Cinta Ayudia 16
A story by Wati Darma
Part 16
Ting nong ...
Suara bel pintu berbunyi saat Ayu, Della, Jessi, dan Yogi tengah menyiapkan makan malam mereka. Yogi beranjak dari tempat duduknya untuk membukakan pintu.
Yang mengetahui apartemen ini hanyalah si pemilik apartemen juga Rangga. Dan orang kedua itulah, yang Ayu hindari saat ini. Ia gelisah melihat ke arah pintu depan, untuk melihat siapa yang mengunjungi mereka.
“Selamat malam semuanya,”
Sapa Alden, yang berjalan menemui mereka yang tengah berkumpul di meja makan.
Di belakangnya Yogi mengikuti, lalu mempersilakan Alden untuk bergabung makan malam dengan mereka.
“Oh, selamat malam, Pak Alden. Baru pulang kerja? Ikut makan malam sama kami ya, Pak?” ucap Jessi.
“Jangan panggil ‘pak’. Saya nggak segitu tuanya kok. Panggil Alden or just Al. Dan dengan senang hati saya menerima ajakan makan malamnya,”
Balas Alden sambil tersenyum ramah, dan menampilkan lesung pipinya yang menambah tampan di wajahnya.
Hal itu membuat Della yang terduduk di sampingnya, memiringkan kepala dan menatap seksama wajah tampan itu. Tangannya lalu terulur menyentuh pipi Alden.
Pria itu terkejut, melihat gadis kecil yang duduk di sebelahnya karena sebelumnya terhalang sandaran kursi tinggi.
“Ini apa namanya? Om ganteng ada ininya,”
Ucap Della polos, sambil mengelus pipi Alden tepat di lesung pipinya.
Pria itu pun tergelak dengan ucapan polos gadis kecil cantik itu, begitupun dengan Jessi, Yogi dan Ayu.
“Om tersanjung sekali disebut tampan oleh gadis cantik seperti kamu. Namanya siapa?”
Tanya Alden, sambil mengusap lembut rambut Della.
“Aradella Cantika Aditya. Call me Della,”
Ucap Della, dengan gaya lucu seperti yang diajarkan Rania kepadanya.
“Woww ... nama yang cantik sesuai dengan wajahnya yang cantik,” balas Alden.
“Pak−eh Alden, maaf, tadi kami berbelanja sedikit dan mengotori dapurnya,” ucap Jessi gugup.
“Its ok. Gunakan saja apartemen ini sebaik-baiknya. Saya tidak keberatan. Sudah lama saya meninggalkan tempat ini. Saya sangat senang sekali jika tempat ini bisa hidup kembali. Entah kapan saya bisa kembali ke tempat ini lagi,”
Ucap Alden, sambil mengedarkan pandangannya ke apartemen yang dia tinggalkan sejak lima tahun lalu, yang menyimpan banyak kenangan dirinya dan seseorang di masa lalu.
“Ayo, kita makan sebelum makanannya jadi dingin,” ajak Jessi.
Ruang makan itupun beralih senyap, berganti dengan dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring makan mereka sampai makan malam mereka selesai.
Alden membuka jas dan menggulung lengan kemeja ke siku, saat ia melihat Ayu tengah membereskan meja makan.
Jessi tengah mengangkat panggilan ponsel yang tidak berhenti berdering sejak tadi, sedangkan Della sedang duduk di sofa bersama Yogi menonton televisi.
“Kamu yang memasak semua makanan itu? Enak banget masakannya,” ucap Alden.
Dia pernah sekali mencicipi masakan wanita itu, dan dia akui Ayu adalah seorang wanita yang tahu bagaimana cara memanjakan perut.
“I-iya, terima kasih,” balas Ayu gugup.
“Bagaimana keadaan kamu? Apa sudah lebih baik?”
Tanya Alden kepada Ayu yang tengah mencuci piring.
“Ba-baik,” jawab Ayu.
Ayu gugup dengan posisi mereka yang berdekatan di dapur seperti ini. Ia menjadi sedikit takut berdekatan dengan lawan jenis tanpa terkecuali.
Namun saat ini, malah pria itu bersikeras membantunya mencuci piring walaupun telah dilarang, membuat Ayu sekuat tenaga menahan perasaan tak nyaman di tubuhnya.
“Terima kasih, sudah menolong dan mengijinkan saya tinggal sementara di tempat ini,” ucap Ayu lagi.
“Harusnya saat ini saya sudah memakai kostum superhero, karena tak henti-hentinya kalian berterima kasih kepada saya,”
Ucap Alden sambil tersenyum ramah.
Ayu tertawa, mendengar nada bicara Alden yang mengeluh karena dianggap sebagai pahlawan bagi dirinya, Jessi, dan Yogi.
“Siapa pun yang ada di posisi saya waktu itu, pasti akan dengan senang hati menolong kamu yang sedang kesulitan,” jelas Alden.
“Tidak semua orang,” gumam Ayu.
Belum Alden melanjutkan perkataannya tiba-tiba ponsel di sakunya berdering.
🍀🍀🍀
Home Calling ..
“Assalamualaikum, Mi.”
“...”
“Sudah makan, Mi, sama temen.”
“...”
“Minta dibelikan apalagi sih?”
Nada bicara Alden terlihat kesal.
Ayu hanya diam sambil mengelap sisa sabun di sekeling wastafel, lalu ia mendengar dengkusan napas kencang dari Alden.
“Iya, Mami. Ntar Al cariin.”
“...”
Klik
Alden menaruh kembali ponselnya ke saku celana.
Dia memijat tengkuknya yang terasa pegal, lalu merentangkan kedua tangannya.
“Tampaknya aku tidak bisa istirahat cepat lagi malam ini,”
Gumam Alden dengan wajah letih.
“Kenapa?” tanya Ayu.
“Mami nelpon suruh belikan capcay seafood yang enak buat calon cucunya. Biasa, permintaan bumil ngidam,” jelas Alden.
Ayu sedikit memundurkan tubuh lalu matanya melihat ke kedua tangan Alden, mencari sebuah tanda kepemilikan seseorang.
Alden dapat menangkap kegelisahan Ayu.
“Alicia, adikku yang lagi hamil. Saya masih single kok. Dia juga yang membuat saya berkeliaran kemarin tengah malam, untuk memenuhi permintaan babynya. Dia lagi ngidam, dan akhirnya bertemu kamu,” jelas Alden.
“Ohh...” lirih Ayu.
“Kalau begitu biar saya saja yang buatkan. Tadi beli sedikit udang, ada baso ikan, dan tofu,” tawar Ayu.
“Benarkah? Apa kamu tidak keberatan?”
Tanya Alden, dengan raut wajah berubah cerah seolah beban terangkat lepas dari bahunya.
“Saya tidak keberatan. Kebetulan ada bahannya di kulkas. Jadi, kamu bisa istirahat dulu sambil menunggu masakannya matang. Nggak lama kok,” jawab Ayu.
“Baiklah. Terima kasih telah membantuku,”
Ucap Alden, sambil menepuk bahu Ayu secara tak sadar. Namun, wanita di depannya tampak tersentak.
Alden cepat-cepat mengangkat tangannya dengan canggung dari bahu Ayu, kemudian berlalu menuju ruang TV dimana Della dan Yogi sedang menonton acara televisi.
Jessi menghampiri Ayu yang tengah memotong-motong sayuran.
“Kamu ngapain?” tanya Jessi.
“Bikin capcay seafood buat Alden.”
“Loh, bukannya dia udah makan?”
“Iya, tapi ini bukan buat dia. Tadi ibunya nelpon. Adiknya yang sedang hamil minta dibelikan capcay seafood. Dia gak mau masakan pembantunya di rumah. Karena dia keliatannya capek, mending aku aja yang buat. Dia nggak keberatan aku yang bikinin.”
“Oohh ....”
Jessi pun ikut membantu mempersiapkan bahan-bahan untuk memasak.
“Tadi Rangga yang nelpon aku,” ucap Jessi pelan.
Dia melihat Ayu sempat berhenti memotong, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.
“Om Robby masuk rumah sakit. Serangan jantung,” tambah Jessi.
Ayu meletakkan pisau lalu membalikkan tubuhnya menghadap Jessi.
Raut kecemasan terlihat di wajahnya.
“Ada apa dengan Ayah? Apa beliau sudah tahu?” tanya Ayu cemas.
Yang kemudian dibalas dengan anggukan lemah Jessi.
Ayu menghela napasnya pelan. Ia tahu hal ini akan terjadi.
Ayah mertuanya itu adalah orang yang paling baik di keluarga Aditya.
Saat ia 'hamil', mertuanya sering membawakan berbagai makanan untuk dirinya, alasannya beliau yang ngidam.
Beliau juga yang siaga mengantarkan dirinya dan Della untuk imunisasi ke rumah sakit terdekat, memperlakukan dirinya layaknya putri kandungnya sendiri.
Dan kini, ia pasti shock setelah mengetahui kebenaran mengenai aib yang disembunyikan istri dan anaknya selama bertahun-tahun.
“Rangga bilang, Della tinggal bersama kita beberapa hari ini. Di rumah nggak ada siapa-siapa,karena mereka bergantian jaga di rumah sakit. Om Robby belum sadarkan diri,” tambah Jessi.
“Kita harus ke sana, Jess” ucap Ayu.
“Iya, tapi nanti kalau Om sudah siuman. Memangnya kamu mau, ketemu sama Rangga dan Ibu mertua kamu sekarang?”
Ayu terdiam. Ia sadar, dirinya masih belum ingin bertatap muka dengan orang-orang itu.
Belum siap lahir batin menghadapi mereka, karena ia pun belum tahu langkah apa yang akan diambil ke depannya.
Apakah kembali dan memperbaiki pernikahan mereka, atau berpisah?
Memikirkan kemungkinannya berpisah dari Rangga, seolah menggores kembali hatinya.
Apakah ini sudah akhir kesabarannya?
Bagaimana dengan putrinya?
Apakah dengan memulai semuanya kembali dari awal bisa memperbaiki hubungan mereka? Bahkan sekarang, berdekatan kembali dengan Rangga butuh keberanian besar dari dalam dirinya.
Sambil menunggu masakan matang, Ayu menoleh ke ruang TV melihat Della yang tengah asyik berceloteh mengenai film kartun yang tengah ditontonnya.
Dan yang menarik perhatiannya, Della bersandar dengan santai di pangkuan Alden, yang tengah duduk sambil tersenyum memperhatikan Della yang tak berhenti bercerita mengenai dirinya, dan angan-angannya menjadi princess idamannya seperti yang di tampilkan di layar televisi.
Ayu tersenyum melihat tingkah putri kecilnya. Sebenarnya ia cukup heran melihat Della begitu mudahnya dekat dengan Alden, sementara putrinya itu butuh waktu satu bulan agar bisa dekat dan nyaman saat bersamaYogi.
🍀🍀🍀
Rangga kembali ke rumahnya saat tengah malam, meninggalkan bu Mirna dan Rania untuk menemani pak Robby di rumah sakit.
Ia memutuskan untuk beristirahat, Ia punya kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
Besok ia harus kembali bekerja, setelah seharian ini ijin dan berbohong pada bossnya mengaku sakit.
Rangga terduduk di tepi ranjang, mengedarkan pandangan ke kamar yang banyak menyimpan kisah sedih maupun bahagia dirinya bersama Ayu dan Della.
Bahkan wangi istrinya masih tertinggal di ruangan itu. Ia menghirup dalam-dalam udara di kamarnya, mencoba menghirup wangi itu lebih banyak.
Wangi penuh kelembutan yang selalu menyelimuti tubuh mungil istrinya. Istri yang tak dianggapnya selama ini.
Rangga membuka pakaian lalu beranjak ke kamar mandi.
Mendinginkan kepala di bawah guyuran shower, berharap bisa ikut mendinginkan isi kepala dan hatinya. Dengan air yang masih menetesi kepala, ia melihat ke arah wastafel di mana dirinya pernah bercengkerama dengan istrinya lalu menciumnya.
Ia menyentuh bibirnya, mencoba membayangkan kembali bagaimana rasa manis bibir Ayu masih tertinggal di sana, saat di mana perasaan itu tumbuh kembali.
Perasaan yang sama saat pernah mencuri kecupan di malam itu. Rasa yang selanjutnya terkubur karena kekecewaan, juga rasa bersalah yang mendalam.
Yang dirinya tahu, sejak dulu perasaan sayangnya begitu besar untuk gadis itu.
Perasaan ingin menjaga, mellindungi, dan menjadikan dirinya orang yang paling berarti untuk gadis itu.
Dulu, dia merasa cukup hanya dengan seperti itu. Tak ingin ada ikatan yang terjalin, yang mungkin suatu saat akan berakhir.
Dengan menjadi sahabat, maka mereka akan selalu bersama selamanya. Terdengar klise memang, tapi itulah yang dipikirkannya dulu.
Terbukti, sekarang ia kehilangan kepercayaan Ayu baik sebagai suami maupun sahabatnya. Kebersamaan mereka tidak akan sama lagi seperti dulu dan itu sangat menyakitkan.
Rangga cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Tak tahan berada di tempat yang mengingatkan dirinya tentang Ayu.
Wajah polos dan segar istrinya sehabis mandi, wangi sabun yang melekat di tubuh Ayu dan ciuman mereka, semua berputar di kepalanya. Menambah rasa sakit hunjaman di hatinya.
Pria itu memilih keluar dari kamarnya, dan menuju kamar di sebelah, kamar putrinya yang akhirnya diketahuinya sebagai keponakannya.
🍀🍀🍀
Di kamar itu,terpampang banyak foto dirinya bersama Della juga Ayu. Senyum cantik putri kecil itu menular ke dalam dirinya.
Ia tersenyum melihat foto-foto ekspresif Della semenjak dia bayi sampai saat ini. Senyum tulus Ayu terpancar saat bersama Della.
Rangga tahu istrinya sangat menyayangi gadis kecil itu sepenuh hati, walaupun dia bukan ibu kandungnya.
Rangga menyesal, saat Ayu 'hamil' dirinya tidak pernah pulang ke rumah ini.
Tahun pertamanya sebagai mahasiswa baru benar-benar menyita waktu. Hanya ayah dan ibu yang sering mengunjunginya ke Yogya, Ayu dilarang bepergian jauh waktu itu.
Ibunya beralasan kandungan Ayu lemah. Mereka hanya berhubungan lewat telepon walaupun sebentar, dengan suasana canggung sering terasa di antara keduanya.
Jika saja waktu itu dirinya pulang ke rumah, mungkin ia dapat membongkar sandiwara mereka dengan lebih cepat.
Setidaknya saat tidur bersama Ayu, pasti ia dapat mengetahui keanehan itu.
Rangga pulang saat Della telah lahir, tepat tujuh bulan lebih setelah pernikahan mereka.
Ibu mengatakan bayinya prematur makanya lahir lebih cepat, dan lagi-lagi dengan mudahnya ia percaya dan dibodohi kembali. Kini, ia hanya bisa menyesal dan waktu tidak dapat terulang kembali.
Hadirnya Della membuat hubungannya hangat kembali dengan Ayu−tidak secanggung sebelumnya− walaupun mereka masih tampak tak nyaman saat berduaan saja.
Wajah Della yang mewarisi darah oriental keluarganya, membuat dirinya tidak menaruh curiga akan Della. Dia begitu cantik dengan wajah orientalnya.
Rangga mengambil foto yang terletak di atas meja belajar Della, foto mereka bertiga belum lama ini.
Ia mengelus gambar di hadapannya.
“Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahanku, Ay?”
Bersambung
No comments:
Post a Comment