CINTA TIGA HATI - Part 5
“Sayang, kamu mau makan burger apa ayam goreng?” Seorang gadis tertawa sambil bertanya pada pemuda di sampingnya.
“Kamu pinginnya apa?”
“Yah, aku sih terserah tapi lebih suka ayam goreng,” jawab si gadis dengan senyum terkembang. Pemuda di sampingnya hanya tertawa.
Mereka lalu memesan dua porsi ayam goreng dan memakannya di teras mall. Apa pun yang diinginkan Vanesa, Ronald selalu menuruti.
Apa pun itu. Meski awalnya mereka selalu memesan makanan yang berbeda tapi pada akhirnya Vanesa akan mencoba keduanya.
Ronald tidak keberatan jika harus menghabiskan sisanya.
Suara tawa bahagia mendadak hilang saat Vanesa terjaga dari tidurnya.
Mimpi masa lalu kembali membayangi.
Tentang dia dan Ronald, dulu. Entah apa penyebabnya, kenangan membanjiri alam bawah sadarnya. Mungkin karena kini mereka tinggal serumah.
Meski jarang berbicara tapi setidaknya setiap hari bertatap muka.
Vanes bangkit dari ranjang, sedikit tertatih menuju jendela dan membuka gorden. Matahari sudah muncul. Dengan sigap dia menggelung rambut dan berjalan menuju kamar Sean.
Aroma kopi menyerbu indra penciumannya dan bau masakan. Seperti mentega dan keju yang dilelehkan.
Penasaran Vanesa melongok ke dapur dan melihat Ronald tampak sibuk dengan panggangan. Yang lebih mengejutkan, Sean ada di sampingnya. Duduk manis di atas kursi bayi.
Vanesa mengamati pemandangan di depannya. Tanpa sadar matanya menerawang memandang sosok laki-laki di depannya. Harus mengakui dalam hati jika Ronald terlihat sexy dalam balutan kaos oblong tipis yang memperlihatkan punggung kekar dipadu celana khaki sedengkul.
Sexy, jantan dan tampan. Kombinasi yang berbahaya.
Mengabaikan pikiran-pikiran aneh, dia melangkah menghampiri Sean.
“Hai, jagoan Mama. Sudah bangun, ya?” dengan cekatan tangannya meraih Sean dalam gendongan. “Duuh, sudah wangi juga. Pintar deh!” Sean terkikik di lengannya.
“Aku sengaja nggak mau bangunin kamu, takut masih pulas.
Sesekali biar menikmati tidur yang agak panjang.” Suara Ronald terdengar dari samping westafel.
Vanesa menoleh dan tersenyum kaku. “Terima kasih tapi memang harus bangun pagi hari ini. Ada janji penting.”
“Duduklah, aku sudah buatkan sarapan. Roti panggang isi tuna kesukaanmu dan kopi.”
Mulut Vanesa membuka ingin menolak tapi Ronald bergerak cepat. Menarik kursi dan menekan bahunya lembut.
“Duduklah, Vanes. Sesekali sarapan denganku tidak akan membuatmu keracunan.”
Mengabaikan sindirian Ronald, Vanesa duduk di kursi dengan Sean di pangkuannya.
Roti panggang dengan isi tuna keju tersaji di atas piring kecil. Ronald meletakkan di depannya beserta kopi panas yang masih mengepulkan uap.
Dengan tenang Vanes menggigit roti sambil menggoyang pahanya agar Sean tenang. Mau tidak mau mengakui jika keahlian Ronald dalam membuat roti tuna masih sehebat dulu.
Pun dengan kopinya.
“Minggu depan, Anisa datang dari Kuala Lumpur. Dia ingin bertemu denganmu.” Ronald menarik kursi di sebelahnya dan mulai memakan rotinya sendiri.
“Kakak perempuanmu?”
Ronald mengangguk. “Terakhir dia pulang pas pernikahanku dengan Mili. Sekarang dia pingin lihat adik ipar baru,” ucapnya sambil tersenyum.
Vanesa mengangguk. Ingatannya berputar pada sosok Anisa yang dibicarakan Ronald. Tinggi, putih, langsing dengan mata setajam elang dan mulut yang … yah.
Mereka hanya saling menyapa tanpa benar-benar berkenalan. Wajar jika Anisa tidak mengingatnya.
Mili dulu pernah mengatakan jika kakak perempuan Ronald tidak menyukainya. Apakah dia akan bernasib sama? Sementara ini dia tidak mau ambil pusing soal ini.
“Apa aku harus mempersiapkan sesuatu untuk menyambut kedatangannya?” tanya Vanesa pelan.
Ronald menggeleng. “Tidak, dia akan baik-baik saja.
Mungkin di Jakarta hanya beberapa bulan. Tidak akan lama.”
Hening, hanya terdengar denting cangkir kopi beradu dengan tatakan.
Vanesa menghabiskan sarapannya dengan cepat lalu bangkit dan membawa Sean di pinggangnya.
“Vanes, mau tambah lagi?”
“Tidak, kenyang. Terima kasih.”
“Kamu tahu, jika kamu mau aku bisa buatkan sarapan untukmu setiap hari dan kita bisa berbincang seperti ini.”
Vanes memandang Ronald yang terdengar sangat berharap.
Menarik napas panjang dia menjawab lemah. “Aku bisa membuat sarapan sendiri jika mau. Nggak perlu repot-repot, Kak.” Sebelum akhirnya berlalu dari dapur.
Ronald memandang sosok istrinya dengan anak di gendongannya.
Tanpa sadar memijit pelipis.
Penolakan demi penolakan yang dia terima dari Vanesa tidak akan menyurutkan niatnya untuk memperbaiki hubungan mereka seperti dulu.
Meski hatinya terasa sakit juga jika diabaikan.
Ini belum seberapa, anggap aku sedang mendekatinya untuk kencan pertama kami. Desah Ronald dalam hati.
“Mbak Vanes, apa nggak repot?
Setiap hari bekerja sambil mengasuh bayi?” Seorang klien yang merupakan wanita paruh baya berpenampilan menarik, bertanya sambil menatap Sean yang tertidur di kereta dorongnya.
Vanesa tertawa, tangannya sibuk menghitung angka-angka di atas kertas.
“Sudah terbiasa Bu Tuti, lagi pula kasihan kalau saya tinggal dia akan kesepian.”
Bu Tuti hanya manggut-manggut tanpa kata.
Matanya memandang bergantian antara Vanesa yang sedang serius menghitung dengan Sean kecil yang tertidur damai.
Bu Tuti seorang wanita beranak empat dengan suami yang juga pengusaha kain yang sukses. Ke empat anaknya sudah besar dan tidak lagi memerlukan asuhanya.
Untuk mengisi waktu luang dia berniat membuka usaha waralaba roti milik perusahaan Vanesa yang terkenal enak.
Kesepakatan dicapai, Bu Tuti menyewa tempat di sebuah ruko berlantai dua di area perkantoran yang ramai.
Banyak berjejer restoran dan warung makan di area sini tapi belum ada satu pun toko roti. Saat pertama kali dia menunjukkan tempat usahanya pada Vanesa, langsung mendapat anggukan setuju.
“Tempat ini bagus, strategis dan terutama saingan toko roti belum ada dari jarak tiga kilo meter. Ini bagus,” komentar Vanesa membuat Bu Tuti bersemangat.
“Semua sudah saya hitung, nanti untuk distribusi barang-barang akan dilaksanakan di hari pembukaan.” Vanesa menyerahkan catatannya pada Bu Tuti yang menerima dengan senyum terkembang.
“Saya sama sekali nggak menyangka anda sudah menikah, Mbak Vanes.
Saya pikir masih bujang. Hampir saja saya mau menawarkan untuk mengenalkan Mbak Vanes dengan adik saya,” ucap Bu Tuti sambil tertawa.
Vanesa menanggapinya dengan senyum ramah. Ini bukan pertama kalinya orang berkomentar tiap kali dia membawa Sean.
Di usianya yang baru menginjak dua puluh lima, memang dia terlihat terlalu muda untuk punya anak.
Vico bahkan sering mengatakan jika wajahnya terlalu imut untuk ukuran wanita dewasa. Ah, Vico yang manis. Mengingatkan sering kali membuat Vanesa mendesahkan sesal.
Semenjak pertemuan terakhir mereka di hari pernikahannya. Vico sama sekali belum menghubunginya lagi. Itu bagus menurut Vanesa, dengan begitu dia berharap Vico cepat menemukan penggantinya.
Selesai urusan dengan Bu Tuti, Vanesa membawa Sean yang masih tertidur pulas di kursi bayi, pulang ke rumah.
Hari ini urusannya berakhir lebih cepat dari yang seharusnya. Sean terbangun saat mesin mobil berhenti.
“Anak Mama bangun ya? Yuuk, kita makan trus mandi, ya?”
Kejutan menanti Vanesa di depan pagar rumahnya. Dalam bentuk Vico yang tersenyum manis dengan buket bunga di tangannya.
Vanesa menatap heran. Tidak menyangka akan melihat Vico berdiri di depan rumahnya.
“Hai, Sayang. Baru pulang, ya? Apa kabarmu? Ini bunga untukmu.
” Dengan senyum polos tersungging di bibir, Vico menyerahkan buket bunga untuknya.
“Ada apa, Vico? Kenapa bisa di sini?” tanya Vanesa heran.
Vico tertawa. “Duuh, jauh-jauh aku ingin melihatmu dan kamu jutek sekali, Vanes,” ucapnya dengan nada sedih.
Tangannya terulur untuk mengelus rambut Sean. “anak ganteng. Mamamu galak sekali ya sama Om.”
Vanesa membiarkan anaknya bermain dengan laki-laki tampan di depannya.
Dari ujung matanya dia melihat banyak tetangga keluar pintu rumah mereka hanya untuk melihat apa yang terjadi di depan rumahnya.
Vanesa tidak menyukai segala macam gosip yang akan timbul jika Vico tidak buru-buru pergi dari sini.
“Pergilah Vico, jangan datang lagi,” usirnya dengan sopan.
Vico menarik tangannya dari rambut Sean dan memandang Vanesa.
“Aku kangen, Vanes. Plaese, jangan usir aku.
Setidaknya buatkan aku secangkir kopi dan kita bicara sebentar, untuk mengobati rindu.”
Vanes menggeleng tegas. “Tidak bisa, akan ada banyak gosip jika aku membiarkanmu masuk ke dalam rumah sedangkan suamiku belum pulang.”
“Hah, suamiku? Jadi sekarang Vanesa menyebut Ronald si brengsek itu dengan kata suamiku?
Baru juga menikah beberapa minggu dan hatimu lemah kembali Vanes!” ucap Vico pedas. Terselip nada kecewa di kata-katanya.
“Itu urusanku,” jawab Vanesa dingin.
Vico tertawa sinis. Tangannya mengacung dan menunjuk Vanesa dengan liar.
“Vanesa, kusangka kamu lebih dari ini. Apa kamu lupa jika dia menghianatimu dengan Mili? Dan sekarang kamu juga menyerahkan dirimu padanya?
Hebat sekali itu manusia!” teriaknya kesal.
Sean yang kaget karena teriakan Vico menangis dengan kencang.
Dengan sigap Vanesa menenangkannya.
“Pergilah Vico, kamu menakuti anakku.”
Tangan Vico terentang untuk menghalangi Vanesa masuk tapi diurungkannya saat suara tangisan Sean makin tak terkendali.
Dengan pasrah dia membiarkan Vanesa membuka pagar dan menutupnya kembali. Mata mereka bertemu sebentar sebelum Vanesa berbalik menuju rumah.
“Aku tidak akan pernah berhenti untuk memperjuangkanmu kembali.
Apa kau dengar Vanesa? Aku pasti kembali!”
Mengabaikan suara Vico, Vanesa masuk dan mengunci pintu di belakangnya.
Sean masih menangis dan dari gorden yang sedikit tersingkap dia melihat Vico pergi. Kelegaan menguasai hatinya.
Sungguh sama sekali tidak menyangka akan melihat Vico di sini.
Vico tidak berubah meski mereka tidak lagi bersama.
Tegas dan menuntut, persis seperti dulu saat menganggap jika Vanesa adalah miliknya.
Perasaan Vico juga cenderung meledak-ledak terutama saat cemburu.
Bersamanya Vanesa merasa dicintai tapi juga menjadi beban tersendiri.
Setelah memastikan Sean terdiam dan tenang, Vanesa melangkah masuk kamar untuk memandikannya.
Hari ini dia merasa perasaannya sedikit terguncang karena kemunculan Vico yang mendadak.
“Hai, pengantin baru. Nggak salah lihat aku? Lagi lembur?” teguran Jery terdengar dari pintu kantor Ronald.
Jery tidak dapat menahan cengiran di mulutnya saat melihat boss yang juga teman baiknya berkutat dengan pekerjaan bahkan pada jam pulang.
“Masih ada yang harus diselesaikan,” jawab Ronald tanpa mendongak dari mejannya.
Jery mengangkat bahu.
Dengan langkah lebar berjalan ke arah meja kecil di samping jendela.
Tersedia berbagai minuman di sana dari mulai kopi yang sudah mendingin di mesin dan teh jika dia ingin menyeduh.
Tidak ingin repot-repot, dia menuang kopi di dalam gelas kecil dan membawanya ke arah sofa lalu duduk santai di sana. Mengawasi Ronald bekerja.
“Tahu nggak, Bro. Kalau ada pengantin baru lebih memilih lembur dari pada mengelus istrinya yang cantik jelita maka bisa dipastikan ada dua hal.”
Wajah Jery menatap sahabatnya dengan jenaka tapi Ronald tidak bergeming, tidak juga menjawab kata-katanya.
Mengabaikan sikap acuh tak acuh yang diterima Jery meneruskan omongannya.
“Satu, hubungan suami istri sedang tidak harmonis.
Bisa jadi suaminya yang nakal atau sang istri yang tidak menyukai suami.
Dua, adanya ketidak cocokan dalam rumah tangga, jika tidak menyangkut uang ya, ranjang.”
Plak
Jery menghindar dengan cepat saat sebuah pulpen melayang ke arah kepalanya.
“Ngomong lo lagi soal ranjang, nggak cuma pulpen yang melayang tapi juga asbak.”
Jery tertawa dan melihat Ronald menutup dokumen di tangannya.
“Apa lagi coba?
Kalian masih muda dan berpenghasilan jadi uang bukan masalah. Mestinya ya ranjang kalau nggak hati.”
Ronald bangkit dari duduknya.
Bersandar pada meja dan matanya menatap Jery yang asyik menyesap kopi di tangannya.
“Sama sekali nggak pernah menyangka jika menikah dengannya akan begini ….” ucap Ronald pelan.
“Apa dan kenapa? Susah? Menyakitkan? Dingin?” tebak Jery.
Ronald mengalihkan pandangannya pada sebuah foto berpigura di atas mejanya.
Tangannya terulur untuk meraihnya dan mengamati foto yang tercetak di sana dengan sayang.
“Rumah itu sekarang adalah rumahnya. Dia bebas melakukan apa pun yang dia mau di sana. Mendekorasi ulang atau mengatur sesuai dengan keinginannya. Apa kamu tahu? Dia menolak melakukannya,” ucap Ronald dengan kebingungan di antara kata-katanya.
Dua hari lalu dia menyarankan Vanesa mendekorasi rumah dan jawaban yang diterimanya hanya gelengan.
“Sudah bagus, untuk apa diubah?” tolaknya tanpa sesal.
Sedangkan yang di pikiran Ronald adalah mengharap Vanesa merasa nyaman di rumahnya.
Menganggap rumah itu adalah rumahnya sendiri.
“Berarti kalian tidak tidur bersama,” tebak Jery.
Ronald tidak menjawab. Melangkah mendekati Jery dan duduk di sampingnya.
“Itu sudah pasti, tidak usah kamu pertegas.”
“Gila, rumah tangga macam apa kalian?” tanya Jery heran.
“Entahlah, Vanesa makin hari makin dingin.
Memang sikap dan kata-katanya tidak lagi ketus tapi tetap menjaga jarak.
Beritahu aku, Jery. Aku harus bagaimana agar dia atau kami menjadi lebih dekat.”
Jery mengangguk-angguk, merasa prihatin dengan sabahatnya tapi masalah pernikahan dia mana tahu?
Bagaimana mungkin dia memberi nasihat pernikahan jika dirinya sendiri belum punya pasangan?
Terkadang nasib memang pahit, pikir Jery dengan ngenes.
“Aku tidak paham jalan pikiran istrimu, Bro.
Akan tetapi, setidaknya kamu harus bersabar menghadapinya.
Bisa jadi perasaan sakit hatinya saat dulu kamu meninggalkannya dan memilih untuk menikah Mili belum sepenuhnya hilang.”
“Setidaknya dia bisa bicara padaku, apa maunya.
Aku harus bagaimana? Jadi aku nggak kebingungan,” ucap Ronald pahit. Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Beri dia waktu, Bro.
Berusahalah lebih keras. Dan sementara menunggu istrimu melunak, aku beri satu solusi jitu.”
“Apa?” Ronald mendongak, menatap Jery yang sekarang nyengir salah tingkah.
“Aku ada kencan buta malam ini dan patnerku bersedia datang jika aku membawa teman.”
“Lalu?”
“Datanglah bersamaku, please?” pinta Jery.
Ronald bangkit dari sofa dan merengut kesal.
Dia membuka pintu. Dengan dagunya memberi tanda agar Jery keluar.
“Keluar sekarang! Gue sibuk.”
“Hei, Bro. Jangan gitu, kasihanilah aku yang jomlo ini?”
“Gue pastiin patner lo akan lebih naksir gue dari pada lo sendiri kalau gue datang ke acara kencan buta.
Dasar laki-laki nggak ada percaya diri,” gerutu Ronald.
Jery bangkit dari duduknya, melangkah lesu ke arah pintu.
“Nggak setia kawan,” ucapnya sekilas sebelum menghilang di balik pintu.
Ronald menggelengkan kepala melihat sikap Jery.
Hari gini kencan buta dan minta ditemani?
Jery memang tidak berubah, kuper.
Mengabaikan rasa jengkelnya, Ronald berbiat meneruskan pekerjaan.
Namun saat melihat tumpukan dokumen yang menggunung, mendadak niatnya untuk bekerja sirna.
Mungkin memang lebih baik dia pulang sekarang. Bermain dengan Sean dan berharap dapat berbincang dengan istrinya sebelum tidur. Meski itu rasanya mustahil.
Bersambung
No comments:
Post a Comment