Part 15
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Wildan memarkirkan mobil Toyota Rush warna hitam di depan rumah, lalu masuk dan langsung menuju kamar. Dia lemparkan tas ke tempat tidur, lalu duduk dan meremas rambutnya. Masih tidak tahu harus bagaimana menyikapi kejadian tadi.
Melihat Kirana ada dalam genggaman pria lain sangat menyakiti hatinya, cemburu. Namun juga melihat wanita itu meraung menangisi nasib, sungguh membuatnya tak tega. Tangisan pilu di hadapan banyak orang berhasil membuat Wildan tak mampu berkata apa-apa. Dan memilih pulang setelah Kirana dipapah Bibi dan Ustadzah Maryamah menuju kediaman guru ngajinya.
Sementara William dan Rayyan terlihat di belakang mereka.
"Wildan ...." suara Ummi Wildan mengejutkan pria itu, segera dia tunjukkan sikap biasa saja. Lalu membuka pintu.
"Ya, Mi?" Dia tersenyum memandang sang ibu.
"Besok ke tempat catering ya, ajak Kirana lagi. Jam sepuluh, jangan telat gitu ya." Ummi tersenyum penuh impian dan harapan.
Ibu Wildan itu memang sudah sejak lama mengharap putra sulungnya membina rumah tangga. Memberinya cucu agar tak kesepian, setelah adik Wildan menikah dan tinggal dengan suaminya. Dia selalu sendirian di rumah jika Wildan bekerja, apalagi jika Abi Masykur ke tanah suci.
Wildan hanya mengangguk, dan kembali menutup pintu kamar setelah Umminya pergi.
"Ya Allah aku harus bagaimana? Rasanya aneh jika harus menikahi wanita dengan masa lalu seperti Kirana. Masih gadis tapi memiliki anak sudah berusia belasan tahun, sialnya di perkosa juga. Tapi ... Innalillahi ... ada-ada saja manusia zaman sekarang." Wildan membanting tubuhnya ke kasur. Memijat kening yang terasa pening, dan membuang nafas kasar yang benar-benar menyiksa.
Di sudut Jakarta yang lain, William berhadapan dengan Paman Kirana. Keduanya masih saling diam, sedang Rayyan duduk di sisi sang ayah.
"Saya minta maaf atas semua ini, Paman. Tadi saya ... spontan," katanya pelan, "mengetahui Kirana akan menikah, hati saya seperti tidak rela. Padahal saya sadar, saya sudah menikah," lanjutnya dengan tertunduk.
Paman Kirana hanya menarik napas dalam, lalu memandang Rayyan yang juga terdiam. Bocah dua belas tahun itu benar-benar tak menyangka dengan kisah hidupnya, bahwa dia terlahir dengan cara kontroversial. Entah apa yang akan menimpanya kelak, dia tak pernah mampu memikirkan lagi.
"Kamu sekarang mending ikut Daddy dulu ya, Nak Rayyan. Nunggu kondisi stabil. Kakek tahu, kamu pasti senang ternyata Kirana ibu sungguhan kamu. Tapi, kasian dia masih syok." Paman kini menyebut dirinya kakek pada Rayyan.
Remaja itu hanya mengangguk lemah, meski mati-matian menahan bendungan air mata yang sangat ingin dia tumpahkan. Karena sedih harus kembali kehilangan kasih sayang orang yang sangat dia harapkan, Ibu.
Setelah lebih tenang, Willim dan Rayyan berpamitan, keduanya meninggalkan rumah Paman dengan perasaan getir. Karena wanita yang mereka sayangi tidak ada disana. Dia dibawa ke rumah Ustadzah Maryamah agar lebih tenang.
Sepanjang jalan, kedua ayah anak itu pun tak saling berbicara. Bahkan ketika tiba di rumah mewahnya, Rayyan langsung lari ke lantai dua di mana kamarnya berada.
Namun dia mendengar keributan kecil, sepertinya William mengakui semua pada Anna. Rayyan segera keluar kamar, seperti biasa hanya melihat dari balkon.
"Kau benar-benar picik, Wil! Seharusnya kau diskusikan denganku di masa lalu. Kenapa baru kau katakan sekarang ini?" teriak Anna dengan mata yang basah.
"Karena ..., karena aku mencintai Kirana," jawab William jujur.
Dan seketika tamparan keras mendarat kedua kalinya di pipi, kali ini dari wanita yang merupakan istri sahnya. Di tempat yang sama, pipi kirinya. Tak ada perlawanan, dia pasrah sama seperti tadi.
"Dasar bajingan!" teriak Anna, dia merasa suaminya telah menghianatinya.
"Tidak ada perselingkuhan antara aku dan dia, Anna. Semua tetap dengan jalan teknologi, dia wanita yang suci hingga detik ini," bela William.
"Persetan dengan itu! Kau telah menghianati aku dengan mencintai wanita lain. Hanya karena aku tidak bisa memberimu anak? Andai aku tidak menikah denganmu, mungkin aku sudah jadi model internasional. Aku kubur mimpiku demi kau dan dibalas dengan penghianatan!" teriak Anna bahkan berulang kali berusaha meraih suaminya untuk dia pukul.
Tapi William terus menahan tangannya, berusaha menjelaskan duduk permasalahan. Tak ada perselingkuhan antara dia dan Kirana, hanya masalah sel telur saat proses fertilasi.
Tapi Anna yang sudah kadung emosi malah menjerit-jerit dan memaki tiada henti, membuat Rayyan tertunduk masuk ke dalam kamar.
"Mungkin aku harus ikut Teh Kirana, Om Wildan juga pasti menerima aku. Dia orang baik," gumam Rayyan. Dia memegang iPhone dan memandang layar chat whatsapp Kirana. Tapi dia juga tidak tahu, apakah Kirana mau menerimanya? Apa dia sudah berhenti menangis? Dia jadi ragu.
Malam ini, ke lima makhluk Tuhan yang saling terhubung kisahnya tak dapat memejamkan mata dengan tenang.
Wildan masih menimang haruskah melanjutkan pernikahan dengan Kirana? Atau membatalkan. Di sisi lain, dia juga akan malu jika membatalkan pernikahan setelah semua orang tahu bahkan undangan telah disebar. Nama baik orang tuanya jadi pertaruhan.
Namun sangat sulit menerima kenyataan calon istrinya telah memiliki anak berusia tahun. Tidak semua orang akan faham, bila seorang gadis memiliki anak remaja jika bukan karena zina ya harusnya janda. Dia mengacak rambut dengan kasar.
Namun dia juga tidak tega jika membatalkan. Pasti hati wanita itu semakin hancur. Terlihat saat tadi mengetahui tabir sesungguhnya, dia benar-benar seperti tak ingin hidup lagi. Tak terbayangkan jika dia mendapatkan pukulan telak satu lagi dari calon suaminya. Akankah dia tetap memiliki iman untuk tetap waras atau justru dia melakukan tindakan yang mengerikan?
Wildan jadi semakin bingung. Dia tak berani menceritakan ini pada orang tuanya. Dia terlalu takut. Takut mengecewakan mereka karena telah memilih calon yang salah, juga takut membuat mereka terluka dan merasa malu jika kemudian memaksakan diri membatalkan pernikahan.
William, setelah masuk ke ruang baca, dia hanya memegang map berisi data kelahiran Rayyan. Matanya basah, dan dia teringat nasihat Ustadz Misbah. Bahwa segala sesuatu adalah ujian. Dia menarik nafas dalam, berusaha waras dengan keadaan ini.
Saat inilah dia baru menyadari kerinduan pada ibu tercinta yang rela dia tinggalkan demi Anna. Memandang wajah anggun sang ibu di ponsel, hanya itu yang bisa dia lakukan.
"Aku anak durhaka kah, Ibu?" gumamnya dengan terisak seperti anak kecil. Dia berniat menemui Ustadz Misbah besok, bersama Rayyan. Dia sudah tak ada keberanian menemui Kirana. Hanya menyampaikan pesan pada Paman, jika wanita yang dicintainya itu ingin bicara padanya, dia siap dan pasti datang. Dia akan memegang janji untuk tak muncul di hadapan Kirana sampai wanita itu sendiri yang memintanya.
Sakit? Jelas. Itu sangat menyiksa hati dan pikirannya. Tapi apa boleh buat? Untuk menunjukkan rasa cinta, dan untuk menyenangkan yang dicinta, terkadang sang pecinta akan sedikit gila dan rela menyakiti dirinya sendiri. Begitu juga William, dia rela melakukan itu demi Kirana.
Rayyan, seorang remaja dua belas tahun dihadapkan pada masalah yang begitu rumit dan pelik. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana. Nalurinya sebagai seorang anak menginginkan kenyamanan dan kasih sayang seorang ibu yang sejak kecil tak pernah dia rasakan. Dan kini, dia mengetahui siapa ibu kandungnya, tentu harapan dia adalah tinggal dengan sang ibu apapun kondisinya.
Apalagi, bagi dia—Kirana dan Wildan adalah orang yang sangat baik, faham aturan norma dan agama, pasti bersedia menerimanya. Tidak akan seperti Anna yang sangat mementingkan diri sendiri. Dan jelas buka ibu kandungnya. Hanya orang asing.
Rayyan mengangguk pasti pada dirinya sendiri, keputusan pun telah dibuat yaitu akan ikut sang ibu. Apapun kondisi yang akan dia terima. Dia hanya ingin kasih sayang ibunya.
Anna, wanita ini benar-benar dilematis. Di satu sisi dia ingin melepaskan William yang telah menghianatinya. Tapi di sisi lain, dia ketakutan. Apa yang akan dia perbuat pasca melepaskan Wililam? Kembali menjadi model? Adakah yang mau memakai dirinya yang sudah diatas kepala tiga? Kalaupun ada, berapa honor yang mungkin dia dapat? Dia harus memuali dari nol, dan itu tidak mudah bagi dia yang telah mendapatkan segala kemewahan dunia hanya dengan meminta pada suami.
Dia gelisah, memikirkan masa depannya. Terpaksa mengambil keputusan akan tetap hidup bersama sang suami asal ekonomi terjamin. Meski cinta sepertinya telah pudar karena rasa kecewa yang teramat besar. Apa boleh buat? Sekarang fokus hidupnya adalah mempertahankan gaya hidup.
Lalu bagaimana Kirana? Dia masih merenung dengan beralaskan sajadah bulu di kamar tamu Ustadzah Maryamah. Dia sudah lebih baik setelah terus bermunajat, memohon ampun dan berusaha ikhlas akan takdir yang baru saja dia alami.
Percuma menyalahkan Wililam, tapi juga tidak mudah memaafkan begitu saja. Torehan luka dari ayah biologis anaknya itu telah membuat dirinya merasa sakit yang tiada terkira. Mencoba memaafkan, itu adalah uasaha yang sangat berat.
Dia mulai memikirkan kondisi sang anak, Rayyan. Akan bagaimana nasibnya setelah ini. Karena status anak itu jelas anak dirinya. Beruntung anak yang dia lahirkan laki-laki, sehingga tidak terlalu rumit urusan wali kelak ketika akan menikah. Karena bisa tanpa wali, tak selayaknya anak perempuan. Kirana sedikit lega, tinggal memikirkan masa depan dalam hal kehidupan sehari-hari.
Andai Wildan tetap melanjutkan pernikahan, apakah dia akan menerima Rayyan? Namun andai pernikahan itu batal, jelas dia akan hidup berdua saja dengan Rayyan. Merawat anak itu selayaknya seorang ibu yang berjuang untuk anak semata wayangnya.
Dia siap.
Siap dengan kemungkinan terburuk sekalipun. Yaitu menjadi gadis seumur hidup. Gadis rasa janda, atau apapun sebutan yang kelak akan dia terima.
Perlahan, dia bangkit dari sujud dan mengusap airmata yang mulai surut. Meraih gawai dan menyalakannya. Tidak ada pesan dari siapapun, namun dia membuka jendela obrolan dengan putranya, Rayyan.
Senyuman terukir saat melihat foto anak itu, benar. Mirip sekali dengannya.
[Ibu sayang kamu, nak. Kamu harus sabar ya.]
Tulis Kirana dan langsung bercentang biru.
Kembali air mata metes di pipi, saat melihat Rayyan mengetik.
[Iya, bu. Aku akan kuat demi kita. Ibu ...]
Keduanya menangis saat memandang layar ponsel mereka. Rasa rindu kini sangat nyata dan besar. Naluri ibu dan anak semakin terasa, meski sejak pertemuan pertama juga sudah ada.
*
Menurut Ustadz Misbah, status Rayyan lebih erat pada sang ibu. Karena status anak yang dilahirkan dari sewa rahim dapat berstatus sebagai anak di luar perkawinan yang tidak diakui, jika status wanita surrogate-nya adalah gadis atau janda. Dalam hal ini, anak yang dilahirkan adalah 'anak di luar perkawinan yang tidak diakui', yaitu anak yang dilahirkan karena zina, alias akibat dari perhubungan suami atau isteri dengan laki-laki atau perempuan lain.
Miris, sedih dan hancur hati William saat mengetahui hal itu. Dia semakin memaklumi kebencian Kirana kepadanya. Bukan hanya menghancurkan masa depannya, tapi juga menorehkan dosa dan aib yang sangat besar. Bahkan dengan berat hati harus memenuhi keinginan Rayyan yang mengatakan ingin bersama sang ibu.
Dengan diantar sang ayah, Rayyan kembali ke tempat Kirana, namun William hanya berani berdiri hingga depan gang. Dengan penuh harapan dia titipkan pesan pada Rayyan bahwa dia akan menuruti keinginan ibu dari anaknya itu. Untuk menjauh dari hadapannya. Berharap itu adalah sementara waktu saja.
Keharuan terjadi ketika Kirana memeluk Rayyan yang merupakan darah dagingnya. Anak yang terpisah selama lebih dari 12 tahun lamanya. Paman dan Bibi juga Bagas tak mampu membendung airmata mereka yang terus mengalir menyaksikan pertemuan ibu dan anak itu.
Sementara William melangkahkan kaki ke belakang. Meninggalkan putra yang dia harapkan sejak lama, kini berpindah tangan pada yang lebih berhak menjaganya. Keputusan memang telah dibuat, sesuai nasehat Ustadz Misbah bahwa semua adalah ujian. Sedangkan Anna hanya perlu dibimbing untuk lebih baik. Perceraian itu halal, namun di benci Sang Maha Pencipta. Dan istri yang bengkok harus diluruskan dengan perlahan-lahan, bukan dibiarkan apalagi dipaksa lurus dengan kasar.
Terkadang syahwat menyerupai cinta, karena itu William berusaha menarik kembali cinta yang telah hilang pada Anna. Menepati janji selayaknya pria sejati, bahwa dengan atau tanpa anak dia akan setia.
Bagi Anna, itu adalah kemenangan besar. Rayyan memilih tinggal dengan ibu kandungnya, dan dia bisa tetap memiliki sumber uangnya.
"Kita akan memulai kembali dari awal," bisik William saat duduk di sisi istrinya. Keduanya berpelukan dalam diam. Berusaha menumbuhkan kembali apa yang pernah ada dan kini telah pergi. Mereka membahas rencana masa depan, seperti mengadopsi anak atau melakukan surrogate lainnya. Keduanya berusaha tidak menyela atapun menolak ide yang keluar dari bibir masing-masing. Berusaha harmonis.
*
Taman kembali menggeliat dari ramainya pembeli nasi uduk di warung Kirana. Meski ada komentar miring di belakang, kedua ibu dan anak mengabaikannya. Kirana bangga mengatakan Rayyan adalah anaknya pada siapa saja. Tak peduli pertanyaan dan praduga dipikirkan orang-orang. Dia hanya ingin membuat Rayyan bahagia dengan pengakuannya.
William berjanji akan tetap membiayai sekolah Rayyan, tapi ditolak oleh sang anak. Rayyan memilih pindah ke sekolah Bagas. Agar tak membebani sang ibu dan tentu supaya lebih dekat. William pun pasrah, tapi dia tidak menutup pintu untuk sang anak. Bahkan tetap membekalinya uang cash hingga ATM berisi uang jutaan rupiah.
"Bawa saja, jika benar-benar dibutuhkan baru pakai," kata Wiliam saat menemui putranya, "Daddy akan tetap memantaumu, hanya akan menghindari ibumu. Takut dia terluka lagi. Kita akan terus bertemu, kau adalah segalanya bagi Daddy dan harus jadi kebahagiaan bagi ibu. Mengerti?"
Rayyan mengangguk dan memeluk sang ayah.
"Jangan putus kontak dengan Daddy, Nak. Daddy bisa gila. Kau adalah impian terbesarku sampai detik ini." William mengelus rambut Rayyan dengan penuh ketulusan.
"Maafkan aku, Dad. Kadang aku pun ingin kita lengkap. Tapi andai ibu tidak bahagia, aku tidak mau memaksa. Om Wildan pasti menerimaku, dia orang baik dan berilmu, pasti akan tetap menerima kami. Iya kan, Dad?"
Pertanyaan sekaligus pernyataan Rayyan sesungguhnya mengoyak hati sang ayah. Tapi dia hanya bisa mengangguk, berusaha berfikiran positif demi masa depan mereka.
"Ya, karena itu jangan putus kontak dengan Dad. Mereka pasti mengijinkan," jawab William sambil kembali putranya yang sibuk makan. Berulang kali ditawarkan untuk menambah makan Bukan karena mengira putranya kekurangan gizi bersama ibunya. Tapi lebih kepada ingin berlama-lama dengannya.
Dari cerita Rayyan, Kirana sangat memperhatikan kebutuhan gizi dari makanan yang dihidangkan untuk putranya. Jadi tidak ada yang harus dicemaskan. Namun untuk urusan pulsa atau paket internet, terkadang Kirana tidak mengutamakan. Sementara itulah yang menjadi alat komunikasi dirinya dan sang anak. Karena itu William selalu memaksa untuk menggunakan uang yang dia berikan.
Setiap hari, Rayyan membantu ibunya berjualan bersama Bagas. Kehidupan yang keras dan berat mulai di jalani. Terlebih jika Bento datang minta uang keamanan, masih saja dengan mengganggu Rayan.
"Jangan ganggu anakku!" omel Kirana spontan.
"Bah! Macam mana tiba-tiba dia jadi anakmu?" tanyanya keheranan.
"Sudah! Ambil saja uangmu!" Kirana berusaha tidak berurusan dengan preman itu. Dia khawatir Rayyan akan dikerjai nantinya.
"Kita harus pindah kali, Bu." Rayyan mulai takut.
Kirana mengangguk, "Kita akan pindah setelah uang kita cukup."
Tak ada keberanian dari Rayyan untuk mengatakan dia memiliki uang yang banyak. Jatah hidup dar William dia simpan rapat, khawatir sang ibu menolak dan tersinggung. Jadi dia tak pernah menggunakannya. Masih rapi dalam amplop, begitu juga ATM dan buku tabungannya.
*
"Mikirin aku ya? Kirain sudah lupa sama Pak Guru ini," goda Wildan saat Kirana tengah melamun di depan warung yang tak biasanya sepi.
"Mas?" sebaris senyum dia pamerkan, "aku malah mikir Mas yang lupa dan ... mundur. Itu wajar, aku sih ikhlas," lanjut Kirana.
Wildan memang tidak membawa Kirana saat ke tempat catering bersama umminya. Karena takut orang tuanya tahu tentang masalah yang sedang dihadapi calon istrinya. Setelah kembali meyakinkan diri, barulah dia menemui Kirana lagi.
"Ya ga lah. Butuh waktu memang untuk memperbaiki keadaan ini. Ga mudah. Kamu pasti faham. Tapi, pernikahan sudah di depan mata. Hampir satu minggu lagi," ujar Wildan dengan tatapan lurus ke depan.
"Belum terlambat, Mas. Kamu bisa membatalkan. Aku juga ga mau mempermalukan keluargamu." Nyeri, Kirana berusaha tegar mengatakan itu.
"Itu dia, kalau ga dilanjutkan artinya mempermalukan keluargaku." Wildan menoleh pada Kirana yang juga menatapnya.
"Artinya?"
"Ya, sudah. Lanjutkan. Masalah seperti apa nanti, kita jalani saja dulu. Jujur, aku belum berani cerita sama Abi dan Ummi tentang masa lalu kamu. Dan kalau langsung membatalkan, mereka yang akan malu. Apalagi undangan sudah kesebar," papar Wildan, "jadi aku kesini, mau mengatakan bahwa pernikahan akan tetap kita lanjutkan." Wildan terdengar mantap.
Namun Kirana merasa gamang dengan keadannya. Dia menatap Rayyan yang tengah membersihkan meja jualan.
"Rayyan sudah ikut denganku, Mas. Karena dia anakku. Dia juga ingin hidup denganku sebagai ganti masa kecil dia yang jauh dariku." Kirana berkaca-kaca.
Wildan terkejut, bahkan menarik napas panjang.
"Tapi aku sudah putus kontak dengan ayahnya," lanjut Kirana.
"Ya tetap saja, nanti juga akan kontakan lagi demi Rayyan." Wildan tampak tak senang. Cemburu.
"Jadi ... Mas menolak jika aku membawa Rayyan dalam pernikahan kita?" tanya Kirana tegas.
"Bukan nolak, tapi ... belum bisa aku terima. Apa kata Abi sama Ummi dan orang-orang yang tak tahu awal mulanya? Bisa-bisa mereka menuduh kamu yang bukan-bukan dan imbasnya pada keluarga besarku. Tolong pikirkan itu." Wildan sedikit meninggi.
Kirana tertunduk kaku, dia tak mungkin meninggalkan Rayyan demi menikah dengan Wildan. Apalagi baru saja dia berjanji akan merawat anak itu sebagai ganti dari masa lalu.
"Aku akan bicara dulu dengan Rayyan, semoga dia mengerti." Kirana tak punya pilihan. Karena membatalkan pernikahan jelas akan mempermalukan keluarga Wicaksono. Dia juga tidak akan tega mempermalukan orang lain.
Wildan hanya mengangguk, dan mereka berencana membahasnya di rumah nanti. Di rumah Paman dan Bibi sebagai orang tua Kirana saat ini.
*
Wajah Rayyan semakin suram saat mendengar penjabaran Wildan. Bahwa dia tidak akan diajak dalam kehidupan baru ibunya setelah mereka pindah dari rumah orangtua Wildan. Untuk sementara dia akan tinggal dengan Paman dan Bibi yang merupakan kakek baginya.
"Aku faham, Om. Dianggap jadi adik juga aku rela kok. Asal ibu bahagia dengan Om Wildan. Aku benar-benar ga apa-apa," jawab Rayyan berusaha tersenyum. Meski dia merasa miris, baru saja mendapat kasih sayang ibu kandung kini harus terpisah lagi dan entah sampai kapan.
Rencananya setelah pernikahan, Wildan dan Kirana akan tinggal di Jogjakarta. Karena Wildan pindah mengajar di sana. Barulah Rayyan akan dibawa ke rumah baru mereka. Menghindari pertanyaan dari kedua orang tua ayah barunya.
"Om akan kirimkan uang nafkah untuk kamu. Paman dan Bibi juga jangan cemas, insyaa Allah ... setelah semua kondusif, Rayyan akan kami bawa dalam kehidupan rumah tangga kami," papar Wildan meyakinkan mereka.
"Yah, kami bisa apa Nak? Asal Kirana bisa bahagia, juga Rayyan ... kami siap membantu. Semampu kami." Paman menepuk pundak Rayyan yang tertunduk, lalu terangkat dan tersenyum.
"I'm okay, Bu," katanya tersenyum menatap Kirana yang menatap lekat padanya.
Karena sejatinya seorang ibu tahu isi hati setiap anaknya, meski tak diucapkan sekalipun. Namun dia pun dilematis, haruskah mengorbankan Rayyan atau justru mengorbankan martabat dan nama baik keluarga Wildan?
"Ibu jangan cemas, Om Wildan kan bilang aku akan dibawa setelah kalian pindah rumah. Itu paling dua tiga bulan pasca nikah kan? Ga akan terasa kok. Serius, Rayyan baik-baik saja." Anak itu membesarkan hati sang ibu untuk mereguk madu kebahagiaan dalam cinta dan pernikahan.
"Maafkan ibu ya, Nak." Kirana malah tak sanggup mengatakan apa-apa lagi, dia hanya bisa memeluk Rayyan setelah kepulangan Wildan.
Selanjutnya dia hanya harus menghitung hari, untuk menuju pada kehidupan barunya bersama pria yang nanti akan berstatus sebagai suaminya. Yang mana keputusan dan titahnya harus dipatuhi. Suka tidak suka, demi mendapat keridhoanNya....
BERSAMBUNG.......
No comments:
Post a Comment