Friday, June 5, 2020

CINTA SEORANG IBU PENGGANTI 19

Part 19
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )

Rayyan, sejak dibawa paksa oleh Wildan ke pesantren ... dia sering menangis. Guru yang bertugas mengajar dirinya sering bertanya, tapi dia tak pernah menjawab. Bahkan dikira tidak bisa berbahasa Indonesia. Mereka mengira Rayyan muallaf karena berwajah campuran. Apalagi Wildan mengatakan Rayyan tidak diterima oleh orang tuanya, karena itu dia titipkan di pesantren untuk belajar.

"Ingat, jangan pernah bilang aku suami ibumu. Karena kalau sampai ketahuan, ibumu akan aku sakiti," ancam Wildan saat masih berada di dalam mobil.

"Kenapa Om jadi sejahat ini? Bahkan aku mengira kau orang yang sangat baik dan layak aku panggil ayah daripada daddy sendiri." Rayyan menatap tajam Wildan.

"Karena aku ga mau kamu ikut kami, seharusnya kamu tinggal dengan ayahmu. Dan biarkan aku bahagia dengan wanita yang aku nikahi." Wildan menarik Rayyan keluar mobil, dan kembali mengancamnya.

Anak remaja itu tak punya pilihan lain, rasa sayang pada sang ibu membuat dia tetap membisu ketika Wildan mengatakan bahwa Rayyan tidak diterima orang tuanya. Jelas, orang tuanya itu adalah Wildan yang seharusnya menjaga dan telah menjadi ayah untuknya. Hingga ketika Wildan pergi meninggalkannya, Rayyan masih mematung dan membisu. Lalu dipaksa masuk seorang ustadz ke kamar yang akan dia tempati.

Sehari, dua hari, tiga hari, dia mulai membuka diri. Bersedia buka suara, mulai belajar membaca iqro dasar. Cukup baik, karena di sekolah dia telah mempelajari. Meski masih enggan berbicara pada siapapun. Bahkan di kamar tidur, meski dia berempat ... dia tidak pernah bersosialiasi jika tidak diajak bicara oleh santri lain. Itupun hanya berupa anggukan, atau gelengan.

Gurat beban terpancar jelas dari wajahnya ketika mendengarkan tausiah. Bahwa mereka harus ikhlas jauh dari orang tua untuk menuntut ilmu yang kelak akan jadi bekal di akhirat. Bahkan do'a mereka adalah bagian dari isi dunia yang akan dibawa ke liang lahat oleh orang tuanya, setelah sedekah jariyah dan ilmu yang dimanfaatkan.

Rayyan tertegun, mulai mengingat nasihat bahwa suka dan duka adalah bagian dari ujian. Kaya atau miskin juga ujian. Dan dia mulai berfikir bahwa apa yang dia alami juga bagian dari ujian menjalani hidup. Tidak semua harus sesuai kehendaknya, dan apa yang dibenci bisa saja merupakan yang terbaik baginya. Termasuk berada di tempat ini.

Sebaris senyum mulai terukir darinya meski masih dingin dan kaku. Dan beruntung dia sangat diperhatikan dan dijaga di tempat itu. Sedikit dibedakan karena dianggap mengalami tekanan.

"Yang sabar ya, nak." Sang guru mengusap kepala remaja polos dan masih labil itu. Berharap dia menerima takdir yang membawanya ke tempat baik ini.

Rayyan tidak membenci tempat ini, dia hanya tidak mampu konsentrasi karena rasa sedih dan amarah yang terpendam. Dia sedih karena tidak dapat bersama Kirana, ibunya. Dan dia marah karena Wildan telah bersikap buruk pada dia dan sang ibu.

Semakin tinggi pelajaran yang dia terima, semakin keteteran. Bahkan berulang kali sakit dan tidak ikut pelajaran. Beruntung teman-teman satu kamarnya baik dan selalu menjaga dia jika tiba-tiba mengigau karena demam. Lalu memanggil ustadz dan segera ditangani.

Suatu hari Kirana menelepon pondok setelah mendapat izin Wildan. Hanya tangis dan keharuan yang terjadi diantara mereka. Meski setelah itu Rayyan lebih baik dan mau belajar lagi. Namun nafsu makannya semakin menurun. Bahkan tubuhnya semakin kurus tak lagi berisi seperti sebelumnya.

Telepon berikutnya Rayyan mempertanyakan kapan dijemput, dan menceritakan bahwa William sudah kembali ke London. Mungkin menetap disana karena mengira Rayyan hidup bahagia dengan Kirana dan Wildan.

Saat itu hati Kirana hancur dan semakin menggebu berharap segera bertemu sang anak. Hingga sering menanyakan kapan anaknya dijemput dan dibawa ke rumah. Namun menyisakan pertengkaran bahkan memperkuat keputusan Wildan menikah lagi. Bukan hanya itu, pria itu juga mulai mengatakan kalimat-kalimat yang tak selayaknya diucapkan seorang suami pada istrinya.

Tapi Kirana yang berusaha menjaga nama baik suami, mengikuti tuntunan serta perasaan yakin bahwa Rayyan berada di tempat yang baik, menjadikan dia sabar dan hanya berdoa agar hati sang suami terbuka dan segera mempertemukannya dengan putra yang dia lahirkan itu.

*

"Nak, kami tidak tahu apa yang membuatmu tak pernah mau bicara. Apakah orang tuamu mengancam dirimu karena memeluk agama ini?" tanya sang guru suatu hari. Dia meminta Rayyan duduk berdua di pendopo pesantren pasca semua orang kembali ke dalam kamar mereka.

Rayyan menatap mata sang guru yang tampak tulus menyayanginya, namun jawaban dia hanya menggeleng.

"Kau seorang muallaf?" tanya sang guru lagi.

Kembali, Rayyan hanya menggeleng. Dia memang terlahir dengan akta sebagai muslim.

"Assalaamu'alaikum," suara seorang pria mengejutkan sang guru, yaitu Ustadz Fatah yang tengah mengajak Rayyan bicara dari hati ke hati.

"Waa'alaikumussalaam," jawab Ustadz Fatah, "Maasyaa Allah ... ada Abi Masykur, silahkan masuk," sambutnya pada tamu yang datang.

Rayyan mencium punggung lengan Abi Masykur namun masih tetap diam.

"Santri baru?" tanya Abi Masykur yang merupakan ayah Wildan.

"Iya, tiga minggu lalu diajak Mas Wildan. Katanya ga diterima orang tuanya, kasian. Tapi disini juga diam saja. Tidak mau menjawab apapun." Ustadz Fatah kembali mengelus punggung sang murid yang masih diam membisu.

Abi Masykur menatap Rayyan dengan seksama, "Wajahmu ini kok kaya nda asing, lek?" dia menepuk pundak Rayyan yang akhirnya menatap wajah Abi.

"Dia muallaf, ..."

"Aku bukan muallaf. Aku sudah islam sejak lahir," potong Rayyan dengan cepat.

Kedua pria bijaksana itu tersenyum, lalu menatap mata Rayyan yang penuh dengan keinginan melepaskan diri dari tekanan di hatinya.

"Ceritakan, nak. Jujur, aku seperti kenal wajahmu, mirip siapa gitu. Mungkin jamaah haji atau umrah," pinta Abi Masykur menatapnya lekat. Dia terus memandang Rayyan yang memang merupakan perpaduan Kirana dan William dengan sempurna, karena itu Wildan jadi membencinya.

Rayyan terdiam, menatap dua orang bijaksana di hadapannya. Lalu mulai menerawang jauh, mungkin sudah saatnya dia menceritakan siapa dia sesungguhnya. Siapa tahu kedua orang di hadapannya ini mampu membantunya.

"Aku terlahir dengan jalan yang tak biasa. Daddy and mommy tidak bisa memiliki anak, lalu mereka menyewa rahim seorang perempuan. Namun dia seorang gadis," ujar Rayyan, Ustadz Fatah dan Abi Masykur menyimak dengan seksama, "Dan lahirlah aku. Belakangan, diketahui bahwa sel telur yang digunakan adalah milik si wanita yang menyewakan rahim. Saat itulah mereka mengatakan bahwa statusku adalah anak kandung sang ibu yang mengandung dan juga pemilik sel telur, dikarenakan dia seorang gadis. Meski orang-orang mengatakan, aku anak haram." Rayyan menatap kosong ke depan.

Abi Masykur dan Ustadz Fatah beristighfar, namu juga mengelus kepala Rayyan dengan penuh rasa iba. Membayangkan seorang remaja dalam tekanan kehidupan yang berat akibat perilaku orang dewasa yang minim ilmu namun bertabur nafsu.

Nafsu memiliki anak tanpa tahu kaidah-kaidah yang seharusnya dijalani. Karena andai si istri tak mampu memberi keturunan, bisa adopsi, atau menikah lagi. Tapi tentu itu sulit diterima wanita manapun. Maka ... andai mengambil jalan bayi tabung, harus dengan aturan yang ketat. Selain melibatkan tim medis juga harus melibatkan pengadilan untuk pengukuhan status anak nantinya, bahwa dalam keterpaksaan ... karena sang istri enggan dipoligami, namun tetap ingin memiliki anak kandung yang murni dari genetik mereka, maka dalam aturan lain dibolehkan. Meski tetap saja sebagian ulama menentangnya.

Itu terjadi karena di negara kita praktek menyewakan rahim dilarang dan diharamkan. Tidak bisa disamakan dengan negara lain bahkan di India prakik ini sudah sangat umum dilakukan.

Namun semua telah terjadi, sekarang anak ini telah nyata dan kerumitan menghampirinya. Masih haruskah saling menyalahkan? Tentu yang utama adalah melindungi mental dan kondisi si anak, setelah itu jika ingin menyalahkan ... salahkan dan hukum mereka jika perlu, agar tidak ada lagi kesalahan yang sama di masa depan. Karena setiap perbuatan buruk orang tua, yang menjadi korban adalah anak.

"Lalu?" tanya Ustadz Fatah lagi.

"Ibuku menikah lagi, tapi suminya menolakku. Dan menitipkanku disini." Rayyan menelan ludah, sementara kedua guru itu menggelengkan kepala mereka sambil beristighfar. "Sementara daddy, nomornya sudah tidak aktif. Dia sempat mengatakan akan pergi ke London ketika mengetahui keputusanku akan ikut dengan ayah baruku. Mungkin dia mengira aku diterima dan bahagia." Kini isakan dari bibir Rayyan terdengar dari suaranya yang bergetar.

Ustadz Fatah dan Abi Masykur hanya terus memuji kebesaran Sang Pencipta sambil mengelus punggung Rayyan, memberikan kekuatan padanya agar tabah dalam ujian hidupnya ini.

"Bersabarlah, Nak. Allah tidak akan menguji diluar batas kemampuanmu." Ustadz terus mengelus punggung Rayyan.

Rayyan tersenyum dan mengangguk, meski masih tetap mengalirkan air mata yang sejak lama tak pernah keluar. Meski sering merindukan kasih sayang orang tuanya dulu, tapi rasanya berbeda kali ini. Airmata begitu mudah mengalir setiap kali dia mengingat sang ibu dan juga ayah kandungnya.

*

Setiap hari Rayyan masih sering melamun. Mengingat awal mula pertemuan dengan sang ibu. Lalu keseharian mereka bercanda dan tertawa di taman sambil jualan. Membuat dia menyunggingkan senyum meski dengan sudut yang menggenang.

Dia akan lupa jika gurunya memanggil dan meminta dia melakukan sesuatu. Seperti memberi pakan ikan yang terasa menyenangkan dan bisa membuat hati sedikit tenang. Tak lupa nasehat dan wejangan disampaikan agar anak itu tegar menghadapi kerasnya kehidupan jauh dari kedua orang tua.

Bukan hanya jauh, tapi seolah hilang dari kehidupan mereka. Tidak bisa terhubung dengan sang ayah kandung, juga tidak bisa melihat ibunda tercinta. Dia seolah terbuang dan entah akan bertemu lagi atau tidak.

Satu hal yang dia rencanakan, andai telah lulus dari pesantren ... dia akan tetap mencari ibunya. Karena dia telah berjanji akan menjaga Kirana sejak dia belum tahu bahwa ada ikatan yang kuat diantara mereka.

"Aku tahu kau tidak bahagia, bu. Aku pasti menjemputmu. Akulah yang akan membawamu keluar dari neraka rumah tanggamu," gumamnya sambil melemparkan pakan ikan ke kolam, yang disambut ratusan ikan.

"Jauhkan diri dari dendam, Nak." Ustadz Fatah mengingatkan.

"Aku hanya ingin melepaskan ibu dari belenggu pria itu," balas Rayyan.

"Kau yakin ibumu tidak bahagia? Bisa saja dia bahagia dengan pria yang dia cintai yang merupakan suaminya." Sang guru masih mengorek isi hati Rayyan.

"Aku yakin dia tidak bahagia, Ustadz. Pria itu licik. Tampil alim demi merebut hati ibuku, sesungguhnya dia tak lebih dari pecinta aurat wanita," maki Rayyan.

"Astaghfirullah, jangan su'udzon, Nang."

"Lalu apa? Jika dia hanya ingin dengan ibuku yang cantik dan menolak aku anaknya, padahal dia tahu semua itu sebelum menikah. Dia pasti hanya bernafsu dengan paras ibuku." Rayyan sedikit emosi.

Ustadz Fatah mengelus pundaknya, "Ya sudah, semoga dugaanmu salah ya. Dan semoga dia bertaubat seiring waktu berjalan. Aamiin ...."

Rayyan diam saja, tatapannya kosong dan penuh rasa kebencian setiap kali mengingat Wildan. Pria yang dia duga akan jadi ayah yang ideal baginya. Namun ternyata malah memisahkan dia dan ibu yang baru dia temui.

*

Kirana tetap memasak dengan Mbok Sumar, meski Wildan tak pernah pulang ke rumah. Setiap hari dia jalani dengan langkah yang berat.

Pernah dua hari ada di rumah ketika Abi Masykur datang berkunjung—dan saat itu dia bertemu dengan Rayyan di pesantren, tapi tak pernah tahu bahwa orang tua yang dimaksud Rayyan adalah anak dan menantunya.

Di depan Abi Masykur, Wildan tampil manis dan menggandeng Kirana yang bersusah payah berakting baik-baik saja. Namun ketika Abi pulang, Wildan juga kembali ke rumah istri mudanya. Hanya pulang satu kali dalam seminggu, itupun hanya untuk memberinya uang. Padahal bukan itu yang diharapkan Kirana darinya.

"Bu, HPnya bunyi terus." Mbok Sumar menoleh ke arah ponsel yang terus bergetar. Nomor Bagas yang muncul.

"Assalaamu'alaikum," senyum indah dia pamerkan meski sang penelepon tak bisa melihatnya.

"Teh, ini Bagas. Eh wa'alaikumussalaam." Bagas meralat dengan cepat, Kirana malah tersenyum.

"Ada apa? Tidak biasanya telepon teteh?" tanya Kirana merasa rindu pada sepupunya itu.

"Tetah udah tahu belum kalau Rayyan di pesantren? Kemarin pihak pesantren telepon, katanya dia sakit. Tapi sekarang udah sehat lagi. Cuma Bapak sama Emak heran, kok kami yang dihubungi bukan teteh? Katanya telepon yang tertera sebagai penanggung jawab dia ya nomor Bapak." Bagas bicara tanpa jeda. Membuat Kirana tersentak dengan rasa cemas. Namun dia terus menyimak apa yang disampaikan sepupunya itu, karena jelas itu diperintah oleh bapaknya yang merupakan paman Kirana.

"Bapak bilang, teteh pulang dulu ke Jakarta. Karena kemarin ada yang lihat Om Wildan sama perempuan lain menginap di Hotel Sahid. Ah iya, Mba Mira yang lihat, dia kan kerja disana. Jadi bapak minta tetah pulang, mau diskusi katanya."

Tangan Kirana bergetar, haruskah dia pulang? Dan keluar rumah tanpa seizin suaminya? Apakah Paman akan menanyakan tentang pernikahannya? Haruskah jujur bahwa Wildan telah mendua?

"Teh, kok diem aja?" Bagas keheranan, begitu juga Paman dan Bibi yang ada di samping Bagas.

"Berarti bener ada masalah ya, Neng?" kini berganti jadi suara Bibi, "pulanglah ... bibi ga ridho kalau kamu disakiti. Apapun asalannya, kamu ga boleh diginiin." Wanita paruh baya itu menangis sambil terus bicara. Membuat Kirana samakin bingung dan gemetar serta gelisah.

"Kalau kamu ga mau pulang, kasih alamat biar Paman yang jemput. Jujur, paman suruh si Bagas yang nelepon karena emosi paman dah di ubun-ubun." Kini Paman yang berbicara, sedang tangisan Bibi masih terdengar penuh penyesalan.

"Kirana baik-baik saja, Paman." Elak Kirana, "mungkin Mas Wildan lagi ada seminar dan itu temannya."

"Jangan bohong! Mana ada teman nginap satu kamar! Kamu itu tanggung jawab paman dan yang jadi wali nikah kamu juga paman. Kalau kamu disakiti seperti ini, paman merasa telah mendzolimi kamu." Suara paman kini terdengar hampir menangis juga dengan penekanan penuh amarah.

Sia-sia menutupi apa yang sudah jelas terjadi dan tak dapat lagi berpura-pura. Apalagi mendengar Rayyan kembali sakit, hati Kirana tidak kuat untuk bertahan.

"Iya, Kirana akan pulang," katanya. Seraya langsung mengemasi pakaian pribadi ke dalam tas miliknya, tidak semua. Hanya yang benar-benar miliknya sebelum menikah dengan Wildan. Lalu mengambil uang cash yang ada di laci. Itu memang pemberian Wildan, tapi sudah menjadi haknya.

Sebagai adab dan istri yang berusaha mengikuti tuntunan agama, dia menghubungi Wildan meski tidak diangkat dalam lima panggilan. Barulah di panggilan ke enam, suaminya menerima telepon.

"Ada apa?" tanya Wildan ketus.

"Mas, aku izin pergi menemui Rayyan. Dia sakit." Dada Kirana bergemuruh berusaha mengumpulkan keberanian dan kesiapan dengan apapun keputusan sang suami. Dia tetap akan pergi.

"Kamu ga boleh keluar dari rumah. Apapun alasannya!"

"Mas, anakku sakit. Paman bilang dia dihubungi pihak pondok untuk menjenguk Rayyan." Kirana benar-benar tidak habis pikir dengan perubahan drastis suaminya. Selama ini, dia mengira Wildan akan menjadi imam dalam menjalani mahligai pernikahan. Ternyata dia salah, pria ini sama saja dengan lelaki pada umumnya. Yang mungkin hanya mengadopsi ayat, dalil dan hadits yang dirasa menguntungkan secara sepihak. Tidak sebenar-benarnya untuk kebaikan kedua belah pihak, yaitu suami dan istri.

Wildan malah mematikan telepon. Sementara Kirana telah bulat untuk pulang ke Jakarta. Tak peduli apapun yang akan terjadi. Baginya Wildan sudah tidak tampil sebagai suami yang ma'ruf. Meskipun ada banyak wanita yang sabar dan ikhlas menghadapi keburukan suami, dan menjadikan itu sebagai ladang pahala, tapi Kirana tidak bisa melakukannya. Dia lebih memikirkan masa depan anaknya. Harta satu-satunya yang kelak akan mengirimkan doa dan kebaikan andai dia telah tiada.

Dia segera turun menemui Mbok Sumar dan suaminya.

"Mbok, Pak Nas, saya pamit dulu. Ada urusan penting, kalau bapak pulang dan menanyakan saya, katakan saya menemui Rayyan." Kirana berpesan sambil memberikan uang gaji mereka sekaligus bekal untuk beberapa hari andai suaminya tidak datang.

"Iya, Bu. Itu lebih baik. Hati-hati di jalan," ujar Mbok Sumar seolah faham apa yang menjadi penyebab kepergian majikan perempuannya.

Kirana segera memesan taksi online, lalu menuju bandara Adi Sutjipto dan memesan tiket online untuk keberangkatan hari ini juga. Beruntung, masih ada satu kursi kosong untuk keberangkatan sore. Dia pun segera melakukan pemesanan dan akan menunggu di bandara.

*

Kegelisahan semakin menggerogoti perasaan Kirana saat kendaraan yang membawanya kembali ke pinggiran Jakarta Utara itu melewati taman, dimana dulu dia selalu berjualan. Bayangan peratama kali bertemu dengan Rayyan, lalu hari-harinya bersama anak yang selalu membuatnya tersenyum. Bahkan saat spontan dia mengatakan 'aku akan selalu menjagamu', ketika Wildan pertama kali menolak dirinya. Dan benar, Rayyan telah menjaganya dari pria itu. Bisa dibayangkan andai tidak ada Rayyan, kemungkinan pernikahannya juga tidak akan bahagia selamanya. Sikap Wildan yang mudah terpengaruh dan kadang labil untuk urusan pribadinya, membuat Kirana bersyukur bahwa dia belum terjamah pria itu lebih jauh.

Tak lama, mobil yang dia tumpangi berhenti di depan gang. Kirana turun dan setengah berlari menuju rumah sang paman. Mengabaikan tatapan kaget, aneh, praduga dari semua tetangga yang melihat dirinya datang tanpa sang suami. Dia hanya tersenyum mengangguk sungkan membalas sapaan sebagian dari mereka yang masih punya etika bersosial.

Tampak Bibi sudah berdiri di pintu, menyambut keponakan tercinta yang sudah jelas korban dari ketidakadilan pernikahan.

"Jangan nangis, Bi. Kirana baik-baik saja, justru Kirana cemas sama Rayyan." Dia langsung pada pokok permasalahan ketika mendapat pelukan dari bibi yang sudah seperti ibunya sendiri.

Mereka masuk ke dalam rumah untuk menghindari kuping dari kiri kanan orang yang tak selayaknya tahu permasalahan keluarga, tapi tidak bisa dipungkiri selalu ingin tahu. Tak lupa memberikan Kirana segelah air putih supayan lebih tenang.

Paman mulai menjelaskan bahwa Rayyan berada di sebuah pesantren, dan ternyata lokasinya masih di Jogjakarta. Selama ini Kirana mengira pesantren di Jakarta. Karena itu dia memutuskan kembali ke ibukota ketika mengetahui anaknya sakit. Terlebih nama penanggung jawab yang diberikan Wildan adalah pamannya, yang jelas berada di Jakarta.

"Dia sudah beberapa kali dikabarkan sakit, beberapa kali demam. Paman cuma bilang ya sudah tolong dijaga, lalu demam lagi dan menolak makan." Paman menarik nafas dalam.

"Astaghfirullah, terus?" Kirana terlihat berusaha menguatkan diri meski dari mata tampak sayu dan lelah.

"Nah, terakhir ini katanya pingsan dan sedang dalam perawatan di medis pondok," lanjut paman.

Kirana langsung berdiri dan meraih tasnya, "Kita balik lagi ke Jogja, sekarang."

"Ayo, ini alamat pesantrennya." Paman menyerahkan secarik kertas yang mana ada alamat yang diberikan pengurus pondok saat memberitahu Rayyan sakit.

Kirana dan Bagas sibuk mencari tiket yang bisa hari itu juga kembali ke Jojga.

"Ada kelas eksekutif, Teh. Argo Dwipangga. Kereta." Bagas memperlihatkan aplikasi pemesanan tiket online.

Mereka segera memesan empat tiket, lalu hanya mempersiapkan pakaian masing-masing, untuk kemudian berangkat ke stasiun gambir.

*

Waktu terasa lambat ketika ingin tiba pada tujuan. Kirana berulang kali menyekan sudut mata yang terus basah meski telah dia keringkan. Bahkan kereta eksekutif yang merupakan kereta express terasa begitu lamban ketika ingin segera sampai.

Sesekali tangan Kirana membuka layar ponsel dan membuka ruang chat William. Ada rasa penasaran kemana ayah dari Rayyan selama ini? Benarkah mengira anaknya baik-baik saja hingga memutus kontak lalu pergi ke negaranya dengan Anna? Dan itu wajar, mungkin dia juga ingin menghapus luka karena cinta yang tak terbalas olehnya.

"Apa ... William pernah menghubungi kalian? Menanyakan Rayyan?" tanya Kirana pada akhirnya, meski dengan sedikit bergetar karena menahan tangisan. Dia yakin, William bukan abai.

"Pernah sekali, dan waktu itu aku bilang Rayyan memang ga bisa dihubungi nomornya. Aku kirim pesan berulang-ulang juga gagal. Kayanya nomor dia dah habis masa tenggang. Diblokir." Bagas menjelaskan, "terus dia bilang kalau ada kabar dari Rayyan, bilang daddy akan ke London. Jika butuh sesuatu hubungi daddy saja. Hanya itu."

Semua orang mengira pernikahan itu baik-baik saja. Karena sudah lumrah bukan? Pengantin baru akan sibuk dengan dunia barunya tanpa memberi kabar pada orang lain. Dan sudah lumrah juga ketika bahagia akan melupakan orang lain. Padahal tidak demikian dengan Kirana, dia terlalu dilematis. Satu sisi mencoba jadi istri dan manusia yang tidak membuka aib rumah tangganya, sisi lainnya dia juga butuh sandaran akan kepedihannya.

Bersambung part 20

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER