Tuesday, August 4, 2020

Cinta Ayudia 17

Cinta Ayudia 17
A story by Wati Darma
Part 17

Setelah pulang bekerja, Rangga bergegas pulang ke rumah untuk mandi dan berganti pakaian. Menyiapkan pakaian ganti untuk dirinya kerja esok hari, karena malam ini ia akan menginap kembali di rumah sakit. 
Selain karena ingin menemani ayahnya, ia tidak terbiasa tidur sendirian di kamarnya lagi. Karena saat sendiri seperti imi, ia kembali tertampar kenyataan bahwa tidak ada lagi Ayu dan putri kecilnya menemani. 
Ditambah kenangan-kenangan di kamar itu membuat hatinya terasa sesak oleh kesepian, penyesalan, dan rasa bersalah, belum lagi mimpi-mimpi yang kini kerap mengganggu tidurnya. Jadi, dia memutuskan untuk menginap di rumah sakit menemani ayahnya.
🍀🍀🍀
Tok.. tok.. tok..
“Assalamualaikum,” ucap Rangga
“Wa’alaikumussalam.”
Terdengar suara beberapa orang menjawab salam Rangga. 
Ia mendorong pintu kamar, dan terkejut melihat siapa yang tengah mengunjungi ayahnya.
Mata Rangga terpaku pada satu sosok. 
Tak dapat menyembunyikan rasa rindu dan sesal, saat bersitatap dengan mata sendu yang kini menolak untuk melihat dirinya. 
Rangga tersenyum pahit, melihat istrinya memalingkan wajah kembali berbicara dengan pak Robby. Di sebelah Ayu, ada Jessi yang mendampinginya. 
Ia memberikan bungkusan makanan yang dibelinya kepada Rania.
“Makan dulu sebelum pulang,” ucap Rangga datar.
“Terima kasih, Ga.” Rania tersenyum. 
Walaupun sikap adiknya itu masih dingin dan datar sejak beberapa hari lalu, tapi pria itu masih perhatian pada kakak dan ibunya yang jelas-jelas sudah menyakiti dirinya.
Rania mengalihkan pandangannya pada Ayu yang tengah duduk di samping brangkar, berbincang dengan pak Robby dan Jessi. 
Dia dapat melihat pandangan Ayu dan Rangga yang tadi sempat bertatap mata, sampai akhirnya Ayu memalingkan wajahnya. 
Hati merasa bersalah kepada dua insan di hadapannya. Keduanya menderita akibat keegoisannya.
“Rangga, kemari Nak,” perintah pak Robby.
Rangga berjalan menuju sisi lain ranjang, berseberangan dengan Ayu yang masih diam. 
Enggan melihat wajahnya. Ia hanya menghela napas, karena ia tahu apa yang telah dilakukannya bukanlah kesalahan sepele.
Robby mengambil tangan Ayu dan Rangga. 
Menggenggamnya lalu menyatukan kedua tangan mereka. 
Rangga dapat melihat ekspresi kaget Ayu karena tindakan pak Robby, dan ia dapat merasakan tangan istrinya yang dingin dan gemetar di bawah genggaman tangannya.
“Ayu, Ayah sudah tahu kesalahan Rania, ibumu, dan Rangga, yang sudah sangat menyakiti kamu. Ayah juga sangat sedih dan menyesal, mereka bisa melakukan hal itu kepada kamu.. Ayah sangat merasa bersalah kepada kamu dan juga kepada mendiang orang tua kamu. Mereka menitipkan kamu kepada Ayah untuk dijaga, tidak seperti ini. Maafkan ayahmu ini, Nak” 
Ucap Robby tulus. Air mata menetes di mata tuanya.
“Ayah merasa malu, gagal menjadi orangtua yang baik untuk mereka. Juga gagal membimbing istri sendiri, sehingga mereka bisa melakukan hal tercela seperti itu pada kamu.” 
Ucapan Robby membuat Rania, Rangga dan bu Mirna tertunduk diam. 
“Oleh karena itu ... Ayah mohon kepada kamu, Nak. Maafkanlah kami, biarkan kami menebus kesalahan ini. Kembalilah ke rumah. Ayah jamin kali ini semuanya akan berjalan lebih baik,” ucap pak Robby.
Ucapan pak Robby tersebut membuat kaget Rania, Jessi, dan Ayu. Namun, bu Mirna hanya tersenyum tipis.
“Ayah!!” sentak Rangga keras, sambil melepaskan genggaman tangannya di atas tubuh pak Robby.
“Kita bisa bicarakan ini nanti saat di rumah. Tunggu kondisi Ayah membaik dulu,” ucap Rangga.
“Masalah ini harus diselesaikan segera. Ayah ingin kalian berdua berdamai, dan membina rumah tangga lagi dengan baik. Masih ada Della yang begitu menyayangi kalian layaknya orang tua kandung,” ucap Robby.
“Tidak, Ayah. Tidak semudah itu,” lirih Rangga.
Ayu terkejut dengan ucapan pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu. 
Dia melihat pria di hadapannya yang tampak lusuh, dengan kantung matanya yang hitam, pertanda Rangga mengalami entah kelelahan atau kurang tidur  mungkin seperti dirinya.
Apakah dia sudah tidak menginginkanku?
“Walaupun kami bersama kembali, keadaannya tidak akan sama lagi. Terlalu banyak kesakitan yang Ayu alami, karena Rangga dan keluarga kita,” 
Ucap Rangga, sambil terus menatap wanita di hadapannya yang terus menghindari bertemu pandang dengannya.
“Ayu, kamu masih mencintai Rangga, ‘kan? Ayah yakin kamu juga tidak ingin berpisah dengan Della. Ayah mohon maafkanlah kami. Selagi Ayah masih hidup, biarkan Ayah menebus kesalahan ini dan memulainya kembali dari awal,” mohon pak Robby.
Semua orang kini tertuju pada Ayu yang kini menunduk terdiam. 
Dia bingung harus berkata apa. 
Benar seperti kata Rangga, semuanya tidak akan sama lagi jika mereka kembali bersama. Hatinya masih meragu. 
Apakah kedepannya Rangga akan mencintai dirinya dengan tulus, ataukah akan memperlakukannya dengan baik karena terus dibayangi rasa iba dan bersalah?.
“Jessi, Ayu, lebih baik kita pulang. Aku akan mengantar kalian,” 
Ucap Rangga, memecah keheningan di kamar rawat itu. 
“Hal seperti ini tidak tepat dibicarakan sekarang, Ayah. Jangan sampai karena sakit yang tengah Ayah derita, membuat Ayu tertekan untuk menerima permintaan itu,” 
Sambung Rangga, sambil menarik tangan Ayu keluar dari kamar inap itu.
Ayu segera melepaskan genggaman tangan Rangga, saat mereka sudah di luar kamar inap lalu berjalan di samping Jessi dan merangkul lengan sahabatnya. 
Kentara sekali dia masih tidak nyaman berdekatan dengan suaminya.  
Rangga tahu itu, dan hanya bisa menahan kesal, karena ia tahu dirinya layak mendapatkannya.
🍀🍀🍀
Sepanjang perjalanan, Rangga memperhatikan diam-diam−melalui kaca spion−Ayu yang tengah larut dalam lamunan, memandangi pemandangan di luar kaca jendela mobil. 
Wanita itu tidak bersuara sama sekali, bahkan untuk mengobrol dengan Jessi pun tidak. 
Dia hanya terdiam. 
Sebenarnya banyak yang ingin Rangga bicarakan dengan istrinya itu, tapi dari gesturnya ia tahu bahwa Ayu masih enggan untuk berbicara dengannya. 
Kali ini Rangga pun tidak mau memaksa, karena ia khawatir Ayu akan semakin takut pada dirinya.
Rangga memarkirkan mobil di basement apartemen yang ia masih belum ketahui milik siapa −salah satu pertanyaan yang menggelayuti dirinya−karena sepengetahuannya, baik Jessi, Yogi, maupun Ayu tidak akan mungkin memiliki properti semewah ini. 
Rangga membukakan pintu penumpang belakang tempat Ayu duduk, tapi wanita itu tetap menunduk menghindari menatap wajahnya. 
Mereka bertiga pun berjalan menuju lift, yang akan mengantarkan mereka ke unit tempat tujuan mereka.
“Ayaaahhh ... Bunda ....”
Rangga menoleh mencari suara yang memanggil dirinya. 
Suara dari gadis kecil yang dirindukannya. Raut wajahnya tiba-tiba berubah, saat melihat gadis kecilnya tengah dalam gendongan manja seorang pria. 
Ada Yogi juga di samping pria itu. Rangga merasakan aliran darahnya memanas, saat tangan-tangan kecil putrinya memeluk leher pria itu, bergelayut manja padanya.
Laki-laki itu lagi.
“Loh... Mas Yogi sama Della dari mana? Kok ada Alden juga?” tanya Jessi.
“Tadi aku berkunjung ke sini. Ternyata cuma ada Della dan Yogi berdua aja, jadi aku ajak mereka sekalian makan malam di luar nemenin aku,” 
Jawab Alden, sambil menurunkan Della yang menggeliat minta diturunkan dari gendongan.
Gadis kecil itu kini beralih ke ayahnya, yang beberapa hari ini sudah dirindukan. 
Kedua tangannya mengulur ke depan, menandakan jika dirinya ingin digendong oleh sang ayah.  
Rangga tersenyum lebar melihat tingkah putri kecilnya. 
Walaupun ia tahu Della hanya keponakannya, tapi dirinya terlanjur jatuh cinta pada gadis kecil itu. Baginya, Della tetaplah putrinya.
“Ayah ... Della kangen,” ucap Della polos. 
Hati Rangga mencelos mendengar ucapan putrinya begitupun Ayu. 
Gadis kecil itu, belum waktunya paham dengan apa yang sedang menimpa kedua orangtua angkatnya.
“Ayah juga kangen sama Della,” 
Balas Rangga, sambil mengecupi wajah Della sampai gadis itu tertawa terkikik geli.
Ayu memalingkan wajah melihat pemandangan itu. 
Bukan bahagia yang dirasakannya kini, malah terasa sakit melihat kebersamaan mereka. Dan dia tidak tahu apa alasannya.
“Ayah mau bobok bertiga lagi ‘kan sama Bunda dan Della?” tanya Della polos. 
Seketika semua orang di situ terdiam, bingung akan menjelaskan apa kepada gadis kecil itu.
“Tidak sekarang ya, Sayang? Kakek masih dirawat di rumah sakit. Ayah harus menemani Kakek di sana sampai sembuh. Della di sini sama Bunda, ya? Sama Tante Jessi dan Om Yogi,” bujuk Rangga.
“Sama Uncle Al juga boleh ya, Yah?” 
Ucap Della sambil menoleh ke arah Alden, sementara pria itu hanya bisa tersenyum canggung.
Alden sadar, dia belum mengenalkan diri pada pria di hadapannya, walaupun mereka pernah bertemu sekali. 
Pria itu kemudian mengulurkan tangannya seraya berkata, “Saya Alden.”
Rangga sebenarnya enggan menerima uluran tangan itu, lagipula ia sudah tahu siapa pria di hadapannya. Pria sama yang menabrak dan menolong istrinya waktu itu.
“Rangga,” 
Balas Rangga, yang akhirnya menerima uluran tangan itu. Sekarang makin banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya.
“Ayo, kita naik ke atas. Della harus istirahat,” 
Sela Yogi, mencairkan suasana yang terasa tegang diantara mereka. 
Dia juga mengambil alih Della dari gendongan Rangga.
“Ayah kembali ke rumah sakit ya, Sayang. Mau jagain Kakek.” 
Ucap Rangga sambil mengecup kening putrinya.
“Jangan lama-lama ya, Ayah. love you,” 
Balas Della sambil mengecup pipi Rangga.
Hati Rangga dan Ayu meringis melihat itu semua. 
Betapa sayangnya gadis kecil itu pada mereka berdua, tanpa tahu apa kenyataan yang tengah terjadi.
“Aku harus kembali ke rumah sakit, tapi bolehkah aku bicara sebentar dengan Jessi?” 
Tanya Rangga kepada Yogi.
“Boleh silahkan,” jawab Yogi.
Rangga pun mengajak Jessi berjalan menuju lobi apartemen. 
Sekali lagi ia menoleh ke belakang, melihat Yogi, Ayu, dan Della yang bergerak memasuki lift diikuti pria bernama Alden itu.
🍀🍀🍀
“Apartemen yang kalian tempati sekarang itu punya siapa? Kenapa kalian ada di sini? Kenapa tidak tinggal di rumah saja?” 
Tanya Rangga, sambil meletakkan cangkir berisi kopi miliknya di meja.
Saat ini mereka berada di ruang tunggu lobi apartemen. Ada café kecil dan mini market 24 jam, di hall utama lobby tempat mereka berdua berbicara.
“Apartemen ini milik Alden. Dia yang menolong dan menemukan Ayu malam itu, dan membawanya ke sini,” 
Jawab Jessi, yang membuat Rangga terperangah kaget.
“A-Ada apa dengan Ayu?”
Jessi sudah mengira, Rangga tidak tahu apa yang telah menimpa Ayu malam itu. 
Dia menghela napas pelan, lalu menceritakan apa yang terjadi pada sahabatnya malam itu.
“Tengah malam saat Ayu kabur dari rumah kamu, dia hampir menjadi korban kejahatan di jalanan. Kebetulan Alden yang tengah melintas, menolong Ayu yang tengah dikejar-kejar dua pria seperti preman. Entah mereka akan merampok atau apa pun itu. Ayu menjerit minta tolong, dan Alden yang menyelamatkannya. Dia membawanya kemari, karena Ayu menolak diantar kembali ke rumah kamu. Juga tidak ingin ke rumahku, karena kebetulan mertuaku saat itu sedang menginap.”
Mendengar kabar itu, membuat jantung Rangga seolah dicabut paksa. 
Sesak terasa di dadanya, belum hati terasa sakit membayangkan bagaimana takutnya Ayu malam itu. 
Apalagi sebelumnya ia telah bertingkah bak binatang terhadapnya, dan kemudian istrinya kembali  menjadi korban kejahatan di jalanan. 
Rangga menunduk dan meremas kuat rambutnya dengan kedua tangan. Frustasi dengan penyesalan dan rasa bersalah, yang semakin menggelayuti dirinya. 
Wajar Ayu begitu ketakutan melihat dirinya. Ia-lah yang menyebabkan semua peristiwa buruk itu terjadi padanya.
“Dini harinya, aku menerima telpon dari Alden yang memberitahu bahwa Ayu ada bersama dia dan keadaannya tidak baik-baik saja. Kamu bisa bayangkan bagaimana perasaanku saat tiba di sini? Aku melihat betapa hancurnya dia saat itu. Dia ketakutan saat ada yang mendekati dirinya, belum lagi luka dan lebam di tubuhnya. Semua itu terlihat sangat menyakitkan,apalagi Ayu yang mengalaminya.”
Rangga mengepalkan kedua tangannya dan memukul-mukulkan kedua pahanya dengan frustasi. Air mata mengalir dari matanya, begitupun dengan Jessi. 
Dia melihat kedua orang yang disayanginya kini telah hancur, dan masalah mereka bukanlah hal yang mudah yang hanya bisa diselesaikan dengan kata maaf.
“Aku mencintainya, Jess. Aku terlambat mengenali perasaan itu. Dan saat aku telah sadar, aku telah menyakitinya begitu dalam. Aku mencintainya ....”
“Ciihh ... jika kamu mencintai Ayu, kenapa kamu menjalin hubungan dengan Dessi di belakangnya?” 
Balas Jessi sinis.
“Desi, hanyalah bentuk pengalihan dari kemarahan dan ketidakberdayaanku waktu itu. Marah akan keadaan tiba-tiba yang mengharuskanku menjadi seorang suami dalam waktu semalam, lalu menjadi ayah dalam beberapa bulan kemudian. Sesuatu yang diluar rencanaku, itu rasanya bagaikan mimpi.”
“Selama beberapa hari terakhir ini, aku telah memikirkan semuanya. Apa yang telah kulakukan empat tahun lalu. Yang membuatku mengabaikan dirinya selama ini, ternyata bukanlah karena aku marah kehilangan masa mudaku dan masa depanku untuk menikah dini dengannya. Tapi karena rasa bersalah, karena telah menjadi pria brengsek yang telah merusak dirinya, menghalanginya meraih impian.”
Mata Rangga menerawang mengingat tahun-tahun yang telah berlalu. 
Yang dilalui dengan segala keegoisannya. Ia tersenyum miris, mengingat dirinya yang begitu keras kepala dan egois.
“Kamu mungkin masih ingat, dulu Ayu bercita-cita ingin menjadi diplomat. Ingin merasakan bagaimana tinggal di negara lain, dengan lingkungan dan budaya baru. Matanya selalu berbinar-binar saat membayangkan bagaimana jika ia bekerja di negara yang ingin ia singgahi. Dengan kepintarannya, ia mampu menguasai berbagai bahasa waktu itu. Tapi akhirnya, akulah yang memupuskan cita-citanya. Perasaan bersalah itu semakin menjadi. Aku yang semenjak dulu berusaha menjaga dia dari pria-pria brengsek yang mencoba memanfaatkannya, ternyata malah akulah yang menjadi pria brengsek itu. Akulah yang memupuskan cita-citanya, menghilangkan masa depannya, membuat siswa terpintar dan teladan itu menjadi seorang ibu di usia muda karena hamil di luar nikah. Hatiku semakin tersiksa melihat tubuh kecilnya malah membesar, mengandung buah hati kami dan hanya mengurus rumah tangga.”
“Aku pernah berpikir untuk menceraikan Ayu saat anak kami lahir. Bermaksud untuk membebaskan dirinya dari tanggungjawab itu, dan melepaskan dirinya untuk kembali meraih masa depan dan hal yang dicita-citakannya. Tapi hal itu urung aku lakukan, karena tak lama kemudian Ibu meninggal. Aku akan menjadi orang yang paling brengsek jika meninggalkan dirinya saat ia kehilangan ibunya, dan juga nanti mengambil Della darinya. Aku semakin membenci keadaan waktu itu, membenci diriku yang tidak bisa melakukan apa-apa untuk membantunya, meringankan bebannya. Semakin aku berada di dekatnya semakin perasaan bersalah itu menyakiti hati dan egoku. Akhirnya, aku pun menyalahkannya pada Ayu.”
“Kehadiran Dessi waktu itu hanyalah pengalih dari tekanan yang terus menggelayuti diriku. Nyatanya, aku tidak pernah bisa menghilangkan Ayu dari dalam kepalaku. Aku hanya bersenang-senang dengannya layaknya orang pacaran, tapi percayalah aku tidak pernah menyentuh dia lebih jauh. Aku masih bisa berpikir waras untuk tidak kembali menjadi pria brengsek, dengan meniduri wanita lain sementara aku punya anak dan istri walaupun bukan sekali dua kali Dessi pernah merayuku. Jika aku ke Jakarta untuk mengunjunginya, yang aku tuju pertama kali adalah rumahku, walaupun hanya memandangi dari luar bagaimana Della tengah bermain bersama Ayu. Itu sudah membuatku bahagia. Aku tidak berani mendekati mereka, karena aku takut aku semakin terlena dan sulit melepaskan Ayu dari sisiku.”
“Saat aku kembali tinggal kembali di rumah, sebenarnya hubungan kami mulai membaik. Dan benar saja, saat di dekat Ayu dan Della membuatku mudah terlena. Aku merasakan kebahagiaan itu. Keluarga kecil kami ternyata bisa bahagia, walau awalnya seperti itu. Bagaimana Ayu begitu tulus mencintai aku dan Della, walaupun aku telah berlaku tak acuh selama ini. Dia mampu meluluhkan hatiku dan membuatku tak ingin melepaskan mereka. Itu adalah saat-saat terindah dalam hidupku dan aku menyesali, kenapa tidak sedari awal aku mencoba untuk memperbaiki hubungan kami. Beberapa hari merasakan bahagia itu, membuatku terlempar ke masa lalu. Betapa aku menyayangi dia lebih dari apa pun. Keinginan untuk selalu melindungi dan menjaganya, ternyata adalah perasaan yang sama saat aku bersamanya dan Della waktu itu. Aku menyayangi mereka lebih dari apa pun. Dan akhirnya aku memutuskan menjauhi Dessi, karena bahagiaku sempurna saat bersama dengan Ayu dan Della.”
“Namun, egoku kembali meluap saat rahasia itu terkuak. Rahasia yang hanya terbuka sebagian, mebuatku kalap dan salah paham akan dirinya.” 
Rangga meraup kembali udara sebanyak-banyaknya, mencoba melegakan sesak yang meraja dalam dadanya. 
“Jika saja sedari awal aku menerima Ayu, tidak berkubang dengan keegoisan, kemarahan yang dibuat-buat, mungkin ceritanya tidak akan berakhir seperti ini.” 

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER