Part 20b
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
"Welcome home." Seorang wanita tua namun masih anggun dan elegan berdiri menatap anaknya yang baru kembali menginjakkan kaki di tanah kelahirannya. Dia sempat pergi demi cinta yang kini memporak porandakan impiannya.
"Sorry," bisiknya menatap sang ibu, lalu meraih jari jemari sang Ibunda dan mencium punggung tangan nan putih itu dengan ciuman tulus dan lembut.
Tangan kiri sang ibu menyentuh kepala putranya. Benarlah, bahwa ibu memiliki maaf yang tak terbatas, cinta yang tak terhingga, dan sayang melebihi isi dunia pada anak-anaknya. Meski pernah ditinggalkan demi wanita asing yang mengatasnamakan cinta, dia tetap membuka lebar pintu rumah dan hatinya demi sang anak tercinta. Bahkan meski sang anak telah berbeda keyakinan dengan dirinya. Kasihnya tetap tak pernah pudar.
Tak ada bahasan seputar Anna, karena wanita pemiliki rambut ikal di ujung ini sudah menduga kelak putranya akan kembali dan menyesali pilihannya.
"She's not a good woman. Will never be a wife you exspect. Leave her or leave this house!"
(dia bukan wanita baik. Tidak akan pernah menjadi istri yang kau harapkan. Tinggalkan dia atau tinggalkan rumah ini!)
Kalimat itu pernah keluar dari bibir tipis sang ibu, tapi di dalam lubuk hatinya dia pun berujar bahwa rumah ini akan selalu terbuka jika kau kembali. Terbukti saat ini, kepala William terus ada dalam pangkuannya dan mendapatkan belaian selayaknya dia di masa kecil.
"Whre's Rayyan?" pada akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir sang nenek yang merindukan cucu kesayangannya. Meski tidak menyukai Anna, tapi dia sangat menyayangi Rayyan karena sering dikirimi foto-fotonya dari dia bayi hingga remaja.
"He gets a more beautiful world. His real mother. His surrogate mother is his biological mother."
(Dia mendapatkan sebuah dunia yang lebih indah. Ibu sesungguhnya. Ibu pengganti yang mengandungnya adalah ibu biologisnya)
Teressa, ibu William menautkan kedu alis indahnya. Kemudian menyimak setiap kisah sang anak tentang bagaimana proses kelahiran Rayyan yang dia rahasiakan. Hingga kemudian anak itu memilih ikut pada sang ibu. Karena dalam agama dan keyakinan William yang baru, Rayyan adalah anak kandung Kirana.
"Her name's Kirana, she not only carries Rayyan, but also brings all my whole heart and mind." Ayah dari satu anak itu kembali menitikkan air mata. Mengingat Kirana, hatinya kembali terluka. Membayangkan wanita itu ada dalam pelukan pria lain, bahkan lebih dari itu. Sangat menyiksa dirinya.
(Namanya adalah Kirana, dia tidak hanya membawa Rayyan, tapi juga membawa seluruh hati dan pikiranku)
Niat kembali ke London untuk mengobati luka hati, tapi justru malah semakin sakit. Jarak yang semakin jauh dengan anak dan juga wanita yang dia cintai, semakin melemahkan fisiknya. Pria itu sakit selama kurang lebih satu minggu dan dalam perawatan sang ibunda.
Keluarga besar William yang sangat toleransi, mendatangkan dokter bahkan psikiater untuk membantu William sehat seperti sedia kala. Bahkan mereka mencari seorang pemuka agama islam agar ayah dari Rayyan tidak lagi merasa dunianya telah hancur hanya karena anak dan wanita yang dicintainya telah memilih pria lain sebagai penjaga.
"Mengadulah pada Tuhan, Allah ... dan belajarlah ikhlas." Lagi-lagi nasehat itu yang dia dapatkan. Karena sesungguhnya cinta antar sesama makhluk ada batasnya dan tidak semua yang kita inginkan adalah yang terbaik.
"Do'a merupakan senjata yang paling dahsyat bagi orang yang beriman. Karena do'a adalah jantung ibadah. Lebih tepatnya karena dalam do'a, kita menunjukkan betapa lemahnya diri kita di hadapan Sang Pencipta, dan hanya Dialah yang mampu membolak balikkan hati."
Setelah mendengar nasehat dari seorang pemuka agama islam London, William kembali membaik. Dia kembali banyak berdoa dan beribadah. Kemudian memutuskan kembali ke Indonesia, untuk mencari tahu kondisi sang anak.
Tidak hanya William, tapi sang ibu dan kedua adiknya turut serta, Kate dan Steve. Mereka tinggal di rumah yang dulu di tempati Anna, sementara William kembali datang ke rumah Paman. Namun saat itu rumah kosong, pemilik rumah tengah pergi menghadiri undangan. William pun kembali dan berniat berangkat umrah.
*
"Luar biasa, anda selalu paling khusyuk ketika berdo'a," ujar Abi Masykur pada William yang menjadi jamaahnya.
"Tidak Ustadz, saya hanya seorang yang lemah iman dan ingin belajar ikhlas. Karena itu selalu tampak khusyuk," balas William dengan tersipu.
"Tidak apa, manusia memang diharuskan berdo'a, justru yang enggan berdo'a itu seolah menyombongkan diri pada Allah." Abi Masykur menepuk pundak sang pria berkulit putih itu, "tidak sama istri? Sudah menikah?" tanya Abi Masykur lagi.
"Baru saja bercerai, karena saat dalam pernikahan ... justru hati ini mencintai wanita lain," jawabnya dengan tatapan kosong.
Abi Masykur menatap pria yang tampak sekali terdapat gurat beban di wajahnya. Mencoba menyelami hatinya yang gelisah dan tidak pernah tenang hanya karena cinta. Tapi lebih dari itu, penyesalan karena telah menghancurkan hidup Kirana lah yang membuatnya terus dihantui kegelisahan. Apakah wanita itu memaafkannya? Atau sangat membencinya?
Akhirnya dia menceritakan kisah hidupnya pada Abi Masykur, dan juga kerinduannya pada sang anak yang memilih ikut dengan ibu dan ayah barunya. Namun kehilangan kontak dan dia sangat ingin tahu kondisi dua orang yang dia cintai itu.
Berada di tanah suci membuatnya terus memanjatkan doa agar dipertemukan kembali dengan Rayyan yang sudah kehilangan kontak hampir satu bulan. Bahkan dia membuat sosial media facebook berharap sang anak memiliki akun sosial media yang sama. Namun setelah mencari berulang-ulang, tidak ditemukan akun dengan nama Rayyan Alvaro. Kalaupun ada memiliki wajah yang berbeda.
Hingga kembali ke Indonesia dia masih berusaha mencari Rayyan. Berulang kali datang ke taman dimana Kirana dulu berjualan. Kini telah ditempati orang lain. Kemudian menuju rumah Bagas, namun menurut tetangga yang dia temui, keluarga Bagas pergi kembali setelah kedatangan Kirana yang tampak tidak seceria dulu.
William terkejut, lalu bertanya lebih detail.
"Apa ... Kirana tidak datang dengan suaminya?" tanyanya penuh rasa penasaran.
"Tidak, dia tampak panik meski tetap tersenyum pada kita ya?" jawab perempuan paruh baya bertanya juga pada rekannya.
"Iya, terus Mamak Si Bagas juga kaya nangis gitu. Langsung meluk si Kirana. Terus masuk nutup pintu. Selang beberapa jam pada pergi bawa tas masing-masing. Ditanya mau ke mana cuma jawab ada urusan," papar tetangga yang lain.
"Lalu Rayyan?"
"Ga kelihatan. Eh ya, tapi apa bener si Rayyan itu anaknya si Kirana dari dirimu ya, Om bule? Duh, ga nyangka juga anak gadis kaya si Kirana bisa punya anak bule."
Mereka mulai saling sikut mencari jawaban dari gossip yang selama ini mereka hembuskan dan selalu mereka bahas. Sampai-sampai ibunya Bagas sempat memarahi mereka.
William tersenyum dan mengangguk pelan, "Betul. Rayyan anak saya dengan Kirana, tapi ... melalui proses bayi tabung," jawabnya dengan senyuman. Sengaja menyebut proses bayi tabung agar familiar di telinga mereka.
Mendengar jawaban ayah Rayyan mereka bengong, saling lirik dan saling geleng. Entah apa maksudnya.
"Oh, ya ... ada yang tahu nomor telepon Bagas? Bisa minta?" William mengalihkan bahasan.
"Anak saya yang punya, tapi orangnya kaga ada. Lagi pegi," jawabnya dengan logat dan bahasa yang kental nuansa betawi.
William lagi-lagi menarik nafas dalam, kenapa ujian ini begitu menyiksanya. Lalu dia mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada pada tetangga Bagas.
"Ini kartu nama saya. Mohon ... mohon sekali berikan pada Bagas kalau dia kembali. Katakan ayah Rayyan ingin menghubunginya. Please ya ibu-ibu, bantu saya." William bicara dengan penuh harap.
"Iya ... iya tenang aja bule ganteng."
"Ish genit lu, laki lu tahu kaga dapat jatah mampus lu!"
Mereka terus saja saling sahut, bahkan sampai membahas kalau orang tua Bagas tidak memiliki smartphone dan mereka sebut sebagai orang kudet bin payah. Membuat William hanya tersenyum lalu segera pamitan pada mereka.
*
Kereta yang membawa Kirana dan keluarga Bagas terus melesat hingga tiba di Stasiun Tugu. Dari situ mereka menanyakan pondok pesantren Al-Kautsar, sebuah pondok yang tidak populer di telinga awam. Dengan memanfaatkan aplikasi google map akhirnya mereka menemukan lokasi meski terus menghubungi pihak pondok untuk detail transportasi menuju lokasi.
Setelah mendapatkan mobil yang bersedia mengantar hingga ke pondok, mereka kembali melanjutkan perjalanan yang terasa panjang. Padahal tidak terlalu jauh dari stasiun dan hanya berjarak satu jam. Namun bagi Kirana terasa lama dan juah, karena dia ingin segera tiba.
Akhirnya wanita yang tak pernah lelah menjalani hidup beserta keluarganya telah tiba di Pondok Pesantren AL-Kautsar. Tangis pecah saat pihak pondok menyatakan Rayyan dirawat di rumah sakit karena dehidrasi, akibat sering puasa tapi jarang berbuka bahkan malas minum. Bukan hanya itu, dia sering menyendiri dan menangis, bahkan tidak menghabiskan makanannya, membuat Kirana lemas dan semakin merasa bersalah serta menyesali setiap keputusannya menikah dengan Wildan.
"Maafkan ibu, Rayyan." Berulang kali dia bergumam sambil mengusap matanya yang terus mengalirkan lelehan bening sepanjang jalan menuju rumah sakit.
Kakinya gemetar saat memasuki ruang rawat inap, dan terlihat seorang anak yang kini kurus dan lusuh dengan wajah yang sangat pucat.
"Rayyan!" Kirana langsung lari meski terseok-seok hampir jatuh karena lemas melihat kondisi sang anak. Dia tak berkata apapun saat berada sangat dekat dengan buah hatinya, hanya menyentuh kepala dan mengelus rambut putranya.
Mulutnya terus komat kamit mengucap dzikir agar menguatkan dirinya dari masalah yang dia hadapi.
Subhanallah ... walhamdulillah ... wa laa ilaaha illallah ... wallahu akbar
Tangan Kirana gemetar menggenggam tangan Rayyan yang masih tertidur, dengan bibir yang henti berdoa, bermunajat dan memohon pada Sang Penguasa Alam Semesta, Pemilik Obat dari Segala Panyakit ... dan Maha Segalanya.
"Bu ...." Mata Rayyan terbuka, tampak ringkih dengan pipi yang tirus.
"Alhamdulillah ...," Kirana langsung memeluk anaknya dengan tangisan yang tak bisa lagi dia tahan. Tangisan pilu dengan isakan yang keras. Tangisan karena menyesali setiap keputusan yang dia ambil yang lagi-lagi menyebabkan kemalangan bagi orang-orang yang dia kasihi.
Entah ujian, entah hukuman, entah kesialan, Kirana tidak dapat memastikan apa yang sedang dia hadapi. Hampir hilang iman di dada tatkala dia mengingat keputusan menyewakan rahim telah membuat sang ayah pergi dari dunia, padahal niat semula uang itu untuk mempertahankan hidupnya. Dan kini, keputusan dia menikahi pria yang dia anggap baik, dan menolak pria yang dia anggap bagian dari masa kelamnya, justru menjadikan petaka juga penderitaan bagi anaknya.
Beruntung Rayyan masih hidup, masih bisa memanggilnya ibu, dan dia masih dapat memeluknya dengan erat. Tidak seperti Abah yang akhirnya pergi untuk selamanya dengan kemarahan yang selalu membuat Kirana merasa berdosa. Dia tidak tahu andai Rayyan juga pergi, mungkin dia akan merasakan kemalangan yang berujung pada trauma yang dalam.
Ponselnya bergetar, dia segera mengangkat telepon yang ternyata dari Wildan. Dia menanyakan keberadaan Kirana karena tak menemukan istrinya itu di rumah.
"Aku menghubungi kamu sampe lebih dari sepuluh kali ga kamu angkat! Aku datang ke rumah ... kamu ga ada! Istri macam apa kamu! Dasar istri durhaka!" maki Wildan tanpa ampun. Membuat Kirana menahan isak tangis, dan nafasnya sedikit cepat.
"Mas, Rayyan dirawat di rumah sakit. Sudah tiga hari, mana mungkin aku tega dan harus nunggu izin kamu. Lagipula kamu juga sukar dihubungi dan terus menerus bicara kasar, aku jadi bingung." Kirana mencoba bersabar, sementara Paman sudah siap ingin meledak. Hendak merebut telepon Kirana.
"Alasan saja kamu! Kalau kamu tidak kembali dalam waktu satu jam, kamu saya talak!" teriak Wildan penuh amarah.
Kirana menarik nafas dalam, memejamkan mata, mengepalkan tangan dalam tiga puluh detik kemudian membuka matanya kembali.
"Itu artinya kamu sudah ada niat menceraikan aku lagi mas. Sama aja dengan cerai!" tegas Kirana dengan emosi yang memuncak. Kenapa pria ini mudah sekali bicara talak, seolah tidak ada beban dalam mengatakannya.
"Ya sudah! Kamu aku ceraikan!"
Kirana menarik nafas panjang dan tersenyum dengan sedikit sinis.
"Alhamdulillah, akhirnya kamu menjatuhkan talak tiga padaku, Mas. Ini talak kamu ke tiga. Dan kamu tidak akan pernah bisa kembali sama aku. Aku lega ... aku lega karena aku tak harus meminta talak darimu. Tapi kamu sendiri yang memberikan. Sekarang, aku tinggal tunggu sidang dan surat resmi perpisahan kita."
Kirana langsung mematikan telepon meski dengan napas cepat dan tangan gemetar. Entah apa yang harus dia rasakan. Senang? Siapa yang senang menyandang status janda? Bahkan imej negatif janda cerai terkadang mengerikan. Sedih? Apa yang harus dia tangisi setelah lepas dari belenggu pernikahan semu dan tidak ada kebahagiaan? Bahkan dia bangga kini bisa leluasa memamerkan sang anak pada dunia setelah menyandang status janda.
Bukan lagi gadis rasa janda.
Iya kan?
Sisanya adalah bahwa dia telah melakukan sesuatu yang halal namun dibenci Rabbnya. Tapi apa boleh buat, itu bagian dari ujian yang harus dia hadapi. Karena dia yakin Allah Maha Pengampun, dan jalan kebaikan tidak selalu dari satu pintu saja. Ada banyak jenis dan arahnya.
Seperti yang Ustadzah Maryamah katakan padanya sebelum pergi kembali ke Jogja, "Neng, poligami memang halal. Tapi tidak asal-asalan. Banyak memang yang ngeles ah intinya halal. Titik. Ga pake tapi. Ya biarkan saja itu hak mereka. Tapi kalau kamu mempertahankan pernikahan dengan Wildan hanya karena ingin surga dari poligami yang dijalani, tapi mengabaikan kewajibanmu mengajarkan keimanan pada anakmu, ya wallahu 'alam. Surga neraka itu hak prerogatif Allah, kita tidak pernah tahu amalan mana yang akan membawa kita ke syurga dan kesalahan apa yanga akan membawa kita ke neraka. Yang penting benahi niat, sudah betul-betul karena Allah belum?" Ummi meremas pundak Kirana yang kini tak serapuh dulu, ketika awal berjumpa, "Neng, intinya poligami halal secara syar'i, kita tidak menentang. Tapi suamimu itu adil saja tidak. Izin juga tidak, semua karena syahwat semata. Semua demi keuntungan di pihaknya saja, tapi mengabaikan kewajibannya padamu. Ya salah, itu menurut Ummi pribadi. Jadi, kalau dia nalak lagi, terima!" tegas Ummi sambil menggebu-gebu.
Dia bosan dengan sikap para penebar syahwat yang bersembunyi dibalik kehalalan memiliki istri lebih dari satu. Tanpa ilmu, tanpa visi misi guna menyebarkan kebajikan dan dakwah, hanya nafsu. Namun bukan berarti semua seperti itu, ada yang benar-benar demi ibadah, dan berusaha menjalankan syarat-syaratnya. Bahkan adil dan istri pertama tidak terdzolimi, itu lain lagi ceritanya.
Kirana lebih tenang dan lega, dia sudah tak memiliki beban terhadap Wildan karena pria itu sendiri yang melepasnya. Dan kini dia akan fokus pada sang anak. Mengganti kasih sayang yang sejak lahir tak pernah dia berikan. Dia berniat mendidik anak satu-satunya itu dan mengubur harapan untuk mendapatkan cinta suci yang tulus untuk dirinya sendiri.
*
Rayyan sudah pulih, dan Kirana membawanya kembali ke Jakarta. Menyewa rumah tak jauh dari kediaman pamannya, meski harus miris dengan cemoohan dan bisikan orang-orang seputar kehidupannya. Mereka tidak tahu, tapi sok tahu. Mereka tidak mengerti tapi seolah paling mengerti. Mereka bukan mendoakan malah ikut menuduh yang tidak pasti. Hingga mereka lupa pada kartu nama yang dititipkan untuk Bagas dari William. Karena terlalu sibuk mengomentari dan menggunjing kehidupan orang yang bukan ranah mereka.
Berulang kali bibi harus ribut dengan tetangga yang kedapatan menggunjing Kirana sebagai wanita tidak baik di masa lalu. Bahkan menuduh sok suci dengan berlindung di balik kerudung padahal aslinya murahan. Tak sedikit juga yang menuduh bahwa Kirana seorang PSK di masa lalu. Membuat Bibi benar-benar murka. Hingga akhirnya bertengkar dengan tetangga.
"Sudahlah, Bi. Ga usah diladeni, nanti juga bosan sendiri." Kirana berusaha sabar meski hatinya sakit setiap kali mendengar sindiran yang ditujukan padanya.
Terlebih saat surat dari pengadilan untuk menghadiri sidang perceraian datang. Dan entah bagaimana para penggosip itu mendapatkan berita dengan cepat. Sepertinya mereka benar-benar memasang telinga di dinding rumah Kirana. Sindiran mereka semakin tajam. Bahwa Kirana diceraikan karena masa lalunya yang kelam.
Kirana menghadapi sidang perceraian dengan gugup, terlebih dia harus bertemu lagi dengan Wildan untuk mediasi. Tapi pihak Kirana mengatakan tak butuh lagi mediasi karena Wildan telah nyata menjatuhkan talak sebanyak tiga kali. Artinya sudah tidak dapat rujuk lagi. Bahkan belum pernah menggaulinya. Dzalim.
Pengadilan pun langsung ketok palu meresmikan perceraian mereka.
Tak ada tangis, tak ada penyesalan. Kirana tersenyum saat hakim menyatakan mereka telah resmi bukan lagi suami istri. Meski dia dapat melihat wajah penuh penyesalan dari mantan suaminya, yang setiap kali bertemu selalu berusaha mengajaknya bicara, tapi selalu ditolak dengan tegas.
"Apa ibu sedih?" tanya Rayyan ketika Kirana memegang surat keputusan perceraian.
Dia menggeleng dan mengelus kepala anaknya, "Tentu saja tidak. Ibu senang, karena ibu bisa bersama kamu."
Rayyan tersenyum dan mencium tangan ibunya, "Sesuai janjiku, aku akan menjaga ibu sampai kapanpun."
Kirana mengangguk dan memeluk putranya dengan penuh haru. Penuh kepedihan tapi juga perasaan yang gamang. Namun dia percaya, kehidupannya akan lebih baik pasca perpisahan dengan Wildan. Pria yang sempat membuatnya jatuh cinta bahkan bermimpi mengecap manisnya syurga dunia.
Bersambung.
No comments:
Post a Comment