#KAYLA
By Leny Khan
#PART_1
Aku baru saja ke luar dari ruangan tempatku mengajar saat melihat pria itu duduk di bangku kayu di teras masjid. Pria yang baru dua bulan belakangan ini menikahiku. Seorang pemuda penuh kharisma, memiliki perusahaan sendiri dan jenjang pendidikan yang cukup tinggi. Sedangkan aku, aku hanyalah seorang gadis biasa, seorang gadis tamatan SMU yang tak punya kelebihan apa-apa. Hanya memiliki ilmu baca tulis Alqur’an serta hapal beberapa juz dari 30 juz yang terdapat di dalamnya. Aku tidak terlalu cantik, malah menurutku, wajah yang kumiliki standar saja, tak punya daya tarik. Akan tetapi entah mengapa tiba-tiba saja pria ini datang melamarku pada Ayah. Padahal kenal saja tidak, ketemu pun baru saat dia datang melamar.
Ayah yang kala itu memang sangat ingin anak bungsunya ini menikah, langsung menerima lamaran pemuda itu. Usut punya usut, ternyata dia adalah anak dari sahabat ayah waktu mereka sama-sama sekolah di kampung. Di mana saat ini kedua orang tuanya itu sudah kembali ke pangkuan ilahi.
Pemuda itu melihatku saat ia sering mampir shalat Asar di masjid tempatku mengajar mengaji. Ia mulai bertanya tentangku pada orang-orang sekitar, bahkan teman satu profesiku pun tak luput dia interogasi. Hingga akhirnya, inilah dia, pria yang sudah menghalalkanku dua bulan yang lalu. Zein Arifin, usianya lima tahun lebih tua dariku.
‘Ada apa dia datang ke sini? Tumben!’ batinku. Bagaimana tidak? Selama ini dia jarang punya waktu untukku, karena terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bisa dihitung dengan jari berapa kali sejak menikah dia menemaniku seharian tanpa diganggu pekerjaan kantor.
Bergegas mendekati pria yang tengah asik mengutak-atik ponselnya. Lengan kemeja biru mudanya ia gulung hampir ke siku, sementara dasi biru tua itu masih menggantung rapi di kerahnya.
Suasana terdengar begitu ramai karena suara tawa anak-anak didikku yang asik berlarian ke sana ke mari. Seperti biasa, meskipun jam pelajaran mengaji telah usai, mereka belum mau pulang, pasti menghabiskan waktu dulu untuk bermain sebelum kembali ke rumah masing-masing.
“Abang?”
Lelaki itu mengangkat kepala, senyumnya langsung mengembang saat manik mata kami saling beradu. Segera ia masukkan ponselnya ke saku celana, meraih jas yang ia letakkan di sampingnya, lalu berdiri.
“Aku menunggumu sejak tadi,” ujarnya sambil terus menatapku.
“Oh ya? Tumben!” sahutku dengan alis terangkat.
“Kangen aja.” ucapnya. Kali ini ia tak lagi menatapku, mengedarkan pandangan ke tempat lain.
“Kangen?” Aku tergelak. Tak biasa-biasanya ia mengucapkan kata itu. Setahuku, dia orang yang tidak romantis, jarang menggunakan kata-kata indah. Tepatnya, dia dingin. Tidak sedingin es, tapi sedingin angin yang bertiup kala hujan ingin menyapa bumi. Sejuk, walau kadang mampu membuat tubuh kaku.
“Hey! Jangan menertawai suamimu seperti itu!” bisiknya sambil mengambil tangan kananku, menggenggamnya dan menarikku menuju parkiran. Ia tak peduli tatapan iri orang-orang yang melihat perlakuannya padaku. Kenapa dia tiba-tiba bersikap manis begini? Ada apa dengannya?
“Bang, tunggu!” cegahku saat ia hendak membukakan pintu mobil untukku.
“Bicaranya di mobil saja.” bantahnya sambil mendorong pelan tubuhku untuk masuk ke mobil berwarna hitam itu.
‘BLAM!’ Pintu mobil ditutup, ia pun bergegas menuju kursi kemudi. Menyalakan mesinnya dan melaju perlahan meninggalkan parkiran masjid.
“Boleh aku bertanya?” Aku membuka suara.
“Tentu saja.”
“Ada apa tiba-tiba datang menjemputku?”
Ia tersenyum, sekilas melirikku, menyentuh tanganku sejenak. “Kan sudah kubilang kalau aku kangen. Lagian apa salahnya menjemput istri sendiri? Kamu tidak senang?”
“Tentu saja aku senang, Bang. Hanya saja, rasanya aneh. Karena ini pertama kalinya, Abang mau menjemputku. Biasanya kan ... “
“Aku sengaja meluangkan waktu untukmu, sudah seminggu kita tidak saling bersama. Oh ya, aku sudah pesan tempat untuk kita makan malam hari ini. Jadi, nanti selepas magrib, kita makan di luar saja, jadi kamu tak perlu repot memasak.”
Baru saja aku hendak menjawab, ia sudah berkata lagi, “kita sekarang mampir ke butik dulu, kita beli beberapa gamis dan jilbab untukmu. Sejak menikah, aku belum pernah membelikanmu baju. Maafkan aku!”
Aku semakin bingung dengan sikapnya. Padahal aku merasa masih punya banyak pakaian, dan masih ada beberapa gamis hadiah dari kolega bisnisnya saat pernikahan kami yang belum tersentuh sama sekali.
“Jangan menolak, aku tak suka jika keinginanku ditolak.” Seperti tahu apa yang hendak kukatakan, pria itu sudah mendahuluiku. Hanya bisa terdiam penuh tanda tanya sepanjang perjalanan.
***
Dengan mengenakan gamis soft green dan jilbab segi empat dengan motif bunga senada, gamis yang tadi ia beliakan untukku, kami pun berangkat. Sepanjang perjalanan ini ia tak banyak bicara, seperti biasanya. Hingga kami pun sampai di tempat tujuan.
Darahku berdesir, jantungku berdetak kencang saat mobil yang dikendarainya memasuki pelataran parkir sebuah restoran ternama di kota Bukittinggi. Sebuah restoran yang letaknya berdampingan dengan hotel bintang lima, di mana pemilik hotel dan restoran itu adalah orang yang sama.
‘Kenapa harus ke tempat ini?Apa dia tidak tahu kalau ... ,’
“Ayo Sayang, kamu tunggu apa lagi?” Suara Zein membuatku tersadar dari lamunan. Pria itu sudah membukakan pintu mobil untukku.
“Eh, iya Bang.” sahutku gugup seraya melangkah turun.
Zein menutup pintu mobil. Lalu setelah memastikan mobil terkunci, ia dengan sigap menggandeng tanganku masuk ke restoran itu.
... dan jantungku masih berdetak tak karuan. Panas dingin rasanya tubuh ini.
“Kayla, kamu baik-baik saja?” tanyanya saat kami sudah berada di meja yang sebelumnya sudah di pesan oleh Zein.
Aku mengangguk, “iya, aku baik-baik saja.”
“Kamu pucat, kamu sakit?” Terkejut saat punggung tangan Zein meraba dahiku.
“Tidak, aku baik-baik saja.” sahutku cepat. Aku masih berusaha mengatur degup jantungku.
Zein menggenggam jemariku di atas meja sambil tersenyum memandangku. Ada apa dengan pria ini? Dia begitu berbeda dari biasanya. Semoga dia tak menyadari apa yang sedang terjadi dengan istrinya ini.
“Selamat malam, bapak dan ibu, saya sebagai kepala chef di sini ingin ... “ seorang lelaki hadir di antara kami, ucapannya terputus saat mataku dan matanya saling beradu. ... dan rasa sesak itu kian memenuhi rongga dada, hingga aku merasa kesulitan untuk bernapas.
Bersambung
No comments:
Post a Comment