Cinta Ayudia 18
A story by Wati Darma
Part 18
Ayu dan Jessi tengah beristirahat melepas lelah, setelah pagi tadi disibukkan dengan rutinitas mengurusi keperluan Yogi dan Della yang akan berangkat kerja dan sekolah,
Lanjut merapikan kembali apartemen milik Alden, karena hari ini mereka berencana akan keluar dari tempat itu.
Jessi menyesap pelan teh mint hangat miliknya, sambil menyandarkan tubuh di sofa panjang empuk depan TV. Pikirannya terus melayang pada kejadian semalam, saat ia berbicara hati ke hati dengan Rangga,
Jessi hanya bisa menjadi pendengar yang baik untuk kedua sahabatnya itu, tidak berani untuk mendorong mereka melakukan sesuatu, karena ia tahu mereka berdualah yang mengalami semua kejadiaan itu.
Rasa sakit, kecewa dan sengsara, mereka berdua yang rasakan. Bukan kapasitasnya untuk menghakimi siapa yang salah dan benar.
Ia pun tidak bisa menyuruh Ayu untuk kembali kepada suaminya, karena maaf saja tidak cukup atas apa yang mereka perbuat pada Ayu.
“Cintaku saja tidak cukup untuk membuat Ayu kembali ke sisiku, Jess.!”
Kata-kata Rangga tersebut kembali terngiang di telinga Jessi.
Ia menghela napasnya berat, berusaha mengusir kesedihan dalam hatinya.
Emosinya semenjak mengandung cenderung lebih sensitif dan perasa lebih dari biasanya, masalah yang tengah Ayu alami saat ini pun telah mengaduk-aduk hatinya.
Kadang merasa marah sering juga merasa sedih, tapi ia tak mampu berbuat apa-apa selain menjadi pendengar yang baik, berbagi beban untuk sahabatnya dan menjadi seorang yang memiliki pandangan objektif diantara kedua sahabat yang disayanginya itu.
“Kamu mikirin apa sih, Jes? Helaan napasmu dari tadi nggak berhenti-henti”
Tegur Ayu yang kini duduk di samping Jessi.
Jessi menoleh memandangi wajah sahabatnya, tangannya menepuk pelan bahu Ayu.
“Kamu harus selesaikan masalahmu dengan Rangga secepatnya. Nanti malam dia akan menemui kamu,” ucap Jessi.
Ayu menyandarkan tubuh ke bantalan sofa di belakangnya.
Ia juga tahu, dirinya tidak dapat terus menghindar dari suaminya. Mereka harus bicarakan ini berdua, tanpa tekanan dari keluarga Aditya.
“Semalam dia cerita apa aja ke kamu?” tanya Ayu kepada Jessi.
“Banyak.”
“Sebanyak apa?”
“Semua perasaannya sejak empat tahun lalu, bahkan sebelumnya.”
Ayu mengerutkan keningnya mendengar jawaban Jessi.
“Dia cerita apa?” tanyanya penasaran.
“Yakin kamu mau tahu? Bukannya kamu udah benci sama dia? Kalau udah kadung benci, walaupun aku ceritain yang bagus juga nggak akan masuk di kepala kamu.”
“Kamu kok jadi belain dia sih?”
Tuduh Ayu, sambil mengerucutkan bibir dan kedua tangannya bersedekap.
“Astaga Yu, kata-kata mana yang bilang aku belain dia dan menyalahkan kamu?”
Elak Jessi, sambil mendorong bahu Ayu menjauh darinya. Tersinggung dengan ucapan sahabatnya.
“Ayu, yang jelas-jelas bersalah di sini adalah Rania dan ibu mertua kamu. Benci saja mereka sepuas kamu. Rangga juga bersalah, tapi dia korban sama seperti kamu. Dan jangan lupa, kamu juga ikut andil dalam masalah yang melibatkan kalian berdua,” ucap Jessi tegas.
“Maksudmu?”
Tanya Ayu sambil mengernyitkan dahi, merasa tak terima dengan perkataan Jessi yang seolah menyudutkannya.
Sementara itu, Jessi menarik napas dalam dan mengeluarkannya perlahan.
Ia berusaha menahan emosi yang membakar hatinya sejak tadi, berhati-hati untuk tidak memancing sesuatu hal yang tidak diinginkan.
“Aku bukannya ingin menghakimi dan menganggap apa yang aku katakan ini benar, tapi setidaknya kamu dengarkan dulu pandangan pribadiku mengenai masalah kalian berdua. Kalau kamu nantinya tidak setuju dengan perkataanku, itu hak kamu. Aku cuma mau ngeluarin apa yang ada di pikiranku sekarang,” ucap Jessi kalem.
“Rania dan ibu mertuamu sudah jelas-jelas mencoba memanfaatkan kepolosan dan perasaan kamu untuk kepentingan mereka. Dan saat itu, situasinya juga memungkinkan mereka untuk menekan kamu untuk menerima usulannya, karena kondisi Ibu sedang kritis. Kalau sebelumnya kamu bisa menolak tawaran mereka, karena tahu kamu tidak mampu menipu Rangga. Lalu kenapa, saat ditawarkan yang kedua kalinya, kamu tidak menanyakan pada mereka, rencana apa dan dengan cara apa mereka akan menikahkan kalian berdua? Jika saat itu mereka mengatakan tentang rencana mereka pada malam prom night itu, apakah kamu akan menerimanya?”
Hati Ayu tertohok mendengar pertanyaan tajam Jessi.
Tentu saja ia akan menolak mentah-mentah rencana kotor itu. Namun hati dan pikirannya saat itu benar-benar kalut, tidak bisa diajak untuk berpikir jernih karena memikirkan penyakit yang bersarang di kepala ibundanya.
Tidak pernah menyangka, bahwa Mirna akan mempermalukan dirinya dan putranya dengan rencana kotor seperti itu.
“Satu lagi, ingatkah saat itu aku menanyakan padamu mengenai biaya untuk operasiku dan juga Ibu? Tapi apa yang kamu katakan, kamu sudah mengatasi semuanya. Aku sudah menawarkan dan menyuruhmu pakai uangku untuk pengobatan kami berdua. Tapi apa? Kamu menolaknya! Memang uang yang kumiliki tidak seberapa banyak, tapi itu cukup untuk jaminan supaya Ibu bisa ditangani secepatnya. Jika saja kamu mau terbuka saat itu … aku tidak akan segan meminta uang pada pamanku. Memohon pada mereka agar memberikan jatah warisan ayahku dari nenek kepadaku, dan memberikannya padamu.”
“Kalian sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, orang yang peduli disaat aku tidak memiliki siapa pun di sampingku. Merawat dan menerimaku. Membuatku merasakan kehangatan sebuah keluarga, dan perhatian seorang ibu yang tidak pernah kumiliki. Aku berhutang banyak pada Ibu dan kamu. Tapi kenapa kamu selalu enggan menerima pemberianku? Enggan bercerita padaku apa yang kamu rasakan selama ini? Selama empat tahun kamu menyimpan masalah ini sendiri, padahal jarak rumah kita dekat sekali. Kadang aku berpikir, apakah aku tidak berarti siapa-siapa untukmu? Ingatkah kamu pesan Ibu, yang menginginkan kita agar selalu saling membantu dan melindungi satu sama lain?”
“Aku harap setelah ini kamu tidak mengulanginya lagi. Berhentilah berpura-pura tegar dan kuat seorang diri. Masih ada aku, dan kini Yogi yang akan selalu mendukung kamu. Tidak ada yang salah dengan menangis dan menjadi rapuh sebentar saja, daripada pura-pura tegar dan memendamnya sendiri hingga akhirnya menyakiti hatimu semakin dalam.”
Kembali untaian kata-kata Jessi merasuk ke sukma Ayu yang terdalam, menambah sakit dan sesak di hatinya.
Tak ada gunanya disesali, semuanya sudah terjadi.
Benar kata Jessi, ada andil Ayu di dalamnya. Dirinya yang mengijinkan untuk disakiti oleh orang-orang itu, tanpa berniat meminta bantuan baik pada sahabat ataupun suaminya yang dulu selalu ada untuknya.
“Dan jika saja Rangga tidak bertingkah kekanakan seperti itu, mungkin sandiwara kalian akan lebih cepat terbongkar. Tapi dia terlanjur larut dalam perasaan marah dan bersalah karena perbuatan yang dia kira telah dilakukan. Egonya lebih tinggi dari apa yang hatinya pikirkan. Jika saja dia mengikuti hati kecilnya, mungkin dia sudah melepaskanmu dari penderitaan itu ataupun mungkin kalian akan berbahagia bertiga. Keras kepala yang tidak pernah berubah sedari dulu, membuatku ingin memukul si kepala batu itu. Kenapa bisa begitu bodoh tidak mengenali perasaannya sendiri. Kalian berdua memang bodoh!”
Gumam Jessi, si ibu hamil yang kembali menghela napasnya, lelah memikirkan bagaimana nanti nasib kedua orang sahabatnya itu.
Ruangan itu kembali hening, menyisakan dua orang wanita yang sibuk dengan pemikirannya masing-masing.
🍀🍀🍀
Setelah percakapan dirinya dan Jessi tadi siang, setidaknya memberikan persepsi baru pada diri Ayu. Ia sangat sadar apa yang Jessi tadi katakan memanglah benar apa adanya.
Ia tidak akan menyangkal, baik dirinya dan Rangga benar-benar bodoh terjebak dalam permainan bu Mirna dan Rania, tanpa berusaha keluar dari permainan itu.
Memilih membiarkannya tanpa penyelesaian, sehingga akhirnya kesalahan-kesalahan itu semakin menggunung di depan mata mereka.
Rasa kecewa terhadap suaminya juga masih membesar di hatinya.
Kenyataan bahwa ia memiliki wanita lain selain dirinya, membuatnya bimbang untuk melanjutkan kembali hubungan itu, walaupun hubungan mereka juga akhirnya diwarnai kemesraan dan kehangatan antara mereka berdua juga sang putri kecil, Della.
Jauh di lubuk hatinya ia sudah memikirkan itu, jika Rangga berjanji akan kembali kepadanya dan meninggalkan Dessi, ia akan menerima kembali suaminya.
Selain itu, hatinya juga berat untuk meninggalkan Della yang telah ia anggap seperti putri kandungnya sendiri. Dan malam ini, ia akan membicarakan semuanya dengan sang suami, mengeluarkan semua pendapat dan keluh kesahnya.
🍀🍀🍀
Ayu dan Rangga saat ini duduk berdua di ruang tamu rumah lama Ayu, yang kini ditempati oleh Jessi. Hatinya sedih melihat keadaan suaminya yang tidak tampak baik-baik saja.
Dia terlihat sedikit kurus, bakal janggut tumbuh di sekitar rahangnya, dan terlihat guratan halus di sekitaran mata yang maniknya kini tampak kosong.
“Bagaimana kabar Ayah?”
Tanya Ayu, memecah keheningan antara mereka berdua.
“Alhamdulillah, saat ini tekanan darahnya sudah stabil. Besok mungkin sudah diijinkan pulang oleh dokter,” jawab Rangga.
Pria itu terdiam sejenak, menyusun kembali kata-kata yang sudah dia siapkan sebelum datang ke rumah Ayu.
“Aku harap, kamu tidak memikirkan perkataan Ayah tempo hari” lanjutnya lagi.
Ayu menolehkan kepala ke arah pria yang sedari tadi memandangi dirinya, duduk tepat di sampingnya.
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Tak pantas rasanya kami meminta hal seperti itu, setelah apa yang telah keluargaku lakukan kepada kamu,” ucap Rangga.
Mata itu memancarkan kesedihan mendalam yang dia alami sejak wanitanya tidak di sampingnya. Apalagi sejak rahasia lain terkuak, dan juga obsesi ibunya.
Semuanya membuat beban di pundak terasa makin menghimpit. Angan-angan kebahagiaan yang semula di susun harus runtuh dalam semalam.
“Sebanyak apa pun permintaan maaf dan penyesalan keluar dari bibirku dan keluargaku, takkan merubah keadaan kamu yang banyak terluka dan menderita karena aku dan keluargaku,” lirih Rangga.
“Oleh karena itu, hari ini aku ingin menyelesaikan semua masalah ini,” sambungnya.
Rangga beralih meraih tasnya, mengeluarkan berkas map cokelat lalu menyerahkan kepada Ayu. Wanita itu tampak kaget melihat bungkusan itu. Matanya membulat.
Ia dapat menebak apa isi amplop besar coklat itu. Ia tidak menerima amplop yang masih terulur di hadapannya itu, yang kemudian Rangga letakkan di atas meja.
“A-apa ini Mas?!” tanya Ayu gugup.
Jantungnya berdebar cepat, tak sanggup mendengar jawaban yang akan keluar dari bibir indah suaminya itu.
“Aku akan membebaskanmu, istriku. Jeratan keluargaku akan terlepas dari dirimu. Maafkan aku yang telah menghambat masa depanmu. Ayudia Permata, seorang siswa teladan dan lulusan terbaik, harus menjadi ibu rumah tangga dalam usia muda. Mengurusi aku, Della dan keluargaku, juga membuatmu kehilangan masa muda dan impianmu. Semua itu karena keluargaku, dan aku ingin mengembalikan semua seperti seharusnya,”
Ucap Rangga, sambil tersenyum miris.
“Ka-kamu menceraikan aku?!” tanya Ayu tak percaya.
Sejujurnya ia belum siap jika harus berpisah seperti ini. Ia sudah sadar apa yang harus terjadi antara dirinya dan Rangga murni karena kesalahan mereka berdua.
Salah paham dan kurangnya komunikasi memperburuk situasi yang tercipta oleh biang dari masalah ini, Mirna dan Rania.
“Ini yang terbaik untukmu, Ayu.”
Rangga tersenyum walaupun tidak sampai ke matanya.
Dia lalu menundukkan wajah, berusaha menahan air mata jatuh di hadapan istrinya. Dia sudah memikirkan ini masak-masak, walaupun hatinya enggan tapi ia harus melepaskan wanita di hadapannya.
Kali ini, ia akan melindungi wanita yang dicintainya itu agar tidak terluka lagi. Dan mengembalikan apa yang telah ibunya renggut dari Ayu, lalu mengubur semua rahasia itu sendiri.
“Kenapa? Apa alasannya? Memang sulit bagiku untuk memaafkan ibumu, tapi aku tidak akan menolak jika pergi dari rumah itu. Kita bisa hidup bertiga bersama Della. Apakah kamu berencana untuk menikahi wanita yang kamu cintai? Kamu akan menikahi Dessi?”
Tanya Ayu resah.
“Tidak. Perlu kamu ketahui, aku mencintai kamu bukan Dessi. Walau terlambat kusadari, kamulah selama ini yang selalu berada dalam pikiran dan hatiku, bukan dia. Walaupun jauh darimu, hanya kamu dan Della yang ada di pikiranku tapi egoku yang menahanku untuk pulang dan memeluk kalian. Aku membenci apa yang dulu kulakukan kepadamu. Rasa bersalah itu semakin menggunung, dan juga membuatku tak berani pulang menghadapimu.”
“Mengenai Della, sudah seharusnya ia bersama ibu kandungnya. Bagaimanapun rumitnya, Rania harus melanjutkan tanggung jawabnya sebagai ibu kandung Della, bukan kamu. Aku tidak akan memisahkan kamu dengan dengan Della. Apa pun yang terjadi, Della sudah menganggap kita orang tua kandungnya. Hanya saja aku minta, biarkan Rania belajar merawat sendiri putrinya sehingga kamu bisa tenang untuk melanjutkan hidup dan meraih impian kamu,” jelas Rangga.
“Kalau Mas mencintaiku, kenapa tidak mau berjuang untukku? Untuk kita?”
Tanya Ayu pelan.
Rangga lalu beringsut turun dari tempat duduknya.
Dia berlutut di depan Ayu.
Tangannya terulur mencoba meraih kedua tangan yang berada di atas pangkuan istrinya itu.
Sebelum tangannya meraih tangan sang istri, jari-jari mungil Ayu refleks menghindar menjauhi tangannya.
Pria itu memandang miris tangannya yang tak berhasil menggenggam jemari mungil Ayu.
“Bagaimana aku akan memperjuangkanmu, jika kamu sudah terluka dalam karena perlakuanku dan menimbulkan trauma pada dirimu? Aku sangat menyesali kejadian malam itu. Pikiranku tertutup ego dan amarah sampai berniat memperkosamu, juga membuatmu hampir celaka, sampai hal itu membekas di ingatanmu. Sungguh aku tidak mau hal itu terjadi lagi. Aku takut akan melukaimu lagi. Aku takkan sanggup melihat ketakutan terpancar di matamu karena aku. Cintaku hanya akan melukai dirimu.”
Air mata Ayu berderai mendengar penuturan suaminya.
Ia tidak menampik bahwa dirinya masih teringat kejadian malam itu.
Tapi lebih kepada dua orang asing— preman seram bertubuh besar— yang mengejar dan menangkapnya, Cengkeraman erat preman itu, masih terasa di tangan bahkan di rambutnya yang ditarik paksa oleh satu dari mereka.
Kedua tangan Ayu langsung bergerak menarik kedua tangan Rangga ke dalam genggamannya.
“Aku akan sembuh demi kamu, Mas. Tolong jangan berakhir seperti ini,” ucap Ayu.
Wajah memelasnya terus mengalirkan tetesan airmata. Ia menggeleng-gelengkan kepala, berusaha memberitahu bahwa ia menolak perpisahan ini.
Rangga menggenggam kedua tangan mungil itu.
Lalu mendekatkannya ke bibir sambil mengecupinya satu per satu.
Berusaha merekam dalam ingatannya, betapa kecil dan rapuhnya jemari itu. Kulitnya halus berbalut wewangian lembut yang menjadi ciri khas wanita yang dicintainya itu.
“Aku hanya ingin melihatmu kembali bersinar seperti dulu, saat sebelum peristiwa itu terjadi. Raihlah impianmu. Semua yang kamu cita-citakan sejak dulu. Sekarang penghalang itu sudah hilang. Kamu bebas,” ucap Rangga.
Dia mencoba tersenyum, tapi malah ai rmata yang tumpah dari matanya.
“Aku akan menunggu postcardmu dari Pulau Jeju, ataupun dari Tokyo saat kamu menikmati guguran bunga sakura seperti impianmu dulu. Mungkin juga foto bersalju saat kamu di Swiss nanti,” sambungnya lagi.
Ayu tersenyum mendengarnya.
Rangga masih ingat sekali apa yang pernah dirinya ucapkan dulu, saat ia bercita-cita ingin menjadi diplomat.
“Saat kita bertemu lagi, aku harap kita sudah melupakan semua hal yang menyakitkan itu. Aku akan berdoa untuk kebahagiaan dan kesuksesan kamu. Lakukanlah hal-hal yang kamu inginkan sedari dulu, dan wujudkan itu.”
“Kamu akan pergi?” tanya Ayu heran.
Perkataan Rangga itu menyiratkan bahwa selanjutnya mereka tidak akan bertemu lagi.
Rangga tersenyum manis,
“Aku menerima tawaran untuk pindah ke kantor area Kalimantan untuk menangani proyek di sana. Aku harus menguatkan diri, agar tidak berbalik menjemputmu kembali. Berbahagialah Ayu. Raih impianmu dan temukanlah pria yang lebih baik dari aku.”
‘Cinta ini selamanya hanya untuk kamu walau aku belum bisa memilikimu.’
Janji Rangga dalam hati.
Ayu terdiam, begitupun dengan Rangga.
Kedua tangan mereka masih saling bertautan.
Pikiran keduanya masih melayang akan masa depan seperti apa yang akan menanti mereka ke depannya.
Ayu menyadari, Rangga ingin menebus kesalahannya dan keluarganya dengan cara membebaskan dari segala macam tanggung jawab dan penderitaan yang tidak seharusnya ia pikul.
Jika memang berjodoh, biarlah mereka memulai lagi semuanya dari awal dengan cara yang benar.
Karena cinta akan selalu menemukan jalannya untuk pulang.
🍀🍀🍀
Sementara itu, di teras rumah Ayu berdiri sesosok laki-laki.
Yang sedari tadi mendengarkan pembicaraan mereka berdua, yang kemudian berbalik kembali ke dalam mobilnya.
Memutuskan untuk kembali di lain waktu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment