*Extra Part terakhir*
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Rayyan sudah sangat panas, sementara semua orang diam saja hanya menonton. Seolah menikmati pertunjukkan gratis, bahkan ada yang sibuk mengabadikan dengan video. Sepertinya akan diunggah di sosial media dengan judul 'Pelakor'. Meski mereka tidak tahu masalah sesungguhnya.
Rayyan yang kesal menghampiri orang yang merekam, lalu merebut ponselnya dengan paksa. Kemudian menghapus video itu.
"Dengar ya! Jangan macam-macam sama ibuku! Pergi semua!" teriak Rayyan sedikit gugup. Meski ketakutan tapi dia tidak rela ibunya dihina. Apalagi diviralkan sebagai pelakor.
"Dan kamu! Kalau ga tahu apa-apa jangan main rekam dan viralkan! Kamu emang siap nanggung dosa orang-orang yang terpengaruh sama tulisan kamu!" maki Rayyan dengan emosi, "bukannya bantuin mendamaikan malah merekam. Pake etika kalian! Where's your attitude? Gunakan smartphone-mu dengan baik!"
Dada Rayyan tampak naik turun karena menahan amarah juga kesedihan. Kemudian kembali pada sang ibu yang masih memegangi dada karena syok, sementara penonton mulai meninggalkan warung karena petugas keamanan pasar membubarkannya.
Bang Jalil sendiri adalah ketua keamanan di pasar ini. Pria yang disegani para pedagang itu terpesona sama Kirana yang seorang janda.
"Tuh kan, jadi janda ga enak, Neng. Mending nikah sama akang," celetuk pemilik toko sebelah Kirana yang merupakan penjual perabotan.
Kirana tak menjawab, langsung masuk ke dalam warung dan masih terlihat kalut, sesekali terisak pelan. Dia tak menyangka kehidupan jadi janda juga berat. Pandangan miring atau negatif selalu disematkan. Tak peduli siapa yang menggoda dan siapa yang digoda, tetap saja yang disalahkan perempuannya, status jandanya. Kenapa tidak ada yang menyalahkan kegenitan pria yang tak bisa menjaga pandangan mereka?
Bukankah para lelaki harus menundukkan pandangan mereka dan mendatangi istri mereka jika merasa terpesona pada wanita lain di luar? Itu yang Kirana tahu selama menimba ilmu pada Ustadzah Maryamah.
Merasa sesak, Kirana memilih ke belakang warung yang merupakan tempat tinggalnya. Ukurannya hanya tiga kali empat meter. Sementara warung dijaga Ani yang biasa membantunya berjualan. Dia masih tak menyangka akan dicaci maki seperti itu di hadapan banyak orang. Padahal sudah berusaha ramah pada siapapun. Dan menjaga sikap pada para pria. Tapi ... il tetap saja, ada yang tidak suka dalan salah faham.
"Bu," panggil Rayyan dengan tatapan nelangsa.
"Ibu baik-baik saja, Nak . Istirahat gih, makan dulu," katanya lirih. Kembali, dia berusaha tegar di depan putranya.
*
William dan keluarga Kirana yang terdiri dari Paman dan Bibi juga Bagas meluncur menuju alamat yang dituliskan oleh teman-teman Rayyan. Setelah sebelumnya banyak yang mengaku-ngaku tahu keberadaan putranya, tapi mereka tidak pernah menunjukkan bukti. Baru anak-anak remaja ini yang menunjukkan langsung foto Rayyan bersama mereka. William pun segera menghubungi nomor teman anaknya tersebut.
Rasa tidak sabar terus menggerogoti hati William ketika macet, atau sang sopir bertanya jalan pada orang lain. Karena mereka kesulitan menemukan alamat yang diberikan anak-anak itu. Untuk menutupi rasa gelisah dia terus berdzikir dan memandang foto putranya, berharap remaja itu baik-baik saja.
Sudah hampir enam bulan mereka tidak bertemu pasca Rayyan memutuskan ikut dengan sang ibu. Dan rindu itu telah menggunung, mengingat betapa dia sangat menginginkan anak di masa lalu. Karena keterpaksaan harus berpisah sementara, dan kini dia tak akan kompromi lagi, Rayyan harus dalam pengawasannya juga.
Mobil Range Rover itu mulai memasuki area pasar Cidaun. Teman-teman Rayyan yang menunggu sejak tadi langsung bisa menebak mobil mewah yang datang pasti milik ayah Rayyan. Karena di daerah itu tidak ada yang memiliki mobil sekeren ini. Paling keren hanya Avanza. Mereka segera melambaikan tangan dan terlihat gembira.
William tersnyum dan mendekati mereka, "Mana Rayyan?" tanyanya dengan tidak sabar.
Mereka saling senggol menunjukkan saling suruh untuk menjawab.
"Jadi gini, Om. Rayyan bilang udah janji sama ibunya ga akan bahas masa lalu. Semacam gitu lah nya? Gimana sih kamari ngomongna? Poho." Wanita berkuncir itu bingung sendiri.
(Gimana kemarin bilangnya? Lupa.)
William tersenyum faham, "Saya faham," katanya tenang, "jadi ... sekarang tolong antar saya menemui Rayyan. Dimana dia? Bisa kan?"
"Tentu atuh. Tapi ... ke dalam pasar ya, Om. Mobil di parkir di sana saja," kata anak lelaki yang kulitnya lebih gelap dari yang lain.
"Hadiahna tong poho," bisik yang lain.
(hadiahnya jangan lupa).
"Eh nanti atuh. Ngerakuen. Malu-maluin!" omel yang lain.
Mereka berjalan memasuki pasar yang mulai ramai. Lalu masuk ke beberapa blok belakang dan William merasa terenyuh dengan kondisi pasar itu.
Anaknya tinggal di tempat ini? Tempat yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan rumah mereka selama ini. Rumah dimana Rayyan dibesarkan. Dia benar-benar salut pada putranya, karena demi sang ibu ... dia bisa bertahan hidup dalam perputaran roda yang sangat cepat.
"Itu Rayyan, Om!" tunjuk gadis berkuncir tadi. Menunjukkan ibu jarinya ke arah Rayyan yang sedang mencuci piring dan gelas di pinggir warung. Bekas pelanggan makan.
William lemas, tubuhnya bergetar. Dan tanpa aba-aba dia terus melangkah mendekati sang anak yang sangat dia rindukan.
"I miss you ... Son," katanya dengan lembut dan mata yang basah.
Membuat Rayyan tertegun, menghentikan aktifitasnya. Lalu berbalik menatap pria tinggi besar yang selalu dia rindukan.
"Dad!" spontan dia memekik bahagia dan berlari untuk kemudian memeluk sang ayah dengan penuh rasa rindu. Begitu juga William membalas pelukan itu dengan erat. Menumpahkan segala rindu yang terpenjara selama beberapa bulan.
Kini, semua mata langsung tertuju pada mereka. Pertemuan yang mengharukan karena Rayyan terus terisak. Mengingat betapa berat hari-harinya sebelum ini. Terlebih saat ingatannya kembali pada perlakuan Wildan, dia semakin mengeratkan dekapannya di pinggang sang ayah.
Kirana yang sedang melayani pembeli tersentak, dia menatap pria yang tengah berpelukan dengan putranya. Lalu melihat Paman dan Bibi yang juga lari ke arahnya. Dia segera menyambut bibi dengan pelukan penuh rindu.
"Kenapa harus jauh seperti ini sih kalau cuma mau hindari tetangga-tetangga bibi yang resek." Bibi menangis karena merasa Kirana terlihat kurus meski tetap bersih dan manis seperti biasa.
"Bibi sehat?" Kirana hanya mampu mengatakan itu. Selebihnya dia sangat gugup. Karena pria berkulit putih itu mulai menoleh pada dirinya. Hingga jantungnya seperti berdetak berkali-kali lipat dari normal. Juga ada sedikit mulas di perut, seperti kupu-kupu yang berterbangan menggelitik ulu hatinya. Dia sendiri tidak tahu rasa macam apa yang sedang dia alami.
"Kalah saing maneh Jalil, tingali bapak si Rayyan meni kasep jaba bule, awakna ge meni alus." Teman Bang Jalil meledek sambil terkekeh geli.
(Kalah saing kamu Jalil, lihat ayah si Rayyan tampan sekali bahkan bule, badannya saja bagus sekali.)"
Bang Jalil hanya mengacak rambut sambil menarik nafas berat. Begitu juga para pria yang sempat mendekati Kirana.
"Bapak si Rayyan aja ditinggal, apalagi kita ya? Duh," gumam penjual perabot yang selalu menaruh harapan pada Kirana.
Semua orang juga sibuk mengomentari William yang mereka duga sebagai mantan suami Kirana. Karena yang mereka tahu penjual nasi itu janda satu anak. Jadi jika pria itu ayah dari anaknya, artinya pria bule itu mantan suaminya.
Kirana segera meminta Paman dan Bibi masuk ke dalam rumah. Begitu juga William dan Rayyan, segera menyusul mereka. Warung terpaksa ditutup cepat.
*
William mengedarkan padangan ke setiap sudut ruang sempit itu. Hanya ada dua kasur tipis digulung. Serta lemari plastik yang lumayan tinggi, lalu karpet yang juga berbahan plastik sebagai alas lantai. Di bagian belakang ada kamar mandi, sementara dapur ada di depan sekaligus tempat jualan yang juga lebarnya hanya empat kali empat meter.
Ruang ini adalah kamar tidur sekaligus ruang tamu yang ditinggali oleh anaknya dan juga wanita yang dia cintai. Dia merasa miris, tapi juga kagum dengan ketegaran sang anak yang pernah dibesarkan dengan kemewahan.
Kirana sendiri masih menunduk sedari tadi, mendengarkan wejangan pamannya. Bahwa melupakan masa lalu tidak harus lari menjauh bahkan dengan memutus silaturahmi. Karena dia tidak memiliki nomor kontak yang bisa dihubungi setelah pergi. Dan yang dinasihati mengangguk sambil meminta maaf.
"Sekarang mau gimana? Mau tetap disini atau balik lagi ke Jakarta? Bisa kan tinggal di daerah lain. Ustadzah Maryamah juga cemas sama kamu, cuma dia ga bisa ikut. Kasian." Kali ini bibi yang bicara.
"Iya, Teh. Kasian Rayyan pindah-pindah sekolah mulu. Pikirkan juga masa depannya." Bagas juga ikut berkomentar.
Ada benarnya juga apa yang Bagas katakan.
"Maafin ibu ya, Nak. Jika ibu sangat egois." Kirana menatap Rayyan yang tetap tersenyum padanya.
"Ga ko, Bu. Rayyan jadi berasa bertualang. Tapi iya ... sering kangen Daddy. Itu aja sih masalahnya." Dia menoleh pada sang ayah yang tersenyum sangat menenangkan. Mengelus pundak Rayyan dengan rasa bangga.
"Daddy juga rindu sekali, Nak." William menggenggam erat tangan Rayyan. Namun juga melirik pada wanita yang dia sangat rindukan. Bahkan melebihi rasa rindu pada putranya.
"Rembukan sekarang, mau gimana ke depan." Paman kembali buka suara.
Kirana masih terdiam, menunduk dan memilin ujung jilbabnya. Sementara mata William terus mengamati gerak geriknya, dan itu tertangkap jelas oleh Rayyan.
"Apa ... aku bisa meminta sesuatu dari kalian?" tanya Rayyan ragu, "selama ini aku tidak pernah meminta. Karena aku cukup bahagia dengan apapun keputusan kalian," lanjutnya dengan menatap sang ibu.
Kirana menatap putranya dengan penuh tanda tanya. Namun seperti sudah menebak apa yang diinginkan sang anak.
"Katakan saja, daddy akan memenuhi apapun keinginanmu jika sanggup." William menjawab cepat. Dan sukses membuat Kirana meniupkan napas kasar.
"Okay ...." Rayyan mengambil ancang-ancang, "Dad ... Bu ... bisakah ... kalian bersatu demi aku?"
.
Seketika William menatap Kirana dengan penuh pengharapan.....
gemuruh dada kirana menanti jawaban dari william...
ternyata lelaki ini yg selama ini hinggap dalam sanubarinya
baiklah kalo dengan bersatunya kami kamu jadi bahagia...daddy juga ingin bersatu dengan ibumu
seketika..mereka berpelukan bertiga dengan penuh kebahagiaan...
Ya Allah beri kami kebahagiaan selamanya....
.......end......
No comments:
Post a Comment