Part 18
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Wildan sering membahas masalah rumah tangganya dengan salah satu rekannya mengajar. Dia sudah berumah tangga juga, dan cukup terkejut ketika tahu istri Wildan pernah menyewakan rahim di masa lalu. Bahkan anaknya itu ikut sang ibu dan kini dibawa bersamanya.
"Itu memang benar, Wil. Kalau anak hasil surrogate dari seorang gadis memang jatuhnya jadi anak si gadis. Semacam anak diluar nikah," ujar temannya ketika makan bersama di sebuah restoran.
"Itulah, aku dilematis. Susah menerima kenyataan itu. Susah menerima anak itu. Kupikir anak itu akan tetap bersama ayah biologisnya, tapi kok malah ikut istriku," keluah Wildan memijat keningnya.
Temannya hanya menyimak. Sambil sesekali menyuapkan makan siang.
"Nah, sekarang dia tidak mau aku sentuh karena aku tak kunjung membawa anaknya ke rumah. Sengaja anak itu aku taruh di pesantren biar tidak mengganggu kami. Tapi istriku marah. Jadilah sampai detik ini kami ... belum pernah ... mandi junub." Wildan sedikit memerah.
"Ah masa, Mas? Wah udah ga beres kalau gitu. Dia dah ga bisa menjalankan fungsi dan kewajibannya sebagai istri. Sampean boleh kalau mau nikah lagi," ujar temannya dengan tanpa menyelami jauh pokok permasalahan pasangan ini.
"Iyakah? Tapi, aku takut Abi tahu. Kalau tahu pasti marah."
"Lha, poligami kan halal? Masa marah?" tanya temannya lagi, heran.
"Masalahnya orang tuaku belum tahu tentang masa lalu istriku. Aku juga tidak berani cerita. Kalau tahu, palingan aku sendiri yang disalahkan Abi, karena asal pilih. Dan ujungnya cuma disuruh nerima istriku apa adanya juga anaknya. Boro-boro bakal dikasih izin nikah lagi. Kamu kan tahu, Abi walau bilang poligami halal, bagi dia ga gampang syaratnya." Wildan benar-benar frustasi.
"Ya sudah, nikah saja lagi tanpa memberitahu siapapun. Daripada sampean ... tidak tahu rasanya," goda temannya dengan tawa jahil.
Wildan menarik nafas dalam, entah kenapa dia teringat seseorang yang selalu memberi perhatian padanya di sekolah. Pegawai kantin, seorang gadis desa dengan kulit sawo matang dan sangat manis. Selalu membuat Wildan betah jika makan di kantin. Selain sering curi pandang, wanita itu juga diketahui butuh uang karena harus membiayai ke empat adiknya. Setiap melayani mengambilkan makan, juga sangat perhatian. Selebihnya, gadis itu juga kategori miskin, putus sekolah dan sekarang bekerja karena diajak oleh tetangganya yang merupakan penjual nasi di kantin sekolah.
Saran temannya benar-benar Wildan pertimbangkan, tanpa sepengetahuan Kirana dia semakin sering menjalin komunikasi dengan gadis penjaga kantin. Bahkan mengajaknya jalan sambil makan diluar, berbeda sekali dengan ketika dia mendekati Kirana. Wildan tampil seperti pria yang faham bahwa berduaan dengan wanita bukan mahrom itu haram. Tapi dengan gadis yang belakangan diketahui namanya adalah Ajeng, dia tanpa ragu jalan berdua.
Setiap pulang ke rumah Wildan bersikap dingin, menjadikan jarak semakin lebar dan Kirana yang juga ragu untuk memulai lebih dulu. Meski hanya sebuah kalimat basa basi, karena setiap kali obrolan dimulai ... selanjutnya akan ada keinginan untuk segera menanyakan Rayyan.
"Aku besok ada agenda di sekolah, dengan rekan-rekan guru. Jadi tidak pulang," ujar Wildan ketika sarapan.
"Tumben, Mas?" tanya Kirana heran.
"Iya, pulang lusa," jawab Wildan dingin, "ini uang buat seminggu. Kalau kamu mau belanja ke mall, pergi aja tanpa aku ya. Ga papa," lanjutnya menyerahkan amplop cukup tebal.
Selain guru di sekolah swasta terkemuka, Wildan juga memiliki bisnis lain yaitu menjual oleh-oleh dari Arab. Jadi jelas penghasilan dia bisa dikatakan berlebih.
"Iya, makasih Mas." Kirana hanya menunduk melanjutkan sarapan.
Setelah itu dia hanya memperhatikan kepergian sang suami yang tak biasanya rapi sekali. Bahkan membawa cukup banyak pakaian terutama kemeja dan jas hitam di tasnya.
Tak ada kecurigaan dalam hati Kirana, bagi dia sikap dingin Wildan karena masih belum bisa menerima masa lalu perlahan akan tergerus oleh cinta yang tumbuh diantara mereka. Meski sebagai seorang istri, ada kalanya dia penasaran seperti apa rasanya disentuh suami. Mengingat dulu mereka pernah bermadu kasih namun tidak sampai terjadi hubungan badan. Dan manusiawi jika dia memiliki keinginan ke arah sana.
Namun sayang, Wildan sepertinya semakin tidak berselera pada Kirana. Terlebih sejak kehadiran Ajeng yang selalu membuatnya nyaman dan memberi tertawa kala jalan bersama.
*
"Mas Wildan serius mau nikahin Ajeng? Kan Mas udah nikah?" tanya Ajeng ketika mereka makan bersama di sebuah restoran cukup mewah.
"Lho, kamu pikir aku ngajak jalan dan kasih kamu uang cuma sekedar ngasih aja tanpa ada niat dan tujuan? Masa ga ngerti dikodein gitu?" Wildan tersenyum manis.
Ajeng tertunduk malu, jelas dia juga sadar bahwa Wildan menaruh hati padanya. Tapi dia masih pura-pura tidak faham untuk mendapat jawaban langsung dari si pria.
"Terus, istrinya tahu tidak tentang semua ini?" tanya Ajeng lagi.
"Jujur aja ... ga. Karena saya akan menikahi kamu hanya secara agama. Siri kalau dalam istilah umum. Karena ... bukan apa, Abi mungkin tidak akan setuju. Tapi saya sudah benar-benar menginginkan kamu, daripada kita makin jatuh ke dalam dosa? Sering jalan dan saling nyaman tanpa ikatan pernikahan? Toh itu halal kan?" Wildan terus membenarkan tindakannya, tak peduli meski ada benarnya tapi juga ada salahnya.
"Duh, aku jadi gimana ya?" Ajeng bingung dan sedikit berfikir.
"Aku akan menafkahi kamu selayaknya istri pertamaku. Adik-adik kamu dan ibumu juga aku biayai, tapi ... kita ga akan serumah. Aku akan sewa rumah dekat sekolah supaya bisa sering ketemu kamu. Dan malamnya tetap di rumah istriku. Tapi ingat, jangan sampai orang-orang tahu, kita hanya ingin hubungan kita ini halal? Dan aku tetap tanggung jawab," papar Wildan panjang lebar. Membuat Ajeng benar-benar tertarik untuk jadi istri kedua. Padahal lebih pantas disebut istri simpanan, karena dirahasiakan.
Modus atas nama halal berpoligami, padahal hanya untuk kepuasan diri bukan karena benar-benar alasan syar'i, memang telah banyak ditemui.
"Terus, kalau istri Mas tahu, gimana? Mas mau pilih siapa?" tanya Ajeng, dia butuh kepastian. Tentu itu baik guna masa depannya.
"Jadi gini, aku tuh sama istri pertama dah ga bisa bertahan. Setelah dipikir-pikir akan aku ceraikan nanti. Tapi Abi pasti akan marah, dengan alasan cerai itu halal tapi dibenci Allah. Karena itu, aku akan mencari cara dulu agar memiliki alasan logis untuk berpisah." Wildan meneguk air di gelas, "andai pernikahan kita ketahuan, jelas aku akan milih kamu. Karena itu tadi, aku dah ga cinta sama istriku. Semua aku pertahankan sama dia karena nama baik orang tua saja."
Ajeng puas mendengar jawaban kekasihnya, dan mereka sepakat akan menikah diam-diam.
Itulah alasan Wildan pergi selama dua hari dari rumah, karena akan menikahi Ajeng dan tentu bermulan madu dengan sang istri baru. Melepaskan hasrat yang selalu terhambat ketika hendak diserahkan pada Kirana. Yang setiap kali berdekatan, selalu terasa ada batas yang sulit dia singkirkan.
Cinta Wildan pada Kirana telah benar-benar pudar, karena itu dia hanya bertahan demi nama baik orang tuanya. Dia tak peduli akan seperti apa kelak, dia juga tak peduli meski masih menahan pertemuan ibu dan anak itu hingga kini. Padahal Kirana sudah berusaha jadi istri yang penurut, dengan tak nekat datang ke pondok menemui anaknya tanpa seizin Wildan.
Disaksikan dua rekan Wildan, pria itu mengucap ijab qabul untuk menikahi Ajeng. Hanya ada keluarga Ajeng yang dari desa, mereka pun tak peduli status istri kedua bahkan nikah tanpa dibarengi akta dari catatan sipil, mereka hanya peduli pernikahan ini sah dan mendapat nafkah di kemudian.
Setelah resmi, tak ada walimah atau resepsi. Keduanya langsung menuju rumah yang telah Wildan sewa, yang jaraknya tak jauh dari sekolah tempat dia mengajar. Agar tidak memakan waktu untuk datang dan pergi hingga tak mendapat kecurigaaan dari keluarga terutama dari Kirana.
Di sudut lain, Kirana masih menatap foto Rayyan yang ada di layar ponselnya. Entah kenapa malam ini dia semakin rindu, bahkan berulang kali mencoba menghubungi Wildan untuk meminta izin menemui Rayyan selama dia tidak di rumah, tapi tidak diangkat.
Bagaimana mau diangkat? Sementara sang suami tengah asik mereguk madu istri kedua. Sesuatu yang sangat dia ingin rasakan bersama Kirana namun tak pernah dia laksanakan, hanya karena ego dan cemburu buta. Kini, semua terselesaikan pada wanita lain, yang akan dengan senang hati menerima tumpahan hasratnya setiap kali dia merasa ingin, dan akan ditinggal lagi ... tapi siapa peduli? Toh itu sudah perjanjian sejak awal mereka.
"Mas harap kamu cepat hamil, jadi Abi akan menerima kamu," bisik Wildan saat malam pertama.
*
"Sibuk banget ya Mas, sampai ga diangkat-angkat tiap kali aku telepon?" tanya Kirana ketika Wildan telah pulang. Dia segera merangkul lengan suaminya penuh rindu.
"Iya, banget," jawabnya singkat.
"Besok hari minggu, boleh tidak aku ... menemui Rayyan?" tanya Kirana sedikit ragu.
Wildan mulai menarik napas dalam, lalu menatap wajah Kirana yang sedikit layu karena merindukan anaknya.
"Belum boleh," jawabnya lagi-lagi singkat.
"Kenapa sih, Mas? Perjanjian kita kemarin apa? Kita nikah lagi tapi kamu kasih kebebasan sama aku untuk bisa merawat anakku." Kirana mulai merasa dipermainkan.
"Dengar, aku ini suami, dia hanya anak. Tugas istri adalah patuh pada suami, bukan pada anak." Wildan sedikit meninggi.
"Tapi aku punya kewajiban merawat dan menjaga anak yang merupakan amanah Allah, Mas."
"Halah bawa-bawa Allah, anak itu anak haram!"
"Astaghfirullah ... Mas, ga ada anak haram. Akulah yang melakukan tindakan haram. Tapi tidak harus dikatakan anak haram, sama saja menghukum anak yang tidak tahu menahu atas dosa orang tuanya," protes Kirana.
"Itu dia, artinya kamu sadar kamu seperti apa? Makanya minimal jadilah istri yang patuh pada suami supaya ada sisi baik dari dirimu."
Kalimat tajam Wildan sukses membuat Kirana terhenyat. Tubuhnya sedikit bergoncang, dan matanya mulai basah. Mati-matian menahan buncahan emosi mendengar kalimat itu.
"Lalu apa maksud kamu menikahi aku, Mas? Bahkan dua kali," isak Kirana dengan berusaha menenangkan diri.
Wildan menarik napas dalam, lalu menoleh dan untuk selanjutnya menatap tajam.
"Demi nama baik orang tuaku, itu saja. Puas?" Dia langsung keluar dari kamar. Meninggalkan Kirana yang merasa hancur dan semakin terpuruk.
Tangis tak mampu lagi dia tahan, dengan duduk di lantai dan tangan bertumpu pada ranjang ... Kirana menumpahkan segala sesak yang selama ini menyumbat jiwanya.
"Ya Allah, inikah hukuman atas perbuatanku di masa lalu?" isaknya sambil menutup mulutnya dengan kedua tangan, "jika ini ujian, maka berikan kesabaran pada diri hamba. Namun jika ini azab .. ampuni hamba Ya Rabbi ...." Kirana bersujud dan tak mampu lagi meredam bendungan air mata yang selama ini dia tahan.
Kepedihannya semakin terasa ketika mengingat Rayyan. Putranya yang tidak dia temui sudah lebih dari satu bulan. Entah bagaimana kondisinya, tapi menurut pengurus pondok, beberapa kali dia demam dan sakit. Menolak makan, dan jarang bergaul serta susah menerima pelajaran.
"Maafkan ibu, Nak. Kau terlahir dari dosa yang aku buat. Tapi kau mendapatkan penderitaan yang sama denganku," isaknya lagi, "Ya Rabb ... Pemilik dari segala isi dari langit dan bumi, ampuni dosaku dan lindungilah anakku. Cukuplah aku yang merasakan akibat dari perbuatanku, tapi kumohon jangan dengan anakku."
Dia tak punya keberanian untuk nekat pergi menenui Rayyan karena memang masih berstatus istri sah Wildan. Tidak mungkin dia menghubungi William, karena dari cerita Rayyan saat dihubungi di hari libur, selain minta dijemput dia juga mengatakan nomor ayahnya tak lagi aktif pasca mengabarkan akan kembali ke negaranya.
Kirana semakin bingung, harus bagaimana agar Wildan memberikan kesempatan padanya untuk bertemu Rayyan. Agar rasa sesak yang ada tak semakin menggunung dan berubah jadi kebencian.
*
Setiap hari, Wildan pulang ke rumah lebih malam. Bahkan bisa jam sepuluh malam. Dan ketika ditanya oleh Kirana, dia tak pernah menjawab pasti. Kadang tak menjawab sama sekali.
Bukan hanya itu, biasanya pulang kerja tercium bau keringat tapi setiap kali pulang malam dia tercium wangi sekali. Kirana ikhlas, jika ternyata sang suami memiliki wanita idaman lain. Namun dia mengharapkan kejujuran saja. Hingga diam-diam dia membuka ponsel Wildan saat sang pemilik tengah tertidur, foto di dalam galeri menunjukkan siapa wanita yang selalu memuaskan sang suami hingga tak peduli lagi padanya.
Meski sedikit gemetar, Kirana menaruh kembali gawai suaminya ke tempat semula. Lalu merebahkan diri di sisi pria yang sudah tak mencintainya lagi. Terbersit keinginan menggoda dia, menunjukkan bahwa dia juga wanita sempurna yang layak dicintai dan dinafkahi secara batin. Tapi membayangkan suaminya telah bercumbu dengan wanita di foto itu, hatinya mencelos. Ada rasa jijik harus berbagi dengan wanita lain. Meski dia sadar, agama tak melarangnya jika berlaku adil.
Tapi, apakah Wildan telah adil saat ini? Dia sendiri tidak merasakan itu. Jelas sekali Wildan hanya condong pada istri muda yang baru membuatnya jatuh cinta. Dan tiba-tiba saja terbayang bagaimana William memperlakukan Anna selama mereka tinggal bersama, yang kadang membuatnya iri ingin memiliki pria romantis dan peduli juga setia. Namun segera dia tepis bayangan itu, karena kenyataannya dia adalah istri dari pria yang tak lagi mencintainya.
*
Kirana berdiri di depan rumah berpagar minimalis dan memiliki lantai dua. Dia menarik napas dalam, lalu menekan bell dua kali. Namun tak ada juga yang datang membukakan pagar.
"Cari siapa mba?" tanya seorang wanita paruh baya yang lewat.
"Hmm, mau ke rumah ini. Orangnya ada tidak ya?" tanya Kirana sopan.
"Nda tahu mba, orangnya nda pernah bergaul sama warga," jawab wanita itu dengan wajah ketus. Seolah kesal pada sang pemilik rumah tapi malah ditampilkan di depan tamunya.
"Oh ...." Kirana hanya mengangguk, tak lama seorang wanita cantik dengan rambut digerai keluar membukakan pagar.
"Cari siapa ya?" tanyanya dengan heran. Menatap Kirana dari atas hingga bawah.
"Mas Wildan." Kirana hanya menyebut nama itu dan sukses membuat si wanita jadi panik tidak karuan.
"Bisa bicara di dalam? Tidak enak jika di luar." Kirana menatap ke kiri kanan jalan, karena beberapa warga memang melihat ke arah mereka.
Ajeng, terpaksa membuka pagar dan mempersilahkan Kirana masuk. Dengan hati yang gelisah dan rasa cemas yang mendera, dia terpaksa membiarkan istri pertama suaminya itu menginjakkan kaki ke rumahnya.
"Mba, sumpah aku sudah menolak atas pinangan Mas Wildan. Tapi dia meyakinkan aku bahwa semua ini benar dan boleh," ujar Ajeng secepatnya membela diri sebelum Kirana menyerangnya.
Kirana hanya tersenyum pahit, sambil melirik ke seisi rumah yang tampak elegan dan lebih mewah dari yang dia tinggali. Lalu kembali menatap Ajeng yang tertunduk bingung dan ketakutan.
"Jadi, sudah berapa lama nikah sama Mas Wildan?" butuh tenaga ekstra untuk mampu bertanya semanis itu, karena hatinya terus ingin berteriak kenapa wanita ini begitu tega mengambil posisinya.
"Sudah satu bulan, Mba. Mas Wildan bilang sudah ga cinta sama mba, karena itu aku tidak menolak." Ajeng tertunduk lagi.
"Aku tidak marah kok, hanya mencoba mencari kebenaran dari selentingan yang orang-orang bisikkan. Dan itu benar, Mas Wildan tidak mencintaiku lagi." Kirana meremas gamisnya, untuk menguatkan diri mengatakan itu di depan madunya.
Ajeng mengangkat wajah, lalu menatap wanita anggun nan sederhana di hadapannya.
"Mba ga marah?" tanyanya polos.
"Insyaa Allah ga. Mungkin ini memang takdir," jawab Kirana, "lagipula kalau sudah masalah hati, memang rumit kan? Mau bagaimana lagi?" Kirana kehabisan kata, dia sendiri sadar bukan wanita bijaksana yang menerima begitu saja penghianatan suaminya. Karena pernikahan ini tanpa izin dari dirinya, bahkan dari orang tua Wildan sendiri.
Setelah jelas, dia memilih pulang menggunakan taksi online. Pikirannya terus bercabang antara haruskah mempertahankan pernikahan dengan Wildan dan mengatakan siap untuk dimadu? Atau meminta cerai karena toh sudah jelas Wildan memiliki istri yang lebih dia cintai? Yang mana ketidakadilan terpampang nyata di hadapannya. Dia hanya mendapat nafkah lahir berupa materi saja, tapi tidak nafkah batin yang bukan hanya sekedar hubungan ranjang tapi juga rasa nyaman dan perlindungan dari sosok yang bernama suami.
Tanpa dia sadari lelehan bening semakin deras di pipi, berulang kali dia usap. Lagi dan lagi mengalir tanpa dia harapkan. Menandakan bahawa ada luka yang menganga dari dalam. Luka yang tak nampak, yang biasanya sulit untuk disembuhkan dan terasa sangat menyiksa. Bukan tak mungkin menimbulkan trauma di masa depan.
Langkah kakinya berat ketika memasuki rumah. Sunyi, sepi tak ada lagi harapan bagi dirinya. Jauh dari anak yang dia kandung dan lahirkan, juga tak lagi punya orang tua, dan suami yang dia harapkan menjadi tempat bermanja pun telah melabuhkan cinta pada wanita lain.
"Entah apa yang tersisa dari aku," gumam Kirana.
Lagi, dia duduk rapuh dan bersujud mengadu kepada Sang Penguasa Alam Semesta.
"Ya Allah Yaa Rabbi ... semua atas kehendakmu, aku hanya mohon berikan petunjuk agar aku tetap ikhlas menghadapi semua ini. Mungkin Engkau tengah menguji imanku, mungkin juga tengah menegerku. Ampuni hambaMu ini Yaa Allah ... astaghfirullahaladziim ...." Kirana terus mengucap istighfar, meminta hatinya agar tabah dengan apa yang terjadi.
*
Wildan memarkirkan mobil di garasi rumah Ajeng yang tak seluas di rumah Kirana. Dengan senyuman dia keluar mobil dan langsung mengecup kening sang istri yang berwajah tegang.
"Kenapa? Kok mas ganteng datang dicemberutin." Wildan menggandeng Ajeng ke dalam rumah.
"Mba Kirana datang kemari," jawab Ajeng langsung pada inti.
Wildan segera melepas gandengannya dan menatap wajah istrinya, "Kamu diapain sama dia?"
"Ih, ga diapa-apain. Malah dia bilang ikhlas kok. Dia hanya mau memastikan karena dengar dari orang." Ajeng sedikit membela.
"Ya sudah, sekarang temani aku dulu ya. Kangen. Lupakan dulu dia, itu urusan aku ntar malam," kata Wildan lagi langsung mengecup bibir sang istri yang merona.
"Mas, jangan dimarahin tapi ya. Dia baik kok, lemah lembut banget dan ramah."
"Udah, itu urusan aku sama dia ... kamu ga harus ikut campur. Kamu hanya harus kucampuri," goda Wildan langsung menarik sang istri ke dalam kamar.
Dan saat malam tiba, Wildan mendatangi rumahnya dengan Kirana yang selalu tampak suram dan temaram. Karena memang dihiasi pohon-pohon besar nan rindang.
"Assalaamu'alaikum," ucap Wildan ketika masuk dan mendapati Kirana tengah berjalan ke arah pintu.
"Wa'alaikumussalaam," senyuman rapuh itu tampak terpaksa dipamerkan. Meski yang disambut tetap memamerkan sikap dingin laksana gunung es.
"Makan malam dulu, Mas? Dah saya masakin opor ayam favorit Mas Wildan." Kirana menggandeng lengan Wildan. Berharap sang suami menyadari betapa dia layak untuk dicintai dan mampu melayani dia sama seperti Ajeng.
"Aku sudah makan," jawab Wildan dingin, "kamu sudah tahu tentang aku dan Ajeng?" tanyanya langsung pada pokok permasalahan.
Kirana mengangguk lemah, "Aku ikhlas kok, Mas. Kenapa harus dirahasiakan kalau memang mau nikah lagi. Aku juga ikhlas. Ga akan mencegah kalau sudah saling suka. Biar kalian jauh dari perbuatan zina."
"Betul. Kaya kamu sama si bule itu kan?" tembak Wildan langsung menyawat hati Kirana.
"Apa Mas bahagia setiap kali mengatakan itu padaku?" tanya Kirana dengan sudut mata yang basah.
"Kenapa? Kamu sakit hati? Sakitan mana dengan dibohongi istri pura-pura haid cuma karena ga mau dicampuri? Mirisnya karena dia masih mikirin pria lain. Itu lebih sakit, sadar ga?" Wildan mulai meninggi.
"Astaghfirullah, Mas. Kita kan sudah bahas itu dan memang aku datang bulan. Kita juga sudah baikan dan kamu sudah memaafkan. Aku juga sudah siap untuk melayani kamu, tapi apa? Kamu ga pernah mendatangi aku, sementara sebagai perempuan aku malu memulai lebih dulu," cecar Kirana dengan nelangsa yang tak dapat lagi dia sembunyikan, bahwa dia merasa sakit sekali.
"Terlambat. Aku menikahimu lagi karena menyelamatkan nama baik orang tuaku. Bukan karena memaafkan kelakuanmu." Wildan bertolak pinggang, "Jadi ... ingat! Jangan sampai Abi sama Ummi tahu akan hal ini. Atau kamu ga akan pernah lihat Rayyan lagi."
"Astaghfirullah ... kenapa kamu membalas semua kesalahan aku pada anak yang tidak berdosa?" Kirana makin merasa terpuruk dengan setiap kalimat yang dilontarkan suaminya.
Wildan tak menjawab, dia segera mengemasi pakaian dan memasukkannya ke dalam koper.
"Karena kamu sudah tahu, maka aku putuskan untuk tinggal dengan Ajeng. Dan ingat, jangan sampai orang tuaku tahu. Sampai aku punya anak dari Ajeng, dan mereka tidak akan bisa menolak pernikahan kami." Wildan menyeret koper keluar kamar. Meninggalkan Kirana yang bergetar, kemudian melemah dan ambruk.
Beruntung Mbok Sumar melihat dan segera membangunkan lalu memapahnya ke kursi.
"Sabar, Bu. Orang kalau sudah kepincut sama wanita selingkuhan ya gitu. Kejam, ga mikir akhirat," omel Mbok Sumar.
Kirana hanya terisak, dia tidak tahu harus bagaimana. Haruskah dia keluar dari rumah itu dan kembali ke Jakarta? Ke rumah Paman dan Bibinya. Tapi apa nanti kata orang? Pasti Paman dan Bibi kena malu, kena gunjing dan kembali perasaan banyak orang akan terkoyak. Tidak hanya dirinya sendiri.
Atau memilih ikhlas dan sabar sebagai bentuk ketaatan pada suami dan Rabbnya, toh poligami halal. Meski apa yang dilakukan Wildan tidaklah adil untuknya. Tapi mungkin ini jalan terbaik sebagai ujian mencapai keimanan dan syurganya kelak.
Kirana hanya bersujud, memohon dilimpahkan kesabaran, keikhlasan, dan jalan keluar dari setiap masalahnya. Tak lupa dia memohon agar Rayyan diberikan keimanan yang sama. Jauh dari ibu dan ayah, tapi dia berada di tempat terbaik menuntut ilmu. Semoga dia menyadari bahwa ada kebaikan disana meski dalam keterpaksaan.
BERSAMBUNG......
No comments:
Post a Comment