Cinta Tiga Hati* Part 6
Sebuah mobil hitam mengkilat berhenti tepat di depan pagar. Vanesa memandang dari balik gorden yang terbuka, dua orang wanita turun dari mobil dengan Ronald menyambut mereka.
Ketiganya berpelukan dan saling mengecup pipi. Ronald terlihat tertawa lepas.
Vanesa mengenali Anisa, kakak Ronald yang datang memakai gaun terusan hijau.
Rambut hitam pendek di sisir rapi.
Sama seperti Ronald, Anisa juga terhitung tinggi. Sedangkan wanita satu lagi dengan rambut ikal coklat dan memakai blazer merah, tidak dia kenal.
Cantik luar biasa, itu yang terlintas dalam pikiran Vanesa saat melihatnya.
Vanesa mundur dari tempatnya mengintip saat melihat mereka bertiga berjalan menuju rumah.
Pintu bergerak terbuka dan menampakkan mereka bertiga dengan senyum terkembang.
“Vanes, ini Kakakku Anisa.” Ronald mengenalkan mereka.
Vanesa bergerak mendekat dan berpelukan ringan dengan Anisa.
Tidak lupa saling cium pipi.
“Wah-wah, jadi ini adik iparku yang baru?
Tidak kalah cantik dari almarhum Kakaknya, ya?” ucap Anisa dengan tawa berderai.
Vanesa hanya tersenyum simpul dan menyapa pelan.
“Apa kabar, Kak?”
Anisa menatapnya dengan sorot gembira.
“Kabar baik, Vanes. Dan ini kenalkan teman baikku, Natali.”
Natali seorang wanita pertengahan tiga puluhan, anggun dengan sikap tubuh sangat lembut dan sopan.
Dia menghampiri Vanesa dan mencium pipinya dengan ramah.
“Selamat datang di rumah kecil kami,” sambut Ronald.
Dia bergegas menuju dapur dan berteriak di tengah jalan. “Ada yang berminat minum kopi atau jus?”
Hari ini, Vanesa sengaja mengajukan ijin untuk pulang ke rumah lebih cepat.
Dia tahu jika kakak Ronald akan datang hari ini.
Selain merapikan rumah juga menyiapkan hidangan.
Ronald pun demikian. Pulang membawa biji kopi terbaik untuk digiling. Rupanya satu keluarga Ronald punya kebiasaan minum kopi yang sama.
Mereka berempat berbincang sambil minum kopi di ruang makan.
Vanesa memperhatikan jika Anisa terlihat akrab dengan adiknya.
Saling bercerita masa kecil mereka.
Di luar dugaannya adalah Natali ternyata adalah teman kecil dua beradik itu.
Klop sudah juga mereka bertiga perihal masa lalu mereka tanpa melibatkan dirinya. Vanesa menyesap minuman di cangkirnya sambil mendengarkan mereka.
“Berapa lama kita nggak ketemu Ronald?
Mungkin enam atau tujuh tahun?” tanya Natali.
Ronald terlihat berpikir. “Kurang lebih begitu, hari pernikahanmu adalah pertemuan terakhir kita.”
“Iya, setelahnya aku pindah ke Singapura. Dan Ronald berubah dari seorang anak laki-laki tampan dan cute menjadi laki-laki dewasa yang gagah,” puji Natali.
Anisa memonyongkan bibirnya.
“Gagah apaan, tetap saja dia kalah cantik dari pada aku.”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Denting cangkir beradu ditimpali dengan tawa yang menggelegar. Vanesa hanya mendengarkan dalam diam.
ia maklum karena memang inilah yang disebut sahabat atau saudara.
Dulu dia dan Mili juga sama.
Saat bersama mereka akan bercerita dengan heboh.
Dibanding dirinya yang jutek tapi supel dengan banyak teman. Mili yang lebih pendiam lebih banyak menghabiskan waktunya sendiri.
“Ah, maaf ya, Vanes.
Kami bertiga jika berkumpul sering lupa diri,” kata Anisa dengan tawa berderai.
“Rasanya sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dan sekarang bisa berkumpul lagi itu suatu kegembiraan.” Natali menyambung ucapan Anisa.
Ronald mengangguk.
“Itu karena kalian berdua terlalu asyik berkelana di dunia luar dan meninggalkan aku sendiri,” timpalnya.
“Duuh, adik kecil kami ngambek,” goda Natali dan Anisa bersamaan.
Mereka saling goda, saling mengejek kebiasaan masing-masing saat kecil dan suara tawa Ronald terdengar lepas, bahagia.
Vanesa bangkit dari duduknya menuju westafel.
Lalu membuka laci di atas wetafel. Mengeluarkan piring besar. Mengambil berbagai roti yang dia bawa dari kantor yang dia letakkan di dalam lemari kecil yang menempel di dinding dan menghidangkannya di atas meja.
“Wah-wah, ini roti enak terlihat bentuknya lucu sekali,” puji Anisa mengamati roti berbentuk beruang di tangannya.
“Hati-hati, Nis. Ingat semakin aneh bentuk roti semakin nggak enak,” tukas Natali. “Ingat tidak kita sering terjebak saat membeli roti.”
Anisa mengangguk, meletakkan kembali roti yang sudah dia ambil.
“Jangan kuatir,” sela Ronald.
Tangannya meraih roti beruang dan mencuilnya.
Sebelum memasukkan ke mulutnya. “Roti ini enak luar biasa. Nggak percaya? Coba saja?”
Natali mencuil roti di tangan Ronald dan memakannya, sedetik kemudian dia meringis. “Rasanya hancur.” Tangannya bergerak mengambil tisu dan tanpa diduga sebelumnya dia mengelap mulut Ronald yang kotor karena remah-remah.
Semua yang dia lakukan tidak luput dari perhatian Vanesa. Ronald sendiri hanya berucap terima kasih ringan.
“Nggak koq, ini enak,” sanggah Ronald.
Dia menatap istrinya yang terdiam dan mulutnya tidak berhenti menguyah roti di tangannya.
“Duuh, kamu harusnya ke toko roti langganan kami, Ronald.
Jauh lebih enak di sana.
Aku percaya selera Natali, kalau dia bilang nggak enak ya pasti nggak enak.
Apalagi merek roti ini belum terkenal,” ucap Anisa bertubi-tubi. Lalu dia menoleh ke arah Vanesa yang bediri kaku di samping wastafel. “Kamu beli di mana roti nggak enak ini, Vanes?”
Vanes tersenyum. “Itu roti buatan pabrik perusahaanku. Nggak enak ya?” jawabnya ringan.
Seketika wajah Anisa memucat dan Natali terlihat tidak enak hati.
Ke duanya memandang Vanesa yang berdiri dengan senyum kaku.
Ronald berdiri dari duduknya dan menghampiri Vanesa. Lalu merangkul pundak Vanesa.
“Istriku bekerja di waralaba roti, dia wanita hebat dan juga pintar membuat roti.
Suatu saat kalian harus merasakan roti buatannya.”
Anisa dan Natali berpandangan dan saling bertukar senyum, seakan meminta maaf. Vanesa mendesah, merasakan sentuhan Ronald di bahunya.
Terdengar suara tangis bayi dan Vanesa bergegas pergi meninggalkan mereka menuju kamar.
Sean bangun dari tidur siang, sedang menggeliat-geliat.
Mungkin karena popoknya basah. Vanesa mengelap keringat, mencopot popok basah dan menggantinya dengan popok baru.
Lalu membuai Sean dalam pangkuannya.
Pikirannya tertuju pada Anisa dan Natali.
Bagaimana pun mereka berusaha untuk tidak menutupi atau bahkan memang sengaja memamerkan kebersamaan dan keakraban mereka dulu.
Dulu, sewaktu dia dan Ronald masih bersama, dia jarang sekali bertanya soal keluarga Ronald. N
amun dia tahu jika Ronald punya kakak perempuan dan sangat akrab dengannya. Vanesa mendesah, mengamati susu di tangan Sean yang makin lama makin habis.
“Vanesa?”
Dia mendongak dan memandang Anisa yang berjalan menghampiri.
“Kak, ada apa? Ada yang bisa Vanes bantu?” tanyanya.
Anisa menggeleng, memandang Sean yang terlihat nyaman di pelukan Vanesa.
“Aku tidak pernah melihat bayi tampan ini selain dari foto-foto.”
Tangan Anisa terulur untuk membeli rambut halus Sean.
“kamu merawatnya dengan baik, Vanes.”
“Sudah tugasku, Kak,” jawab Vanesa.
Anisa mengangguk, matanya menatap sekeliling kamar.
Melihat ada botol-botol make-up yang berjejer di meja dengan kaca rias.
Mengamati di salah satu lemari yang sedikit terbuka ada pakaian wanita tergantung di sana.
Tangannya menyusuri meja rias dan membalikkan tubuh memandang Vanesa yang duduk di atas ranjang.
“Vanes, apakah kalian bahagia?” tanyanya tiba-tiba.
Vanesa sedikit kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan untukknya.
“Maaf, kenapa bertanya seperti itu, Kak?”
Anisa berputar di tempatnya berdiri dan berganti memandang dekorasi kamar yang mungkin masih sama persis seperti dalam ingatannya.
“Dekorasi di kamar ini bahkan di ruangan yang aku lihat tidak berubah.
Bukankah sebagai istri harusnya kamu menyukai mengubah dekorasi sesuai keingananmu?”
Vanesa mengangkat bahunya sedikit.
“Tidak ada masalah dengan dekorasi yang sekarang.”
“Benarkah?
Kamu yang tidak ingin mengubahnya atau sengaja membiarkan bayang-bayang Mili ada di tengah kalian?”
“Maksud Kakak apa?” tanya Vanes tajam.
Anisa tersenyum tipis.
Tangannya bergerak menunjuk dinding dan barang-barang di dalam kamar.
Vanesa, kamu masih muda, cantik dan jika tidak salah tebakanku pasti sudah punya pacar.
Kenapa mau menikahi Ronald?
Duda anak satu. Sedangkan banyak laki-laki lain yang bisa kamu dapatkan?”
Vanesa tidak menjawab perkataan kakak iparnya, tangannya sibuk menepuk-nepuk punggung Sean.
Anisa bukan orang pertama yang bertanya padanya tentang Ronald.
Ada beberapa orang lain yang pernah menanyakan hal yang sama.
Sering dia mengeluh dalam hati kenapa mereka begitu suka mencampuri hidup dan keputusan orang lain? Bukankah dia berhak membuat keputusan sendiri?
Hening. Vanesa menarik napas dalam.
Matanya memandang Anisa yang berdiri dengan bersandar pada meja rias.
“Bisakah jika itu hanya menjadi urusanku?” jawab Vanesa pelan.
Anisa tersenyum tipis.
Menatap Vanesa yang duduk tenang.
Ada sesuatu dalam sorot matanya yang susah diungkapkan.
Tangannya sibuk mengetuk-ngetuk meja rias.
“Aku kenal Ronald, adik kesayanganku satu-satunya.
Saat dia mengatakan ingin menikah bisa kupastikan bahwa wanita yang dia nikahi adalah wanita hebat, punya karir bagus dan mengerti apa kehendaknya.
Ternyata, dia menikahi Mili. Wanita cantik dengan segala kerapuhannya.”
“Kakakku hanya rapuh badan tapi tidak jiwanya,” sanggah Vanesa.
Anisa tergelak.
“Jangan salah sangka.
Aku suka sama Mili. Hanya merasa, Ronald terlalu kuat untuknya.
Harusnya dia bisa mendapatkan wanita yang lebih kuat.”
Mata Anisa bergerak menatap Sean dan bergumam.
“Sean tampan, hal yang paling disyukuri dari pernikahan mereka adalah bayi itu.”
“Kak Anisa, bisakah Kakak bicara langsung?
Tidak usah berbelit-belit? Mau Kaka apa?” tantang Vanesa.
Anisa tersenyum simpul.
Bergerak pelan ke arah Vanesa dan meremas pundaknya pelan.
“Kamu lebih kuat ternyata, saat aku bicara begini dengan Mili dia langsung bercucuran air mata.”
“Jadi?”
“Jadi, kalau bisa kamu pikirkan lagi soal pernikahanmu dengan Ronald.
Setidaknya dia layak mendapatkan wanita yang lebih dewasa dari pada sekedar menikahi kakak beradik.”
Vanesa merasakan tusukan kejengkelan di hatinya.
Lidah Anisa memang tajam.
Dia menyingkirkan tangan Anisa dari pundaknya dan berkata sambil tersenyum.
“Aku nggak akan menyingkir, selama Ronald masih menginginkanku.
Simpan saja keinginanmu, Kak.”
“Ini untuk kebaikanmu, kalian masih muda.”
“Terima kasih sarannya.
Maaf jika aku di luar ekpektasimu tentang bagaimana seharusnya seorang adik ipar. Namun Kak, yang menikah itu kami. Bukan Kakak!”
Anisa terdiam, mengangguk-anggukan kepala lalu merapatkan mulutnya ke kuping Vanesa dan berbisik.
“Jika tidak salah lihat, kalian tidak tidur bersama kan?”
Dengan kata-kata terakhir dia pergi meninggalkan Vanesa berdua dengan Sean.
Sial!
Vanesa merasa geram tapi dia harus menahan diri.
Bukankah dulu Mili pernah mengatakan jika Anisa memiliki lidah yang tajam?
Dia tidak akan menyerah begitu saja dengannya.
Segala macam urusan pernikahan ini membuat dirinya harus waspada.
Bukankah memang begini risiko menikah dengan duda?
Orang tua Ronald memang baik tapi tidak dengan kakaknya yang terlalu posesif. Menarik napas panjang, Vanesa mendengar suara bel pintu berdering.
Menjelang malam makin banyak tamu di rumah mereka.
Setelah Anisa dan Natali, sekarang datang orang tua Ronald.
Acara berpindah dari semula berbincang di ruang tamu kini ke sebuah restoran yang tidak jauh dari rumah mereka.
Restoran besar yang menyediakan makanan khas sunda.
Para tamu duduk di kursi kayu mau pun di saung dan lesehan.
Bu Gayatri, mama Ronald bergantian dengan Vanesa untuk menjaga Sean.
Sepanjang acara tidak banyak yang dilakukan Vanesa selain menyuapi bayi di pangkuannya yang kini mulai senang bergerak dan makan sedikit untuk dirinya sendiri.
Vanesa merasa bersyukur dia menjaga Sean yang tak mau diam.
Dengan begitu dia tidak punya alasan untuk tetap duduk dan mendengarkan pembicaraan mereka.
Tentang masa lalu yang tidak dia pahami.
“Vanes, Sayang. Kamu makan, gentian sini Mama yang menjaga Sean.”
Bu Gayatri mengulurkan tangan untuk menggendong Sean.
“Nitip dulu, Ma. Tadi nggak sengaja ketumpahan teh orang. Bajuku basah.”
Dengan hati-hati Vanesa memindahkan Sean ke pangkuan mertuanya.
“Kamu nggak apa-apa?
Mau aku antar ke toilet?” Ronald bangkit dari kursi dan menghampiri istrinya.
“Nggak apa-apa, santai. Hanya teh.” Vanesa berlalu setelah sebelumnya mencabut beberapa lembar tisu dari kotak di atas meja.
Toilet tidak terlalu penuh. Hanya ada beberapa wanita yang sedang sibuk mengobrol.
Menggunakan tisu dia membasuh bajunya yang basah. Merapikan kunciran rambut. Malam ini dia sengaja tidak merias diri berlebihan karena tahu jika momong Sean akan sangat keringatan dan merusak riasan.
Lebih baik polos apa adanya.
“Aku nggak habis pikir, Mama dan Papa memberi restu Ronald untuk menikahi gadis kecil itu.”
Suara Anisa terdengar dari tempat Vanesa berdiri.
Semula dia ingin bergegas kembali ke tempat duduknya tapi tertahan oleh pelayan yang sedang sibuk membawa troli makanan untuk meja sebelah.
“Kenapa, Anisa?” tanya Bu Gayatri dengan sabar.
“Ma, Ronald itu butuh wanita yang kuat dan tegar.
Bukan wanita rapuh macam Milia tau anak-anak macam Vanes.”
“Vanesa wanita hebat, dia merawat anakku penuh cinta dan mengurus rumah tangga dengan baik,” bela Ronald.
“Duuh, Ronald.
Kamu hanya silau dengan kecantikannya.
Coba saja perhatikan omonganku, dalam beberapa bulan pasti dia kembali ke sifat aslinya. Umur segitu masih senang-senangnya main. Bukan ngurus anak.”
“Kak, pernikahan aku yang menjalani.
Bisa tidak jangan mengkritik istriku sembarangan?” tukas Ronald dengan nada tinggi.
“Aku hanya memberi saran, sebagai Kakakmu,” sanggah Anisa nggak mau kalah.
“Sudah-sudah, kalian berdua jangan ribut. Ini di tempat umum.” Natali menenangkan Ronald yang hendak membantah.
Mengusap dan mengelus lengannya.
Vanesa mengamati pertengkaran di depannya.
Setelah pelayan pergi dia menghampiri kursinya dan duduk seolah-olah tidak mendengar apa pun.
Sean kembali merangkak ke pangkuannya.
Ronald yang duduk di seberangnya sibuk menuangkan teh, mengambilkan makanan ke atas piringnya.
Dia memakan apa pun yang diberikan tanpa bertanya.
“Kamu mau makan apa lagi, Sayang?” tanya Ronald padanya.
Vanesa menggeleng.
“Duh, rambut kamu berantakan, ya?
Tadi nggak sempat berdandan sepertinya,” ujar Natali ramah.
“Kamu sih, Ronald.
Bukannya memperhatikan penampilan istri. Dia sendiri jadi kagok kalau rambutnya berantakan gitu?”tunjuk Natali pada Ronald.
“Iya, aku lupa. Maaf Vanesa.”
Vanesa tersenyum simpul.
Tetap duduk tenang di tempatnya. Mendengar dan mengamati sampai kapan sandiwara di depannya akan berakhir atau paling tidak mereka membuka topeng masing-masing.
Sepertinya, tidak akan mudah untuk bergaul bersama Anisa dan Natali.
Dia tidak akan menghindar asal mereka tidak menyenggol dan menyakitinya.
Menyesap minuman di tangannya, Vanesa melihat tangan Natali tidak beranjak dari lengan suaminya.
Bersambung
No comments:
Post a Comment