Wednesday, April 15, 2020

CINTA TIGA HATI 04

CINTA TIGA HATI - Part 4

“Saya terima nikah dan kawinnya, Vanesa Binti Harun Drajat dengan mas kawin seperangkat perhiasan emas seharga dua puluh lima juta dibayar tunai!”

Ucapan allhamdulilah bergema secara bersamaan di seluruh ruangan.

Semua wajah menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan. Para orang tua saling bertatapan penuh haru.

Vanesa mencium punggung tangan Ronald dan membiarkan dahinya dikecup.

Tepat setelah pembacaan doa dari penghulu selesai, suara tangisan bayi memecah keharuan.

Meski tidak ada perasaan bahagia yang berlebih di hati Vanesa. Tetap saja dia bersyukur acara pernikahan berjalan lancar.

Beberapa hari sebelumnya, sempat ada perdebatan di antara anggota keluarga saat dia memutuskan untuk memakai kebaya pengantin milik kakaknya.

Hanya perlu perbaikan sedikit maka kebaya lama berwarna putih emas tetap bisa dipakai dengan nyaman olehnya.

“Aku bisa membelikan kebaya baru kalau kamu mau?” ucap Ronald.

“Atau Mama yang akan belikan? Bagaimana, Sayang?

Banyak koq kebaya jadi yang bisa langsung pakai di butik?” Kali ini mamanya yang membujuk.

Vanesa menolak semua tawaran mereka. Dia merasa baik-baik saja memakai kebaya bekas Mili. 

Tidak ada yang salah saat menikah memakai baju bekas.

Apalagi bekas kakanya sendiri. Santi membantunya memodifikasi dan membuatnya tampak keren layaknya kebaya baru.

Selesai ijab kabul, Vanesa dan Ronald berdiri bersisihan menerima ucapan selamat dari para tamu undangan yang kebanyakan terdiri atas kerabat dan saudara.

Pesta pernikahan dilakukan di halaman rumah Ronald.

Sederhana tapi meriah beratapkan tenda putih. Ronald sempat mengusulkan untuk mengadakan pesta di hotel atau di gedung tapi dia menolak.

“Nggak usah buang-buang uang untuk hal yang nggak penting, lebih baik untuk ditabung untuk masa depan, Sean.” 

Jawaban Vanesa yang tegas membungkam perkataan dari semua orang yang ingin agar pesta dilakukan lebih besar.

“Ini pernikahan Vanes, bagaimana kamu bilang nggak penting?” tegur mamanya. Merasa tidak enak hati memandang wajah Ronald yang kaku karena perkataan putrinya.

“Pernikahan bukan hanya soal pesta, Kak Ronald pasti lebih paham itu. Banyak hal yang lebih penting dari pada menghamburkan uang untuk pesta.”

Dan akhirnya semua mengalah pada kemauan Vanesa.

Ronald sendiri terlihat pasrah pada keinginan calon istrinya. Karena itulah, pesta hari ini hanya dihadiri tidak lebih dari seratus orang meski begitu makanan yang tersaji tidak kalah lengkap dari yang biasa disajikan oleh resepsi di hotel berbintang mau pun gedung mewah.

Sementara Vanesa hanya mengundang kerabat dan teman-teman kantornya, Ronald pun demikian.

Sahabat dekatnya yang datang hanya Jery. Karena dia sendiri tidak nyaman jika harus menjawab banyak pertanyaan.

Belum setahun istrinya meninggal tapi dia memutuskan untuk menikah lagi. 

Begitu banyak gosip dan gunjingan yang dia dengar dan menguatkan tekadnya untuk mendukung rencana pesta sederhana ala Vanesa.

“Ma, tolong bawa Sean kemari,” pinta Vanesa pelan pada mamanya.

Dia melihat Sean menggeliat-geliat dan menangis kencang dalam gendongan papanya.

“Tapi banyak yang mau mengucapkan selamat padamu, Vanes. Kalau kamu gendong Sean nanti repot,” jawab sang mama.

“Nggak, Ma. Bisa koq, kasihan dia.”

Sang mama memberi tanda pada suaminya agar Sean dibawa mendekat.

Dengan cekatan Vanesa mengambil alih Sean dan membuainya dalam dekapan.

“Duuh, anak Mama. Nangis aja ya? Kenapa? Kangen Mama ya?”

Ronald yang berdiri di sampingnya hanya mengawasi dalam diam saat perlahan-lahan tangisan anaknya mereda. Dalam hati dia mengakui jika Vanesa memperlakukan anaknya dengan penuh sayang.

Tidak peduli jika Sean bukan terlahir dari rahimnya sendiri. Situasi sekarang benar-benar membuatnya tidak berdaya.

Di satu sisi dia bahagia bisa menikah dengan Vanes tapi di sisi lain, dia melihat jika istrinya seperti terselubung dalam cangkang keras yang tidak bisa dia sentuh.

Tidak menolak untuk dinikahi tapi menolak untuk bersikap layaknya suami istri.

Ronald menghela napas panjang, memandang anaknya yang sekarang terkikik dalam gendongan Vanesa.

Cantik, anggun dan cekatan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan Vanesa. 

Kebaya putih yang melekat di tubuhnya dengan rambut disanggul sederhana dan hiasan bunga di kepalanya, Vanesa terlihat luar biasa memukau.

“Vanes, aku datang. Selamat ya?”

Suara laki-laki yang berat menyapa Vanesa yang sedang sibuk dengan Sean.

Dia mendongak dan menatap Vico yang berdiri di depannya dengan kaget. Untuk sesaat dia lupa bicara.

“Vanes, selamat.” Vico mengulurkan tangannya. Vanes tergagap menyambut uluran tangan Vico.

“Vico, kamu datang?”

Vico tertawa lirih, menarik kembali tangannya yang terulur. Melirik Ronald yang berdiri bingung di samping Vanesa.

“Tentu saja, bukannya kamu mengundangku, Sayang?”

Sapaan “sayang” dari mulut Vico membuat Ronald terheran-heran.

Dia lantas menoleh pada istrinya untuk meminta penjelasan tapi Vanes hanya diam memandang laki-laki tampan di depannya.

“Apa ini, Sean yang kamu bangga-banggakan?” tanya Vico sambil mengelus kepala bayi di lengan Vanesa. “hallo, Sean. Mama baru kamu cantik ya?”

Ucapan Vico dinilai keterlaluan oleh Ronald.

“Siapa dia, Vanes?” tanyanya penasaran.

Belum sempat Vanes menjawab, Vico berpindah tempat ke depan Ronald dan mengulurkan tangan untuk berjabat.

“Selamat ya, kamu berhasil mengalahkanku hari ini. Merebut wanita yang kucintai untuk jadi istrimu.”

“Tolonglah, Vico,” rintih Vanesa.

“Apa? Kamu mantan kekasih Vanes?” tanya Ronald.

Menjabat tangan Vico dengan mantap.

“Belum mantan tapi masih kekasih karena meski dia sudah memutuskanku dan aku tentu saja menolak. Tidak peduli bagaimana pun statusnya akan tetap akan mencintainya sampai kapan pun.”

Perkataan Vico lagi-lagi membuat Ronald merasa gerah. Dia melepaskan tangan Vico dari genggamannya dan melirik pada Vanesa.

“Jangan membuat keributan, Vico,” tegur Vanesa kuatir.

Wajahnya memucat. Sementara tamu-tamu di sekitar mereka mulai mengamati dengan tertarik.

“Tenang saja, Sayang.

Aku hanya ingin mengucapkan selamat setelah itu akan pergi,” jawab Vico masih dengan senyum tersungging di bibir.

Dia menoleh ke arah orang tua Vanesa yang sedang sibuk bercengkrama dengan para tamu.

“Ah, di sana ada calon mertuaku. Aku akan menyapa mereka.”

Tanpa diduga Vico melangkah cepat meninggalkan mereka dan bergantian menghampiri orang tua Vanesa. Vico terlihat santai menyapa mereka.

Vanesa memandang Vico dengan perasaan tersayat.

Ada tusukan kesedihan jelas di dasar hatinya yang terdalam. Melihat bagaimana Vico bersikap seakan-akan ini adalah pestanya sendiri, bukan pesta pernikahan wanita yang dia cintai.

Menyembunyikan rapat-rapat kesedihannya di balik tawa kerasa yang sengaja dia umbar. Vico-nya yang tampan dan ceria, hari ini dia telah melukainya dalam-dalam.

“Itukah kekasihmu yang pernah kau bilang?”

Teguran parau dari Ronald membuat Vanesa tersadar dari lamunannya.

Dia kembali mengayun Sean yang sekarang terlihat mengantuk.

“Itu hal yang tidak perlu kamu tanyakan, Kak.”

“Apakah kamu sengaja mengundangnya kemari?”

Vanesa menggeleng. “Tidak, aku tidak mengundangkan. Entah dari mana dia tahu soal pesta hari ini.”

“Apakah dia bisa menerima? Pernikahan kita?

Apakah kamu mengatakan padanya, alasanmu mau menikah denganku?”

Vanesa tidak menjawab, matanya masih mengawasi Vico yang sekarang sedang asyik mengobrol dengan papanya.

Entah apa yang mereka bicarakan. Seingat Vanesa, hanya sekali dia sempat memperkenalkan Vico pada orang tuanya.

Dan sekarang, terlihat seolah mereka sudah saling mengenal dengan akrab. Tidak heran jika Ronald merasa curiga.

“Tidak ada yang perlu disembunyikan.”

Ronald terlihat terpukul dengan jawaban Vanesa.

Vanesa bergerak pelan meninggalkan Ronald dengan Sean di gendongan.

Sedikit kesusahan untuk berjalan karena kebaya yang dia pakai.

Untunglah Santi datang menghampiri dan menuntunnya menuju berjalan. Vanesa berpikiran, lebih bijak meninggalkan Ronald dan Vico di pesta.

Dia percaya dua laki-laki itu tidak akan membuat keributan yang akan mencoreng harga diri mereka.

Ronald yang ditinggal sendirian merasa seperti orang bodoh. Meski dia adalah sang mempelai tapi dia terlihat bagai pecundang dalam pesta. Mengeram marah, tanpa sadar dia mencengkeram rambutnya kuat.

Tepukan pelan di punggung membuatnya menoleh.

“Mau merokok, Bro?” Jery datang menawarkan rokok. Tanpa kata dia mengangguk. Mereka menyingkir di pojokan yang sepi.

Ronald menghisap rokoknya kuat-kuat. Berusaha agar abu rokok tidak mengotori baju pengantinnya. 

Matanya mengawasi tamu yang bercengkerama. Istrinya tidak terlihat di mana pun dan Vico yang tak lain kekasih istrinya sudah berpamitan pulang.

Ronald memijat pelipisnya, memikirkan rumah tangga macam apa yang akan dia jalani bersama Vanesa. Wanita yang masih memikirkan laki-laki lain meski sudah bersuami.

Apakah ini bagian dari konsekuensi karena keegoisannya? Ronald sama sekali tidak mengerti. Yang dia pikirkan sekarang dan lebih penting dari segalanya adalah merebut hati Vanesa kembali.

Meski untuk itu dia akan bersaing dengan laki-laki lain.

****

Pernikahan dingin, kaku dan menjaga jarak yang sekarang mereka jalani.

Vanesa menolak untuk tidur bersama, alih-alih menempati kamar utama yang lebih besar dia memilih kamar kecil yang rencananya akan digunakan untuk kamar tidur Sean.

Ronald tak bosan-bosan membujuk istrinya jika dia bersedia mengalah soal kamar tidur. Membiarkan Vanesa menempati kamar yang lebih besar sementara dia pindah. Usulannya hanya ditanggapi dingin oleh Vanesa.

Setiap pagi rutinitas mereka selalu sama. Vanesa memandikan Sean, memberi makan dan menyediakan sarapan untuk Ronald.

Mereka mempekerjakan seorang asisten rumah tangga yang hanya bertugas membersihkan rumah setiap malam. Selebihnya Vanesa yang mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.

“Apa atasan kamu nggak masalah?

Tiap hari kerja membawa Sean?” tanya Ronald. Sudah dua minggu semenjak mereka menikah Vanesa selalu membawa Sean bekerja.

“Mereka nggak masalah, toh dengan adanya Sean tidak mengganggu kinerjaku. Aku juga sudah siap mengajukan resign kapan pun jika memang dikehendaki.”

Ronald mengangguk. “Apa kamu sudah mengambil keputusan?”

Vanesa mendongak dari kegiatannya menyuapi Sean. “Soal apa?”

“Orang tua kita menyarankan untuk kita pergi berbulan madu.”

Vanesa tersenyum kecil, mengabaikan tatapan mata Ronald yang seakan menunggu jawabannya.

Dia sudah tahu perihal ini, bulan madu dan sebagainya tapi dia tidak berminat melakukannya.

Suaminya seharusnya paham dan tidak perlu menanyakan hal yang sudah dia tahu jawabannya.

“Aku tidak ada waktu melakukan bulan madu, banyak urusan dengan waralaba baru.”

“Bagaimana kalau kita melakukannya di akhir minggu?”

Vanesa bangkit dari duduknya.

Mengambil waslap dan membasahi dengan air lalu secara perlahan membasuh wajah Sean yang belepotan makanan. 

Setelah memastikan Sean bersih, dia mengulurkan botol berisi air minum, membiarkan Sean menyedot sendiri.

Berdiri membelakangi Ronlad, Vanesa mencuci sampai bersih peralatan makan Sean.

“Jangan bersikap seakan kita memang pasangan sejati, Kak. Ingat perjanjian itu,” jawab Vanesa perlahan.

Dia membalikan tubuh dan memandang Ronald yang terlihat rapi dalam baju kerjanya. 

“Tolong jaga Sean sebentar, aku mau mandi.”

“Vanes, kita tidak perlu bulan madu. Aku hanya ingin pergi berlibur!”

Vanesa yang sudah setengah jalan menuju kamarnya, menghentikan langkah dan menoleh.

 “Aku nggak berminat.” Lalu tubuhnya menghilang ke balik pintu.

Ronald menghela napas panjang. Menatap anaknya yang mengoceh di atas kursi bayi dan tidak tahan untuk menggendongnya.

“Papa gendong ya, Sayang?” Ronald membuai anaknya.

Pikirannya melayang pada almarhum istrinya yang lembut baik dalam bersikap mau pun dalam bertutur.

Mili tidak pernah menolak perintahnya, selalu menurut dan bersikap seoalah Ronald adalah segalanya.

Sikapnya berbanding terbalik dengan Vanesa yang cenderung keras kepala. Saat dia tahu kalau sedang hamil,

Mili menangis semalaman dan memohon pada Ronald agar dia bisa mempertahankan kandungannya tidak peduli bagaimana rapuh tubuhnya.

Dalam hati paling dalam, Ronald menghargai Mili sebagai istrinya meski tidak pernah benar-benar mencintainya.

Bagaimana dia bisa mencintai Mili jika hati dan pikirannya penuh dengan Vanesa. 

Hingga kehamilannya mengubah segalanya, mau tidak mau Ronald memusatkan pikiran dan perhatiannya untuk Mili dan anaknya.

“Sudah siap? Ayo, ikut Mama, Sayang?”

Kemunculan Vanesa membuyarkan lamunan Ronald.

Sean nyaris tertidur dalam gendongannya. Dengan sigap Vanesa mengambil alih dan meletakkan Sean dalam kereta dorong.

“Apa perlu kuantar? Sampai kantor?” saran Ronald.

Vanesa menggeleng tanpa banyak kata meninggalkan rumah dan suaminya yang termangu.

Pernikahan di hari ke empat belas dan mereka bersikap seperti orang asing, keluh Ronald dalam hati.

Dinginnya sikap mereka bukan tidak dipikirkan oleh Vanesa.

Selama dalam perjalanan menuju kantoranya dia memikirkan Ronald, Mili dan Vico.

Dia sendiri yang merencanakan pernikahan macam apa yang akan dia jalani.

Apakah sekarang dia sedang menghukum dirinya sendiri?

Menebus dosa-dosa masa lalu terhadap Mili? Vanesa tidak mengerti.

Peristiwa hari itu masih terbayang jelas dalam pikirannya.

Hubungannya dengan Ronald sedang merenggang karena perselisihan yang dia lupa karena apa. 

Lalu suatu sore Mili memberitahu ke dua orang tua mereka jika dia akan membawa orang yang dia cintai ke rumah.

Pandangan Ronald saat tahu jika Mili adalah kakak Vanes seperti orang yang terkena pukulan di kepalanya dan pingsan saat itu juga.

Vanesa sendiri tidak kalah terkejut tapi dia mampu bersikap biasa saja seakan tidak mengenal Ronald. Meski tubuhnya gemetar.

“Jadi begini? Belum putus dariku kamu sudah memacari cewek lain?

Dan itu Kakakku?” Vanesa mengeram marah pada Ronald yang berdiri di sampingnya.

 

Sore itu mereka berdua berpura-pura sibuk mengamati foto-foto di dalam buffet. 

Sementara Mili sedang sibuk mengupas buah dan ke dua orang tua mereka duduk di ruang makan.

“Aku sama sekali nggak tahu dia Kakakmu?

Dan aku pikir dia membawaku kemari hanya sekedar kenal sebagai teman.

Mana aku tahu dia akan mengenalkanku sebagai pacarnya?” sergah Ronald panas.

“Nyatanya itu yang terjadi, selama beberapa minggu terakhir dia selalu berbicara tentang kamu dan semua kelebihanmu. Jika kamu melamarnya dia akan bersedia saat ini juga.”

“Aku akan mengatakan padanya bahwa dia salah paham.

Bahwa yang aku cintai itu kamu?”

Vanesa melotot marah pada Ronald.

“Berani kamu melakukan itu sekarang?

Awas saja, dia baru keluar dari rumah sakit minggu lalu.

Jika sekarang kamu menolaknya, aku yakin dia akan kembali dirawat.”

Sore itu menjadi awal mendinginnya hubungan mereka.

Tidak peduli bagaimanapun Ronald berusaha untuk berdamai, Vanesa menolak. Ibarat Ronald maju dua langkah maka Vanesa akan mundur empat langkah untuk menhindarinya.

Dalam pikiran Vanesa hanya ada Mili dan raut wajahnya yang bahagia tiap kali menyebut nama Ronald. Tidak mungkin jika satu laki-laki mencintai dua perempuan, maka Vanesa memutuskan untuk mengalah.

Bersambung

No comments:

Post a Comment

JUDUL NOVEL

KISAH PEREMPUAN BAU LAWEYAN # 1

Kisah Perempuan Bahu Laweyan Yang Menikahi 9 Laki-laki  #01 WAJAHNYA tampak segar. Dia baru mandi dibawah pancuran air gunung Penanggungan. ...

POSTING POPULER