Thursday, June 4, 2020

CINTA SEORANG IBU PENGGANTI 17

Part 17
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )

Wildan termenung seorang diri di kamar, sementara Kirana tengah menemani Ummi di dapur. Ada penyesalan telah mengucapkan kata kasar hingga berujung kelepasan mengatakan talak secara tersirat hingga jatuhlah talak tanpa dia sadari. Karena sengaja ataupun tidak, tetap saja jatuhnya telah memberi talak. Dan sialnya tindakannya itu masuk kategori talak ba'in shugra. Karena Wildan belum pernah menggauli istrinya namun sudah jatuh talak. 

Talak ba'in shugro adalah talak di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk pada istri kecuali dengan akad yang baru. Ketika itu ikatan suami istri terputus dan istri menjadi wanita asing, bukan lagi milik suami. Talak ba'in shugro ini tidak mengharuskan istri menikah dengan pria lain lalu halal bagi suami yang dulu. Jika ingin menyambung ikatan pernikahan, cukup dengan akad dan mahar yang baru. 

Perkara mahar baru mungkin mudah, tapi akad nikah baru, itu sangat sulit bagi Wildan. Karena itu terpaksa mereka masih satu atap dan satu kamar untuk menutupi dari orang tuanya. Keduanya tidak pernah saling tegur sapa apalagi bersentuhan.

Kirana sendiri gamang, haruskah dia ceritakan pada sang mertua bahwa Wildan telah mengucapkan talak bahkan sebelum menggaulinya? Tapi, dia masih takut dan bingung, itu akan menjadi masalah besar lagi nantinya.

Akhirnya dia memutuskan kembali ke kamar setelah bercengkrama dengan ibu mertua juga Wildan di saat makan siang, kebetulan mereka juga menunda keberangkatan ke Jogjakarta. Meski hatinya benar-benar gelisah memikirkan sang anak, melebihi pada status pernikahannya kini.

Sebagai ibu baru, Kirana merasa harus melindungi anaknya meski anak itu telah remaja. Karena Rayyan terbiasa dengan kemewahan, perlindungan dan kini entah bagaimana nasibnya.

Wildan yang cemburu buta menjadikan dirinya lebih posesif dan arogan. Bahkan setiap mengingat Rayyan emosinya jadi meledak-ledak. Dia tak pernah menyangka wanita cantik yang dia harapkan telah memiliki anak bahkan telah remaja. Sedangkan untuk jujur pada orang tuanya yang bijaksana, itu sulit. Abi pasti akan lebih membela Kirana dan anaknya, karena sebelum menikah Wildan sudah tahu. Jadi akan diminta bertanggung jawab dengan pilihannya.

Keduanya kini tampak normal saat berbaur dengan Ummi yang asik menceritakan keinginannya memiliki cucu dari Wildan. Padahal pasangan ini diam-diam telah terpisah dengans sendirinya.

Berulang kali Wildan menoleh ke arah Kirana yang tersenyum manis mendengar harapan seorang ibu lainnya. Gurat rasa bersalah tampak di wajahnya.

Kemudian keduanya masuk ke kamar dengan kekakuan, Wildan sudah dua malam tidur seorang diri di ranjang sementara Kirana di bawah menggunakan karpet dan bedcover untuk mengurangi udara dingin.

"Aku minta maaf atas sikap kasar dan emosiku yang meledak-ledak," ujar Wildan ketika Kirana selesai salat ashar.

Kirana diam tak menjawab, dia hanya berdoa agar Rayyan baik-baik saja dimanapun dia berada.

"Rayyan aku titipkan di pesantren dengan tujuan agar dia aman dari kejamnya dunia. Sementara aku memperbaiki rasa yang terus dihantui cemburu." Wildan menarik napas berat, "aku selalu cemburu setiap kali melihat wajah anak itu. Dia sangat mirip denganmu juga William. Perpaduan sempurna wajah kalian. Itu sangat menyakitiku," lanjutnya dengan suara terbata.

Kirana membuka mata dan lelehan bening mulai membasahi pipinya.

"Aku sangat mencintaimu, Kirana. Tapi aku terlalu cemburu. Sesaat sebelum menikah, kupikir semua akan mudah kulalui, menerima dirimu apa adanya, lalu mencoba menerima Rayyan. Aku ingin tampil sebagai pria gentleman yang mengakui dia sebagai anakku sendiri. Tapi ternyata tidak semudah itu." Wildan menunduk dan sesekali mengusap kepala dan wajahnya. Sedangkan Kirana masih diam membelakangi mantan suaminya, dan hanya berusaha menyimak. Berharap ada harapan untuk memperbaiki keadaan, karena perceraian bukanlah solusi yang baik.

"Setiap kali anak itu menyebutmu ibu, dan mengatakan tentang daddy ... aku kembali mengingat bagaimana manisnya bule itu menyatakan cinta padamu. Aku iri, aku juga ingin seperti dia. Aku juga tahu setiap wanita akan merasa spesial dengan perlakuan seperti itu, terlepas apa yang terjadi padamu kala itu ... aku takut ... kau akan merasakan cinta juga pada akhirnya, kepada dia. Aku takut sekali Kirana." Wildan menatap wanita yang kini tak melepas kerudung di hadapannya. 

Akhirnya Kirana menoleh dengan mata yang basah, "Kenapa tidak kau batalkan saja pernikahan ini waktu itu? Rasa malu yang kau terima tidak akan terlalu besar jika orang-orang tahu bahwa aku adalah gadis rasa janda. Iya kan?" tanya Kirana dengan penekanan, "juga tidak akan menjadi sebesar ini masalahnya."

"Aku mengaku salah. Tapi aku tidak mau berpisah darimu. Aku akan mencoba agar kita bisa kembali lagi, aku akan meminta bantuan teman untuk dapat melakukan akad nikah baru dan mempersiapkan mahar, kita akan menikah kembali." Wildan menatap Kirana yang juga menatap wajahnya.

"Beri aku waktu," jawab Kirana tegas.

Sesungguhnya dia pun tak ingin bercerai, tapi dengan mudah memaafkan suami yang kadang tempramen bukanlah hal mudah. Dia ingin Wildan kapok dengan kesalahan fatal yang dia buat agar tidak terulang lagi.

"Terima kasih tidak memberitahu orang tuaku akan hal ini," tambah Wildan dengan senyuman.

Wanita itu kini hanya menunduk lemah, dan segera merapikan peralatan salat. Untuk kemudian keluar kamar kembali menemani Ummi Wildan yang menunggunya untuk belanja ke pasar tradisional.

*

Akhirnya Kirana dapat menghubungi Rayyan setelah Wildan memberikan nomor ponsel pondok. Tangis haru pecah saat mereka berbicara jarak jauh.

"Maafkan ibu, Nak," isak Kirana sambil terus menutupkan satu lengannya ke mulut, mencegah tangisan keras keluar dari sana.

"Aku baik-baik saja, Bu. Tapi tidak betah, kapan ibu jemput aku?" tanya Rayyan dengan suara sengau. Sepertinya dia juga banyak menangis.

"Ibu akan usahakan secepatnya, ibu akan selesaikan dulu masalah dengan Om Wildan. Setelah itu, ibu akan menjemputmu. Sekarang baik-baik disana ya, dan belajarlah. Tidak ada ruginya, kau juga aman dari dunia luar yang kejam untuk jalani hidup tanpa kedua orang tuamu." Kirana terus menyemangati Rayyan yang terdengar terisak.

"Oke, Bu," jawabnya singkat.

Sekarang ibu satu anak itu menatap Wildan yang terdiam. Sebelum memberikan nomor pondok, pria ini telah memohon berulang agar Kirana tidak mengadu pada Abi yang akan segera pulang dari tanah suci. Dia janji, akan berubah lebih baik dan mencoba menerima Kirana juga Rayyan.

Bahkan dia rela tidak menggauli Kirana sampai wanita itu siap, jika kelak mereka resmi menikah lagi. Sekarang, dia sedang mencari waktu dan tempat untuk melaksanakan itu.

"Aku serius, aku minta maaf padamu. Aku maklumi andai kamu tidak siap untuk menerima nafkah batin dariku." Wildan menarik nafas dalam.

"Mas, malam itu aku bener-bener siap sebagai istri, tapi memang datang tamu bulanan. Masa mau tetap dipaksakan? Dan demi Allah, aku dengan William tidak pernah melakukan hal selayaknya suami istri. Dia memiliki istri, namanya Anna. Dan dia sangat mencintai wanita itu." Kirana jadi sedikit emosi pada pria di hadapannya.

"Iya, aku tahu. Pria macam apa dia, sudah punya istri masih menyatakan cinta pada wanita lain?" gerutu Wildan seolah penting mengomentari pria lain yang dia anggap buruk, padahal dia sendiri bukanlah pria yang masuk kategori baik.

Kirana tak menjawab lagi, dia hanya merindukan sang anak untuk saat ini. Namun tidak boleh terus menerus menghubungi melalui nomor pondok, hanya boleh di hari libur.


"Besok kita akan ke Jogja, dan sekalian menikah lagi disana. Tanpa sepengetahuan Abi dan Ummi." 

"Lalu wali aku?" tanya Kirana bingung.

"Kita akan minta Paman ikut, sebagai wali. Dia pasti tidak akan keberatan."

Paginya mereka pamit pada orang tua Wildan untuk pergi ke Jogja, sengaja Wildan buru-buru pergi ketika Abi Masykur tiba untuk menghindari interogasi seputar pernikahan yang baru dia lewati. Dan tujuan pertama mereka adalah menikah lagi, tentu hanya mereka lakukan secara agama.

Karena itu, Wildan hanya meminta Paman Kirana sebagai wali setelah menceritakan kesalahfahaman yang terjadi. Awalnya Paman tidak setuju dengan keinginan Wildan dan Kirana, apalagi dengan mudahnya sang pria mengucap talak dan sekarang seenaknya ingin kembali lagi.

"Jadi gini, Paman. Wildan kemarin karena terlalu cemburu buta, insyaa Allah setelah ini akan lebih bersabar." Dia berusaha mengambil hati Paman Kirana.

Sementara Kirana merasa perlu memaafkan Wildan karena dia masih mencintai pria itu. Sejak awal memilih Wildan tidak hanya karena sikap baiknya, tapi karena ada getar-getar cinta yang dia rasakan setiap kali bertemu. Rasa yang sama seperti yang pernah dia alami dengan Rega.

Sementara Paman yang masih menilai seseorang dari pangkat dan tahtanya, merasa bingung jika harus menolak. Dia sungkan pada Abi Masykur, padahal orang terpandang itu tidak tahu keadaan rumah tangga anaknya.

Kirana juga seolah lupa minta petuah Ustadzah Maryamah karena terlalu mengikuti kata hatinya, untuk berbaikan dengan Wildan yang kesalahan fatalnya dapat dia maklumi. Wanita itu sadar, andai bukan Wildan ... mungkin akan lebih parah perlakuan yang dia terima dari orang yang menjadi suaminya. Sebagai seseorang yang pernah menyewakan rahim dan tidak memegang data proses perjanjian itu, dia tak bisa mengelak jika dituduh murahan. Itu kesalahan fatal lainnya yang dia buat. Karena tujuan awal adalah menyembunyikan apa yang telah dia lakukan. Namun kesadaran diri sebagai seorang yang berniat hijrah, membuatnya harus berkata apa adanya. Daripada orang yang menikah dengannya kelak tahu dari orang lain dan mungkin akan merasa dibohongi.

Akhirnya, pasangan itu memilih menemui penghulu yang kemarin menikahkan mereka. Dengan segala macam permohonan maaf, dan harapan agar sang ayah tidak tahu, Wildan berharap untuk dinikahkan lagi.

"Duh, Mas. Bapak jadi dilematis," ujar Pak Penghulu yang kenal baik dengan Abi Masykur.

"Insyaa Allah kali ini saya akan bersikap ma'ruf pada istri saya, kemarin hanya khilaf. Sungguh, saya akan menjaga lisan saya. Lagipula Kirana sudah memaafkan, pun Paman yang merupakan wali telah memaafkan saya. Ikhlas kembali menjadi suaminya." Wildan berbicara dengan penuh penyesalan.

"Baiklah, Nak Wildan sudah siapkan mahar baru? Alakadarnya saja tidak apa, yang penting halal lagi. Gitu kan?" Pak Penghulu juga tidak tega, toh kedua pasangan ini masih sama-sama ada niat untuk memperbaiki diri dan utamanya masih saling cinta.

Wildan mengangguk, lalu menoleh pada Kirana yang sejak tadi terlihat kosong. Namun akhirnya membalas tatapan dengan senyuman.

"Ingat, pernikahan itu bukan mainan. Menikah itu menyempurnakan agama kalian, ibadah. Kekurangan dan kelebihan suami atau istri harus dijadikan pemersatu, mengeratkan dan kasarnya saling tambal. Saya yakin, setiap pasangan tidak ada yang sempurna, pasti ada cacatnya. Jadikanlah kekurangan itu sebagai penyeimbang bagi yang baik. Faham?" Pak Penghulu menatap Kirana dan Wildan yang mengangguk penuh penyesalan.

Akhirnya keduanya melakukan akad nikah baru, juga mahar sederhana sebagai syarat kembalinya mereka menjadi pasangan suami istri.

Bagi Kirana, ini lebih pada cambukan pada masa lalunya. Agar tidak ada lagi gadis-gadis lain yang melakukan tindakan seperti dirinya hanya karna uang. Karena sesungguhnya Tuhan memberikan ujian pasti dengan jalan penyelesainnya, tinggal sang manusia mampukah memecahkan jalannya itu.

Dan saat Wildan kembali mengucapkan ikrar nikah, Kirana semakin menangis mengingat bagaimana kepergian Abah, hancurnya masa depan dan juga nasib Rayyan yang pada akhirnya jadi tidak jelas. Karena itu, saat ini dia hanya ingin memperbaiki diri dan membahagiakan sang anak. Dan semoga Wildan memiliki visi yang sama dengannya. 

Setelah resmi kembali, mereka langsung pamit pada Paman Kirana karena berencana langsung pindah ke Jogjakarta. Besok Wildan sudah mulai mengajar disana. Jadi dengan kereta senja, mereka segera menuju ke kota pelajar tersebut.

*

Dini hari mereka tiba di rumah baru di Jogjakarta. Suasana sangat sepi dan dingin, karena rumah itu hanya dihuni sepasang suami istri yang bertugas merawat rumah. Tanpa bahasan apapun lagi keduanya memilih tidur karena kantuk yang sangat menyiksa dan lelah yang mendera. Dan paginya Wildan sudah harus pergi mengajar.

"Kamu rehat di rumah ya, jangan kemana-mana," pesan Wildan saat memakai sepatu lalu berdiri dan mencium kening Kirana.

"Mas," ucap Kirana ragu, dia ingin sekali menanyakan kapan menemui Rayyan. Tapi pasti dijawab nanti, apalagi ini hari pertama dia mengajar di sekolah baru.

Setelah suaminya pergi dengan mobil, Kirana segara mengambil ponsel dan menghubungi nomor pondok dimana Rayyan dititipkan. Sayang, jika bukan minggu ... semua santri dilarang menerima telepon dari orang tua mereka.

"Tapi, Rayyan baik-baik saja kan, Pak?" tanya Kirana dengan cemas.

"Dia memang belum betah, tapi itu umum dialami semua santri. Apalagi Rayyan masih sangat mentah ya, masih sangat dasar ... sedang kami ajarkan dari awal. Utamanya untuk baca iqro dan surah-surah pendek," papar pihak pondok.

"Terima kasih, Pak." Kirana tak bisa mengatakan apa-apa lagi. Dia tidak bisa membayangkan kondisi Rayyan saat ini. Beruntung pihak pondok memaklumi keterbatasan anak itu. Bahkan dianggap sebagai muallaf karena berwajah campuran kulit putih atau bule.

Kegiatan Kirana selanjutnya hanya menyiram tanaman, tilawah, lalu mengobrol dengan Mbok Sumar yang bekerja untuknya. Sesekali Wildan berikirim pesan hanya menanyakan sedang apa? Jika jenuh boleh main ke pusat perbelanjaan dengan Mbok Sum, tapi harus sudah di rumah kalau dia kembali. Tertulis di jadwal, Wildan selesai mengajar pukul empat sore. Otomatis sampai rumah bisa jam empat tiga puluh.

*

Mobil hitam itu mulai memasuki pelataran. Kirana tersenyum dan segera memakai kerudung, lalu keluar dengan senyuman seindah mungkin. Menyambut sang suami yang baru saja kembali.

Salam, kecupan di kening, menjadi hal wajib bagi mereka. Kemudian menggandeng istri tercinta ke dalam kamar, lalu mandi sore supaya lebih segar.

"Malam ini kita jalan-jalan ke Mallioboro yuk," ajak Wildan sambil memakai kaos panjang dan celana bahan seperti biasa.

"Berangkat kapan? Macet tidak?" Kirana menahan diri untuk membahas Rayyan. Meski dia sudah tak sabar ingin meminta menjemput anak itu.

"Sekarang aja, biar sampe maghrib dan kita bisa salat disana. Terus makan-makan apa yang kamu mau," jawab Wildan.

Kirana setuju. Sepanjang jalan mereka habiskan dengan mengobrol banyak hal. Utamanya seputar kota yang kini mereka tinggali. Hingga tak sadar telah tiba di tujuan.

Kirana dan Wildan berjalan kaki menyurusi deretan tempat makan lesehan yang ada di sana. Keduanya sibuk berdiskusi tentang makanan yang ingin mereka makan. Kemudian masuk ke sebuah warung yang menjual gudeg tradisional. Mereka duduk di tikar dan segera memesan makanan.

"Mas, jadi kapan mau jemput Rayyan?" akhirnya dia tidak tahan untuk tidak bertanya. 

"Sayang, bisa tidak untuk bahas tentang kita aja dulu? Tentang rencana kita berdua." Wildan tampak keberatan.

"Rayyan adalah anak kita kan?" tanya Kirana dengan suara berat.

"Iya, tapi aku masih belum siap satu rumah dengan dia. Kamu ngerti kan? Aku sudah bilang bahwa setiap kali melihat dia maka yang aku ingat adalah ...." Wildan tidak melanjutkan kalimatnya. 

Kirana tertunduk, lalu segera mengaduk es teh yang baru saja disodorkan. Mencoba menikmati meski dengan perasaan tak karuan. Dia menjadi dilematis antara harus memilih anak atau suaminya. Karena sejatinya seorang istri harus patuh pada suami, tapi ... dia juga memiliki tanggung jawab untuk merawat anaknya . 

Hingga kembali ke rumah, keduanya tak banyak mengobrol seperti saat berangkat. Hanya sesekali mereka mengomentari sesuatu yang terlihat selama perjalanan. Keduanya seolah takut saling menyakiti lagi.

Kirana, takut Wildan marah lagi. Dan Wildan juga sama, takut Kirana semakin merasa dia bukan suami yang baik. Jadilah keduanya saling diam hingga tiba di rumah.

*

Kirana menyisir rambut yang baru saja dia keringkan dengan hairdryer. Sementara Wildan sedang membaca buku sekolah untuk referensi mengajar besok. Udara dingin membuat Wildan menatap sang istri tercinta, haruskah dimulai malam ini? Dia juga ragu dan takut mendapat penolakan. Namun dia merasa harus mencari tahu, apakah istrinya sudah siap atau akan mencari alasan lain supaya tidak disentuh olehnya? Karena bagi Wildan, sang istri seperti masih enggan dimiliki secara utuh. Keyakinannya soal pura-pura haid di malam pertama masih besar.

Akhirnya keduanya masih saling diam, meski sesekali masih saling lirik namun hanya seutas senyum yang mereka pamerkan. Keduanya jadi kaku dan enggan memulai lebih dulu.

Wildan menunggu kode dari Kirana, sedang sang istri merasa malu untuk menggoda sang suami lebih dulu. Akhirnya malam kedua pernikahan mereka juga dilalui dengan tidur yang masih berjarak.

*

Bagi Kirana, keengganan Wildan menyentuhnya mulai menimbulkan rasa tidak nyaman. Dia semakin merasa tidak layak mengingat dirinya masih dikategorikan virgin atau tidak, dia sendiri tidak tahu. Karena dia tidak ingat bagaimana proses pemindahan embrio ke dalam rahimnya. Apalagi belakangan dia ketahui yang terjadi adalah penyuntikan sel sperma langsung. Bukan penanaman embrio.

Wildan sendiri sering uring-uringan, tapi tidak berani menyatakan keinginan. Baginya andai Kirana tidak memulai, berarti sang istri benar-benar enggan disentuh dan kecurigaan dia kalau haid di malam pertama adalah bohong, benar adanya.

Kaku, pasif, itulah kegiatan mereka sehari-hari. Berangkat kerja jam enam, dan kembali jam lima sore. Setelah itu lebih sering menemani Pak Nas yang biasa jaga rumah untuk merawat tanaman hydroponic di pelataran belakang. Sementara Kirana pun sama, hanya akan sibuk menyiapkan makan malam bersama Mbok Sumar.

Selepas maghrib, keduanya sama-sama tilawah, kemudian setelah isya sang suami akan sibuk dengan memeriksa lembar tugas siswa. Seperti itu dan terus berulang, membuat hubungan keduanya semakin hampa.

Entah sampai kapan ego akan mereka kedepankan, dan entah sampai kapan Wildan akan menolak kehadiran Rayyan.

.BERSAMBUNG.......

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER