Part 16
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Hari pernikahan kian dekat, Kirana sudah tidak berjualan. Dia lebih banyak di rumah mempersiapkan apa yang akan dia bawa nanti ke rumah suaminya. Keputusan telah diambil, dia akan tetap menikah dengan Wildan dengan syarat Rayyan akan dibawa serta setelah mereka pindah rumah ke Jogjakarta.
Rayyan berusaha menerima nasib kembali berjauhan dengan sang ibu. Bahkan akan tinggal dengan Bagas di rumah sederhana yang sangat jauh dari kesan nyaman jika dibanding dengan rumah sang ayah. Tapi dia yakin, ini hanya ujian sesaat. Setelah ini dia akan hidup bahagia dengan ibu dan ayah barunya. Meski cintanya tetap ada untuk daddy yang kini tengah memperbaiki hubungan dengan istrinya.
William menerima undangan pernikahan Kirana dari foto whatsapp yang dikirim Rayyan. Tangannya terlihat gemetar saat memegang ponsel dan berulang kali menahan kesedihan. Untuk pertama kali dalam hidup dia merasakan begitu sakitnya mencintai, hingga lupa seperti apa rasanya menyakiti manta-mantan kekasihnya di masa lalu.
"Semoga kau bahagia, Kirana ...." seraya menghapus foto yang dikirim Rayyan. Sakit, sesak, setiap kali membaca nama di undangan itu. Kirana binti Sutarja dengan Wildan Fahrizal Wicaksono, SP.d bin Masykur Wicaksono, membuat dia merasakan nyeri di ulu hati, sesak di dada dan sakit di kepala.
Berulang kali mencoba menarik nafas dalam, baginya bumi seperti kekurangan oksigen. Kemudian mengucap istighfar sesuai ajaran Ustadz Misbah, memohon ampun agar diberilkan keikhlasan. Lalu mengambil wudlu dan menunaikan shalat. Hasilnya? Tetap saja, dia merasakan sakit yang tiada terhingga.
"Astaghfirullah ... berilah aku kekuatan Yaa Rabb, berikan keikhlasan, dan hilangkanlah rasa yang menyiksa ini," ucapnya sembari memejamkan mata.
Tapi tetap saja, karena sejatinya manusia memliki perasaan yang terkadang sulit di kendalikan meski dengan iman sekalipun. William masih rapuh dan semakin tak mampu bangkit.
Kembali dia bersujud, bermunajat dan akhirnya berdiri dengan tegap, menghubungi sang guru untuk memintanya bertemu. Agar dia diberikan wejangan untuk dapat merelakan wanita yang dicintainya menikah dengan pria lain.
*
Ijab qabul beberapa menit lagi akan dimulai. Kirana duduk di bagian lain Mesjid At-Tin Taman Mini Indonesia Indah bersama para wanita dari keluarga calon suaminya, termasuk calon ibu mertuanya, Uminya Wildan, juga Bibi.
Kegugupan nampak jelas dari wajahnya yang dipoles dengan make-up natural. Semakin menonjolkan sisi keanggunan sebagai muslimah suci dan berseri. Berulang kali dia menunduk dan mengusap hidung dengan belakang jari telunjuknya, menandakan kegugupan yang luar biasa. Bahkan Bibi tak henti-hentinya mengusap punggung Kirana agar bisa tenang dan rilex.
Sementara Rayyan duduk bersama Paman dan Bagas, di belakang mempelai pria yang tengah bersiap. Senyum bahagia dia tampilkan, karena ini hari bahagia sang ibu yang mana akan melepas masa kesendirian setelah berulang kali mengalami kegagalan dalam rencana pernikahan.
Entah berapa kali dia menoleh ke arah Kirana yang tengah menunduk dan senyuman terukir di bibir tipis Rayyan. Menandakan kebahagiaan juga kecemasan. Cemas dengan masa depan yang benar-benar tak pernah dia bayangkan. Akan hidup dengan ibu yang baru dia ketahui dan dengan ayah yang bukan merupakan ayah kandungnya.
Penghulu mulai membacakan do'a, begitu juga Paman mulai maju sebagai wali dari mempelai wanita. Ayah Wildan memberikan sedikit sambutan dan wejangan sebelum prosesi ijab qabul dilakukan. Setelah itu, kembali dia serahkan pada penghulu yang telah siap membantu mensahkan dua manusia berbeda jenis kelamin ini.
"Saya terima nikah dan kawinnya Kirana binti Sutarja dengan mas kawin perhiaasan emas 00gram dan uang tunai seratus juta, dibayar tunai!"
Wildan tanpa kesulitan mengucapkannya.
"Bagaimana saksi? Sah?"
Sah!
Semua bersuara sama dan Wildan menarik napas panjang untuk kemudian berdoa sesuai yang dilakukan oleh penghulu. Sementara Kirana hampir rubuh karena gugup, kini dia telah resmi sebagai seorang istri. Artinya segala keputusannya harus atas izin dan ridho suaminya. Keringat dingin terus membasai telapak tangan dan jantungnya seperti melompat-lompat kegirangan tak beraturan.
[Mereka telah resmi, dad.]
Tulisa Rayyan pada William.
[Are you happy?]
Balas ayahnya.
[Yes, dad. I'm so happy.]
Balas Rayyan dengan sedikit gemetar namun juga menyeka sudut matanya. Dia tak berani menceritakan perjanjian yang terjadi antara dirinya dan Kirana juga Wildan pada sang ayah.
[Alhamdulillah, happy for you, Son.]
Hanya itu balasan dari William. Karena Rayyan kembali sibuk menyaksikan sang ibu dipapah kepada suaminya. Tampak Kirana mancium punggung tangan Wildan, lalu dikecup keningnya dengan amat dalam.
"Sudah, Mas. Jangan lama-lama. Lanjut nanti saja," goda Penghulu yang diiringi gelak tawa hadirin.
Kirana dan Wildan jadi tersipu sambil tertunduk, keduanya menandatangani berkas-berkas termasuk buku nikah mereka. Lalu diabadikan juru foto. Untuk selanjutnya mereka di arak dengan sholawat dan taburan bunga menuju acara walimatul ursy.
*
Sebelum meninggalkan gedung acara, Kirana sempat menemui Rayyan di ruangan yang biasa dipakai untuk mengganti pakaian pengantin, memeluknya dengan erat.
"Maafkan ibu, Nak," isaknya.
Wildan terus mengelus punggung istri tercinta yang menangis sambil berulang kali meminta maaf pada putranya.
"I'm okay, aku bahagia bu, sungguh." Rayyan memeluk Kirana, lalu mereka bertatapan sangat lama. Jelas keduanya enggan berpisah. Membayangkan bagaimana mengandung Rayyan dahulu, lalu melahirkan dan tak pernah melihat seperti apa bayi yang dilahirkannya semakin membuat Kirana terluka.
"Mas, bisakah dia ikut kita sekarang? Aku belum sanggup ninggalin dia." Kirana menoleh pada sang suami dengan tatapan penuh permohonan.
Wildan menarik napas dalam, "Aku janji ... minggu depan saat aku mulai dinas di Jogja, Rayyan akan kujemput dan kita pergi bersama. Untuk sekarang tidak bisa, takut Abi dan Ummi tahu."
"Aku baik-baik aja, Bu. Ayolah. Ini hari bahagiamu, impianmu sejak lama kan? Mana mungkin aku tidak bahagia. Aku menangis terharu, karena senang akhirnya kau memiliki pria yang mencintaimu dengan tulus." Rayyan sangat bijaksana dan dewasa. "Look at me, i'm so happy ... really!" dia tersenyum dengan sangat tampan.
Kirana mengusap wajah Rayyan dengan kedua tangannya, lalu mengecup keninganya sangat lama.
"Jaga dirimu, ibu akan menghubungimu nanti. Jangan telat makan, dan jangan main terlalu jauh, jangan-"
"Bu," Rayyan memeluk ibunya dengan penuh rasa sayang. Lalu melepaskannya lagi dan menoleh pada Wildan, "jaga ibu ya, Om."
Wildan tersenyum sambil mengangguk, lalu menggandeng pinggang sang istri keluar ruangan. Membiarkan mata bocah dua belas tahun itu tak berkedip memandang kepergian ibunya ke bahtera kehidupan yang baru, begitupun dirinya akan mengarungi kehidupan yang tak sama dengan sebelumnya.
*
Sepasang suami istri baru itu akhirnya tiba di hotel yang menjadi tempat bulan madu mereka. Mobil dengan bunga di kap-nya itu menunjukkan bahwa mereka adalah sepasang pengantin. Membuat banyak mata sedikit tertuju pada mereka. Dan Wildan menggandeng sang istri dengan penuh cinta. Bahkan sejak dalam mobil, tangan itu terus saling tertaut seolah enggan terlepas nantinya.
Kamar indah nan megah menyambut Kirana dan Wildan yang kini tak lagi memamerkan wajah tegang dan sedih karena harus meninggalkan Rayyan. Tapi menunjukkan ketegangan yang lain, hingga sejak masuk kamar sang mempelai pria terus memandang sang istri yang masih asik menikmati keindahan kamar pengantinnya.
"Indah ya?" tanya Wildan mencairkan suasana.
Kirana hanya mengangguk lemah namun penuh rasa penasaran. Terlihat dari mata yang sesekali melirik ke arah suaminya yang tengah menyemprotkan minyak wangi ke badannya.
"Shalat sunnah dulu yuk," ajak Wildan dia segera mengambil wudlu. Diikuti Kirana, lalu keduanya menjalankan shalat sunnah dua rakaat.
Selesai shalat, mereka berdoa dengan khusuk. Kemudian Wildan menoleh pada sang istri di samping belakangnya. Tersenyum penuh takjub dan juga penuh harapan. Mendekat dan mengulurkan tangan, lalu sang istri mencium dengan takzim. Setelah itu Wildan mendekat, kembali mengecup kening sang istri dengan lembut dan dalam. Lalu turun ke pipi, kembali dengan kecupan lembut.
Dan akhirnya saling pandang iris mata mereka, untuk kemudian wajah itu saling mendekat dan kecupan penuh syahwat begitu terasa memenuhi kamar pengantin tersebut. Keduanya menikmati pertautan bibir mereka untuk pertama kali, hingga terasa manis, memberikan sensasi getaran yang semakin menggugah untuk segera dituntaskan dengan cara yang lebih menantang.
Bahkan Kirana kini tak mampu menahan dorongan tangan sang suami yang membuat dia terbaring di karpet tebal. Bergumal menikmati setiap senti pemujaan akan wajah hingga kulit dan tubuhnya yang mana kerudungnya telah terlepas dengan cepat. Terlempar entah kemana.
Kedua tangan lentik itu masih mencengkram kemeja suaminya yang masih sibuk memuaskan diri menikmati aroma yang tak pernah terjamah siapapun.
"Mas," bisik Kirana sambil berdesis dan meraih leher suaminya.
"Hmm, ada apa? Mau yang lebih seru?" Wildan bangkit dan menatap wajah sang istri, sambil membuka kancing-kancing kemejanya yang masih terpasang rapat.
"Bukan," jawab Kirana tersipu, "aku ...." sang istri memamerkan jari kelingking, tanda dia ingin buang air kecil.
Wildan terkekeh geli, "itu biasa. Nanti lebih pengen pipis lagi," godanya sambil melempar kemeja sembarang.
Kirana beringsut dan duduk merapikan gaunnya yang sudah berada di pinggang. Lalu tersipu dan berdiri menuju kamar mandi. Sedangkan Wildan mengatur napasnya yang sudah sangat on-fire.
Tak butuh waktu lama, sang istri kembali dan menatap dengan sorot mata tak terbaca.
"Mas," panggilnya lagi sembari menggigit bibir bawahnya.
"Sini aku yang gigit." Wildan menyeringai penuh harapan. Membuat Kirana semakin merona seperti apel atau semangka. Lalu mendekat pada suaminya dan bergelayut di lengannya.
"Aku ... datang bulan, hihi," tawa itu akhirnya sukses membuat Wildan menjatuhkan kedua pundak yang sejak tadi tegap.
"Serius?"
"Iya, maju dua hari. Mas mau lihat biar percaya?" tanya Kirana sambil duduk tegap, memandang sang suami yang kecewa berat.
"Yah, apes," decak Wildan diiringi tawa kecil sang istri.
Dan dengan cepat bibir cemberut itu disentuh dengan bibir tipis nan merah sebagai hadiah permintaan maaf. Keduanya kembali saling kecup diatas ranjang, hingga Wildan menjauh dan menatap penuh kekecewaan.
"Sudahlah, nanti malah makin ingin lebih. Bahaya kalau kamu sedang haid." Dia mengacak rambut, lalu ke kamar mandi meninggalkan Kirana yang tersipu malu.
mengobrol dan berceita tentang banyak hal yang sama-sama belum diketahui di CV ketika ta'arufan. Tawa dan canda begitu menenangkan meski tak ada adegan panas yang mereka impikan.
*
Setelah menikmati kebersamaan di hotel, mereka kembali ke rumah orang tua Wildan. Dan menetap disana hingga satu minggu ke depan. Setelah itu mereka berencana langsung pindah ke Jojga karena Wildan akan bertugas di sana.
Ummi Wildan begitu senang dengan kehadiran Kirana yang dia anggap baik dan sesuai dengan harapannya. Meski sedih akan kembali ditinggal setelah ini. Tapi dia tak menyiakan kesempatan dengan bercengkrama setiap ada kesempatan.
Sesekali Kirana berkirim pesan pasa putranya, sekedar menanyakan sudah makan belum. Atau sedang apa dan kegiatan lainnya. Dia masih tidak dapat membayangkan kondisi Rayyan pasca dia tinggalkan. Jika bersama William, mungkin dia akan lebih tenang mengingat secara ekonomi maupun kasih sayang, ayahnya itu telah lebih baik dari sebelumnya.
Tapi dari cerita Rayyan, ayahnya tidak ada lagi berkirim pesan.
"Mungkin daddy sibuk dan sedang memperbaiki hubungan dengan mommy. Atau mungkin sedang kembali ke London, sebelum ibu nikah ... dia sempat bilang akan ke London."
Cerita Rayyan ketika Kirana menghubunginya.
Mengingat itu, Kirana kembali menemui sang suami yang tengah memeriksa pekerjaan siswa siswinya.
"Mas, soal Rayyan. Jadi kan dia diajak ke Jogja untuk tinggal sama kita?" tanya Kirana saat merapikan bekal yang akan dibawa sang suami ke sekolah.
Wildan sempat lupa tentang anak itu, dan dia baru ingat lagi setelah ibunya bertanya.
"Hmm gimana kalau dia ... aku bawa duluan ke Jogja hari ini? Dan disana tinggal dulu sama ART, kamu kan baru bisa aku ajak hari minggu." Wildan merapikan kemeja dibantu sang istri.
"Aku cemas banget, Mas. Dia kan biasa ada aku, juga dulu biasa ... nyaman dengan ... daddy dan pelayan yang siap sedia menjaga dia." Kirana sedikit ragu mengatakan.
Wildan tak merespon dengan kalimat apapun, tapi menatap istrinya dengan raut tak terbaca.
"Nanti pulang dari sekolah, aku jemput dia langsung berangkat ke Jogja." Senyuman itu menenangkan istrinya.
Setelah mengecup kening, pipi dan tak lupa bibir ... mereka keluar kamar untuk berpamitan pada Abi dan Ummi.
"Titip Kirana ya Mi, disana rumah belum rapi. Mau diberesin dulu, kalau dah rapi baru ngajak istri tersayang pindah." Wildan tanpa malu memamerkan rasa cinta.
"Ga papa, maunya Ummi malah kalian tinggal disini saja. Kenapa juga harus dinas disana?" keluhnya.
Wildan hanya tersenyum, lalu keluar rumah ditemani Kirana dan Ummi. Pergi dengan mobil Toyota Rush hitam karena hanya mengambil cuti tiga hari.
*
Rayyan sangat senang ketika Wildan datang menjemput. Meski kecewa karena tidak bersama ibunya. Dia tetap legewo ketika sang ayah baru mengatakan akan membawanya ke Jogja hari ini. Namun setelah itu ditinggal lagi dan hanya akan tinggal bersama ART di kota itu.
Dia pasrah, mungkin itulah ujian untuk dapat hidup bahagia bersama ibu dan ayah yang baru dia miliki. Hingga sepanjang jalan dia tak bosan bercerita dengan pria yang tetap dia panggil dengan sebutan Om. Tak ada keberanian mengajukan panggilan ayah, karena sikap Wildan juga tak seramah biasanya.
"Kamu tinggal di pesantren aja kali ya?" Wildan kembali membuka obrolan pasca rehat di sebuah restoran. Dia memperhatikan ketika Rayyan mengobrol manja dengan sang ibu meski tak bilang sedang bersamanya, dan entah kenapa ada rasa cemburu mendengar obrolan sang istri dengan anak remajanya itu.
Yang terbayang olehnya justru Kirana tengah berbicara dengan William. Hingga kenangan di taman kala itu kembali mengoyak hatinya. Bagaimana romantisnya ayah Rayyan menyatakan cinta, berlutut dan menerima tamparan dari wanita yang dia puja. Lalu berjanji akan menuruti apapun keinginan wanita tercintanya. Sepertinya sangat menyiksa hati Wildan hingga kini.
Tidak bisa dipungkiri akhirnya menduga dengan membayangkan masa lalu Kirana dan William. Ada rasa tak percaya mereka hanya sekedar dekat. Apalagi tinggal satu atap tanpa ikatan pernikahan lebih dari setahun? Adakah orang dewasa yang waras tak terbujuk rayu nafsu?
Wildan sepertinya lupa bahwa William juga bersama istrinya yang bernama Anna. Jadilah rasa cemburu itu membakar dirinya dan ingin dia tumpahkan pada anak hasil dari kedua manusia itu, yaitu Rayyan.
"Tapi, Om ... Rayyan ingin sekali tinggal dengan ibu karena sejak lama kami berpisah. Aku harap Om faham. Please ...," rengeknya dengan manja.
"Anak laki-laki jangan cengeng, dulu Om juga jauh dari ayah ibu sejak SMP. Nyantren, jadi kamu juga ya. Titik," tegas Wildan.
"Om dah bilang sama ibu?" tanya Rayyan pilu.
"Ibumu itu istriku, dia hanya boleh patuh dan tunduk pada suaminya." Lagi, bicaranya sedikit tegas. Meski itu benar tapi bukan berarti suami boleh semena-mena bukan? Sepertinya kecemburuan tak beralasan itu membuat dia lupa pada makna pernikahan yang sesungguhnya.
Rayyan tak berani membantah, dia hanya tertunduk memandang iPhone miliknya.
"Jangan sok ngadu, percuma. Itu hanya akan menjadikan masalah antara aku dan ibumu. Kamu mau ibumu yang baru kunikahi ga bahagia?" kembali Wildan mengintimidasi. Beda sekali dengan Om Wildan yang dia kenal sebelum pernikahan.
"Coba kamu bayangkan, kami baru saja menikah dan ujug-ujug punya anak seusia kamu. Apa kata orang? Ngaku adik? Kenapa kakakmu ga bule kaya kamu? Terlalu banyak kebohongan yang harus kami buat. Kamu faham?" tanya Wildan dengan penekanan.
Rayyan hanya mengangguk pasrah. Dia tak berani bicara sepatah katapun lagi. Memilih memejamkan mata agar perjalanan jauh itu segera tiba pada tujuan. Dan berharap esok mempertemukannya dengan wanita yang amat dia rindukan. 4
*
Kirana terkejut saat tahu dari Paman kalau Rayyan telah dijemput Wildan dua hari lalu, namun selama berhubungan melalui telepon tak ada obrolan dari sang anak bahwa dia bersama ayah barunya. Dia segera menghubungi Wildan yang tengah dalam perjalanan pulang dari kota gudeg tersebut.
"Aku masih di jalan, naik kereta sih. Ada apa?" tanyanya santai dan manja.
"Rayyan udah sama kamu, Mas? Kok ga bilang?" tanya Kirana cemas.
Wildan sedikit kesal, dia memilih diam sesaat untuk mengaburkan perasaan cemburunya.
"Iya, kan aku ayahnya sekarang. Bukannya aku dah bilang kemarin mau jemput dia? Kenapa kamu cemas?" tanyanya dengan nada jengkel.
"Ya, ga kenapa-kenapa sih. Cuma heran aja kamu ataupun dia ga bilang." Senyum terukir di bibir seorang ibu yang anaknya kini tengah berada di sebuah pesantren di daerah Jogja.
Tanpa memberitahu dulu Kirana dan tanpa meminta kesediaan Rayyan, Wildan memasukkan anak itu ke pesantren milik temannya di daerah Jogja. Dia enggan kehadiran Rayyan mengganggu rumah tangganya yang masih baru. Bahkan membuat orang akan bertanya-tanya tentang status dengan dirinya, yang imbasnya harus banyak berbohong untuk menutupi kenyataan yang ada.
Rayyan sendiri sempat menangis ketika tiba di pesantren, dia menolak tinggal disana bukan karena tidak mau belajar. Tapi karena ingin tinggal bersama ibunya.
"Om, please ... aku ingin ibu," pintanya dengan linangan airmata.
"Kamu ini anak cowok, SMP, ga pantes nangis. Harus gentleman."
"Aku boleh menghubungi ibu dulu kan, Om?" tanya remaja itu dengan pasrah. Namun iPhone-nya telah diserahkan pada pengelola pesantren dan akan diberikan jika hari minggu untuk menghubungi orang tua para santri. Itu berlaku untuk semua penghuni pesantren agar tidak mengganggu proses belajar.
Dan bocah perindu kasih sayang ibu itu pasrah saat dibawa masuk ke kamar barunya, yang bukan di rumah orang tuanya. Melainkan tempat asing lainnya. Meski dengan status agar cerdas dan faham agama, tetap saja dia masih belum bisa menerima keputusan sepihak dari Wildan.
*
Kembalinya sang suami disambut dengan penuh suka cita oleh Kirana yang mengenakan gamis bunga-bunga dan kerudung pink. Menandakan dia sangat bahagia dengan keceriaan dari nuansa pakaian yang dia kenakan.
Setelah berbasa basi dengan Abi dan Ummi, mereka sudah tak sabar untuk hanya berduaan saja. Itu umum dialami pengantin baru. Hingga ketika tak ada sesiapa di sana, Wildan mengangkat tubuh Kirana yang mungil dan menggendongnya menuju kamar.
"Mas, malu kalau ada yang lihat." Mata bulat Kirana semakin menggoda saat bermanja dengan gaya marah-marahan. Membuat sang suami semakin tertantang untuk melihat lebih jauh tingkah istrinya kala diatas ranjang.
"Sudah selesai haidnya?" bisik Wildan di telinga bahkan menempel di pipi sang istri.
Kirana mengangguk malu, lalu pintu kamar tertutup rapat dan Wildan sudah tak sanggup menahan bendungan hasrat yang berhari-hari tertahan.
Kembali dia membuka kerudung sang istri dan memposisikan diri diatasnya. Lalu mulai melakukan pemanasan untuk menambah gairah persatuan mereka. Supaya lebih akrab keduanya saling mengobrol juga meski tangan mereka bermain dimana-mana.
"Rayyan gimana, Mas?" tanya Kirana ketika asik memegangi kepala suaminya.
"Jangan bahas itu dulu. Dia baik-baik saja." Wildan mengecup bibir Kirana.
"Iya tapi ... kok aku cemas terus ya?" Kirana menahan rahang suaminya dengan kedua tangan.
"Dia baik-baik saja kok. Udah kita selesaikan saja dulu."
"Dia ga bisa dihubungi, jadi aku cemas. Kamu juga ga bilang kalau jemput dia dan bawa dia hari itu juga."
"Ck! Kirana, kita lagi bulan madu ... please lupakan dulu anakmu itu!" Omel Wildan dengan penekanan, "HPnya di charge kali."
"Masa di Charge sampe berjam-jam ga aktif, Mas ? Aku cemas. Disana dia kan Cuma sama ART?" Kirana mulai panik.
Wildan bertolak pianggang, "Ini Cuma alasan kamu karena ga mau disentuh ya? Hah? Kamu lebih mikirin anak bule itu daripada suamimu sendiri?" omel Wildan.
"Astaghfirullah, kok Mas Wildan jadi marah begitu? Aku kan cuma nanya dan cemas. Dia anak kita sekarang." Kirana berusaha tenang meski terkejut dengan cara marah suaminya yang baru dia ketahui, tapi dia harus bersabar untuk mengenali suaminya.
"Ya sudah, lupakan." Lirih, Kirana berusaha mengalah pada suaminya.
"Ah sudah! Aku sudah tak berselera!" Wildan meraih baju dan memasangnya kembali di tubuhnya.
"Ya ampuun, kok marah kamu gitu sih? Maaf ya." Kirana tersenyum dan memeluk Wildan dari belakang. Tapi ditolak.
Akhirnya dia parsah karena Wildan memilih keluar kamar, lalu kembali dengan kopi panas di tangan dan menonton televisi seroang diri.
Kirana hanya termenung, menatap suaminya yang ternyata sedikit pemarah. Namun kecemasan luar bisa semakin menyelimuti dirinya. Kemana Rayyan? Tidak etis jika dia menuduh Wildan melakukan sesuatu yang jahat pada anak itu. Karena dia yakin, suaminya adalah orang baik.
*
Wildan membuka mata ketika adzan shubuh berkumandang. Dia melihat sang istri telah bangun lebih dulu, tapi sibuk dengan ponsel dan menghubungi seseorang.
"Paman, yakin kalau dia sama Wildan pergi ke Jogja?" tanya Kirana di telepon, "emmm ga sih, Mas Wildan baru pulang dan belum bahas Rayyan. Ya sudah, maaf ganggu shubuh-shubuh ya. Salam buat bibi sama Bagas." Kirana menutup telepon.
Ketika berbalik sorot mata Wildan mengarah padanya dengan tajam. Tampak dia tidak suka dengan apa yang dilakukan Kirana.
"Kamu ga percaya suamimu?" tanya dia sengit.
"Mas, aku tuh lagi panik. Aku tanya sama kamu, kamu jawabannya ambigu. Wajar aku bingung dan tanya Paman." Kirana berusaha menjawab setenang mungkin.
"Kalau begitu sekalian aja kamu juga balik ke sana. Ke paman kamu!"
"Astaghfirullah, Mas. Kamu sadar dengan yang barusan kamu katakan? Itu sama saja kamu mengucap talak secara halus atau sindiran," protes Kirana sengit.
"Oh jadi kamu mau aku ceraikan? Ok, apa kamu mau balik sama bapak si bule itu hem?"
"Mas, Allahu Akbar..., istighfar ... kamu ini kenapa?" Kirana memegangi dadanya yang terasa sakit.
Sementara Wildan mengusap wajah dengan kasar lalu mengacak rambut juga. Sejurus kemudian meninggalkan istrinya yang terisak ke kamar mandi.
Dia mengguyur tubuhnya yang terasa panas setiap kali mendengar nama Rayyan. Karena yang dia ingat setiap kali nama itu terlontar dari bibir sang istri adalah ayah dari anak itu. Dia cemburu, dia tidak bisa mengendalikan perasaannya.
Sejak kejadian di taman Wildan ragu untuk melanjutkan pernikahan, tapi ego dan ketakutan akan nama baik diri dan keluarganya rusak, akhirnya nekat menerima Kirana meski jelas hatinya lebih condong untuk membatalkan. 3
Sekarang nasi telah menjadi bubur, dia tidak menyangka emosinya akan sering meledak-ledak jika membahas Rayyan. Padahal sejak awal memutuskan tetap menikahi Kirana, dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk menerima Kirana dan anaknya.
Sementara Kirana, selalu teringat akan anak yang telah dia janjikan akan hidup bersama pasca pernikahan. Bahkan dia sempat ragu untuk menikah jika Wildan tidak menerima Rayyan, tapi janji manis sang calon suami telah membuatnya luluh. Apalah daya, tidak sesuai kenyataan.
Yang diingatnya, dia dan Wildan akan sama-sama belajar menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing sambil mengarungi bahtera pernikahan. Karena mereka sadar, tidak mudah menyatukan dua manusia yang sudah pasti berbeda watak, sifat dan impian. Namun ketika menikah keduanya memiliki persamaan, yaitu ibadah.
Bersambung part 17
No comments:
Post a Comment