak enak hati melihat Alden yang dipojokkan.
“Della baru aja berangkat sama tantenya. Mereka pergi berlibur ke Singapore selama dua minggu. Mumpung lagi libur sekolah” jelas Ayu.
“Ohhh.” Hanya kata itu yang mampu Alden katakan.
Jessi bangkit dari tempat duduknya lalu mempersilakan Alden duduk di bangku yang dia tempati.
“Sini duduk dulu, Al. Kebetulan hari ini Ayu bikin kue. Enak banget loh, Al, kamu harus cobain ya.”
“Benarkah? Dengan senang hati aku akan mencicipinya,”
Balas Alden lega, karena memiliki alasan untuk lebih lama lagi di rumah ini.
Jessi dan Ayu melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Alden dan Yogi yang duduk di teras menikmati senja yang mulai hadir.
Tak lama, kue buatan Ayu terhidang di meja. Mereka berempat bercengkerama, mengobrol sambil menikmati cemilan yang disediakan.
“Afternoon tea ini akan sempurna sekali jika disajikan dengan premium tea. Seperti di restoran bintang lima,” celetuk Alden.
“Aku lebih menyukai ini jika ditemani teh mint,” ucap Jessi.
“Kalau menurutku espresso lebih cocok,” sela Yogi.
“Lalu menikmatinya seperti saat ini, dengan pemandangan taman hijau penuh bunga sambil menikmati semilir angin sore. It’s perfect,”
Ucap Alden, sambil menyesap teh hijau yang disajikan Ayu.
“Kamu harus memanfaatkan bakatmu, Ayu. Kamu pintar masak, mengolah makanan, juga bikin kue. Bukalah usahamu sendiri, ajak Jessi biar dia nggak usah kerja lagi,” saran Yogi
“That's good idea. Masakanmu super lezat. Alicia selalu bertanya, di mana aku membeli semua pesanannya itu. Tapi aku tidak mau memberitahunya. Bisa-bisa kamu nanti ditarik jadi koki pribadinya,” puji Alden.
“Mereka benar, kamu bisa buka restoranmu sendiri, Ayu.”
Ayu tampak menimbang-nimbang perkataan Yogi dan Alden.
“Buka usaha restoran bukanlah hal yang mudah, terlalu capek menurutku,” ucap Ayu.
Ia tahu bagaimana seluk beluk mengelola restoran, karena ia yang membantu mengurus dan menjalankan restoran milik ibu mertuanya selama beberapa tahun. Hal itu sangat menguras tenaga dan waktunya.
“Coffee shop aja, buat nongkrong. Kue dan pastry ditemani kopi dan teh premium, bikin kayak café tongkrongan gitu,” ucap Jessi.
“Bisa tuh, kita bisa sediakan barista buat para penggemar kopi. Aku mau bergabung kalau kamu ijinkan,” ucap Alden.
“Membuka bisnis itu bukan hal yang mudah loh, tidak cukup dengan bakat dan resep yang aku punya. Pengalamanku masih nol kalau membuka usaha seperti itu,” tolak Ayu.
“Ya belajar dong, bukannya kamu berencana mau melanjutkan kuliah? Atau kamu masih berpikiran jadi diplomat? Mendingan kamu terjun ke bisnis, dalamin ilmu bisnisnya lalu praktekan dengan bakat yang kamu punya,”
Ucap Jessi mendukung sahabatnya.
“Kamu bisa bekerja di perusahaanku kalau kamu mau. Bekerja sambil kuliah. Kalau menurutmu cukup, kamu bisa menerapkan ilmu yang sudah kamu punya,” tawar Alden.
“Waahh, nepotisme dong namanya. Lagipula aku kan cuma lulusan SMA,” tolak Ayu.
“Kamu pintar, Ayu. Siswa teladan dan lulusan terbaik loh. Kamu juga jago bahasa Inggris dan Jepang. Kamu pasti bisa cepat beradaptasi,” ucap Jessi.
“Kamu bisa bahasa asing? Kebetulan aku membutuhkan asisten untuk sekretarisku, dia sedang hamil besar. Dia mengajukan resign karena sering kelelahan, tapi aku tak rela kehilangan sekretaris yang pintar dan cakap seperti dia. Kerjanya saat ini terbatas karena kondisinya, kamu bisa menjadi asistennya. Membantu pekerjaannya,” tawar Alden lagi.
Ayu kembali berpikir dan menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya.
Sementara itu Alden, Jessi dan Yogi kembali melanjutkan pembicaraan sambil menikmati afternoon tea mereka. Memberikan Ayu waktu berpikir.
Rangga, inikah maksud perpisahan yang kamu inginkan itu?
Agar aku bisa melanjutkan hidupku dan menggapai masa depanku?
Jika iya, aku akan memanfaatkan kesempatan ini seperti yang kamu inginkan.
Terima kasih atas jalan yang kamu berikan.
Aku akan bahagia dengan caraku sendiri.
Tanpamu.
🍀🍀🍀
Ayu tampak melangkah keluar dari suatu ruangan membawa amplop coklat besar di tangan, di belakangnya seorang pria paruh baya mengantarnya keluar dari ruangan.
“Terima kasih Pak Rio atas segala bantuannya selama ini,”
Ucap Ayu, sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pria paruh baya di hadapan.
“Sama-sama, Bu. Saya hanya membantu mempercepat prosesnya saja,” balas Pak Rio.
“Saya pamit, Pak.”
“Silakan.”
Pria paruh baya itu memandangi punggung wanita yang kini resmi menyandang predikat janda di usianya yang masih muda, dengan satu anak.
Padahal jika ditilik dari wajahnya, siapa pun tidak akan menyangka dia adalah wanita yang sudah menikah. Masih sangat muda, tapi harus menyiapkan diri menanggung semua prasangka di sekitarnya karena status barunya saat ini.
Pria itu menghela napasnya pelan, lalu kembali ke ruangannya, bersiap untuk makan siang.
Sapaan seseorang, menghentikan langkah Ayu yang saat ini menunggu lift di hadapannya terbuka.
“Ayu ... tunggu!” seru wanita itu.
Ayu menoleh, dan melihat ke arah wanita cantik yang berjalan cepat ke arahnya.
“Hai, Des! Kamu bekerja di firma hukum ini?” tanya Ayu
Wanita itu tersenyum bangga sambil mengangguk,
“Iya, aku bekerja di sini.”
Ingatan Ayu berputar pada beberapa bulan lalu, saat dirinya akan mengantar dokumen milik Rangga ke gedung ini. Hari di mana ia memergoki suaminya—mantan—bersama wanita di hadapannya.
“Apa yang kamu lakukan di sini? Apa terjadi masalah?” tanya Dessi.
“Sudah selesai urusannya kok,”
Jawab Ayu, sambil menampilkan senyumnya.
“Kasus apa? Siapa pengacara yang bantu kamu?” tanyanya lagi
Apakah Dessi masih belum tahu mengenai pernikahan Rangga denganku?
“Pak Rio yang bantu aku, semuanya berjalan lancar kok,”
Balas Ayu, malas untuk menceritakan lebih jauh pada wanita di hadapannya.
“Ohh, gitu. Kalau Pak Rio dijamin oke deh. Syukurlah kalau sudah selesai urusannya. Kamu sekarang mau ke mana?”
Ayu melihat jam tangan Aigner merah yang melingkar di lengannya yang putih, sebentar lagi sudah menunjukkan waktu makan siang.
Satu bulan ini, Ayu sudah bekerja di perusahaan milik Alden sebagai asisten sekretaris Mbak Sarah. Walaupun Alden yang merekomendasikan dirinya, ia tetap melalui proses interview seperti karyawan lainnya dengan kepala HR—yang tentu saja disetujui dengan cepat, walaupun sebelumnya dia sangsi karena pendidikan Ayu yang hanya seorang lulusan SMU.
Hari ini ia meminta ijin satu jam kepada Alden dan Sarah, untuk mengambil berkas perceraian di kantor pengacara yang sudah ditunjuk Rangga. Kebetulan kantornya berada di gedung perkantoran yang sama di tempatnya bekerja, hanya berbeda towersaja.
“Aku tadi ijin sama Bos urus ini sebentar, sekarang harus balik lagi kayaknya.”
“Kamu kerja di mana, Yu?”
“Di Tower sebelah, Des, Richardson Inc.”
“Wah, hebat kamu bisa kerja di situ. Bisa sering ketemu dong kita. Makan siang bareng aja yuk di kafetaria bawah? Nggak mungkin ‘kan jam makan siang kamu balik lagi ke kantor?”
Ayu tersenyum mendengar ajakan Dessi.
Ia sebenarnya membawa bekal makan siang, tapi tidak enak menolak ajakan Dessi.
Ia pun mengangguk dan mengikuti langkah Dessi menuju kafetaria yang berada di lantai dasar tower.
🍀🍀🍀
Gedung perkantoran ini adalah milik Richardson Inc. yang terdiri dari dua tower megah yang terletak di pusat kota Jakarta, terdiri dari dua puluh lantai di masing-masing tower.
Tower sebelah kiri adalah gedung yang disewakan untuk gedung perkantoran, sedangkan tower di sebelah kanan khusus digunakan sebagai kantor pusat Richardson Inc. yang memiliki beberapa anak perusahaan yang bergerak di bidang properti dan ritel.
Di lantai dasar terdapat lobi utama dan kafetaria yang sering digunakan para karyawan untuk beristirahat makan siang dan berkumpul.
Tak jauh dari gedung perkantoran itu juga banyak tempat makan dan restoran cepat saji yang tersedia.
Ayu membawa sepiring batagor dan jus mangga di tangannya, melangkah menuju meja di mana Dessi sudah terlebih dahulu melahap makanan di hadapannya.
“Lapar banget ya, Des?”
“Hmmm... lagi banyak kerjaan nih. Setelah ini pun harus ketemu klien di luar.”
“Oohh, kamu sering makan di sini ya? Aku baru pertama kali ke sini.”
“Nggak juga sih, kalau lagi nggak ada yang ngajakin makan keluar ya aku makan di sini.”
“Jadi ceritanya aku yang kamu todong buat nemenin?”
“Hehehe ... temenku lagi ijin sakit, pacar nggak punya. Sendirian deh jadinya.”
Deg ..
“Loh, bukannya kamu pacaran sama Rangga? Kalian putus?”
Pertanyaan Ayu membuat Dessi terdiam.
Ia meletakkan sendok garpu di tangannya sambil mengunyah makanannya pelan.
Pandangannya beralih ke luar jendela, matanya berubah sendu, lalu menghela nafasn pelan.
“Dia pergi.”
“Hah?”
“Ya, dia pergi entah kemana. Sejak sebulan lalu dia menghilang begitu saja dari kehidupanku tanpa pamit dan berkata apa-apa.”
Kenapa Rangga tidak memberitahu bahwa ia pindah ke Kalimantan?
“Mungkin dia sudah terlanjur jijik padaku,” lanjut Dessi
“Kok gitu? Bukannya kalian saling mencintai?”
“Entahlah Yu, dianya aja selalu bungkam kalau aku singgung masalah pernikahan. Bukannya aku ngebet pengen nikah, aku cuma butuh kepastian, akan dibawa kemana hubungan ini karena aku sudah terlanjur nyaman dan mencintai dia. Kamu aja udah nikah dan punya anak, Jessi lagi hamil, beberapa temen SMA kita juga udah nikah. Masa aku yang notabene dulu adalah primadona sekolah kayak nggak laku-laku sih.”
‘Mungkin karena dulu masih terikat pernikahan,’ pikir Ayu.
“Kalian pernah bicarakan ini berdua?” tanya Ayu
“Pernah, tapi dia selalu beralasan kuliah dan karir. Belum mau memikirkan itu. Iya juga sih, makanya kusabar-sabarin nungguin dia balik ke sini. Tapi walaupun dia udah kembali ke sini, tidak ada tanda-tanda dia mau ngenalin aku ke keluarga dia,”
Sahut Dessi dengan wajah memelas sedih.
“Kadang aku suka ragu, apa dia benar-benar cinta sama aku atau nggak?”
“Siapa sih nggak akan tertarik sama Dessi Anandari, sang primadona? Masih banyak lelaki lain di luaran sana, Des. Dikedipin pasti langsung jatuh hati,” hibur Ayu.
Dessi terkekeh.
Ia memang menyadari bahwa banyak pria yang tertarik pada dirinya, tapi pandangan para lelaki itu berbeda dengan seorang Rangga Aditya.
“Cowok mah banyak yang suka sama aku, tapi aku maunya cuma sama Rangga. Hanya dia yang menjaga aku dengan baik, tidak pernah menyentuhku, tidak seperti cowok kebanyakan yang liat aku kayak mau nerkam. Rangga mah mana mau cium duluan, aku yang selama ini nyosor duluan hehehe.”
Ayu tersenyum miris mengingat bahwa disini ia malah mendengarkan curahan hati selingkuhan suaminya.
“Dia terlalu alim. Aku selalu pura-pura sakit supaya dia mau datang ke sini menjengukku. Dia menemani dan merawatku, tidur berdua benar-benar tidur nggak pernah memanfaatkan kesempatan grepe-grepein aku, padahal mah aku juga nggak keberatan. Dia selalu nolak, paling ciuman biasa doang. Awal-awal aku kesel, apakah aku memang tidak menarik tapi lama-kelamaan aku malah terjatuh semakin dalam sama pesonanya. Aku nggak mau kehilangan dia. Aku sadar aku bukan wanita baik-baik, tapi aku menginginkan pria baik seperti Rangga untuk menjadi suamiku, ayah dari anak-anakku pasangan hidupku kelak. Di mana lagi ada cowok yang kayak gitu di jaman kayak gini.”
Ayu hanya diam, sudut bibirnya terangkat sinis mendengar pernyataan Dessi.
“Semenjak kembali ke Jakarta aku kira hubungan kita bisa semakin dekat, eh taunya malah semakin jauh. Dia berubah.”
“Berubah gimana?” tanya Ayu penasaran.
“Dia sibuk sama karirnya, dan entah kenapa aku ngerasa ada yang berbeda. Dia tidak seperhatian seperti dulu. Aku curiga dia punya wanita lain, dan kecurigaanku terbukti.”
“Wanita lain?” tanya Ayu.
Siapa lagi wanita di belakang suamiku?.
“Aku nggak mau kehilangan dia. Beberapa kali aku sempet ngegoda dan rayu dia, tapi selalu gagal. Puncaknya sebulan lalu saat terakhir kita ketemu, dia mabuk sama temen-temenku di klub. Entah berapa gelas minuman alcohol yang dia teguk malam itu. Nggak pernah aku liat dia kayak gitu sebelumnya. Jujur aja, aku memanfaatkan keadaan dia yang tidak sadar untuk mencumbunya, membujuknya supaya menyentuh aku. Hampir aja berhasil, tapi di saat seperti itu dia malah menyebut nama perempuan lain dan langsung pergi gitu aja. Dari situ dia nggak pernah kontak aku lagi. Harusnya dia minta maaf sama aku, karena udah menghina aku seperti itu.”
‘Itu adalah malam kejadian dia hampir memperkosaku’ batin Ayu.
Wajah Ayu tampak memucat mendengar curhatan Dessi.
Tidak menyangka suaminya sudah pernah bercumbu mesra dengan wanita di hadapannya, di tambah kemungkinan ada wanita lain di hidup suaminya.
Jangan bayangkan bagaimana perasaan Ayu saat ini. Sesak, kesal, dan marah menjadi satu. Mungkinkah kata-kata cintanya itu hanya untuk menutupi kesalahannya? Ia melirik ke amplop cokat yang ada di atas meja.
Tak perlu diratapi lagi. Semua sudah berakhir.
Ayu pura-pura mengangkat tangan dan memperhatikan arlojinya.
“Des, kayaknya aku harus duluan balik ke kantor deh. Aku lupa ada yang belum selesai dikerjain,” sela Ayu.
“Ooh, eh iya deh. Lain kali kita makan siang bareng lagi ya.”
“Oke.”
Belum jauh Ayu melangkah tiba-tiba Dessi memanggilnya lagi.
“Ayu, kalau nanti ketemu Rangga tolong sampein kalau aku nyariin dia ya. Dia kan nurut banget sama kamu,” ucap Dessi.
Ayu terdiam di tempatnya.
Ia menoleh ke arah Dessi lalu tersenyum, walau tak menyentuh sudut matanya. Hanya mampu menganggukkan kepalanya lalu melanjutkan kembali langkahnya.
Bagi Ayu, setelah ketuk palu hakim menyetujui perceraian mereka, saat itulah dirinya bertekad menutup rapat-rapat masa lalunya.
Ia tidak akan lagi mengungkit itu semua.
Hanya Della yang ia ijinkan berada di kehidupannya, karena bagaimanapun seorang anak yang terlahir di dunia tidak menanggung dosa dari orang tuanya. Dan dia adalah anaknya yang tertera secara hukum.
Sadar karena dirinya saat ini yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi selain Jessi dan Della.
Maka ia memutuskan untuk melanjutkan hidupnya, berusaha untuk berdiri di atas kakinya sendiri.
Ia menerima tawaran kerja dari Alden dan mengambil kuliah malam khusus karyawan.
Ia ingin suatu saat punya usahanya sendiri, menimba ilmu lagi.
Belajar secara langsung dari pebisnis ulung seperti Alden Richards, adalah hal yang terbaik. Tidak ada minat dalam dirinya untuk menjalin hubungan kembali atau terlibat urusan romantis untuk sementara waktu.
🍀🍀🍀
Tok.. tok..
“Silahkan masuk,”
Ucap pria paruh baya itu.
“Pak Rio, ini berkas kasus sengketa yang Bapak minta.”
“Oh iya, terima kasih Dessi,”
Ucap Pak Rio, sambil menerima berkas dari tangan Dessi
“Tadi ada temen saya yang ke sini katanya pake jasa Pak Rio, namanya Ayu. Dia bilang puas dengan hasilnya,”
Ucap Dessi, sambil menunjukkan dua ibu jarinya ke hadapan seniornya.
Pak Rio mengangkat salah satu alisnya.
“Oh, Ayudia Permata itu teman kamu?” tanya pak Rio
“Iya Pak, tadi saya ketemu di luar pas nunggu lift. Katanya abis dari tempat Pak Rio.”
“Kasian dia. Umur masih muda, masa depan masih panjang, harus menyandang status janda anak satu di usia muda.”
“A-Ayu cerai ?!” tanya Dessi kaget
“Loh, emangnya dia nggak cerita sama kamu?”
Dessi menggelengkan kepalanya
“Klien saya sebenarnya sih suaminya, tapi dia mendaftarkan nama Ayu sebagai penggugat karena tidak mau nama baik istrinya tercemar. Saya bisa lihat kalau suaminya itu sangat mencintai istrinya, tapi karena masalah internal, mereka memutuskan berpisah. Saya diminta untuk membantu prosesnya agar cepat selesai, sementara sang suami sudah pindah ke luar pulau. Hah, masih cinta kok ya dilepas?”
“Nama suaminya siapa, Pak? Kerja di mana?”
“Rahasia dong. Tanya sama Ayu aja. Katanya temenan,” elak pak Rio.
“Nggak enak ah, Pak. Entar dibilang kepo,” ucap Dessi.
“Lah, emang kepo kan,” balas pak Rio sambil tertawa.
“Mungkin dia memang tidak mau cerita apa-apa sama kamu, Des. Kamu cukup jadi temen yang baik dan hibur dia,” saran pak Rio bijak.
“Baik, Pak.”
Dessi keluar dari ruangan seniornya dengan pikiran menerawang.
Walaupun gumaman Rangga malam itu pelan sekali, tapi dia dapat menebak siapa nama perempuan yang disebut kekasihnya itu. Perasaan tidak enak melingkupi hatinya.
Apakah Rangga penyebab perceraian Ayu? . Apakah sampai saat ini kekasihnya itu masih menyukai Ayu?
Dessi tidak menampik kenyataan, bahwa dia cemburu akan hubungan kedua orang itu. Namun, dia selalu berusaha melakukan cara apa pun untuk memastikan Rangga tetap di sisinya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment