Part 14
A SURROGATE MOTHER
( CINTA SEORANG IBU PENGGANTI )
Tanggal pernikahan sudah ditentukan, tepatnya satu bulan dari pertemuan kemarin. Memang seharusnya disegerakan, tapi Wildan sedang menjalankan tugas akhir S2 dan juga menghadapi ujian anak sekolah. Mereka masih diberi waktu untuk saling menyelami perasaan dan mempelajari apa itu pernikahan. Karena sejatinya pernikahan bukan hanya sekedar menghalalkan yang haram dari perasaan cinta dua insan, tetap menyempurnakan agama mereka. Beribadah.
Meski begitu, undangan pernikahan telah dipesan. Dan lokasi untuk walimah telah di survey keluarga Wildan. Mereka adalah keluarga terpandang, jadi wajar jika ingin mengundang banyak kerabat dan kolega. Terlebih Ayah Wildan, atau Abi Masykur Wicaksono adalah seorang yang disegani karena biasa menjadi pemandu atau ustadz yang menemani jamaah haji dari Indonesia. Sudah pasti relasinya banyak dan ingin semua orang tahu hari bahagia putra pertamanya.
Itu juga yang membuat Kirana dan Paman menerima lamaran Wildan. Melihat sosok sang ayah siapa saja akan kagum dan tentu merasa beruntung dipinang putra orang sebaik dan sehebat Abi Masykur.
Kirana sangat bahagia meski perasaan gugup sangat menyksa. Setelah sekian orang menolak menikah dengannya, membatalkan lamaran, bahkan menuduh dia sebagai perempuan hina, akhirnya ada pria baik-baik yang ikhlas menerima segala kelebihan dan kekurangannya. Membuatnya tak henti mengucap syukur, berdoa berharap Wildan adalah pria si pemilik tulang rusuk untuk menciptakan dirinya.
Meski begitu, gadis berwajah manis itu masih tetap berjualan seperti biasa, melayani para pembeli dan mereka sudah tahu kalau Kirana akan menikah. Berita dengan mudah menyebar, mungkin benar istilah dinding saja bisa menguping dan menyebarkan apa yang dia dengar. Alhasil selama melayani pembeli dia terus tersipu setiap kali digoda orang-orang.
Pagi ini, Rayyan berjalan ke arah warung, lalu duduk menatap Kirana dengan lekat. Yang dipandang memamerkan senyum yang sangat hangat, melebihi awal pertemuan mereka. Dan ketika tak seorangpun lagi ada di sana, Rayyan mulai buka suara.
"Ingin rasanya dipeluk, tapi pasti dibilang sudah besar. Tidak pantas." Dia tersenyum memamerkan gigi yang rapi.
Kirana menatapnya lekat, lalu mendekat dan mengelus kepala Rayyan dengan lembut.
"Sudah sejak bertemu daddy kamu, aku juga ingin memeluk dan ngelus rambut kamu. Tapi selalu ragu, takut kamu jadi terbiasa dan imbasnya menjauh dari keluargamu."
"Tapi mommy memang tidak sayang sama aku. Wajar aku ingin sekali memiliki ibu sepertimu," ujar Rayyan dengan suara tertahan.
"Aku memang ibumu, status kita dah mahrom kok." Kirana memeluk Rayyan pada akhirnya, membiarkan kepala remaja itu berlabuh di perutnya, dimana dia pernah singgah dulu.
Rayyan tersenyum bahagia, bahkan memeluk erat tubuh Kirana. Dan setelah puas dia bangkit menatap dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
"Andai aku bisa manggil ibu, tapi aku sadar kamu masih gadis. Jadi tetap manggil teteh saja ya," katanya dengan senang.
Kirana mengangguk dan meminta anak itu kembali ke taman, bermain dengan anak sebayanya. Disana ada Bagas dan teman-temannya akan bermain bola. Dan benar mereka meminta Rayyan untuk bergabung, membuat ingatan sang ibu kembali ke masa mengandung sang anak.
"Assalaamu'alaikum," ucap Wildan yang baru datang dan melihat Kirana tengah melamun memandang anak-anak bermain bola.
"Wa'alaikumussalaam." Kirana tersipu melihat calon suaminya berkunjung.
"Besok Umi mau ngajak kamu fitting baju nikah, pagi. Bisa ya? Nanti aku dan Umi jemput kamu ke rumah. Jadi ga usah jualan," ujar Wildan dengan serius dan ikut menatap anak-anak yang bermain bola, menghindarkan matanya untuk menikmati keindahan sang calon istri. Toh hanya harus bersabar hingga bulan depan untuk dapat memandangnya dengan puas, bahkan bisa menyentuhnya dengan leluasa.
"Berapa anak memang yang diinginkan nanti?" goda Wildan spontan saat melihat Kirana akan masuk ke dalam warung lagi.
Sang calon istri mendelik namun tertunduk, tanpa menjawab sepatah kata pun meninggalkan Wildan yang terkekeh geli. Kemudian Pak Guru itu memanggil Rayan dan Bagas, di tangannya memang ada bungkusan plastik.
"Bagikan sama teman-teman ya," katanya sambil menuju kursi taman. Menjadi wasit bagi anak-anak yang sedang bermain bola. Setelah sebelumnya menikmati camilan yang dibawa.
Dari warung, Kirana tersenyum tipis melihat ke arah mereka. Dia semakin yakin bahwa Wildan akan menjadi sumber kebahagiaan. Pasca terakhir kali mengetahui Rega menikah dengan wanita lain di masa lalu.
*
William kembali mengajak istrinya berdiskusi, kali ini dia membawa seorang ustadz untuk mengajar mereka dalam mengenal Allah. Tapi Anna menolak, dia marah karena merasa Wiliam telah dipengaruhi Kirana.
"Gadis itu akan menikah dengan pria lain, jadi kenapa kau masih menuduh aku dipengaruhi dia? Aku ini kepala keluarga, mengemban tanggung jawab kalian dunia dan akhirat." William mencoba menjelaskan dengan sedikit penekanan.
"Terserah, kalau kamu mau belajar ya belajar aja. Belajar itu ga bisa dipaksa, iya kan Pak Ustadz? Tunjukkan saja kalau kau benar-benar udah baik baru aku berubah. Lagipula dimana letak salah dan tidak baiknya aku? Hah?" suara Anna sedikit meninggi.
William lelah berdebat, dia meminta Ustadz duduk di ruang keluarga supaya lebih santai. Menceritakan kegelisahan hati yang selama ini bergelimang harta tapi tak menemukan titik bahagia. Waktu dan tenaga habis untuk mencari kekayaan, namun dengan cepat habis begitu saja. Datang lagi, dan habis juga dengan tak tersisa. Anehnya, meski memiliki semua itu, mampu membeli barang-barang yang diinginkan, tidak ada rasa bahagia yang dia rasakan. Hampa.
Ustadz Misbah tersenyum, dia seorang yang biasa mengisi kajian di kantor-kantor. Dan tadi siang mengisi kajian di kantor William. Jadilah diajak ke rumah untuk membantu kegelisahan hatinya.
"Ujian, kaya dan miskin itu ujian, Mister. Dipakai apa harta yang kita miliki, akan kita pertanggungjawabkan. Dan miskin juga ujian, bagaimana manusia diberikan rasa kekurangan, apakah akan tetap bersyukur atau malah menjadi alasan untuk berbuat lalai dan lalim." Ustadz Misbah tersenyum lemah, "anak dan istri juga ujian. Istri cantik, ujian. Istri tidak cantik juga ujian. Pun sama, istri keras, lembut, atau apapun itu bisa saja ujian dari pernikahan kalian."
William mengangguk, "Apakah masih harus dipertahankan Ustad? Jika jelas dia menolak diajak lebih baik?" tanya William gusar.
"Jawabannya kembali pada diri Mister, cerai memang halal. Tapi dibenci Allah. Dan siapa tahu surga Anda digariskan dari ujian memiliki istri yang keras. Sulit diperbaiki." Jawaban sederhana itu sukses membaut William tertegun dan mengangguk faham.
Jadi, bukan alasan untuk menceraikan Anna bukan? Lagipula Kirana sudah akan menikah.
"Yang pasti, jangan pernah lelah mengingatkan dia," tambah Ustadz Misbah.
"Ustadz? Bisa saya ke rumah Ustadz untuk menceritakan sesuatu yang rahasia, saya belum siap jika istri mendengarnya." Dia sedikit gugup.
"Boleh, tentu boleh. Rumah saya terbuka untuk siapa saja. Sering pada main kok teman-teman dari beberapa perusahaan juga," jawabnya ramah.
William mengangguk pasti. Untuk kemudian menentukan tanggal berkunjung ke rumah Ustadz Misbah.
*
William berjalan ke arah taman dimana Rayyan tengah asik bermain dengan Bagas dan rekan-rekannya. Sudah tiga hari remaja kesayangannya itu tidak pulang, menginap di rumah Bagas. Karena sekarang sudah jelas status dengan Kirana. Maka dia mulai tak betah di rumah mewah milik orang tuanya dan memilih hidup dengan keluarga sang ibu pengganti.
"Dad!" Rayyan berlari dan langsung memeluk pria yang kini cambangnya lebih lebat. Meski tetap saja memesona, membuat para wanita yang ada disana bisik-bisik dan cari perhatian. +
"Dad kangen sama kamu," bisik William. Dia bisa membayangkan andai anak ini tahu siapa ibu kandung dan juga biologisnya adalah Kirana, pasti akan memilih bersama sang ibu. Benar-benar meninggalkannya.
"Hari ini aku pulang, Dad. Kangen juga ngasih makan ikan koi bareng." Rayyan menyandar di bahu kekar sang ayah, "eh, Kirana sudah mau nikah sama Om Wildan. Dad tahu?"
William hanya mengangguk, itulah alasan tak ada keberanian menemui wanita itu lagi. Dia tak mau menyiksa perasaan diri, dan ingin fokus pada perbaikan dalam mengarungi hidup.
"Dad, aku ulang tahun besok. Rencana ingin mengundang orang-orang makan di restoran. Boleh?" tanya Rayyan lagi.
"Sure. Apa yang tidak untukmu?" tatapan William kini teramat sendu. Seolah menyimpan banyak luka yang sangat menyiksa.
Bahkan ketika Rayyan mengambil barang-barang di rumah Bagas, William memilih menunggu di mushola taman. Mencari kedamaian yang pernah dia rasakan di tempat itu. Aneh, meski di tempat sama, tapi tidak ada lagi rasa hangat seperti dulu. Lalu apa yang terjadi dengan dia kala itu?
"Om Bule kok ga disuruh mampir kemari, Ray?" tanya Bagas saat membantu memasukan baju dan buku ke dalam tas.
"Ga mau. Katanya nunggu di mushola saja," jawab Rayyan. Lalu keluar kamar Bagas dan berpamitan. Ketika di luar, dia bertemu Kirana dengan Wildan juga Uminya yang baru saja fitting pakaian pengantin untuk ke dua kali.
Rayyan hanya mencium punggung lengan mereka, lalu pergi bersama Bagas.
Kirana meminta izin mengejar Rayyan sebentar pada Wildan dan Ibunya yang telah disambut Bibi.
"Kamu mau pulang?" tanya Kirana heran. Sekaligus mengedarkan pandangan mencari sosok yang seharusnya ada disana sebagai penjemput.
"Ya, Dad bilang kangen. Jadi aku disuruh pulang." Rayyan memasang tas ransel ke punggung.
"Dimana? Dia ...." Kirana sedikit ragu.
"Menunggu di mushola," jawab Rayyan.
Kirana mengangguk, membiarkan anak itu pergi dengan tergesa. Meski meninggalkan rasa heran di hati, kenapa William jadi menghindarinya? Berulang kali datang ke taman bahkan tidak menyapa Kirana sama sekali. Hanya bermain dengan teman-teman Rayyan lalu pulang setelah menraktir mereka minuman di Mang Udin.
Memang sudah tak sepatutnya dia merindukan goda dan canda seperti dulu. Bukankah dia juga merasa risih? Tapi kenapa ada rasa kehilangan? Dan itu muncul begitu saja di dalam hati. Jika bukan karena Bagas kembali setelah mengantar Rayyan, entah sampai kapan Kirana akan berdiri di mulut gang.
Keduanya segera kembali menuju rumah. Diantarkan oleh pandangan penuh rindu seorang pria yang sejak tadi melihat sosok berkerudung biru itu dari jauh.
"Berbahagilah," katanya pelan. Tak lama Rayyan masuk ke dalam mobil dan mereka pergi.
*
Anna menolak restorannya dijadikan tempat untuk mengundang teman-teman kumuh Rayyan. Di mata dia, orang-orang kelas rendah itu tak layak ke restoran mewah. Kecuali teman-teman sekolah anaknya yang memang rata-rata orang kaya raya.
Rayyan tak patah semangat, dia juga bukan anak manja yang senang merayakan ulang tahun. Dia hanya ingat, besok hari kelahirannya yang mana itu sangat unik. Karena dia dilahirkan dari wanita yang bukan ibunya. Dan dia ingin berbagi kebahagiaan dengan teman-teman yang telah mempertemukan dia dengan sang ibu pengganti.
"Begini saja, Daddy akan bawa makanan dan minuman dari restoran ke taman, acara syukurannya kita adakan di sana saja." William terlihat tenang ketika Rayyan sedang mencari tempat lain untuk mengundang temannya. +
Ide itu sukses membuat Rayyan bersemangat kembali, meski Anna malah mendesis kesal. Merasa tindakan suami dan anaknya sudah di luar batas kewajaran. Namun mendebat mereka juga percuma karena dianggap telah dipengaruhi oleh Kirana.
Hampir semua teman Rayyan di taman datang menghadiri jamuan. Mereka bersuka cita menikmati hidangan yang jarang mereka temui. Setidaknya itulah yang diinginkan sang pemilik acara, teman-temannya ikut merasakan kebahagiaan meski dengan sebab yang berbeda.
"Sekali lagi ini bukan ultah ya, aku lagi seneng karena mengetahui kalau kelahiranku sangat spesial. Inginnya sih memberikan kado terindah buat yang sudah melahirkanku, tapi dia menolak. I love her," katanya dengan berbinar.
William tersenyum bahagia, Rayyan hampir tak pernah sebahagia ini. Jadi dia memilih hadir meski harus bersalaman dengan Wildan, dan sialnya duduk berhadapan dengan Kirana. Namun dia beruaha cuek, berusaha tenang. Mengabaikan sang wanita yang sesekali menatap dirinya masih dengan rasa heran.
Setelah doa bersama, makan malam pun dimulai. Semua sibuk menikmati makanan dari restoran mewah tersebut. Sementara William memilih meninggalkan area makan bersama, sibuk menerima telepon. Sesekali dia memijat tengkuknya berulang kali membahas msalah pekerjaan. Hingga tak sadar Kirana sudah ada di belakangnya, wanita itu juga tidak berniat menemui Wiliam. Tapi kepergiannya ke belakang mushola untuk membuang sampah bekas makanan.
Keduanya tertegun saat saling menyadari berhadapan kembali. William tersenyum dan berniat pergi, meninggalkan Kirana yang masih keheranan.
"Apa aku ada salah?" tanya Kiran memberanikan diri. Karena sejak beberapa hari lalu itu sangat mengganjal di hati dan pikirannya. Entah dorongan apa yang membuat dia berani bertanya pada orangnya langsung.
William berhenti dan menoleh padanya, "Tidak ada. Semua kesalahan ada padaku. Semua ketakutan ini aku yang ciptakan. Aku hanya sedang menghukum diriku sendiri," jawab William penuh misteri.
"Oh, kupikir karena aku. Ya sudah, ayo kita kembali ke sana. Rayyan pasti mencari kita."
"Kita ..., tak seharusnya kau dan aku memakai kata itu, karena hanya menyakiti hatiku yang telah lama robek olehmu." William terlihat tidak suka.
"Apa? Aku ... aku tidak mengerti." Kirana mulai menebak apa yang terjadi, "William ... ah maksudku mister-"
"Jika kau mencintaiku lalu kenapa memilih menikahi pria lain?"
Pertanyaan William membuat Kirana terperanjat. Dia memegangi dada dengan nafas cepat.
"Ini ada yang salah. Maksudku salah faham. Baiknya kita bicarakan nanti selepas acara." Kirana mulai merasakan aura tidak baik dari kebersamaan dengan Ayah Rayyan di belakang mushola ini. Dia segera meninggalkan William yang masih bertolak pinggang menantang langit, wajahnya dia tengadahkan ke atas dengan napas yang terdengar panjang. Berusaha menormalkan perasaan, karena memang sulit sekali mengendalikan yang namanya hati jika sudah bertemu dengan yang diinginkannya.
"Aku mencintaimu, Kirana," tembak William setelah Kirana menjauh beberapa langkah.
Wanita itu berhenti, matanya sedikit melebar dan kembali menoleh pada pria yang masih membelakanginya, "Jangan bercanda. Anda sudah punya istri dan tidak sepantasnya bercanda demikian!" omel Kirana. Seolah lupa untuk mengecilkan volume suaranya. Hingga beberapa orang yang ada di mushola mendengar, bahkan Wildan ada disana.
"Kau benar, aku tidak boleh jatuh cinta pada wanita lain. Aku sudah mencobanya Kirana. Tapi ... bagaimana aku tidak jatuh cinta padanya setelah dia berhasil mengandung anakku ... dia juga merampas ketenangan hidupku, bahkan sejak masih di Hongkong. Pesonanya talah menembus jantungku! Ya jantungku. Disini!" William menunjuk dadanya dan mendekat pada wanita yang telah mengisi semua sudut sejak bertahun-tahun lalu.
Dada Kirana bergemuruh, dia sedikit gemetar dan menatap tajam ke arah William. +
"Istighfar William, kau seorang ayah. Bukan pecinta muda yang labil." Dia mencoba menenangkan rasa panik yang seolah melemahkan syaraf-syarafnya. Beruntung masih mampu berdiri meski dengan mata sedikit basah dan tangan bergetar spontan.
William mengusap wajahnya kasar, "Andai aku bisa mengatakan itu pada hatiku." Dia semakin dekat pada Kirana yang mundur dan hampir jatuh. Namun dengan cepat William menarik tangannya, bahkan membuat tubuh mereka sangat dekat hingga hanya pakaian mereka yang menghalangi.
Mata keduanya bertemu, dan bibir tipis itu gemetar berusaha menyebut asma Allah agar disadarkan dari kegilaan ini. Bahkan tangan William memaksa wanita itu menaruh kelima jarinya di dada. Agar dapat merasakan debaran hati yang seolah memanggil nama ibu dari anaknya.
"Kau merasakannya? Pasti kau merasakannya ... karena kau juga mencintaiku," bisik William menatap manik mata hitam itu.
"Demi Allah ini salah, tak seharusnya kita seperti ini." Kirana meronta tapi genggaman itu sangat kuat di pergelangan tangannya.
Wildan yang berada di mushola keluar dan terkejut melihat calon istrinya bersama ayah Rayyan bahkan seolah tengah berpelukan.
Tidak hanya Wildan, tapi Paman dan Bibi juga datang ke tempat itu. Kemudian Rayyan dan orang-orang yang biasa berjualan di sana juga mendatangi arah suara.
"Apa-apaan ini? Apa kalian sudah gila?" teriak Wildan dengan nafas menderu. Sementara Kirana masih berusaha melepaskan tangannya dari genggaman William.
"Dad?" Rayyan bingung tapi tak berani mendekat. Tangannya ditahan Bagas agar tidak ikut campur urusan orang dewasa.
"Aku tidak ingin Rayyan terpisah lagi dari ibunya, aku ingin kalian selalu bersama." William menatap wajah Kirana yang masih berusaha menarik diri darinya, tak memperdulikan setiap ucapan yang keluar dari bibir pria berkulit putih itu, "aku ingin menyatukan dia dengan ibu kandungnya yang juga ibu biologisnya, pemilik genetik atau sel telur darimana ia diciptakan. Sudah terlalu lama aku memisahkan kalian berdua. Dan aku tidak bisa membiarkan kalian terpisah lagi, nak."
Kirana berhenti meronta, dia menatap tajam manik mata William yang juga tengah menatapnya dengan sangat dalam.
"Apa maksdumu?" tanya Kirana dengan tatapan yang menusuk penuh tanya.
"Dad kau ini bicara apa?" Rayyan mendekat, berdiri tak jauh dari ibu dan ayahnya.
"Tidakkah kau sadari dia sangat mirip denganmu? Lihat bulu matanya yang lentik, lalu mata bulat kalian ...." William memandang Kirana yang kini menoleh ke arah Rayyan yang berdiri tak jauh darinya.
"Apa semua ini?" bisiknya dengan bibir bergetar hebat.
"Kau adalah ibunya Rayyan, tidak hanya ibu pengandung atau surrogate. Kau adalah pemilik sel terlurnya." William menjawab pasti.
Kirana bagai tersambar petir, matanya melebar dan menatap tajam William dengan sorot kemarahan. Saat itulah tangan William terlepas, membiarkan jari-jari yang bergetar itu membekap bibirnya yang terus beristighfar.
"Astaghfirullah ...," dia tak mampu berkata lebih banyak. Tubuhnya ambruk dan napasnya seperti terhenti, beruntung Bibi segera lari dan memeluknya. Rayyan sendiri beku menatap wanita yang dikatakan sebagai ibu biologisnya, tapi dia masih benar-benar bingung hingga hanya mampu terpana tak bergerak sedikitpun.
Sementara Wildan menatap William dengan tajam, lalu menatap Kirana yang masih tersengal-sengal. Tangannya mengepal kuat, menoleh pada setiap orang yang mulai membisikkan apa yang mereka pikirkan. Hingga mata itu berakhir pada calon istrinya yang tengah gemetar dalam pelukan bibinya.
"Maafkan aku, Kirana." William buka suara lagi, "selama hampir dua belas tahun aku seperti mengalami hukuman mengerikan. Setiap menatap anakku sendiri aku terluka, aku membayangkan dirimu, merasa bersalah padamu. Dan akhirnya aku menyadari perasaanku, namun tak sanggup mencarimu karena tidak bisa menyakiti istriku." +
Isakan mulai terdengar dari Kirana yang masih dipeluk Bibi, dan lelehan bening bagai anak sungai yang terus mengalir di pipinya. Bibirnya terus komat-kamit mengucapkan kalimat-kalimat yang mampu menenangkannya.
"Kau layak mendapatkan hukuman lebih buruk lagi!" dengan bergetar Kirana mulai membuka suara. Kini matanya menatap tajam ke arah William yang tengah menatap penuh harap padanya.
"Kau kira aku akan bangga? Aku akan terharu? Hah? Kau sadar tidak? Kau telah merenggut kegadisanku dengan cara yang mengerikan! Kau sama saja dengan memperkosaku! Mau berapa banyak lagi dosa yang akan kau berikan untukku? Katakan!" Kirana bangkit dan William mendekat padanya.
Namun tamparan keras didaratkan Kirana di pipi kiri William. Bekas merah tak membuat William mengurungkan niat untuk berlutut di hadapan wanita yang amat dicintainya.
"Maafkan aku," bisiknya lirih.
"Aku tidak bisa memaafkanmu. Kau sudah membuatku hancur. Bahkan aku kehilangan Abah, gelar pendidikanku, masa depanku! Semua tidak akan bisa kau gantikan!" Kirana terus terisak.
"Istighfar neng, kita bicarakan di rumah." Bibi mengingatkan karena kini mereka ditonton banyak orang.
"Tidak, Bi. Demi Allah aku benci sekali pada dia! Aku benci kau, William!" teriak Kirana. Membuat William terhenyat dan tubuhnya bergetar. "Menjauhlah dari kehidupanku, dan jangan pernah tunjukkan lagi wajahmu di hadapanku!" Teriak Kirana lagi, "Astaghfirullah ... Allahu Akbar." Kirana tak mampu menguasai diri lagi, berulang kali dia mengucap istrighfar dan mengagungkan Allah, tapi sepertinya hatinya sudah benar-benar hancur. Emosi tak terbendung lagi. Sebaik apapun pertahanan iman dia hari ini bagai tak berarti.
"Enyahlah dari kehidupanku!!" Pekiknya lagi. Lalu memeluk Bibi denga raungan yang memilukan.
Pengakuan William membuatnya kembali mengingat bagaimana kehidupannya pasca kembali dari Hongkong. Semula baik-baik saja karena tidak ada yang curiga. Bahkan dia kembali melanjutkan kuliah, membiayai pengobatan Abah. Bahkan lulus dengan predikat terbaik. Hingga suatu hari dia dan Rega berencana menikah. Petaka itu dimulai.
Kirana jujur pada Rega soal menyewakan rahim. Rega yang masih tidak faham malah bertanya pada sang ibunya yang juga tak mengerti apapun tentang surrogate. Yang akhirnya menuduh Kirana telah melacur dengan menyewakan rahim di luar negeri.
Ibu Rega menyebarkan gossip itu pada semua orang, "Pantas banyak uang dan tinggal di Hongkong. Mana ada TKW bisa sekaya itu hanya kurang dari dua tahun."
Hingga akhirnya berita itu tiba di telinga Abah.
"Apa itu benar, Neng?" Abah tampak syok. Meski Kirana menjelaskan prosesnya, tetap saja sang ayah tidak terima. Dia kecewa pada putrinya yang telah berbohong. Bahkan bisa saja semua proses yang diceritakan adalah sebuah kebohongan lainnya.
"Abah tak sudi dibiayai uang haram. Uang hasil lacur. Ini sama saja lacur!" teriak Abah. Amarahnya terus memuncak dengan mengambil semua barang penting milik Kirana yang terindikasi dibeli dari uang haram tersebut. Ijazah, buku tabungan, bahkan uang tunai yang disimpan putrinya dibakar tanpa ampun.
Kirana pasrah menyaksikan semua yang dia raih dengan jalan salah itu punah dalam hitungan detik. Namun yang paling membuat dirinya semakin terpuruk adalah ketika esok paginya Abah ditemukan tak bernyawa karena serangan jantung di kamarnya.
Gadis itu hancur, bahkan orang-orang menjadi antipati padanya, mengejek dan merendahkan. Dalam keterpurukannya, dia dibawa oleh Paman dan Bibinya ke Jakarta. Kemudian diperkenalkan pada Ustadzah Maryamah dan tinggal dengan pengurus majelis taklim itu.
Ustadzahlah yang mengubah Kirana, hingga lebih tenang dan menerima takdir dengan lapang dada. Taubat dan memohon ampun dari kekhilafannya di masa lalu. Dan menjadi lebih bijak dalam bersikap.
Namun, malam ini ... hatinya kembali terluka. Pengakuan William telah mengoyak luka lama dan menjadikannya semakin menganga. Dia tak mampu mengendalikan amarah hingga berucap kalimat kasar pada ayah dari anak kandungnya itu. Ya, Rayyan adalah anak kandung dalam artian darah daging Kirana karena dihasilkan dari sel telurnya. Membuat status hukumnya lebih erat pada si ibu pengandung dan juga pemilik sel telur, karena dilahirkan di luar pernikahan. Jadi perwaliannya ada pada ibunya. Karena statusnya menjadi anak diluar pernikahan.
*
Kirana masih menangis sesenggukan di rumah Ustadzah Maryamah paska kejadian tadi. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam, semua orang sudah pulang termasuk Wildan yang tak mengeluarkan sepatah kata pun ketika pergi. Pun William dan Rayyan, sekarang berada di rumah Paman Kirana.
Kekecewaan pada William telah membuatnya benar-benar tak ingin bertemu pria yang di masa lalu selalu membuatnya tersenyum. Bahkan entah bagaimana nasib rencana perkawinannya. Apakah Wildan akan meneruskan? Atau membatalkan lagi? Dia pasrah. Dia hanya ingin menangis, karena sebagai manusia biasa dia juga memiliki rasa sakit dan kecewa.
Ustadzah Maryamah hanya menemani Kirana yang masih menangis di kamar yang sama saat pertama kali dia datang ke tempat itu. Sesekali mengajaknya beristighfar dan mengingatkan untuk tidak berlarut dalam kesedihan. Meski beliau juga sadar, itu bukan hal mudah.
"Ini hukuman atau ujian Ummi? Kirana sudah lelah," isaknya lebih tenang.
"Hush, istighfar Neng. Ga boleh bilang kaya gitu. Allah ga mungkin menguji hambanya diluar batas kemampuan. Percayalah, ini semua sudah digariskan dan pasti ada pemecahannya." Ustadzah Maryamah mengelus kepala Kirana.
"Kenapa harus ada orang sejahat William? Berwajah malaikat berhati kejam."
Ustadzah menarik nafas, "Semua karena minimnya ilmu, enggan mencari tahu. Dia tak sepenuhnya salah. Pun dirimu ga salah. Sekarang gimana caranya saling memperbaiki, demi anak kalian."
Kirana tertegun. Istilah 'anak kalian' membuatnya terenyuh sekaligus miris. Benar, semua telah terjadi dan Rayyan telah tumbuh besar. Tidak ada gunanya menyalahkan masa lalu. Lagipula semua tak akan pernah kembali seperti semula.
"Kamu, akan menerima William demi Rayyan, atau tetap melanjutkan dengan Wildan?" tanya Ustadzah dengan tenang.
Jawaban dari pertanyaan itu mudah tapi sulit direalisasikan di kenyataan. Dia tidak tahu Wildan akan tetap menerimanya, atau justru meninggalkannya lagi.
Lalu William? Dia sudah beristri bukan? Siapkah Kirana dengan sebutan pelakor dari masyarakat nantinya? Karena seperti semua orang tahu, mulut manusia sekarang lebih senang mengomentari kehidupan orang lain yang tak mereka ketahui detailnya. Yang berakhir menjadikan mereka ghibah berjamaah.
BERSAMBUNG....
No comments:
Post a Comment